BAB I PENDAHULUAN. tubuh mengalami kerusakan dan terbuka sehingga menyebabkan sistem pembuluh

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lembab karena sejatinya kulit normal manusia adalah dalam suasana moist atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang penting dalam perawatan luka. Prinsip dasar dalam memilih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. percampuran natrium alginat-kitosan-kurkumin dengan magnetic stirrer sampai

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karies gigi (Wahyukundari, et al., 2009). Berdasarkan hasil riset dasar yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. bagi mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat.

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap tahun permintaan untuk Drug Delivery System atau sistem

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. biomaterial logam, keramik, polimer dan komposit. kekurangan. Polimer mempunyai kekuatan mekanik yang sangat rendah

I. PENDAHULUAN. dan kebutuhan bahan baku juga semakin memadai. Kemajuan tersebut memberikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau benda-benda panas lainnya ke tubuh (Smeltzer & Bare, 2002). Luka bakar

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Disusun Oleh : ALIF NUR WIDODO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB I PENDAHULUAN. Luka bakar khususnya luka bakar di atas derajat 1, sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kulit merupakan barier penting tubuh terhadap lingkungan termasuk

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (2006), merumuskan bahwa diabetes. melitus (DM) merupakan kumpulan masalah anatomi dan kimiawi dari

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kitin dan kitosan merupakan biopolimer yang secara komersial potensial

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

Gambar 4.1 Hasil Formulasi Nanopartikel Polimer PLGA Sebagai Pembawa Deksametason Natrium Fosfat.

4. Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan industri tekstil dan industri lainnya di Indonesia menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama

I. PENDAHULUAN. Udang dan kepiting merupakan komoditas andal dan bernilai ekonomis

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan dampak pada lingkungan ketika sudah tidak terpakai.

I. PENDAHULUAN. membentuk lapisan kompleks yang menyelimuti inti. Bahan inti yang dilindungi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, peran nanoteknologi begitu penting dalam perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. suhu yang tinggi, syok listrik, atau bahan kimia ke kulit. 1, 2

BATERAI BATERAI ION LITHIUM

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan modern segala bidang, termasuk di bidang. kedokteran gigi. Tissue engineering termasuk salah satu teknik yang paling

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam Global Burden Disease Report, World Health Organization (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture,

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dan termasuk

Laboratorium Teknologi Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November

2014 WAKTU OPTIMUM ISOLASI NANOKRISTALIN SELULOSA BAKTERIAL DARI LIMBAH KULIT NANAS

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi laka lantas MABES Polri tercatat ada 61,616 kasus kecelakaan lalu lintas di

PENGARUH SUHU FURNACE DAN RASIO KONSENTRASI PREKURSOR TERHADAP KARAKTERISTIK NANOKOMPOSIT ZnO-SILIKA

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dari serangan fisik, kimiawi, dan biologi dari luar tubuh serta mencegah

I. PENDAHULUAN. ekosistem di dalamnya. Perkembangan industri yang sangat pesat seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. per oral sangat dipengaruhi banyak faktor, salah satunya berkorelasi dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Buah Jambu Biji. Buah jambu biji mengalami perubahan sifat fisik dan kimia selama waktu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Aplikasi Hidroksiapatit Berpori

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai kelainan, trauma, maupun penyakit. Jaringan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. ditambahkan ke dalam tanah (Akelah,1996). Kehilangan sejumlah nutrisi dan

SOP PERAWATAN LUKA A. KLASIFIKASI LUKA BEDAH

METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar belakang. digunakan pada industri antara lain sebagai polimer pada industri plastik cetakan

I. PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan penyebab kematian ke-2 di dunia yang bukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. prosedur yang kompleks dengan kemungkinan resiko terhadap pasien

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satu contoh luka terbuka adalah insisi dengan robekan linier pada kulit dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan

3 Metodologi Penelitian

2016 SINTESIS DAN KARAKTERISASI HIDROGEL SUPERABSORBEN (SAP) BERBASIS POLI (VINIL ALKOHOL-KO-ETILEN GLIKOL)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. proses penyembuhan luka. Pada dasarnya luka akan sembuh dengan sendirinya

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya secara bertahap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan suatu diskontinuitas dari suatu jaringan. Luka merupakan

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa dalam penerapan nanosains dan nanoteknologi di dunia industri. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pupuk yang ditambahkan pada tanah akan melepaskan nutrient yang dibutuhkan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perlukaan luar adalah suatu kejadian dimana jaringan kulit atau membran luar tubuh mengalami kerusakan dan terbuka sehingga menyebabkan sistem pembuluh darah terpapar dengan lingkungan luar. Kondisi ini memiliki tingkat bahaya yang berbeda tergantung pada tingkat keparahan luka yang terjadi. Resiko yang paling sering muncul adalah terjadinya infeksi pada luka. Infeksi merupakan peristiwa invasi atau masuknya benda asing (mikroorganisme) ke dalam jaringan yang dapat menyebabkan luka bertambah parah. Salah satu upaya mencegah infeksi pada luka adalah dengan melakukan penutupan (dressing) agar bagian yang terluka tidak terpapar oleh lingkungan luar. Wound dressing diibaratkan sebagai baju (dress) yang berfungsi melindungi tubuh dari paparan luar. Paparan luar tersebut dapat secara fisik, mekanik, biologis, hingga kimiawi yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan lebih lanjut akibat luka. Wound dressing bertujuan menciptakan lingkungan yang kondusif dalam mendukung proses penyembuhan. Revolusi dalam perawatan luka ini dimulai dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Professor G.D. Winter pada tahun 1962 yang dipublikasikan dalam jurnal Nature tentang keadaan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka (Wadi, 2012). 1

2 Sifat dan formulasi material di dalam komposisi wound dressing mempengaruhi efektivitas dalam penyembuhan luka (Venugopal dan Ramakrishna, 2005). Karakteristik dan pengaruh klinis dari wound dressing terhadap wound healing antara lain (Venugopal dan Ramakrishna, 2005): (1) Kelembaban lingkungan luka: Wound dressing diharapkan dapat mencegah kekeringan dan kematian sel sehingga meningkatkan migrasi epidermis, mendukung angiogenesis, menghubungkan sintesis jaringan, serta mendukung autolisis yang diakibatkan oleh dehidrasi dari jaringan yang kering. (2) Absorbsi atau penyerapan (menghilangkan darah dan kelebihan eksudat): Kelebihan eksudat yang mengandung enzim pendegradasi jaringan akan menghambat proliferasi dan aktivitas sel. Hal tersebut dapat mengakibatkan hancurnya material matriks ekstraseluler dan growth factors sehingga mengakibatkan penundaan penyembuhan luka. (3) Pertukaran gas (uap air dan udara): Permeabilitas uap air akan mengontrol pengaturan eksudat. Jaringan yang mempunyai tingkat oksigen yang rendah menstimulasi angiogenesis. Peningkatan oksigen dalam jaringan menstimulasi epitelisasi dan fibroblast. (4) Mencegah infeksi (melindungi luka dari serangan bakteri): Infeksi memperpanjang fase inflamasi, menunda sintesis kolagen, mencegah migrasi epidermis, dan menginduksi kerusakan jaringan. Luka yang terinfeksi dapat menimbulkan bau yang tidak sedap. (5) Memenuhi syarat untuk isolasi kulit: Suhu jaringan yang normal akan memperbaiki aliran darah pada wound bed. Suhu yang normal juga akan meningkatkan migrasi epidermis. (6) Tingkat pelekatan rendah (melindungi luka dari trauma): Dressing yang mudah melekat menimbulkan rasa sakit dan sulit untuk dilepas sehingga dapat menyebabkan

3 kerusakan jaringan. (7) Biaya murah (tingkat penggantian dressing rendah): Meskipun material modern dressing lebih mahal daripada bahan konvensional, respon yang lebih cepat untuk pengobatan dapat menghemat dari biaya keseluruhan. Salah satu kelemahan yang ditimbulkan pada wound dressing tradisional adalah dapat melekatnya material dressing pada luka sehingga menyebabkan kerusakan dan kesakitan ketika dilakukan penggantian (Harya, 2009). Hal ini dapat mengakibatkan luka kembali ke fase awal dimana terjadi proses inflamasi sehingga proses penyembuhan luka menjadi lebih lama. Hal-hal tersebut dapat diminimalisir pada modern wound dressing dikarenakan materialnya yang tidak melekat dan tidak menyebabkan kerusakan pada luka. Menurut Harya (2009), membuat luka tetap lembab (moist) serta memperbesar luas permukaan dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan mengurangi rasa sakit pada penderita. Dressing tradisional seperti perban, kapas, dan kasa telah banyak digunakan dalam perawatan luka. Fungsi utama dari dressing ini adalah menjaga luka tetap kering dengan membiarkan penguapan eskudat luka. Dressing jenis ini juga mencegah masuknya bakteri yang berbahaya agar tidak masuk ke dalam luka. Penelitian dewasa ini menunjukkan bahwa dengan membuat lingkungan luka tetap hangat dan lembab dapat menginisiasi penyembuhan luka yang lebih cepat. Konsep modern dressing adalah menciptakan lingkungan yang optimum untuk sel epitel agar dapat berkembang. Kondisi optimum tersebut dapat tercapai dengan cara menjaga kelembaban pada lingkungan sekitar luka, menjaga sirkulasi oksigen untuk regenerasi sel dan menjaga agar bakteri tidak berkembang.

4 Salah satu inovasi moderen pada wound dressing adalah membuat materialnya menjadi serat berukuran nanometer (nanofiber). Nanofiber merupakan aplikasi yang menjanjikan dalam wound dressing. Menurut Zahedi et al (2010), beberapa keunggulan dari nanofiber untuk wound dressing antara lain: (1) Hemostasis: Serat dalam skala nano memberikan penutup dengan sela yang kecil dan luas permukaan yang besar sehinga mendukung hemostasis. (2) Penyerapan (Absorptibility): Nanofiber memiliki efisiensi penyerapan yang lebih besar dari pada penutup yang berupa lembaran. Nanofiber memiliki luas permukaan yang besar berbanding dengan volumenya. (3) Permeabilitas (Permeability): Struktur penutup nanofiber memiliki pori-pori sehingga baik untuk respirasi sel. Hal ini, mengindikasikan kontrol yang tepat untuk lingkungan yang basah bagi luka. Ukuran pori yang kecil melindungi luka secara efektif dari infeksi bakteri. Membaran nanofiber untuk wound dressing juga memenuhi syarat untuk sirkulasi udara yang merupakan bagian dari perlindungan efektif pada luka untuk mencegah infeksi dan dehidrasi. (4) Penyesuaian (Conformability): Konformabilitas sangat erat kaitannya dengan menciptakan rasa nyaman pada bagian luka ketika dibalut oleh dressing. Nanofiber memiliki kemampuan untuk menyesuaikan kontur dari luka. (5) Kegunaan (Functionability): Nanofiber dengan bahan polimer bioaktif dapat meningkatkan kemanjuran dalam pengobatan luka. Nanofiber yang dihasilkan dari proses electrospinning dapat difabrikasi dari berbagai macam material yang berperan sebagai obat. (6) Bebas bekas luka (Scar-free): Nanofiber dengan material biodegradable menjanjikan penyembuhan tanpa meninggalkan bekas luka.

5 Electrospinning merupakan teknik yang paling efektif untuk memfabrikasi nanofiber (Zheng et al, 2010 dan Deng et al, 2009). Hal ini berkaitan dengan karakteristik nanofiber yang dihasilkan dari fabrikasi electrospinning serta kemampuan untuk mengkombinasikan berbagai macam jenis bahan polimer. Hasil nanofiber dari fabrikasi electrospinning memiliki keunggulan antara lain (Zheng et al, 2010): Memiliki luas permukaan yang tinggi untuk rasio volume, porositas yang tinggi, dan konektifitas interpori yang baik. Electrospinning juga memiliki kemampuan untuk memproduksi nanofiber dari berbagai macam material sesuai dengan kegunaannya. Tantangan terbesar dalam memahami proses electrospinning adalah sistem dinamika fluida (Deng et al, 2009). Proses electrospinning memerlukan berbagai macam pengontrolan antara lain : sifat, geometri, dan produksi massa dari nanofiber (Deng et al, 2009). Menurut Khairurrijal et al (2009), proses fabrikasi dengan electrospinning dibutuhkan pemahaman proses perubahan dari larutan fluida menuju spinneret berdiameter milimeter hingga menjadi fiber dengan empat atau lima orde lebih kecil dari pada diameter spinneret (dari orde milimeter ke nanometer). Proses fabrikasi biopolimer dengan electrospinning merupakan proses yang sulit karena terdapat berbagai macam parameter yang mempengaruhi hasil fabrikasinya (Zheng et al, 2010). Wound dressing memerlukan suatu material jaringan yang bersifat inert dan biokompatible. Salah satu material yang potensial adalah biopolimer dikarenakan sifatnya yang mampu membentuk suatu jaringan rapat yang dapat dimanfaatkan

6 sebagai rangka elastis dan fleksibel untuk dikombinasikan dengan bahan obat. Penggunaan material biopolimer dan teknik fabrikasi elecrospinning dapat mewujudkan sifat dressing yang dapat meningkatakan proses penyembuhan luka. Archana et al (2013) telah melakukan penelitian untuk mengevaluasi bahan kitosan-pektin untuk diaplikasikan sebagai wound dressing dalam bentuk film. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kitosan dan pektin merupakan kandidat yang baik untuk dijadikan sebagai wound dressing. Kitosan berpotensi dijadikan sebagai bahan antimikroba karena mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Wardaniati dan Setyaningsih, 2009). Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri kitosan disebabkan karena kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Kitosan memiliki keunggulan antara lain (Zheng et al, 2010): biokompatibilitas yang baik, biodegradabel, aktivitas hemostatik, aktivitas anti infeksi, serta kemampuan untuk mempercepat penyembuhan luka.

7 Gambar 1. Perbandingan kecepatan penyembuhan luka (Archana et al, 2013) Pektin berpotensi menjadi bahan material yang dikombinasikan dengan kitosan sebagai material dresssing. Pektin memiliki sifat antara lain (Archana et al, 2013): non-toksik, biokompatibel, dan biodegradable. Selain itu, penggunaannya yang dapat meningkatkan sifat mekanik dari nanofiber merupakan sifat yang menguntungkan untuk dijadikan sebagai bahan kombinasi dressing (Hsin et al, 2013). Makromolekul kitosan dan pektin secara elektrostatis komplemen satu sama lain dan telah diteliti dan dilaporkan bahwa pembentukan komplek polimer ini akan terjadi dengan perbandingan 1:1 (Rashidova et al, 2004).

8 Penelitian ini telah dilakukan fabrikasi nanofiber berbasis kitosan-pektin. Merujuk pada berbagai literatur, setidaknya ada tiga metode yang dapat diadopsi untuk menghasilkan nanofiber berbasis kitosan-pektin. Metode pertama adalah menggunakan pelarut asam trifluoroasetat (TFA), 1,1,1,3,3,3-Hexafluoroisopropanol, dan Dimethylformamide (Hsin et al 2013). Struktur fiber kitosan dapat dibentuk dengan electrospinning dengan melarutkan kitosan murni ke dalam larutan tersebut. Namun, penggunaan kedua lautan tersebut tidak direkomendasikan dikarenakan sifatnya yang mudah terbakar dan berbahaya (Hsin et al 2013). Metode kedua adalah dengan mengadopsi metode penelitian Geng et al (2005). Penelitian ini menunjukkan bahawa kitosan murni dengan konsentrasi 6% dapat difabrikasi menjadi nanofiber dengan menggunakan pelarut asam asetat konsentrasi tinggi sebasar 90%. Metode ini tidak direkomendasikan dikarenakan larutan asam konsentrasi tinggi akan menyebabkan alat electrospinning mudah terkorosi serta pada tahap akhir hasil fiber perlu dilakukan pengovenan dan pemvakuman untuk menghilangkan asam asetat yang tersisa. Selain itu, pada prosesnya diperlukan blow dryer untuk membantu pelarut asam asetat agar dapat menguap di dalam proses electrospinning. Metode yang ketiga yang diharapkan mampu untuk menghasilkan nanofiber kitosan pektin adalah dengan menambahkan guest polimer yang bersifat electrospinnable (dapat difabrikasi dengan electrospinning) ke dalam larutan kitosan-pektin (Zhang et al, 2007). Salah satu polimer yang sesuai untuk dijadikan guest polimer dalam penelitian ini adalah Polivinil Alkohol (PVA). PVA merupakan polimer yang dan mempunyai keunggulan antara lain: elecrospinnable, biokompatible dan biodegradable. PVA

9 merupakan polimer yang sering digunakan sebagai guest polimer dalam berbagai macam penelitian untuk memfabrikasi nanofiber dengan electrospinning. Penelitian ini menggunakan metode ketiga yaitu menambahkan PVA ke dalam larutan kitosanpektin dengan harapan dapat meningkatkan electrospinnability larutan dan bahan PVA merupakan bahan yang aman untuk digunakan dalam proses penyembuhan luka. Penggunaan PVA sebagai guest polimer telah banyak dijadikan alternatif untuk membantu fabrikasi dengan electrospinning dengan tujuan penggunaannya sebagai aplikasi medis. Penelitian ini memilih metode ketiga dengan pertimbangan lebih sedikitnya efek negatif yang ditimbulkan dari pada metode yang lain. Penelitian fabrikasi nanofiber kitosan-pektin-pva dengan electrospinning untuk aplikasi wound dressing ini dilakukan dalam empat tahapan. Pada tahap awal, akan dilakukan variasi komposisi PVA terhadap kitosan-pektin. Variasi komposisi ini dilakukan dengan menggunankan perbandingan volume (V/V) untuk mengontrol volume larutan pada electrospinning dan dengan perbandingan kitosan-pektin 1:1 (Rashidova et al, 2004). Variasi komposisi PVA terhadap kitosan-pektin mempengaruhi berbabagai macam parameter, antara lain: viskositas, konduktivitas, dan tegangan permukaan. Tahap kedua dari penelitian ini adalah mengkaji parameter tersebut yang diduga berperan signifikan dalam proses electrospinning ketika dilakukan optimasi variasi PVA terhadap kitosan-pektin. Parameter larutan merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap hasil fabrikasi dalam electrospinning (Zekri et al, 2008). Tahap ketiga adalah melakukan proses electrospinning. Proses electrospinning dilakukan dengan menjadikan variasi

10 komposisi menjadi variabel pengaruh, terbentuknya nanofiber menjadi variabel terpengaruh dan parameter set up menjadi variabel terkendali. Tahap terakhir dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat nanofiber hasil fabrikasi dengan electrospinning. Karakterisasi tersebut meliputi: Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk melihat morfologi dan ukuran diameter fiber yang dihasilkan (nanofiber lebih kecil daripada 500 nm), Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk membuktikan adanya material kitosanpektin-pva melalui identifikasi gugus kompleksnya, X-Ray Diffraction (XRD) untuk mengetahui interaksi antara kitosan-pektin-pva berdasarkan peak yang muncul, serta swelling test untuk mengetahui kemampuan penyerapan eksudat oleh nanofiber untuk aplikasinya sebagai wound dressing. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian fabrikasi nanofiber komposit kitosanpektin-pva dengan electrospinning untuk aplikasi wound dressing yang telah dipaparkan pada latar belakang, maka rumusan masalah atau research question dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah pengaruh variasi komposisi PVA berbanding kitosan-pektin terhadap hasil fabrikasi nanofiber dengan electrosipnning? 2. Parameter apakah yang berpengaruh dalam proses fabrikasi tersebut? 3. Bagaimanakah karakteristik nanofiber berbasis kitosan-pektin-pva yang dihasilkan melalui proses fabrikasi dengan electrospinning?

11 I.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pembuatan prototipe modern wound dressing dengan melakukan fabrikasi nanofiber kitosan-pektin-pva dengan electrospinning. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk menjawab research question, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mempelajari pengaruh variasi komposisi PVA berbanding kitosan-pektin terhadap hasil fabrikasi nanofiber dengan electrospinning. 2. Mengkaji parameter yang berpengaruh dalam proses electrospinnng dalam fabrikasi nanofiber kiotsan-pektin-pva 3. Mengkaji karakteristik nanofiber berbasis kitosan-pektin-pva yang dihasilkan melalui proses fabrikasi dengan elektrospinning. I.4. Keaslian Penelitian Penggunaan kitosan-pektin telah banyak dilakukan untuk aplikasi medis. Archana et al (2013) telah melakukan evaluasi kitosan-pektin untuk diaplikasikan sebagai wound dressing dalam bentuk film. Penelitian tersebut menungkapkan bahwa dari serangkain uji yang dilakukan kitosan-pektin merupakan kandidat yang menjanjikan untuk diaplikasikan sebagai wound dressing. Penggunaan kitosan-pektin dalam bentuk nanofiber juga pernah dipublikasikan oleh Hsin et al (2013). Hasil penelitian Hsin et al (2013) melaporkan bahwa telah dapat difabrikasi nanofiber sebagai kandidat scaffold jaringan kulit dengan menggunakan asam asetat 90% dan digunakan PVA untuk membantu proses fabrikasi.

12 Keaslian penelitian ini terletak pada skenario fabrikasi dan pengkajian terhadap parameter yang diduga mempengaruhi proses fabrikasi tersebut. Penelitian ini digunakan asam asetat sebesar 1,5 % untuk pelarut kitosan. Penggunaan asam asetat sebasar 1,5 % ini diharapkan akan menghasilkan proses fabrikasi yang lebih aman baik terhadap alat maupun karakteristik dressing yang dihasilkan untuk penyembuhan luka. Penelitian ini dipelajari variasi komposisi penggunaan PVA sebagai guest polymer terhadap kitosan-pektin untuk dapat difabrikasi menjadi nanofiber. Penelitian ini juga dilakukan pengkajian terhadap parameter akibat variasi komposisi tersebut. Penggunaan asam asetat 1,5 %, pengkajian terhadap komposisi PVA terhadap kitosan-pektin yang berpengaruh terhadap hasil fabrikasi nanofiber, dan pengkajian parameter yang timbul akibat variasi kitosan-pektin-pva ini belum pernah dipublikasikan sebelumnya. I.5. Manfaat Penelitian Penelitian fabrikasi komposit nanofiber kitosan-pektin-pva dengan electrospinning untuk aplikasi wound dressing memiliki sejumlah manfaat baik dalam ranah intrinsik, ekstrinsik maupun ilmiah. Manfaat intrinsik dari penelitian ini adalah memberikan alternatif baru bagi upaya pendukung penyembuhan luka bagi masyarakat yang aman, praktis, dan murah. Selain kejadian luka ini sangat sering terjadi pada berbagai usia, bagi pasien diabetes, nanofiber wound dressing ini akan membantu dalam mencegah memburuknya perlukaan yang terjadi akibat infeksi.

13 Manfaat ekstrinsik dari penelitian ini adalah diperoleh suatu produk wound dressing lokal yang memanfaatkan bahan-bahan alam lokal, sehingga akan mengembangkan daya saing nasional khususnya di bidang pengobatan dan alat kesehatan. Manfaat penelitian ini dalam ranah ilmiah adalah sebagai acuan metode untuk memfabrikasi nanofiber komposit berbasis kitosan-pektin-pva serta sebagai penelitian pendahuluan untuk mengembangkan material nanofiber kitosan-pektin dalam berbagai aplikasi biomedis khususnya wound dressing. Penelitian ini diharapkan mampu mengidentifikasi parameter yang berpengaruh sehingga dapat dilakukan rekayasa lebih lanjut untuk mencapai hasil yang lebih maksimal.

14