BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

dokumen-dokumen yang mirip
V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

KAWASAN TERPADU RIMBA DI 3 KABUPATEN PRIORITAS (Kab. Kuantan Sengingi, Kab. Dharmasraya dan Kab. Tebo)

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

5. SIMPULAN DAN SARAN

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

Statistik Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang Tahun Halaman 34 VI. PERPETAAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

Jurnal Geodesi Undip APRIL 2014

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

Perubahan penggunaan dan tutupan lahan di Indonesia tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

RENCANA STRATEGIS

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

ANALISA PERUBAHAN POLA DAN TATA GUNA LAHAN SUNGAI BENGAWAN SOLO dengan menggunakan citra satelit multitemporal

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

2015 ZONASI TINGKAT BAHAYA EROSI DI KECAMATAN PANUMBANGAN, KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN I.1.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

Analisa Pantauan dan Klasifikasi Citra Digital Remote Sensing dengan Data Satelit Landsat TM Melalui Teknik Supervised Classification

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

PROGRAM PENGEMBANGAN KELAPA BERKELANJUTAN DI PROVINSI JAMBI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

Transkripsi:

BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup area seluas 4.500 km 2 di bagian barat Propinsi Jambi, 70% di antaranya terletak pada ketinggian 100-750 m dpl dengan kemiringan kurang dari 40%. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang merupakan taman nasional terbesar di Pulau Sumatera dengan luasan 13.750 km 2. Sekitar 30 tahun yang lalu, berdasarkan citra satelit Landsat MSS, kawasan hutan dataran rendah di kabupaten ini sempat menghubungkan TNKS dengan dua taman nasional lainnya, yaitu Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di sebelah utara dan Taman Nasional Bukit Dua Belas sebelah timur (Gambar 7). Berdasarkan hal ini dapat diperkirakan bahwa Kabupaten Bungo pernah memiliki tingkat ke anekaragaman hayati yang cukup tinggi. Bahkan saat ini, dengan kondisi tutupan hutan yang semakin menipis dan digantikan oleh ratusan ribu hektar perkebunan karet dan kelapa sawit, Kabupaten Bungo tetap memegang peranan penting sebagai koridor yang menghubungkan ketiga taman nasional di Pulau Sumatera tersebut. Gambar 7. Citra satelit Landsat MSS tahun 1973 memperlihatkan kawasan hutan di Kabupaten Bungo yang menghubungkan 3 kawasan taman nasional di Propinsi Jambi

BAGIAN 1-3 Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 55 World Agroforestry Center (ICRAF) melakukan kegiatan penelitian sejak 1997 dengan fokus keanekaragaman hayati di kebun karet campur milik masyarakat di Kabupaten Bungo. Penelitian ini berkaitan erat dengan penelitian mengenai jasa lingkungan yang diberikan masyarakat dalam menjaga keanekaragaman hayati di daerah yang luas hutannya tak lagi memadai. Kebun karet campur adalah bentuk wanatani (agroforestry) yang memadukan karet dengan tanaman keras lainnya. Di Kabupaten Bungo, yang paling umum dijumpai adalah paduan antara karet dengan buah-buahan. Tipe tutupan lahan ini seringkali disebut hutan karet karena struktur vegetasinya yang amat mirip dengan hutan. Aplikasi penginderaan jauh digunakan untuk melihat sejarah dan dinamika bentang lahan dalam usaha mempelajari karakteristik kebun karet campur (wanatani karet) dan tutupan lahan lainnya di Kabupaten Bungo. Hasilnya cukup mengejutkan: luasan wanatani karet cenderung stabil sedangkan di sisi lain lebih dari setengah lahan berhutan di Kabupaten Bungo (210.000 ha) berubah menjadi bukan hutan dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1970. Fakta yang menyedihkan mengingat Kabupaten Bungo dan Propinsi Jambi adalah salah satu daerah di Sumatera yang dulu kaya akan hutan dataran rendah, yang menjadi habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna. Tentunya hal ini harus disikapi secara bijaksana oleh para pihak dengan perencanaan lahan yang lebih matang berdasarkan keadaan saat ini. Tulisan ini akan memaparkan secara singkat bagaimana sejarah bentang lahan Kabupaten Bungo berdasarkan analisa spasial dan aplikasi penginderaan jauh. TUTUPAN LAHAN KABUPATEN BUNGO 1970-2002 Aplikasi penginderaan jauh yang paling populer adalah pembuatan peta historis tutupan lahan suatu area. Untuk Kabupaten Bungo, lima citra satelit Landsat digunakan untuk menganalisa dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo sejak 1970-2002. Kelima citra satelit tersebut masing-masing direkam pada: 1973, 1988, 1993, 1999, dan 2002. Resolusi spasial yang digunakan adalah 30 m atau setara dengan peta berskala 1:100.000. Untuk dapat melakukan pemetaan tutupan lahan secara akurat, dilakukan pengumpulan data lapangan yang juga berfungsi untuk menguji tingkat akurasi peta tutupan lahan yang dihasilkan. Tingkat akurasi untuk peta 2002 adalah 87%, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan kesalahan interpretasi sebesar

56 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi 13% dalam peta tutupan lahan tersebut. Tingkat akurasi tersebut sudah cukup memadai untuk analisa lebih lanjut. Gambar 8 memperlihatkan peta historis tutupan lahan yang dihasilkan melalui proses interpretasi citra satelit Landsat. Secara jelas dapat dilihat pengurangan tutupan hutan secara drastis dan ekspansi perkebunan karet dan kelapa sawit dalam luasan yang cukup besar. Dapat dilihat juga luasan area agroforestry yang cukup stabil, di sepanjang aliran sungai. Gambar 8. Peta tutupan lahan Kabupaten Bungo tahun 1970-2002. Dikompilasi dari hasil interpretasi citra Landsat pada 1973, 1988, 1993, 1999, dan 2002 Gambar 9 menunjukkan dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo pada 1970-2002 secara keseluruhan. Tutupan hutan turun dari hampir 350.000 ha (76%) pada 1973 menjadi hanya 130.000 ha (29%) pada 2002. Tutupan hutan yang tersisa pada 2002 hampir seluruhnya berlokasi di daerah dengan ketinggian di atas 750 m dpl dan kemiringan mendekati 40%, sementara areal hutan di daerah datar (peneplain) dapat dikatakan telah hilang seluruhnya. Perkebunan karet meningkat secara bertahap dari 10.000 ha (2,3%) pada 1973 menjadi 130.000 ha (28,5%) di 2002. Perkebunan kelapa sawit juga mengalami peningkatan yang signifikan, dimulai dari 6.000 ha (1,4%) menjadi 58.000 ha (12,9%). Wanatani karet dapat

BAGIAN 1-3 Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 57 dikatakan cenderung stabil dengan luasan sekitar 68.000 ha (15%) pada 1973 menjadi 54.000 ha (12%) pada 2002. Secara keseluruhan, jenis tutupan lahan yang paling dominan di Kabupaten Bungo adalah perkebunan monokultur (karet dan kelapa sawit) yang mencapai 41,4% dari total luasan Kabupaten Bungo. 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 Hutan Wanatani karet Perkebunan Kelapa sawit Sawah Semak Pemukiman karet 1973 ha 1988 ha 1993ha 1999 ha 2002 ha Gambar 9. Perubahan tutupan lahan Kabupaten Bungo 1973-2002 Deforestasi dan Ekspansi Perkebunan Karet dan Kelapa Sawit Dari data tutupan lahan di atas bisa disimpulkan bahwa deforestasi dalam jumlah besar telah terjadi sepanjang tahun sejak 1973 sampai 2002. Gambar 10 menunjukkan lokasi deforestasi dari empat periode yang berbeda. Laju deforestasi dari keempat periode tersebut tidak sama, bahkan cenderung menurun pada periode terakhir. Antara 1973-1988, lebih dari 100.000 ha hutan terdeforestasi dengan laju deforestasi (annual deforestation rate) sebesar 6.600 ha/tahun (Tabel 7). Jumlah ini cenderung menurun di periode-periode berikutnya (Tabel 8), pada periode terakhir (1999-2002), laju penurunan kawasan hutan adalah sebesar 1.150 ha/tahun. Walaupun laju deforestasi cenderung menurun, beberapa hal perlu diwaspadai. Salah satunya adalah lokasi deforestasi baru di periode 1999-2002 yang mulai merambah ke daerah dataran tinggi di sebelah selatan Kabupaten Bungo.

58 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi Berubah menjadi apakah tutupan hutan Kabupaten Bungo setelah terdeforestasi? Jawaban atas pertanyaan ini sama pentingnya dengan analisa tentang laju deforestasi. Kelima peta tutupan lahan yang telah dibuat memberikan jawaban yang cukup jelas mengenai hal ini. Pada periode 1973-1988, 53% luasan hutan yang terdeforestasi berubah menjadi perkebunan karet, 23% menjadi wanatani karet dan hanya sekitar 3% yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit (Tabel 8). Pembalakan (logging) yang dalam hal ini ditandai dengan perubahan hutan menjadi semak belukar, terjadi sebesar 17% (16.790 ha) dari total deforestasi di periode 1973-1988. Tabel 7. Deforestasi & konversi lahan di Kabupaten Bungo tahun 1973-2002 Periode Deforestasi Total (ha) Persentase dari luasan hutan sebelumnya Laju deforestasi per-tahun (ha) Laju deforestasi per-tahun (%) Tahun 1973-1988 100159,0 28,9% 6677,3 1,9% Tahun 1988-1993 51043,3 21,2% 3402,9 1,4% Tahun 1993-1999 28033,5 14,8% 1868,9 1,0% Tahun 1999-2002 17391,4 11,8% 1159,4 0,8% Gambar 10. Peta deforestasi Kabupaten Bungo 1973-2002

BAGIAN 1-3 Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 59 Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa konversi lahan hutan menjadi kelapa sawit cenderung meningkat dari periode ke periode, dari hanya sekitar 3% di periode 1973-1988 menjadi 44% (123,26 ha) di periode 1993-1999 walaupun kemudian menurun menjadi 28% (860,7 ha) di periode 1999-2002. Konversi hutan menjadi perkebunan karet cenderung menurun dari 53% di periode 1973-1988 menjadi 32% (5.644 ha) di periode 1999-2002. Tabel 8. Deforestasi di Kabupaten Bungo tahun 1973-2002 Tutupan lahan yang menggantikan hutan Deforestasi tahun 1973-1988 Deforestasi tahun 1988-1993 Deforestasi tahun 1993-1999 Deforestasi tahun 1999-2002 Ha % Ha % Ha % Ha % Kelapa sawit 3436,5 3,0% 7672,2 15,0% 12326,7 44,0% 4860,7 27,9% Wanatani karet 22734,0 23,0% 9074,0 17,8% 4090,6 14,6% 3072,2 17,7% Perkebunan karet 53071,9 53,0% 25396,0 49,8% 7323,2 26,1% 5644,0 32.5% Pemukiman 3647,2 4,0% 600,0 1,2% 533,3 1,9% 613,0 3,5% Semak 16790,0 17,0% 7156,9 14,0% 3352,9 12,0% 2183,9 12,6% Lain-lain 480,0 0,5% 1144,2 2,2% 406,8 1,5% 1017,5 5,9% Total 100.159,6 100% 51043,3 100% 28033,5 100% 17391,3 100% Jika tipe tutupan lahan di Kabupaten Bungo digolongkan menjadi tiga kelompok besar: hutan, perkebunan (karet dan kelapa sawit) dan wanatani karet, kemudian luas tiap kelompok dibandingkan selama periode1973-2002, maka akan didapatkan gambaran seperti Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan bahwa saat ini tutupan hutan di Kabupaten Bungo tidak lagi lebih luas daripada perkebunan monokultur, dan bahkan memiliki kecenderungan untuk terus turun. Sebaliknya luas perkebunan sejak 1999 telah melampaui luas hutan dan memiliki kecenderungan untuk terus berkembang. Di sisi lain, wanatani karet yang dikelola oleh masyarakat terlihat stabil walaupun juga cenderung terus berkurang. Hal ini harus dipahami secara mendalam oleh para pemangku kebijakan di Kabupaten Bungo, bahwa jika hal ini tidak ditanggapi dengan perencanaan yang matang, maka suatu saat mungkin saja Kabupaten Bungo tidak lagi memiliki hutan sama sekali. Kenyataan bahwa luasan wanatani karet yang dikelola masyarakat cenderung bertahan dan tidak mengalami perubahan berarti selama 30 tahun adalah bukti bahwa masyarakat, dalam hal ini petani karet, memiliki peran penting dalam usaha menjaga kelestarian lingkungan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hampir

60 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi tidak ada lagi tutupan hutan di area dataran rendah (peneplain) Kabupaten Bungo, saat ini sistem tata guna lahan yang berpotensi untuk menggantikan paling tidak sedikit fungsi hutan (keanekeragaman hayati, fungsi tata air dll) adalah wanatani karet yang dikelola masyarakat. 400000 350000 300000 250000 Hektar 200000 150000 100000 50000 0 1973 1988 1993 1999 2002 2005 Tahun Hutan Wanatani karet Perkebunan Gambar 11. Grafik penurunan kawasan berhutan dibandingkan dengan perkebunan dan areal wanatani karet dok. Andree Ekadinata Ini bukan hutan, melainkan wanatani karet di Kabupaten Bungo. Bandingkan struktur vegetasinya dengan perkebunan karet monokultur (kanan bawah)

BAGIAN 1-3 Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 61 100 % 9 0% 80 % 70 % 60 % 50 % 40 % 30 % Pemukiman Kelapa sawit Perkebunan karet Wanatani karet Hutan 20 % 10 % 0 % Pemukiman Kelapa sawit Perkebunan karet Wanatani karet Hutan 1973 ha 1988 ha 1993 ha 1999 ha 2002 ha 13313,6 21540 26994,3 33435,9 44494,8 6211,6 14729,5 55793,6 58777,2 10454,1 84047,9 119552,7 124023,2 119682,6 68324,9 68422,6 66185,1 61281 54830,8 346010,2 240535,9 189492,6 147401,9 130010,5 Gambar 12. Persentase tutupan lahan Kabupaten Bungo tahun 1973-2002 KESIMPULAN DAN SARAN Pemanfaatan lahan melalui konversi hutan sepertinya bukan lagi pilihan yang tepat untuk Kabupaten Bungo. Total luas hutan yang tersisa saat ini sangat kecil. Itupun terletak di daerah yang tidak semestinya lagi dikonversi menjadi jenis penggunaan lahan selain hutan. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo harus memikirkan perencanaan tata guna lahan yang lebih matang dengan menitikberatkan pada pemanfaatan lahan secara lestari. Sistem wanatani karet sudah selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah Kabupaten Bungo melihat struktur vegetasinya yang mirip dengan hutan dan kenyataan bahwa sistem ini cenderung stabil di tengah konversi lahan yang cukup cepat di daerah ini.

62 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didukung oleh World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Institut de recherche pour le Développement (IRD). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bruno Verbist, Sonya Dewi dan teman-teman di kantor ICRAF Muara Bungo atas segala bantuan dalam pengumpulan data di lapangan dan penulisan artikel ini.