BAB I PENDAHULUAN. sumber daya air. Pertama pada tahun 1972, The Club Of Rome dalam The Limits



dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di Indonesia telah

I. PENDAHULUAN. perekonomian di Bali. Sektor ini menyumbang sebesar 14,64% dari total Produk

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

BAB I PENDAHLUAN. Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 1. Keadaan Geografi Kabupaten Badung. satu kota di Bali yang mempunyai wilayah seluas 418,52 km 2 atau 41.

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. diproduksi dan jumlahnya yang tetap, namun kebutuhan akan lahan terus

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perjalanan baru. Pariwisata mempunyai spektrum fundamental pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. promosi pariwisata ini berkembang hingga mancanegara. Bali dengan daya tarik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III GEDUNG PERTUNJUKAN MUSIK ROCK DI DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Wisata Alam di Kawasan Danau Buyan,Buleleng, Bali. BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata yang dipandang sebagai industri multidimensi, memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini merupakan paparan pendahuluan yang menunjukkan gejala-gejala

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Kajian keterpinggiran perempuan Hindu pekerja Hotel Berbintang Lima,

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian yang unik dibandingkan dengan propinsi lain di mana pilar-pilar

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan pembangunan di Bali sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya dinikmati segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam. pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2015 PERGESERAN NORMA KESUSILAAN MASYARAKAT DESA SINDANGPANO KECAMATAN RAJAGALUH KABUPATEN MAJALENGKA PASCA PEMBANGUNAN WADUK LAPANGAN SINDANGPANO

Volume 11 Nomor 2 September 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. standar hidup serta menstimulasikan sektor-sektor produktif lainnya (Pendit,

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Kondisi Kepariwisataan Daerah Bali. satu Kotamadya, yang diantaranya: Kabupaten Badung, Kabupaten Buleleng,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai

KEADAAN UMUM. Gambaran Umum Kota Depok

BAB I PENDAHULUAN [TYPE HERE] [TYPE HERE]

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

PROFIL PARIWISATA. Tabel Kawasan Pariwisata Di Kabupaten Badung. Kuta Selatan. Kuta Selatan. Kuta Selatan. Kuta Selatan. Kuta Selatan.

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan

Wedding Chapel di Kuta Selatan BAB I PENDAHULUAN

HOTEL RESORT DI DAGO GIRI, BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dampak akibat krisis multidimensi yang terjadi mulai tahun 1998 masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam dan menarik untuk di kembangkan sebagai obyek dan daya tarik

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian, pengumpulan data, analisis, dan penyajian hasil penelitian. Penulisan

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

Sarana Akomodasi Sebagai Penunjang Kepariwisataan. di Jawa Barat. oleh : Wahyu Eridiana

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

mempertahankan fungsi dan mutu lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan erat dengan jarak. Hal itu berkaitan dengan pola persebaran yang

BAB 3 METODE PERANCANGAN. metode perancangan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu

BAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan diuraikan beberapa hal antara lain latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan metode penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. karena masyarakat lah yang berinteraksi secara langsung dengan wisatawan.

Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di Indonesia memiliki tujuan untuk mensejahterakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia, dewasa ini Pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. ProvinsiNusa Tenggara Barat yang terletak di sebelah timur Pulau Lombok.

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

BAB I PENDAHULUAN. tempat obyek wisata berada mendapat pemasukan dari pendapatan setiap obyek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN TAMAN BACAAN DI PATI

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. sudah selayaknya kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut lebih menekankan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain:

I. PENDAHULUAN. terbesar kedua setelah sektor pariwisata (perdagangan, hotel, dan restoran).

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak.

BAB I. Pendahuluan. Kepariwisataan yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB III METODE PENELITIAN. dilaksanakan secara alami, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. antar masing-masing daerah, antar golongan pendapatan dan di seluruh aspek. kehidupan sehingga membuat stuktur ekonomi tidak kokoh.

BAB III TINJAUAN WILAYAH BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan pariwisata merupakan salah satu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN. kualitatif. Menurut Moleong (2007: 27) berpendapat bahwa:

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir abad ke-20 muncul dua isu penting di dunia tentang perkembangan sumber daya air. Pertama pada tahun 1972, The Club Of Rome dalam The Limits Of Growth Report memunculkan isu bahwa eksploitasi yang terkait dengan lingkungan dapat menghentikan pertumbuhan ekonomi. Sehingga antara perkembangan dan lingkungan kehidupan tidak bisa saling terpisahkan (mutually dependent). Kedua, dalam pertemuan di Roma tahun 1974, The United Nation World Food Conference (WFC) menyatakan adanya krisis pangan dunia yang mengkhawatirkan sehingga mendorong untuk menempatkan investasi di bidang irigasi dan drainasi sebagai landasan pengembangan pertanian dengan tujuan jangka panjang berupa pengembangan sosial dan ekonomi. (Suprojo Susposutadjo, 2006: xxi). Mengingat upaya menjamin kecukupan pangan yang serasi dengan pembaharuan kembali sumber daya alam termasuklah sumber daya air, sehingga diajukanlah konsep pertanian berkelanjutan yang dilengkapi dengan sarana irigasi untuk mencapainya. Walaupun konsep pembangunan atau pengembangan pertanian beririgasi yang berkelanjutan, pengertiannya belum diterima sebagai kesepakatan global. Akan tetapi, disisi lain kebutuhan tentang konsep keberlanjutan pertanian beririgasi semakin dianggap penting setelah berbagai pengalaman dalam revolusi hijau banyak menimbulkan pengaruh timbal balik 1

yang negatif terhadap lingkungan. Kesepakatan itu kemudian dianggap penting ketika adanya perkiraan dari ahli sumber daya air tentang adanya krisis ketersediaan air pada awal abad ke-21. Keadaan ini dicerminkan dengan terjadinya kelangkaan air nisbi dan absolut di berbagai negara untuk berbagai kebutuhan sehingga memicu sengketa air wilayah di suatu negara maupun antar negara. Berbagai konvensi dunia untuk mengatasi permasalahan krisis air telah dibangun, melalui penyusunan pedoman pemanfaatan air secara arif untuk berbagai kepentingan yang sifatnya kompetitif seperti Konvensi Dublin 1992, Rio de Janeiro 1992, World Water Forum di Den Haag tahun 2000, dan Fresh Water Conference di Bonn tahun 2001 serta World Water Forum di Kyoto tahun 2003 (Suprojo Susposutadjo, 2006: xxi). Air merupakan sumber penting bagi seluruh kehidupan di dunia dengan kata lain air adalah organ di dunia lebih tegas dijelaskan oleh Gaston Bachelard dalam bukunya air dan mimpi «L eau et les rêves» (1942) dalam Anonim (2009) tanpa air tanpa kehidupan sehingga air adalah sumber kehidupan. Melihat ungkapan Gaston Bachelard yang menekankan betapa pentingnya air bagi kehidupan. Sehingga ketika salah satu kebutuhan kehidupan terganggu maka tidak jarang tiap manusia rela melakukan apapun dalam hal ini adalah konflik air. Masalah air kemudian juga menjadi serius dengan munculnya pariwisata yang pada saat ini telah menjadi salah satu sektor penting bagi pelaksanaan pembangunan di tingkat lokal, regional dan Internasional. Pembangunan pariwisata menjadi penting untuk dilaksanakan dan dikembangkan didasarkan 2

oleh kenyataan bahwa pariwisata telah dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara pada sektor non migas. (Pendit, 2006). Mengingat begitu besar peran pembangunan pariwisata bagi perekonomian nasional dan lokal bagi suatu negara serta didasarinya Indonesia sebagai negara agraris kepulauan dengan potensi alam yang besar dan budaya yang beraneka ragam, maka Pemerintah Indonesia menjadikan kegiatan pariwisata sebagai salah satu program kebijakan pembangunan nasional. Pada umumnya program kebijakan pembangunan nasional di bidang pariwisata yang ditetapkan oleh pemerintah dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan alam dan kebudayaan Indonesia kepada masayarakat dunia. (Widiartha, 2010). Bali sebagai daerah yang memiliki potensi besar dalam bidang pariwisata telah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pengembangan pembangunan bidang pariwisata. Perhatian tersebut dapat dilihat dari dikeluarkannya beberapa kebijakan tentang pariwisata bagi Bali untuk mewujudkan daerah ini menjadi daerah wisata berskala Internasional. Salah satu kebijakan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagai langkah awal bagi perkembangan pariwisata berskala internasional di Bali adalah dengan disusunnya Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di Bali oleh SCETO tahun 1970. Tujuannya adalah menjadikan Bali sebagai daerah wisata bertaraf internasional yang dapat meningkatkan perekonomian bagi negara, pemerintah, serta masyarakatnya. 3

Dalam mewujudkan tujuan tersebut tentunya dibutuhkan infrastruktur yang mendukung pariwisata, sehingga perkembangan infrastruktur tersebut semakin meningkat pula misalnya penyediaan sarana akomodasi pariwisata (hotel dan villa) serta sarana transportasi (jalan) menjadi prioritas pembangunan pariwisata daerah Bali, hal ini disadari oleh pemikiran bahwa keberadaan sarana akomodasi dan transportasi merupakan faktor utama pembangunan suatu daerah wisata. Khusus mengenai sarana akomodasi pariwisata, Pendit (2006) memasukan sarana akomodasi pariwisata ke dalam perusahaan pariwisata langsung yaitu perusahaan yang tujuan pelayanannya khusus diperuntukan bagi perkembangan pariwisata dan kehidupan usahanya benar-benar tergantung padanya. Dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Bali dan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali yang ditunjukan oleh data BPS untuk di Kabupaten Badung pada tahun 2000 sekitar 803.826 wisatawan meningkat hingga tahun 2010 sebesar 2.481.592. Melihat data ini tentu adanya relasi dengan jumlah pemakaian air yang dibutuhkan. Selanjutnya, dengan bertambahnya infrastruktur yang diperlukan juga membutuhkan lahan dalam pemenuhannya, sehingga alih fungsi lahan pertanian seakan-akan tak terkendalikan lagi. Ashrama (2005: 3) menyebutkan selama satu dasawarsa terakhir rata-rata 1.000 hektar pertahun lahan sawah di Bali terkonvensi menjadi beraneka macam sarana pariwisata: hotel, villa, mall dan sejenisnya. Lebih dari pada itu, semakin banyaknya anak petani Bali yang tidak merasa keberatan kehilangan lahan pertaniannya. Mereka lebih suka memilih bekerja di hotel, arthshop atau menjadi pengemudi bus pariwisata dibanding menanam padi di sawah. Sehingga mengkaji 4

dampak pariwisata pada kehidupan sosial masyarakat Bali menjadi sangat penting untuk mengetahui salah satu fenomena sosial. Masalah air pada pertanian beririgasi Terasering (subak) sangat menarik untuk dikaji pada dunia keilmuan (sience), beberapa disiplin ilmu yang sejak berberapa abad telah dibahas, terutama untuk wilayah Asia di Bali. Subak di Bali direpresentasikan sebagai sebuah sistem irigasi dari persawahan di Bali. Setiap subak memiliki satu pura yang dibangun oleh petani itu sendiri sebagai bentuk apresiasi terhadap sistem keagamaan. Selain itu, subak juga dipimpin oleh ketua adat, subak memiliki sistem pengairan (irigasi), dan dengan menggunakan teknologi tersendiri yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan Bali. Masalah air di Bali telah di atur dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Sedangkan tentang pengembangan irigasi ini termuat dalam PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi. Pada awalnya penelitian ini, penulis berpikir tentang sebuah tema yang akan di kaji yaitu : Dampak dari Peningkatan Villa Yang Menggunakan Air Irigasi Subak Di Krobokan Bali. Akan tetapi setelah penulis melakukan observasi, dan beberapa wawancara di lakukan ternyata penulis menemukan faktor lain yang berpengaruh terhadap kondisi air termasuk hotel, SPA dan restoran. Mengingat di wilayah Badung lahan pertanian subak tidak sebanyak di Tabanan, sehingga penulis mengkaji kondisi air tentang irigasi subak di Tabanan. kemuadian penulis mencoba melakukan perbandingan dengan melihat konflik air yang terjadi di Badung, serta dari data-data lapangan yang diperoleh menjadi sebuah tema; Dampak perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air di 5

Kabupaten Badung (dengan melihat konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan). Tulisan ini berupaya untuk mengetahui tentang sejarah air di Bali, dinamika konflik air baik pada subak maupun air bersih, selanjutnya melihat perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air dan berkurangnya lahan subak yang ditandai dengan alih fungsi lahan pertanian dan solusi dari masalah tersebut, maka dipandang perlu suatu penelitian terhadap fenomena tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas terdapat tiga permasalahan yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini, permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimana dampak perkembangan infrastuktur pariwisata terhadap konflik air di Kabupaten Badung? 2. Bagaimana dinamika konflik air yang terjadi di Kabupaten Badung dengan melihat kondisi konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan? 3. Apakah solusi yang dapat digunakan dalam mengantisipasi konflik air baik di Kabupaten Badung maupun di Tabanan? 6

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran Dampak Perkembangan Infrastruktur Pariwisata Terhadap Konflik Air dan Berkurangnya Lahan Subak di Kabupaten Badung kemudian melihat kondisi konflik air pada subak di Tabanan Bali. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menunjukkan dampak perkembangan infrastruktur pariwisata yang ditandai dengan permasalahan air di Kabupaten Badung 2. Mampu menunjukkan dinamika konflik yang terjadi di Badung dengan melihat kondisi konflik air pada Subak di Tabanan selanjutnya mengidentifikasi bentuk relasi antara petani (masyarakat lokal), pemerintah dan investor, dan menunjukan faktor pemicu konflik air dan mencari persamaan dan perbedaan konflik air yang terjadi antara Kabupaten Tabanan dan Badung 3. Memberikan solusi yang dapat digunakan dalam mengantisipasi konflik air baik di kabupaten Badung maupun Tabanan. 7

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis sekaligus memberikan kontribusi ilmiah terhadap khasanah ilmu kepariwisataan. Diharapkan pula penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian lanjutan. 1.4.2 Manfaat Praktis Dari sisi praktis manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak terkait diantaranya; a. Untuk pemerintah diharapkan memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terhadap pembangunan infrastruktur pariwisata di Kabupaten Badung atau di Tabanan dengan memperhatikan dan mengevaluasi tentang kebutuhan air bersih maupun air untuk irigasi. b. Untuk investor, diharapkan untuk mampu memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar, dengan tidak hanya mengambil manfaat akan tetapi mampu saling membangun dan beriringan dalam membangun perekonomian kerakyatan. c. Untuk masyarakat, diharapkan mampu berpartisipasi dalam melakukan manajemen air serta memiliki kesadaran sehingga tidak melakukan boros air. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pengaruh perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air merupakan hal yang menarik untuk dikaji mengingat bahwa air adalah segalagalanya bagi kehidupan, sebagaimana yang di ungkapkan (Oka Supartha, dalam Yayasan Wisnu, 2001) Lontar Prakempa secara gamblang menyuratkan bahwa air sebagai sumber hidup dan kehidupan bagi mahluk hidup. Tanpa air, mahluk hidup yang terdiri dari taru, lata, gulma, janggama dan sthawara tidak akan bisa bertahan hidup. Sthawara yakni mahluk hidup yang tidak bergerak seperti taru, lata, gulma dan tanaman pada umumnya tidak bisa hidup dan berbiak tanpa air. Terlebih lagi Janggama, mahluk hidup yang bisa bergerak yakni manusia dan hewan, tidak mungkin hidup dan berkembang biak tanpa ada air. Mengingat pentingnya air maka ketika terjadi kelangkaan sering menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia, sehingga konflik akan kebutuhan air inipun tidak dapat dihindari. Sampai saat ini secara umum telah banyak penelitian yang mengangkat tentang konflik air akan tetapi belum ada penelitian secara khusus meneliti mengenai dampak perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air di Kabupaten Badung (dengan melihat konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan). Hal ini ditandai dengan keberadaan pariwisata yang banyak membutuhkan air khususnya di Badung sehingga menjadi perhatian yang sangat menarik baik itu bagi pemerintah, masyarakat, maupun investor pariwisata. 9

Untuk memperoleh jawaban sementara dari penelitian ini maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan kajian pustaka hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian tentang Dampak kebijakan perkembangan villa di Kabupaten Badung dilakukan oleh Widiartha (2010) Dampak kebijakan penataan sarana akomodasi pariwisata terhadap perkembangan villa di Kabupaten Badung thesis ini dianggap relevan sebagai acuan dalam penelitian ini karena membahas mengenai perkembangan villa sebelum adanya kebijakan penataan sarana akomodasi kemudian melihat dampak dari pelaksanaan kebijakan penataan sarana akomodasi terhadap perkembangan jumlah villa yang terjadi sebelum adanya kebijakan dan setelah adanya kebijakan dari pemerintah daerah. Selanjutnya melihat penelitian Frank Peopeau yang berjudul Eau des ville: Repense des services en mutation, défi et conflits de la remunicipalisation de l eau (l exemple de la concession de la paz-alto, Bolivie. Tulisan ini membahas kasus konflik air yang terjadi di La Paz-Alto Bolivie ketika air menjadi milik pribadi bukan lagi berfungsi sebagai milik publik. Pelayanan yang dilakukan oleh perusahaan swasta menjadi objek yang terpenting pada penelitian ini. Konflik yang terjadi adalah proses pengembalian kembali air milik pribadi menjadi sektor publik yang dikelola oleh pemerintah. Kemudian mendukung transformasi ini pada daerah urban di La Paz-Alto- Bolivie, yang akan meninjau kesepakatan yang berlangsung selama 10 tahun terhadap investor yang telah melakukan perluasan jaringan. Selain itu pula Poupeau juga melihat sejauh mana 10

pengembalian sistem tersebut sehingga dapat ditafsirkan sebagai regulasi baru yang terdapat pada daerah urban. Air dipandang tidak hanya milik publik yang dapat dikonsumsi oleh semua orang akan tetapi air memiliki nilai ekonomi dan ada pula unsur politik didalamnya. Membaca penelitian dari Poupeau kemudian mencoba untuk mengkaji masalah air yang terdapat di Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Badung. sehingga mampu melihat serta membandingkan permasalahan air yang terdapat diberbagai wilayah yang berbeda. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sutawan (2008) dalam bukunya yang berjudul Organisasi dan Manajemen Subak di Bali terutama pada bagian Manajemen Konflik dan Organisasi Subak. Penelitian ini membahas tentang kronologi konflik yang terjadi di Tabanan serta faktor-faktor yang memicu konflik tersebut seperti kelangkaan air, transformasi lahan pertanian, polusi air, proyek pembangunan irigasi serta lemahnya koordinasi antar instansi. Kesimpulan dari tulisan ini konflik air telah terjadi sejak lama pada subak terutama pada musim kering, konflik ini merupakan konflik perebutan kepentingan tentang air yang tidak menimbulkan konflik fisik dan dapat terselesaikan pada tataran adat setempat atau dalam sebuah organisasi subak. Penelitian ini kemudian juga mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh yayasan Wisnu yang berjudul Salah Urus Pengelolaan Air di Gumi Bali yang disampaikan dalam seminar tanggal 1 Oktober 2001 untuk masyarakat yang mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat dan lingkungan. Penelitian dari yayasan Wisnu ini kiranya relevan dengan pembahasan ini karena mampu mengeksplor tentang sejarah air di Bali sejak masa Kolonialisasi sampai pada 11

perpindahan manajemen air pada Pemerintah Republik Indonesia menjelang kemerdekaan hingga kondisi air pada saat ini. 2.2 Konsep Membantu identifikasi dalam mendeskripsikan dan memahami penelitian ini, akan diuraikan beberapa konsep atau pengertian dasar yang berkaitan langsung dengan topik penelitian. Konsep tersebut adalah 1). infrastruktur 2). Pariwisata 3). Konflik air 4). Subak 5). 2.2.1 Infrastruktur Yang dimaksud dengan Infrastruktur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:331) yang dimaksud Infrastruktur adalah prasarana atau segala yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya). Selain itu, sebagaimana menurut Grigg (1988) dalam Ufie Jusuf (2009) yaitu infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi. Akan tetapi dalam penelitian ini infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur pariwisata yang merupakan sarana dan prasarana pariwisata seperti akomodasi pariwisata (hotel, villa, rumah sewa), restoran (warung makan), SPA, tempat kebugaran, tempat renang, bioskop, tempat olahraga dan panti pijat. 12

2.2.2 Pariwisata Berbicara masalah pariwisata telah banyak para ahli yang memberikan batasan atau defenisi yang terkadang memiliki kesamaan. Istilah pariwisata dalam bahasa Inggris memiliki kesamaan arti yaitu tourism. Kemudian Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan, dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas ini. Seorang wisatawan atau turis adalah seseorang yang melakukan perjalanan paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan rekreasi, merupakan definisi dari Organisasi Pariwisata Dunia. Lebih jelas ditegaskan oleh Yoeti (2003) yang memandang pariwisata lebih sebagai suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari satu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah ditempat yang dikunjungi tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan hidup guna bertamasya dan rekreasi atau memenuhi keinginan yang beraneka ragam. Selanjutnya di Negara Indonesia juga telah membuat kebijakan tentang pariwisata yang dimuat dalam Undang-Undang Pariwisata Nomor 10 tahun 2009 yang akan kita temui juga defenisi dari pariwisata tersebut yaitu; Kegiatan perjalanan dilakukan secara sukarela bersifat sementara perjalanan itu seluruhnya atau sebagian bertujuan untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Lebih jelas tertuang pada pasal 1 ayat (3) pariwisata diartikan sebagai berbagai macam kegiatan wisata dan didukung dengan berbagai fasilitas serta layanan yang 13

disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Fasilitas yang disediakan dalam pariwisata ini termasuk dalam infrastruktur pariwisata yang menyediakan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Penjelasan dari pasal 1 ayat (3) ini lebih menekankan pada bentuk pelayanan yang diberikan. Artinya dalam pariwisata aspek pelayanan ini sangatlah penting. 2.2.3 Konflik Air Kata Konflik itu berasal dari bahasa Latin Confligo, yang terdiri dari dua kata, yakni con, yang berarti bersama-sama dan fligo, yang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan. Secara umum karena ada perbedaan pendapat antara anggota, yang menimbulkan konflik. pengertian Dubrin (1984 : 346 dalam Anime, Inside, 2011), mengacu pada pertentangan antar individu, kelompok atau organisasi yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat yang saling menghalangi dalam pencapaian tujuan. Ketika berbicara mengenai air Hugon (2007) dalam artikelnya menjelaskan kompleksitas dari managemen air yang setidaknya memiliki tiga dimensi yakni (dimensi ekonomi yang distibusinya menyangkut masalah harga, kemudian dimensi lingkungan melalui polusi dibutuhkan sebuah manajemen lingkungan, terakhir air menjadi dimensi sosial yang merubakan sesuatu yang penting bagi seluruh kehidupan. kemudian ketidak seimbangan dalam memanajemen ketiga dimensi tersebut maka terjadilah sebuah konflik perebutan air. Konflik menurut Coser (1993:210) adalah perselisihan terhadap nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa dan sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi dalam hal ini adalah 14

konflik mengenai sumber alam yang tidak mencukupi yakni air terutama pada musim kemarau. Lebih jauh dijelaskan bahwa perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu-individu, kumpulan-kumpulan (colectivities) atau antara individu dengan kelompok. pada penelitian ini konflik dapat terjadi antara petani sesama petani, petani dengan pemerintah (PDAM), atau petani dengan investor (pemilik hotel/restoran). 2.2.4 Subak Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Pengertian subak semacam itu pada dasarnya dinyatakan dalam Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972. Kemudian Arif (1999 dalam Wayan Windia) memperluas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sisitem irigasi subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis-relegius, karena pengertian teknik cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknik pertanian dan teknik irigasi. Selanjutnya, berbicara tentang air di Bali, tentu tidak akan lepas dari subak. Menurut Prasasti Bebetin, subak sebagai suatu organisasi/ badan kerjasama di bidang pengelolaan pengairan sudah ada sejak abad 9 Masehi. Tujuan subak adalah untuk memberikan jaminan pada petani, sehingga mereka tidak kekurangan air dan mendapat air secara adil. Prasasti Manukaya tahun 960 M, menginformasikan bahwa Raja Chandrabhayasingha Warmadewa memerintahkan 15

untuk memperbaiki tanggul pada sumber mata air Tirta Empul yang setiap tahun dihanyutkan oleh banjir. Hal ini menunjukkan bahwa subak adalah badan pengelola air, tidak sebagai penguasa tunggal air pada, saat itu, tetapi juga bukan berarti bahwa raja sebagai penguasa air. (Yayasan Wisnu, 2001: 02). 2.3 Landasan Teori Teori merupakan alat terpenting dalam suatu penelitian ilmiah sebagai alat dalam mengkaji pengaruh peningkatan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air dan berkurangnya lahan subak (Studi kasus komparatif antara kabupaten Badung dan Tabanan bali). Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Teori Fungsional Struktural di gunakan untuk melihat dinamika konflik yang terjadi baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Kabupaten Badung. Kemudian teori konflik dianggap sangat membantu dalam menganalisa komparasi konflik air yang terjadi di Kabupaten Badung dan Tabanan Bali kemudian memberikan pemahaman makna dalam memberikan solusi dalam penyelesaian konflik. Selain itu, teori perubahan sosial untuk mengambarkan terjadinya peningkatan infrastruktur pariwisata di Kabupaten Badung. 2.3.1 Teori Fungsionalisme Struktural Teori ini dipandang relevan dalam penelitian pengaruh peningkatan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air dan berkurangnya lahan subak. Menurut Sanderson (1993) strategi fungsionalisme struktural adalah gagasan tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penganut teori ini menganut sistem kerja biologis sebagai sistem sosial kehidupan individu dalam suatu masyarakat. 16

Pemikiran fungsionalisme struktural sebagai suatu sisitem seperti yang disampaikan Parson, menetapkan empat persyaratan fungsional yaitu: (1) setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya, (2) setiap sistem harus memiliki suatu alat untuk mobilisasi sumber daya untuk mencapai tujuan, (3) setiap sistem harus mempertahankan koordinasi internal kesatuannya dan (4) setiap sistem harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan yang seimbang (equilibrium). Dengan demikian setiap struktur sosial dalam suatu masyarakat dapat berfungsi apabila: (1) setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang mantap dan stabil, (2) setiap masyarakat merupakan elemen-elemen yang terintegrasi dengan baik, (3) elemen-elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi yakni memberikan sumbangan pada bertambahnya masyarakat itu sebagai suatu sistem. (4) setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsesus nilai diantara para anggotanya. Berdasarkan pandangan di atas artinya teori fungsionalisme struktural melakukan analisis dengan melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari interaksi antar manusia dan berbagai institusinya dengan segala sesuatu disepakati bersama termasuk nilai dan norma. Teori ini menjunjung tinggi pada harmoni, konsistensi dan keseimbangan dalam masyarakat. Dengan demikian teori ini dipandang sangat relevan untuk melihat dinamika konflik yang terjadi baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Badung. 17

2.3.2 Teori Konflik Ritzer (2005:15) menyatakan teori konflik sebenarnya berada dalam satu naungan paradigma dengan teori fungsional struktural, akan tetapi keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda. Teori fungsional struktural menilai konflik adalah fungsional. Sementara teori konflik menyoroti fakta sosial berupa wewenang dan posisi yang justru merupakan sumber pertentangan sosial. Perbedaan posisi itu pada gilirannya dapat memicu timbulnya konflik dalam masyarakat. Ide pokok teori konflik dapat dibagi menjadi tiga sebagai berikut. Pertama, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus-menerus di antara unsur-unsurnya; Kedua, setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial dan ketiga, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Sebagai lawannya teori struktural mengandung pula tiga pemikiran pokok. Pertama, masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya, bergerak dalam kondisi keseimbangan; kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas dan ketiga, anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma, nilai dan moralitas umum. Selanjutnya Johnson dan Duinker dalam Mitchell (2003) menuliskan Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Definisi konflik menurut Kovach dijelaskan dalam Hadi (2004) adalah suatu perjuangan 18

mental dan spiritual manusia yang menyangkut perbedaan berbagai prinsip, pernyataan dan argumen yang berlawanan. Hadi (2004) menjelaskan bahwa dalam istilah asing, konflik (conflict) dibedakan dengan sengketa (dispute). Namun dalam penggunaan secara umum di Indonesia, istilah konflik selalu ditukargunakan (interchangeably) dengan sengketa. Beberapa penyebab atau akar timbulnya konflik, dinyatakan oleh Mitchell (2003), adalah sebagai berikut : (1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman (informasi/fakta); (2) Perbedaan nilai (prinsip); (3) Perbedaan kepentingan (alokasi untung rugi); dan (4) Perbedaan latar belakang personal/sejarah. Adapun Santosa dalam Hadi (2004), membedakan konflik dalam beberapa kategori. Pertama konflik sebagai persepsi dinyatakan karena adanya perbedaan kebutuhan, kepentingan, keinginan atau nilai dari seseorang/pihak dengan orang/pihak lain. Kedua, konflik sebagai perasaan ditandai dengan munculnya reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi yang memperlihatkan adanya ketidaksesuaian. Ketiga, konflik sebagai tindakan merupakan bentuk ekspresi perasaan dan pengartikulasian dari persepsi kedalam tindakan untuk memperoleh sesuatu kebutuhan yang memasuki wilayah kebutuhan orang lain. Secara garis besar, Hadi (2004) menggolongkan bentuk-bentuk konflik lingkungan sebagai konflik peninggalan masa lalu dan sebagai konflik di era reformasi. Bentuk konflik peninggalan masa lalu umumnya diwarnai oleh adanya pertentangan pemanfaatan sumber daya alam. Konflik ini bisa antara pemerintah dan pengusaha di satu pihak dengan masyarakat di pihak lain. Konflik juga ditimbulkan karena dominasi atau sentralisasi kekuasaan pemerintah yang sangat 19

kuat. Adapun bentuk konflik di era reformasi dinyatakan oleh Hadi (2004) makin beragam. Konflik terjadi bisa antar pemerintah, antar sektor, antar daerah dan antar masyarakat sendiri. Teori konflik ini sangat membantu dalam menganalisa komparasi konflik air yang terjadi di Kabupaten Badung dan Tabanan Bali. 2.3.3 Teori Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam polapola hubungan sosial antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik, kekuasaan dan perubahan penduduk (Suparlan dalam Bhasma, 2003:38). Terjadinya perubahan sosial pada umumnya dapat di sebabkan oleh pengaruh intern dan ekstern. Pengaruh intern antara lain bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, terjadinya suatu pertentangan, revolusi masyarakat. Sedangkan pengaruh ekstern biasanya bersumber pada lingkungan alam seperti bencana alam, pengaruh kebudayaan masyarakat lain atau peperangan. Bentuk perubahan sosial menurut Soejono Soekamto dibedakan dalam beberapa bentuk: a. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat. b. Perubahan yang kecil pengaruhnya dan perubahan yang besar pengaruhnya 20

c. Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau perubahan yang direncanakan (Planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncakan ( unplannedchange) (dalam Sajogo, 122:1985) Berdasarkan teori tunggal mengenai perubahan sosial menyatakan penyebab perubahan dalam masyarakat menunjukan kepada satu faktor (Sajogyo dalam Widiartha, 2010: 27). Teori tunggal ini menyatakan bahwa mungkin ada satu variabel tunggal yang menggerakkan terjadinya perubahan dan yang menjadi ciri atau pola tunggal pula. Perubahan sosial dapat terjadi karena lahirnya suatu pendapat baru (inovasi) dalam sistem atau masyarakat seperti teknik baru bentuk organisasi baru dan falsafah baru. Ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang inmaterial (Ougburn dalam Soekanto, 2002: 303). Perubahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masusia, yaitu kebutuhan primer yang mencakup aspek spiritual maupun aspek materialnya. Kebutuhan primer senantiasa berkembang, sehingga harus selalu disesuaikan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi dari lingkungan sosial maupun lingkungan alam (Soekanto, 1983). Selain itu dapat dikatakan bahwa perubahan terjadi adalah untuk mencapai suatu kesempurnaan, dimana kesempurnaan ini dapat memberi kemudahan bagi manusia. 21

2.4 Model Penelitian Model penelitian merupakan alur dari pelaksanaan penelitian yang merupakan hubungan dari beberapa variabel-variabel yang digunakan untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Model penelitian ini diawali dengan melihat peningkatan infrastruktur di Kabupaten Badung yang mengedepankan sektor pariwisata sebagai prioritas pembangunan terutama yang mendukung di bidang pariwisata seperti hotel dan restoran (rumah makan). Hal ini dapat ditandai dengan berkurangnya lahan subak selama 10 tahun terakhir, serta bertambahnya jumlah villa. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi penggunaan air bersih. Dampak ini kemudian menyebabkan konflik air yang ditunjukkan dengan aksi protes masyarakat seperti, kekurangan air bersih atau polusi air, dan mentransformasi lahan pertanian yang dianggap tidak banyak menguntungkan dan beralih pada sektor pariwisata. Masalah air ini terjadi antara berbagai aktor, baik itu secara vertikal masyarakat dengan pemerintah atau investor, dan konflik horizontal antara sesama petani itu sendiri. Konflik air ini juga telah lama terjadi di Kabupaten Tabanan, terutama pada musim kemarau yang ditandai dengan pencurian air irigasi subak. Selanjutnya penelitian ini mencoba melihat persamaan atau perbedaaan konflik yang terjadi di Kabupaten Tabanan dan yang terdapat di Kabupaten Badung. Setelah mengetahui perbandingan konflik yang terjadi antar dua wilayah ini kemudian, berupaya mencari solusi yang dianggap relevan dalam penyelesaian konflik baik itu di Kabupaten Tabanan maupun di Kabupaten 22

Badung. Lebih daripada itu, solusi ini dapat dijadikan rujukan bagi penyelesaian konflik di dua wilayah ini. Berangkat dari konsep pemikiran tersebut, maka secara skematis dapat digambarkan alur pikir dari penelitian ini dengan model penelitian sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.1 Model Penelitian DAMPAK PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BADUNG KONFLIK AIR TABANAN PEMERINTAH INVESTOR PETANI/PENDUDUK LOKAL PERBANDINGAN KONFLIK SOLUSI KONFLIK 23

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif. Pendekatan ini merupakan strategi untuk mendapatkan data atau keterangan. Metode kualitatif diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2010). Data dan informasi yang dikumpul bersumber dari informan terutama melalui wawancara mendalam yang didukung dengan penggunaan teknik-teknik studi dokumentasi dan penelitian lapangan. Sehingga menurut Neuman (1997: 344) tugas seorang peneliti adalah memahami apa yang terjadi dilapangan. Dengan demikian dalam pengumpulan data pada penelitian ini penulis melakukan survey yang merupakan suatu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dan mencari keterangan-keterangan secara faktual tentang kondisi daerah dan masyarakat setempat. Dengan melakukan survey dapat melihat situasi secara konseptual (menyeluruh) dan holistic (Mendalam) yang terjadi pada masyarakat setempat. Selain itu peneliti berinteraksi langsung dengan masyarakat Badung dan Tabanan khusunya, pada para petani, pengusaha villa, hotel dan restoran, pemerintah PDAM yang menangani langsung masalah air serta beberapa turis yang berkunjung ke daerah ini. 24

`Selanjutnya tahab-tahab kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini berpedoman pada: kajian pustaka, mengurus ijin penelitian, terjun ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan data dengan cara (pengamatan, wawancara dan membuat catatan lapangan), mulai mengolah dan menganalisa data terakhir menulis laporan. 3.2 Lokasi Penelitian Berangkat dari ketertarikan peneliti pada masalah air yang merupakan masalah serius yang sering didiskusikan di setiap belahan dunia, kemudian peneliti pun mencoba melihat pengaruh peningkatan infrastruktur pariwisata terhadap konflik air dan berkurangnya lahan subak di wilayah Badung yang terfokus pada kelurahan Kerobokan Kecamatan Kuta Utara. akan tetapi ketika melakukan observasi dan wawancara secara singkat bersama mahasiswa IREST Paris1 dan Mahasiswa DDIP Udayana 2011, kemudian di temukan problem air, bahkan konflik air kerap terjadi di Tabanan. kemudian seiring dengan pembimbingan tulisan ini maka sebuah ide pun muncul untuk melihat komparasi masalah air pada dua kabupaten ini, yakni Kabupaten Badung dan Kabupaten Tabanan. Secara umum melihat dua kabupaten ini terasa sangat luas cakupannya, akan tetapi ketika hanya berbicara tentang infrastruktur dan konflik air dapat membatasi kedua lokasi ini. Dipilihnya wilayah Kabupaten Badung sebagai lokasi penelitian utama dengan pertimbangan: bahwa infrastruktur Badung terutama 25

dibidang pariwisata cukup pesat dan berkurangnya lahan pertanian dalam 10 tahun terakhir cukup signifikan. Sedangkan untuk wilayah Tabanan dipilih dalam penelitian ini adalah atas dasar pertimbangan bahwa Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten yang memiliki jumlah lahan subak terluas, selain itu masalah pembagian air dalam organisasi irigasi subak juga sering menimbulkan masalah. Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Januari 2011 bersamaan dengan kuliah lapangan yang di lakukan oleh 12 mahasiswa IREST Paris1 Pantheon Sorbonne. Kemudian dibantu oleh 15 mahasiswa DDIP Udayana angkatan ke-2 yang di bagi ke dalam 4 kelompok dengan tema masing-masing. Dalam penelitian penggunaan air l usage de l eau terdiri dari 3 orang mahasiswa IREST Paris1 dan 3 orang mahasiswa DDIP Udayana. 3.3 Teknik Penentuan Informan Untuk mendapatkan data yang valid dan akurat sesuai dengan permasalahan dalam penelitan ini maka penentuan informan digunakan teknik bola salju (snow ball), yaitu mulai dari satu yang semakin lama semakin banyak (Moleong, 2010: 224). Lebih lanjut dijelaskan oleh Lee dan Berg 2001 (dalam Widiartha, 2010: 34) menyatakan strategi dasar bola salju ini dimulai dengan menetapakan satu atau beberapa informan kunci (key informants) dan melakukan interview terhadap mereka, kemudian kepada mereka diminta arahan, saran dan petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya yang memiliki informasi yang dicari. Informan kunci pada penelitian ini adalah ketua Assosiasi 26

Villa Bali, aparat pemerintah pada Dinas Pariwisata Kabupaten Badung dan Tabanan, para Pemerintah PDAM serta Petani. 3.4 Jenis dan Sumber Data 3.4.1 Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kalitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang berupa kalimat, kata-kata, ungkapan dalam bentuk deskriptif berupa berbagai keterangan dan informasi dari hasil wawancara yang menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain; kondisi perkembangan infrastruktur pariwisata, polusi air terhadap lahan pertanian, bentuk-bentuk relasi antara berbagai aktor dan apa solusi yang dilakukan ketika terjadi masalah. Sedangkan data kuantitatif adalah data dalam bentuk angka-angka yang dapat dihitung seperti jumah penduduk, jumlah usaha akomodasi (villa, hotel dan restoran), serta jumlah lahan subak. 3.4.2. Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data skunder. Sumber data primer berupa informasi yang didapatkan melalui wawancara mendalam dengan informan-informan antara lain dari pihak pemerintah baik dari Kabupaten Badung maupun Kabupaen Tabanan, masyarakat, para investor atau pemilik villa, hotel dan restoran serta pihak-pihak yang memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai situasi dan mengetahui informasi terkait dengan objek penelitian. Dari wawancara ini sebagian besar data yang didapat adalah data kualitatif. 27

Sedangkan sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui pengumpulan dan pengolahan data yang berasal dari beberapa sumber seperti mengkaji permasalahan-permasalahan air yang pernah terjadi baik itu di Kabupaten Badung maupun Tabanan-Bali selain itupula mengkaji kebijakan, baik di Pemkab Badung dan Tabanan, Pemerintah Propinsi Bali serta Pemerintah Pusat khususnya yang mengatur masalah air, dan infrastruktur pariwisata. Selain itu sumber data skunder juga diperoleh dari mengkaji literatur teknis seperti artikelartikel dan jurnal yang terkait dengan topik penelitian, kemudian dokumendokumen resmi yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Badung dan Tabanan seperti buku Kabupaten Badung dalam angka selama 10 tahun terakhir, laporan kegiatan PDAM dan laporan kegiatan Dinas Pariwisata Kabupaten Badung dan Tabanan maupun literatur non teknis laporan, surat kabar, majalah serta brosur-brosur. Dalam menunjang kelengkapan data penelitian, penulis juga melakukan pencarian data dan informasi terkait dengan penelitian situs-situs yang terdapat di internet, khususnya situs resmi pemerintah Kabupaten Badung dan Tabanan di: http//www.badungkab.go.id atau http//www.tabanankab.go.id. 3.5 Instrumen Penelitian Sebagaimana dikemukakan oleh Nahwi (1992: 69), dalam pengumpulan data dipergunakan alat (instrument) yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkn secara lengkap. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat (instrument) dianggap relevan yaitu 28

pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya, berupa pertanyaan pokok dengan menggunakan daftar pertanyaan-pertanyaan yang isinya menyangkut halhal yang berkaitan dengan materi penelitian ini, alat perekam, kamera, dan sebuah buku catatan. 3.6 Teknik pengumpulan data Teknik dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah obsevasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Ketiga teknik tersebut merupakan teknik umum yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk mendapatkan kedalaman data. Observasi yaitu teknik penelitian dengan melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian, serta mencatat dengan sistematis fenomena yang diamati. Penggunaaan teknik obsevasi ini dimaksud untuk mendapatkan data primer dampak perkembangan infrastruktur terhadap konflik air di Kabupaten Badung (dengan melihat kondisi konflik air pada subak di Kabupaten Tabanan). Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui tanya jawab (wawancara) secara langsung dimana pihak yang diwawancara (interviewer) berhadapan langsung secara fisik dengan pihak yang diwawancarai (interviewee). Dalam pelaksanaan wawancara akan dipergunakan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara (interview-guide) untuk mewawancarai dengan pihak yang berkaitan langsung dengan pihak-pihak yang terlibat pada konflik air. Menurut Koentjaraningrat (1994: 129) mengemukakan bahwa wawancara mendalam dalam suatu penelitian bertujuan mengumpulkan 29

keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian mereka itu. Selain melakukan pengamatan langsung seperti teknik di atas, penelitian ini juga menggunakan teknik Analisis Dokumen, yaitu kegiatan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang berhubungan dengan peningkatan infrastruktur pariwisata di Badung, konflik air dan berkurangnya lahan subak baik di kabupaten Badung maupun Tabanan. 3.7 Penelitian lapangan Dalam penelitian lapangan pertama yang dilakukan adalah melakukan observasi kebeberapa tempat penelitian seperti melihat pesatnya infrastruktur pariwisata, keberadaan lahan pertanian serta polusi air yang terdapat di lahan pertanian. Kemudian wawancara dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh data dan informasi secara langsung dari sumber-sumber yang dianggap relevan dengan penelitian ini antara lain pejabat pemerintah pada instansi yang membidangi masalah air atau pariwisata, tourism office, tourist, masyarakat pelaku usaha pariwisata, masayarakat umum dan petani. Wawancara dilakukan secara formal dan informal (terjadwal dan tidak terjadwal). Pola wawancara yag dilakukan meliputi pengajuan pertanyaan, menyimak, mengekspresikan ketertarikan, mencatat dan merekam informasi yang disampaikan informan. Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengarah pada kedalaman informasi, yang pengembangan 30

pertanyaan selanjutnya dilakukan oleh peneliti di lapangan ketika berhadapan dengan para informan, disesuaikan dengan kondisi wawancara yang berlangsung. 3.8 Penelitian kepustakaan Untuk mendapatkan data yang dianggap relevan dengan penelitian ini dilakukan juga pengumpulan data dengan menggunakan penelitian kepustakaan. Teknik ini merupakan penelaahan terhadap referensi-referensi yang berhubungan dengan fokus permasalahan penelitian. Kepustakaan yang dipergunakan sebagai bahan dari penelitian ini berupa literatur-literatur, buku-buku, jurnal, laporan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini yang menghabiskan banyak waktu di perpustakaan, baik itu di perpustakaan IREST Paris1 Pantheon Sorbonne, maupun perpustakaan Geografi Sorbonne serta beberapa kali mengunjungi perpustakaan kajian Pariwisata S2 Udayana Bali. Selain itu berupa arsip-arsip Pemerintah Kabupaten Badung dan Tabanan yang menyangkut kebijakan kepariwisataan dan perkembangan kepariwisataan, artikel koran, buletin Pemerintah Kabupaten Badung dan Tabanan, artikel, koran, hasil seminar dan diskusi, serta informasi berupa kondisi perkembangan kepariwisataan dan subak di Kabupaten Badung dan Tabanan dari media elektronik termasuk melalui internet, serta foto-foto kondisi daerah pariwisata di Kabupaten Badung dan Tabanan. 31

3.9 Analisis data Analisis data menurut Spradly (2007) ini tidak terlepas dari keseluruhan proses penelitian. Adapun untuk menganalisis data pada penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: Analisis dengan Metode Perbandingan Tetap, Dinamakan metode perbandingan tetap atau Constant Comparative Method karena dalam analisis data, secara tetap membandingkan satu datum dengan datum yang lain, dan kemudian secara tetap membandingkan kategori dengan kategori lainnya. Metode analisis data ini dinamakan juga Grounded Research, karena awal mulanya ditemukan oleh Glaser & Strauss dan dikemukakan dalam buku mereka The Discovery of Grounded Research. Perlu dipahami bahwa Grounded Research diartikan sebagai filosofi namun juga sebagai metode analisis data (Maloeng, 2010: 288-289). Secara umum proses analisis data diantaranya melakukan reduksi data, dengan mengidentifikasi satuan (unit). Pada mulanya diidentifikasikan adanya satuan yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian. Kemudian melakukan Kategorisasi yakni upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan. Selanjutnya mensintesisasikan berarti mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya. Terakhir adalah dengan Menaik kesimpulan, verifikasi data dalam penelitian ini dilakukan secara terus-menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Setelah proses pengumpulan data peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu mencari pola, tema, hubungan persamanaan, hal-hal yang 32

sering timbul dan hipotesis yang dituangkan dalam kesimpulan. Akan Tetapi, sebelum disimpulkan hasil analisis ditafsirkan terlebih dahulu untuk memperoleh kesesuaian dengan hasil yang ingin dicapai. Untuk mempermudah menarik kesimpulan, khusnya dalam melihat komparasi konflik di dua kabupaten maka penulis menyusun tabel sejarah konflik dan tipe konflik serta faktor yang menyebabkan konflik antara Kabupaten Badung dan Tabanan atas asumsi penulis sendiri. 3.10 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data merupakan kegiatan akhir dari seluruh proses penelitian yang nantinya dapat berupa laporan penelitian ilmiah dalam bentuk tesis. Penyajian dari hasil analisis data ini disajikan secara naratif dan ditunjang dengan tabel, bagan dan gambar. Hal ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas hasil penelitian yang kemudian disertai dengan interpretasi hasil analisis sesuai dengan teori dan kerangka pemikiran yang berlaku umum. 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Badung dan Tabanan 4.1.1 Kondisi Geografis di Kabupaten Badung Gambar 4.1 Peta Kabupaten Badung Badung Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_badung Kabupaten Badung adalah salah salah satu kabupaten yang berada di daerah propinsi Bali dengan memiliki luas wilayah 418,52 Km2 sekitar 7,44% keseluruhan luas pulau Bali. Kabupaten Badung merupakan daerah beriklim tropis yang memiliki dua musim yaitu kemarau (April-Oktober) dan musim hujan (November-Maret). Dengan curah hujan rata-rata pertahun antara 893,4-2.702,6 mm. Suhu rata-rata 25 30 C, dengan kondisi suhu tersebut menjadikan kelembaban udara di Kabupaten Badung berkisar berkisar 80% - 86%, dengan kelembaban udara rata-rata mencapai 79%. Keadaan curah hujan di bawah rata- 34

rata terjadi pada bulan Februari mencapai -138,7 mm sedangkan hujan di atas rata-rata mencapai 377,9 mm yang terjadi pada bulan Desember. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Februari yang mencapai 31,2 C, sedangkan suhu terendah mencapai 22 C yang terjadi pada bulan September. Secara astronomi wilayah Kabupaten Badung terletak pada 8 14 20-8 50 48 Lintang Selatan dan 115 26 16 Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: - Utara : Kabupaten Buleleng - Timur : Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar - Selatan : Samudera Indonesia - Barat : Kabupaten Tabanan Wilayah Kabupaten Badung secara administrasi dibagi menjadi 6 wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Petang, Kecamatan Abiansemal, Kecamatan Mengwi, Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Selatan. Untuk pemerintahan desa di Kabupaten Badung terdapat 16 Kelurahan, 46 Desa, 369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan dan 4 Lingkungan Persiapan. Penduduk Badung merupakan modal dasar pembangunan yang menjadi subjek pembangunan disegala bidang yang merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah haruslah mendapatkan perhatian di dalam pengelolahaanya. Berdasarkan data BPS Kabupaten Badung jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah sebanyak 388.514 jiwa, yang sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor pariwisata yang mencapai 34,22% dan pada bidang pertanian hanya sebanyak 21%. 35

Wilayah Kabupaten Badung yang berada di ujung selatan pulau Bali memiliki potensi yang sangat strategis di dalam pembangunan pariwisata, yang dijadikan sektor unggulan utama prioritas pembangunan. Berdasarkan Peraturan Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005 tentang Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung ditetapkan 33 objek wisata yang tersebar di seluruh kecamatan, yang berupa wisata alam, wisata budaya dan wisata remaja. Wisata alam yang dikembangkan di Badung banyak berada dipesisir pantai karena dari 25 jenis wisata alam 19 diantaranya merupakan wisata pantai. Sedangkan wisata budaya yang dikembangkan di Kabupaten Badung dengan keberadaan tempat suci khususnya pura. Selanjutnya wisata remaja hanya terdapat 3 objek yakni Monumen Garuda Wisnu Kencana (GWK), kolam renang Water Bom Park dan SPA serta bumi perkemahan Blahkiuh. Meskipun demikian penelitian di Kabupaten Badung ini lebih banyak mengeksplor wilayah Kuta Utara tepatnya di Kelurahan Kerobokan. 36

Gambar 4.2 Peta Kerobokan Sumber; http://www.google map 15 Januari 2011 Penelitian ini lebih banyak dilakukan di Kerobokan, studi ini mengkaji tentang masalah yang menyangkut pada konsumsi air, manajemen air, dan konflik air oleh PDAM dan subak. Terutama tentang dampak perkembangan infrastruktur pariwisata terhadap masalah air. Kerobokan adalah adalah sebuah kelurahan yang terletak di kecamatan kuta utara, Kabupaten Badung Bali. Letaknya berdekatan dengan destinasi pariwisata: kuta, legian, dan seminyak yang lahan pertaniannya relatif terbatas karena adanya pengembangan jalan, hotel, villa, kantor dan stasiun. (Martini Dewi, 2008). Kemudian kita dapat melihat Kerobokan berada pada 18 km dari barat Denpasar di Kuta Utara. Pada tahun 2010 populasi penduduk Kuta Utara sebanyak 60.360 jiwa. Sedangkan jumlah populasi di Kerobokan yakni 28.973 jiwa. Pada Kecamatan Kuta Utara ini memiliki 3 Kelurahan dan 4 Desa. 37

4.1.2 Kondisi Geografis di Kabupaten Tabanan Gambar 4.3 Peta Kabupaten Tabanan Tabanan coordinate: 8 14'30"-8 30'70" LS; 114 54'52"-115 12'57" BT Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_tabanan Kabupaten Tabanan sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Bali, terletak pada posisi 080 14 30 sampai 080 38 07 Lintang Selatan dan 1140 54 52 sampai 1150 12 57 Bujur Timur. Dilihat dari persepektif topografinya daerah Kabupaten Tabanan merupakan daerah dengan ketinggian 0-1000 M dari permukaan laut. Di wilayah bagian Utara merupakan pegunungan berbukit-bukit yang melandai ke arah Selatan. Wilayah Kabupaten Tabanan seluas 839,33 km 2 yang merupakan 14,90% dari luas pulau Bali (5.632,86 km 2 ). Wilayah Kabupaten Tabanan terdiri dari kawasan sawah seluas 23.464 Hektar, tanah kering seluas 60.469 Hektar, kawasan hutan lindung seluas 10.418 Hektar, kawasan penyangga 38

seluas 32.768, kawasan budidaya seluas 28.613 Hektar dan kawasan non budidaya seluas 12.224 Hektar. Dengan jumlah populasi penduduk Tabanan sebanyak 404.000 jiwa. Serta jumlah kunjungan wisatawan asing maupun domestik sebanyak 3.200.000 per tahun. Peningkatan jumlah wisatawan juga terus bertambah sebesar 13 % hingga awal 2011. Kabupaten Tabanan ini memiliki 13 destinasi pariwisata serta 13 objek wisata yang masih dalam tahap pengembangan. Sebagai sarana penunjang pariwisata Kabupaten Tabanan memiliki 3 hotel berbintang 150 hotel melati dan 25 Restoran. Kabupaten Tabanan terdiri dari 10 kecamatan yaitu Kediri, Marga, Baturiti, Tabanan, Kerambitan, Selemadeg, Selemadeg Timur, Selemadeg Barat, Pupuan dan Penebel. Kesepuluh kecamatan tersebut terdiri dari 123 desa, 753 banjar dinas dan 333 desa adat. Batas wilayah administratif Kabupaten Tabanan adalah Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, Timur berbatasan dengan Kabupaten Badung, Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jembrana. 4.2 Sejarah Pengelolaan Air Di Bali Air bagi masyarakat Bali adalah hal yang vital yang harus tetap dijaga kelestariannya, pada awalnya air di Bali adalah milik publik bukan milik pribadi yang pengelolaannya diatur berdasarkan etika, upacara dan organisasi seperti subak. Sehingga siklus air yang utama pada saat itu adalah untuk mengairi sawah selebihnya untuk konsumsi seperti masak, mandi dan mencuci. Untuk melihat 39

fungsi dan manajemen air antara dahulu dan sekarang maka Lebih lanjut akan kita kaji sejarah air di Bali. Menulis sejarah air di Bali ini akan lebih banyak mengutip sejarah air di Bali sebagaimana tulisan yang telah di publikasikan oleh (Yayasan Wisnu: 2001) yang dapat kita lihat melalui beberapa periode sebagai berikut: 4.2.1 Sejarah Pengelolaan Air Jaman Kolonial Belanda Pemerintahan kolonial Belanda mulai masuk di Bali sejak tahun 1882 dan efektif melaksanakan kolonialisasi sejak 1908 ketika Kerajaan Klungkung takluk kepada Belanda, dan Singaraja dipilih sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Bali dan Lombok. Mulailah Belanda mengeksploitasi sumber daya alam. Meskipun Bali tidak memiliki hasil yang menonjol, Belanda memaksakan niatnya dalam beberapa sektor seperti pelipatgandaan beras, sapi, kopi dan babi. Untuk mendapatkan hasil yang lebih, Pemerintah Belanda mengeluarkan aturan yang baru tentang pajak, khususnya tanah. Pajak tanah merupakan pemungutan pajak berupa kepala 2/3 hasil panen sawah negara yang pemungutannya dilakukan lewat pemerintahan Swapraja. Oleh kepala swapraja 2/3 hasil panen yang dipungut tersebut dijual kepada pedagang Cina atau perusahaan Belanda. Uang hasil penjualan kemudian diserahkan pada Residen yang berkedudukan di Singaraja. Kepala Swapraja dan Kaum Puri yang ditunjuk untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan Swapraja mendapatkan gaji dari pemerintah Hindia Belanda di Bali. 40

Di samping itu Pemerintah Belanda juga menata pengairan dengan menempatkan Ir Sipil yang bernama WG Happe sebagai pejabat Waterstaats Dients untuk daerah Bali Selatan. Irigasi subak mulai diperbaiki dengan membangun dam misalnya dam Pejeng (1914), dam Mambal (1924), dam Oongan (1925), dam Kedewatan (1926), Dam Peraupan (1926), Dam sidembuntut (1926) dan dam Apuan Bekutel (1928). Pembangunan ini tentunya sesuai dengan kepentingannya untuk mendapatkan hasil pajak yang lebih meningkat (Suadnyana, 1993 dalam Yayasan Wisnu: 2001). Tidak cukup hanya dengan menerapkan pajak yang tanah dan hasil-hasil pertanian, kemudian Belanda ingin merintis satu sektor dalam perekonomian Bali yang berhubungan erat dengan keadaan sosial budaya masyarakat Bali yaitu bidang pariwisata. Menurut golongan liberalisme Belanda agar penjajahan oleh Belanda tidak sia-sia dan lebih efektif. Maka dikembangkanlah pariwisata di Bali. Sejak saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda mulai membangun sarana wisata seperti tempat akomodasi, restoran, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi dan lainnya. Meskipun pada awalnya ada golongan lain dari kaum penjajah itu sendiri yang menolak pencanangan pariwisata ini, akan tetapi masalah ini hingga berujung di parlemen yang menatakan pariwisata dapat di kembangkan di Bali. Pada tahun 1924, Pemerintah Belanda telah mengoperasikan Bali Hotel yang terletak di lingkungan Puri Denpasar. Kemudian di Kuta dibangun Hotel Suara Segara oleh Avonturir Amerika yang bernama Ketut Tantri. Di Puri Ubud Gianyar digunakan juga sebagai penampungan wisatawan dalam bentuk 41

homestay. Prasarana yang dibangun meliputi jalan menuju obyek wisata, dan jaringan telepon. Untuk pintu masuk ke Bali, pemerintah membangun pelabuhan Benoa di Badung dan pelabuhan Pabean di Singaraja serta lapangan udara di Tuban. Agar pembangunan yang direncanakan berjalan lancar, dibuatlah aturan pengelolaan baru. Tidak mungkin penjajah akan membantu masyarakat yang dijajah. Politik Etis tetap menjadi gagasan minor di masyarakat penjajah. Kolonialisme hanya memberi perhatian besar pada usaha untuk menyedot kekayaan alam sebesar-besarnya. Pemerintah Belanda mulai melirik air sebagai komoditas unggulan dalam pengembangan pariwisata. Prasarana penyediaan air sudah disiapkan sejak tahun 1927 untuk kawasan Bali Selatan. Pada Tahun 1932 Denpasar telah mempunyai sistem pelayanan air dengan sumber mata air dari Dusun Riang Gede Kabupaten Tabanan, yang berkapasitas produksi sebesar 14 liter/detik (Yayasan Wisnu: 2001). 4.2.2 Pengelolaan Air Jaman Awal Kemerdekaan Saat itu energi pemikiran lebih banyak digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun demikian, Pemerintah RI sempat mengambil alih perusahaan air minum yang dahulu dikuasai Belanda, menjadi Perusahaan Air Minum Negara, dibawah naungan Departemen PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik). Jumlah pelanggan pada saat itu sebesar 426 sambungan (Yayasan Wisnu: 2001). Jadi pada masa ini, terjadinya perpindahan dalam manajemen dan 42

kepemilikan air dari pemerintah Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia, saat menjelang kemerdekaan. Air yang digunakan untuk pertanian masih dikelola oleh subak. Sehingga intervensi Pemerintah Indonesia saat itu belum begitu besar. Pemerintah Indonesia malah melanjutkan program yang belum diselesaikan, seperti Bendung Cangi, Bendung Munggu, Bendung Gadon. Pembuatan dan perawatan Irigasi yang lain tetap dilakukan oleh petani (subak). 4.2.3 Pengelolaan Air Jaman Tahun 1960 sampai 80-an Kebijakan pertanian pada awal Repelita I adalah meningkatkan produksi pertanian. Untuk mendukung itu, pemerintah berusaha untuk merehabilitasi bangunan irigasi yang telah ada sejak pemerintah Hindia Belanda. Pada saat yang sama, pemerintah mengundang CIBA, sebuah perusahaan dari Swiss untuk membantu Indonesia, dan timbullah program Bimas pada tahun 1971. Dalam program ini, petani diminta menanam padi jenis tertentu dengan perlakuan pengairan tertentu. Hasilnya pada tahun 1974 sukses besar, karena 48% petani ikut program. Tiga tahun kemudian, meningkat lagi dengan 70% petani mengikutinya (lansing, 1987 dalam Yayasan Wisnu: 2001). Kemudian pada awal tahun 70-an telah ada penyediaan air dalam kemasan botol, pada masyarakat kelas menengah atas dapat membeli air botol ini. Pemasaran air kemasan ini sangat meningat. Sehingga pada tahun 1973 group AQUA mengetahui sebuah hubungan mudah dalam pemasaran ini hingga pada awal tahun 1980-an. sebuah pilihan yang sangat strategis terkait dengan kondisi, 43

paking yang mudah dan strategi harga, AQUA menjadi leader dalam pemasaran air. ( Anonim, 2003). Kemudian pada jaman ini konflik antar sektor seperti air minum, irigasi, pembangunan jalan, perumahan semakin sering terjadi. Namun seperti jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sektor yang mendukung pariwisata yang selalu dimenangkan. Sektor yang sering sekali dikalahkan, terutama pada era 80- an adalah sektor pertanian. Akibatnya sektor pertanian menjadi profesi yang terpinggirkan. Oleh sebab itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian setahunnya hampir mencapai 1.000 ha per tahun. Ini merupakan hasil studi Kanwil Dikbud Bali dan Universitas Udayana Tahun 1993 di Denpasar, tentang perkembangan alih fungsi lahan dapat pula di lihat pada perkembangan infrastruktur di Kabupaten Badung. 4.2.4 Pengelolaan Air Tahun 1990-an Urusan air tidak juga selesai. Fungsi pengelolaan air semakin bergeser untuk memanjakan pariwisata. Akibatnya konflik pemanfaatan air semakin tidak bisa dihindari, tidak hanya antar petani, tetapi sudah terjadi antar institusi yang berbeda. Sebagai contoh adalah konflik antara PDAM dengan subak di aliran Yeh Ho, dimana para petani menuntut pengelolaan air dikembalikan kepada petani. Di dalam pengelolaan air bersih, terjadi pula perubahan mendasar, dimana pengelolaan air sudah dapat dilakukan oleh perusahaan swasta pada tahun 1990. Melalui kerjasama dengan PDAM Badung, PT Tirtaartha Buanamulia mengelola 44

air bersih guna melayani daerah Nusa Dua. Di samping itu, Pemerintah juga mengeluarkan ijin perusahaan air minum kemasan untuk mengambil air dari mata air sebanyak 21 perusahaan. Pada kondisi pengelolaan yang paling krusial, air telah menjadi komoditas ekonomi yang besar. Pada titik ini kita sudah bisa melihat adanya pergeseran air dari publik menjadi privat. Ketika air sudah mulai dimiliki privat maka fungsi air akan mulai bergeser mengarah pada sektor ekonomi dan keuntungan. 4.2.5 Kondisi Air di Bali Tahun 1998 Pulau Bali yang luasnya 5.632,86 km 2 mempunyai sumber air dari air hujan, aliran permukaan, mata air, air danau/ waduk dan air tanah. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 1.000 mm di daerah pantai dan 3.000 mm di pegunungan. Jika dilihat dari curah hujan rata-rata tahunan (2.106 mm), maka Bali memiliki curah hujan yang cukup tinggi dibanding daerah Nusa Tenggara. Curah hujan tersebut satu tahun menghasilkan potensi ketersediaan air untuk Bali sebesar 5.964,35 juta m 3 yang berasal dari Danau mempunyai volume air 1.015,05 juta m 3 ; Air Sungai 4.125,58 juta m 3 ; 500 buah mata air sebesar 422,59 juta m 3 dan air tanah yang dapat dieksploitasi sebesar 401,14 juta m 3 (Bappeda, 1998) atau mempunyai debit rata rata 189,12 m 3 /detik. Penggunaan air dari potesi tersebut meliputi:2.294,83 juta m 3 untuk pertanian, 8,8 juta m 3 pariwisata, 82,1 juta m 3 untuk keperluan rumah tangga, 94,36 juta m 3 peternakan dan perikanan dan lain-lain (Bappeda, 1998). 45

4.2.6 Sejarah PDAM Badung Ketika membahas sejarah air maka lebih lengkap ketika kita memasukan sejarah air yang di kelola oleh PDAM di Badung. keberadaan sistem penyediaan air minum di Kabupaten Badung telah ada sejak jaman Belanda, sekitar tahun 1932. Sistem penyediaan air minum pada jaman itu dikenal dengan nama Perusahaan Air Minum Negara dengan menggunakan sumber air Baku dari mata air Riang Gede di Kabupaten Tabanan. Selanjutnya, pada tahun 1945 ata Era kemerdekaan Perusahaan Air Minum Negara Berubah menjadi perusahaan air minum yang dikelola langsung oleh Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik daerah Tk. I Bali. Dalam Rangka Colombo Plan pada tahun 1971 pemerintah Australia memberikan bantuan dana yang kemudian digunakan untuk membuat Pipa Transmisi, Resevoir, Pipa Distribusi dan sambungan rumah serta sumur bor. Kemudian pada tahun 1975, Perusahaan Air Minum berubah nama menjadi Perusahaan Air Minum Daerah Tingkat II Badung sesuai dengan surat keputusan Direktorat Teknik Penyehatan Nomor 93/KPTS/1975 tertaggal 21 Oktober 1975. Penggunaan nama Perusahaan Air Minum Daerah Tingkat II Badung kemudian diubah lagi menjadi PDAM Kabupaten Daerah Tingkat II Badung berdasarkan Peraturan Daerah No 5/ perda/ 1976. Seiring dengan penerapan otonomi daerah PDAM Daerah Tingkat II Badung diubah menjadi Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Badung (Profil PDAM tahun 2010). 46

Diagram 4.1 Prediksi Air di Bali Sumber: Viva news, 2 Januari 2011 Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, mengutarakan krisis air sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1995 ketika terjadi defisit air sebanyak 1,5 miliar meter kubik per tahun. Defisit air terus meningkat menjadi 7,5 miliar meter kubik per tahun dan pada 2015 diperkirakan meningkat menjadi 27,6 miliar meter kubik per tahun (Walhi, 2011). Dampak krisis air akan lebih besar terasa di Kabupaten Badung yang merupakan sentra pariwsata. Pembangunan fasilitas pendukung pariwisata seperti hotel dan restoran tumbuh pesat terutama di kawasan Kuta, Jimbaran, dan Nusa Dua yang mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya. 47

Tabel 4.1 Neraca Ketersediaan Air Tanah dan Mata Air dengan Kebutuhan Air Non Irigas Kabupaten Badung dan Tabanan Tahun 1997 dan 2000 No Kabupaten Potensi (Juta/ m3) Tahun 1997 Tahun 2000 Kebutuhan (Juta/ m3) Balence (Juta/ m3) Kebutuhan Juta / m3 Balance (Juta / m3) 1. Badung dan 119.83 1015.76-895.93 1290.46-1170.63 Denpasar 2. Tabanan 175.34 127.78 47.56 159.58 15.76 Sumber: Bappeda 1998 Sekarang kita bisa melihat data singkat tentang perbandingan air menurut hasil riset Yayasan Wisnu (2011) tersebut di atas. Akumulasi jumlah potensi air tersebut sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan air. Tetapi perlu diingat, bahwa tidak semua potensi air dapat dimanfaatkan, karena jika air danau, waduk, mata air akan menjadi kering, kapasitas air hujan untuk mengisi mengisinya kembali tidak mencukupi. Di samping itu, lokasi sumber air sangat menyebar dan prasarananya belum semua dibangun. Oleh karena itu, jika dilihat dari neraca penggunaan air di tiap kabupaten, Kabupaten Badung dan Kota Denpasar telah defisit 895 juta m 3 per tahun, yang berarti bahwa mereka membutuhkan suplai air dari luar kabupaten. Kebutuhan akan adanya air bersih memang tidak dapat dihindari, karena perkembangan penduduk yang meningkat. Selain itu sumber-sumber air bersih 48

semakin berkurang. Rasio penggunaan air bersih di Bali berdasar data dari BPS 1999 ternyata 90,51% adalah kelompok dari pelanggan rumah tangga, sedang sisanya sebanyak 9,49% merupakan kelompok pelanggan lainnya seperti badan sosial, kantor, industri, hotel dan lainnya. Rasio kebutuhan air bersih antara penduduk dan pariwisata, berdasar studi Yayasan Wisnu, dapat dilihat dalam perhitungan sebagai berikut. Kebutuhan air bersih per orang per hari 120 liter, sementara kebutuhan per kamar hotel per hari adalah 1500 liter. Jumlah penduduk Badung tahun 2000 adalah 344.617 orang. Maka kebutuhan airnya adalah 41.354 m 3 per hari. Sementara jumlah kamar hotel adalah 27.000, sehingga kebutuhan airnya adalah 43.124 m 3 per hari. Akumulasi kebutuhan hotel dan rumah tangga sebesar 84.478 m 3 perhari.. 4.3 Dinamika Konflik di Kabupaten Tabanan Mengkaji masalah konflik air di Tabanan sangat erat kaitannya dengan irigasi pertanian (subak) yang ada di wilayah ini. Dalam interaksi antar sesama manusia perbadaan pendapat dan perbedaan kepentingan tidak bisa dihindari. Perbedaan tersebut berpotensi untuk memicu terjadinya perselisihan atau konflik antara berbagai kelompok masyarakat. Untuk mengetahui kronologis konflik serta faktor yang melatar belakangi konflik di Kabupaten Tabanan tulisan ini akan banyak menelaah hasil riset yang dilakukan oleh Sutawan (2008 : 379-420). Selanjutnya akan dibicarakan contoh-contoh kronologis dari konflik berdasrkan faktor-faktor pemicu konflik sebagai berikut: 49

4.3.1 Kelangkaan air Air bukan saja dibutuhkan untuk kegiatan pertanian tetapi juga untuk berbagai keperluan sesuai dengan tuntutan dan pola kehidupan masyarakat modern. Misalnya, untuk keperluan domestik (rumah tangga seperti untuk mandi, dan air minum), industri, pembangkit tenaga listrik, hotel beserta restoran. Kelangkaan air merupakan faktor yang paling berpotensi menjadi sumber pemicu konflik semakin langka air yang tersedia dalam suatu subak semakin sering terjadi perselisihan yang berhubungan dengan pemanfaatan air. Kelangkaan ini terjadi terutama pada musim kemarau. Sehingga pada saat bukan kemarau konflik sulit ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Faktor kelangkaan air ini memicu masyarakat melakukan hal-hal yang melanggar normatif atau aturan bersama yang telah tertulis dalam hukum adat Bali yakni awig-awig. Akan tetapi keadaan yang memaksa seperti sawah yang kekeringan air mendorong petani melakukan pencurian air, proses pencurian air inipun dilakukan dengan berbagai cara misalnya membuar lubang di dinding saluran sehingga air langsung dapat masuk ke sawah miliknya sendiri, merusak bangunan bagi (tembuku) terutama jika masih belum permanen sehingga mudah dilubangi dan karenanya air akan banyak masuk ke saluran yang akan membawakan air ke petak sawah miliknya sendiri, menutup tembuku milik anggota lain atupun milik tempek lain yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lain yang airnya ditutup itu. Selain itu Perusahaan Air Minum dengan menggunakan jaringan pipa air maupun botol kemasan juga memerlukan air baku. Mengingat sumber air terbatas, 50

sedangkan kebutuhan semakin bertambah maka konflik kepentingan antara berbagai pengguna sulit dihindari. Lebih lanjut dijelaskan Ketua Perhimpunan Pakaseh-Pakaseh (Forum Pakaseh se-kabupaten Tabanan) atau Sabantara Pakaseh bahwa konflik antara PDAM dengan subak sering juga terjadi di Tabanan. untuk menghindari konflik disarankan olehnya supaya PDAM mengambil air dari sumber-sumber air yang masih tersedia di bagian hilir sungai sehingga tidak sampai mengurangi air yang masuk ke wilayah persubakan. Sementara itu, ketua dari sebuah LSM yang ada di Karangasem pernah mengatakan bahwa PDAM dan juga pihak-pihak yang banyak memanfaatkan air seperti industri pariwisata seharusnya mau bekerjasama dengan pihak subak dan bersedia memberikan bantuan dana untuk melakukan penghijauan di sepanjang DAS agar mata air bisa terpelihara. Pada masa-masa yang akan datang, jika sumber air dapat dijaga kelestariannya tentu subak dan PDAM dapat berbagi air dengan pihak PDAM. Dalam upaya menjaga lingkungan dan sumber air secara spiritual, subak-subak di Bali melaksanakan ritual. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, seperti untuk upacara pekelem di Pura Ulun Danu dalam rangka pelestarian danau sebab danau-danau di Bali merupakan sumber air bagi sungaisungai di Bali. Para petani di Bali sudah cukup berjerih payah menjaga kelestarian sumberdaya air secara spiritual. Masyarakat nonpetani yang ikut memanfaatkan air, seperti industri pariwisata atau PDAM, seharusnya ikut peduli dan berpartisipasi menjaga kelestarian sumber-sumber air melalui cara-cara lain seperti melalui proyek-proyek penghijauan dan penghutanan kembali. Dengan 51

cara bekerjasama memelihara dan melindungi sumber-sumber air maka, kelestarian sumberdaya air dapat diwujudkan. (Sutawan, 2008: 390). Menurut laporan dari (Viva News, 2 Januari 2011) Konflik atas air ini pernah terjadi di Subak Yeh Gembrong dengan PDAM di Yeh Gembrong, Kabupaten Tabanan. Subak Jatiluwih dengan pihak swasta di Jatiluwih, Penebel, Kabupaten Tabanan. Konflik perebutan air Telaga Tunjung PDAM Tabanan. subak-subak mulai mengeluh ketika sumber mata air untuk irigasi disedot oleh PDAM. Mengenai konflik kelangkaan air antara petani subak dan PDAM dapat di lihat dari kasus subak Yeh Gembrong dengan PDAM kemudian, Subak Mangesta terhadap pengeboan ABT oleh hotel Vita Life di Wongaya Betan hingga petani jatiluih yang mengeluh keberadaan sumur bor mereka (Walhi: 2008). Kelangkaan air irigasi dalam pertanian ini juga di jelaskan oleh petani Subak Nyoman (40) yang menyatakan bahwa kelangkaan air subak sering terjadi pada musim kemarau sehingga saya harus menyari aliran air dan membuat irigasi kecil hingga air dapat masuk ke sawah saya. Lebih dari itu kalau mau dibandingkan dengan dulu jumlah mata air yang masuk kesawah lebih mengecil. Artinya adanya pengurangan kuantitas air yang masuk ke lahan pertanian. Kelangkaan air ini kemudian memunculkan Kasus konflik, seperti terjadi di subak Rum dalam lingkungan Pasedahan Yes Empas Utara, Tabanan. Perselisihan antara tempek yang di hulu dengan tempek yang di hilir, terutama pada musim kemarau dalam bentuk pencurian air oleh tempek yang di hilir, 52

misalnya dilaporkan oleh (Parwata 1991: 85-86 dalam Sutawan 2008). Pada musim kemarau tahun 1977, tempek Sanganan Kawan mencoba meminjam air dari Tempek Bubugan, namun tidak disetujui dengan alasan Tempek Bubugan sendiri juga kekurangan air. Karena permohonannya ditolak maka terpaksa Subak Sanganan Kawan mencuri air dari tempek yang di hulu itu. Kelihan Tempek Bubugan protes dan melaporkan pencurian ini kepada pekaseh. Kemudian, pekaseh menindaklanjuti dengan mempertemukan kedua kelihan tempek bersangkutan. Pihak tempek yang di hilir tetap bersikeras bahwa selama tidak diberikan meminjam air pada saat-saat membutuhkan maka pencurian akan tetap dilakukan. Sedangkan, pihak Tempek Bubugan tetap tidak setuju untuk memberikan air kepada Tempek senganan Kawan. Karena perselisihan ini tidak dapat diselesaikan pada tingkat subak, maka pekaseh meminta bantuan Sedahan Yes Empas Utara untuk menyelesaikannya. Setelah bernegosiasi kembali dengan pihak-pihak terkait dengan dipimpin oleh sedahan, akhirnya Tempek Bubugan mengalah dan bersedia memberikan air kepada Tempek senganan kawan dan untuk selanjutnya diadakan distribusi air secara bergilir. Jadi, rupanya dalam banyak kasus, sedahan dan sedahan-agung dalam penyelesaian masalah konflik baik antartempek, maupun antarsubak masih diharapkan oleh banyak subak karena cukup disegani oleh para petani. Lebih lanjut (Parwata, 1991 dalam Sutawan, 2008: 394). Menjelaskan Kasus lainnya tentang konflik karena kekurangan air sering terjadi antara tempek I dengan tempek II dalam lingkungan Subak Gunggungan di wilayah pasedahan Yes Empas Selatan, Tabanan. setiap musim tanam padi yang dimulai sekitar bulan 53

Juli/Agustus, bertepatan dengan musim kemarau, tempek I yang letaknya lebih di hulu dari Tempek II selalu menutup bagian air untuk tempek II. Berhubung waktu tanam bersamaan maka tentu saja tempek II tidak bisa bertanam akibat tidak ada air, sehingga melaporkannya kepada pekaseh. Setelah bernegosiasi dengan pihakpihak terkait, akhirnya diputuskan dan disepakati oleh kedua pihak, yaitu bahwa jadwal tanam perlu dirubah dan dilakukan secara bergilir. Tempek II mengundurkan jadwal tanamnya, yakni satu minggu setelah tempek I. Selain itu, konflik masalah air juga terjadi sekitar tahun 1983 antara dua subak yang masih dalam lingkungan Pasedahan Yeh Empas Selatan. Ini terjadi setelah ada bantuan peningkatan jaringan irigasi Subak Lanyah. Karena air yang masuk ke Subak lanyah dipandang mencukupi, maka pihak pemerintah menyarankan agar sebagian dari air untuk Subak Lanyah tersebut juga diberikan kepada Subak Pasut. Menurut pengamatan Dinas PU, air yang masuk ke Subak Lanyah cukup memadai untuk dibagikan sebagian kecil kepada Subak Pasut. Subak Lanyah pada mulanya setuju saja mungkin karena ada bantuan peningkatan sistem irigasinya itu, sedangkan Subak Pasut sendiri tidak mendapat bantuan serupa itu. Lagi pula, Subak Pasut tentu saja merasa senang karena akan mendapat tambahan air, walaupun sudah punya empelan sendiri. Namun, setelah proyek selesai malahan Subak Lanyah masih juga merasa bahwa air tidak mencukupi jika diberikan sebagian kepada Subak Pasut terutama pada musim kemarau. Dengan alasan itu, pihaknya menutup ambang bangunan bagi yang menuju Subak Pasut dengan papan. Subak Pasut protes dan melaporkannya kepada Sedahan Yeh Empas Selatan dan pengamat pengairan dari Dinas PU. Hasil pertemuan kedua 54

pejabat beserta pengurus dari kedua subak, diperoleh kesepakatan supaya Subak Lanyah membuka kembali ambang bangunan bagi yang tadinya ditutup dengan papan tersebut. Akan tetapi Subak Lanyah kembali menutup bangunan bagi tersebut bahkan dengan semen. Kejadian ini dilaporkan kembali oleh Subak Pasut kepada kedua pejabat tersebut. Kata sepakat juga belum berhasil ditemukan, karena Subak Lanyah tetap tidak bersedia berbagi air dengan Subak Pasut, dan Subak Pasut sendiri tetap menuntut hak yang pernah dijanjikan oleh pemerintah. Karena menemui jalan buntu, maka kasus ini diteruskan kepada Sedahan-agung dan Dinas PU Kabupaten Tabanan. Perundingan kemudian diadakan di Kantor Kecamatan Tabanan dipimpin oleh Sedahan-agung bersama-sama Dinas PU Tabanan dan diikuti selain oleh pengurus kedua subak, juga Sedahan Yeh empas Selatan, Koramil, dan Kapolsek Tabanan. Dalam perundingan itu, Subak Pasut bersedia untuk tidak diberikan pembagian air asalkan jaringan irigasinya juga ditingkatkan dengan banguan pemerintah. Hal ini terjadi hanya karena adanya kecemburuan antar petani subak yang antara yang mendapatkan bantuan dan tidak. Berbeda halnya dengan keterangan Made (30) petani yang tidak menggunakan subak, akan tetapi mereka menggunakan aliran air pura, karena sawah mereka dekat dengan Pura meskipun mereka tidak akan terlibat konflik dengan petani subak lainnya namun mereka menjelaskan bahwa:... jumlah mata air pura di wilayah Gunung Kawi inipun mengecil dari dahulu, bahkan kalau musim kemarau tidak jarang sawah saya ini 55

kekurangan air karena air yang tersedia hanya untuk keperluan pura saja. Saya tidak protes ke pada siapapun karena hanya sawah saya yang dibantu air pura, kalau sawah mengering saya membuat kerajianan lampu tidur dari tempurung kelapa.... Berdasarkan keterangan tersebut, kelangkaan air tidak hanya terjadi untuk subak akan tetapi pada selain subakpun air di wilayah ini mengalami kelangkaan terutama pada musim kemarau. Selanjutnya menurut Setiawan 1986, dalam Sutawan: 2008) Kasus konflik juga terjadi antar petani sering terjadi di subak Kesiut dalam lingkungan DI Cagub, Tabanan, pada waktu belum ada proyek peningkatan jaringan irigasi. Misalnya, pada musim kemarau tahun 1973, banyak terjadi pencurian air oleh para petani yang sawahnya sangat membutuhkan air. Setiap malam petani terpaksa berjaga-jaga di sawahnya bahkan dengan mempersenjatai diri dengan senjata tajam namun, tidak pernah sampai terjadi perkelahian. Untuk menghindari permasalahan ini, maka pekaseh mengadakan rapat anggota dan berhasil membuat kesepakatan sebagai berikut: a. Di wilayah subak Kesiut diberlakukan jam malam, mulai dari pukul 18.00 sampai pukul 06.00 pagi. b. Setiap malam diadakan patroli oleh petugas khusus yang terdiri dari 10 orang. Penugasan dilakukan secara bergilir di antara anggota-anggota subak. c. Bagi anggota subak yang tertangkap basah melakukan pencurian dikenai denda sebesar Rp 2.000,- 56

Sejak konstruksi proyek peningkatan jaringan irigasi selesai dan mulai difungsikan sekitar tahun 1980, konflik antara anggota-anggota subak karena pencurian air menjadi jauh berkurang, karena bangunan bagi dan saluran irigasi sudah banyak yang menjadi lebih permanen. Meskipun demikian, untuk mencegah pencurian air pada musim kemarau maka melalui rapat subak dicapai kesepakayan mirip seperti kesepakatan yang diberlakukan di tahun 1973 tersebut di atas sehingga masalah pencurian air di Subak Kesiut dapat dicegah. Isi kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat subak tahun 1982 adalah: a. Dilarang petani pergi ke sawah pada malam hari, kecuali pengurus subak yang sedang mengawasi distribusi air. b. Distribusi air diprioritaskan untuk sawah-sawah yang benar-benar sangat memerlukan air di bawah koordinasi pekaseh. c. Pencuri air akan dikenai sanksi berupa denda sebesar satu kuintal gabah jika dilakukan pada siang hari dan dua kuintal jika pada malam hari. 4.3.2 Alih Fungsi Lahan Sawah Banyak kejadian di mana subak-subak yang sebagian dari areal persawahannya sudah beralih fungsi menjadi perumahan maupun fasilitas umum seperti jalan raya, dan lain-lain memicu perselisihan antara subak dengan kelompok masyarakat lain di luar masyarakat subak karena tidak bisa bertanam padi karena sumber airnya tertutup akibat terputusnya saluran irigasi atau sawah 57

yang mengalih fungsikan pertaniannya dari padi ke non padi juga menimbulkan masalah. Sawah yang dialihfungsikan untuk bertanam tanaman tahunan misalnya cengkeh, anggur, jeruk dan lain-lain dapat juga menjadi penyebab konflik antara petani padi sawah dengan petani yang mengalihfungsikan sawahnya. Sawah-sawah yang digunakan untuk tanaman tahunan tidak banyak membutuhkan air. Akan tetapi, saluran irigasi kadang-kadang masih berfungsi terutama untuk petani padi. Apabila lahan sawah yang dialihfungsikan tersebut ada di bagian hulu dari sistem irigasi, dan saluran irigasi yang masih difungsikan itu melewati lahan yang beralih fungsi tersebut, maka kondisi seperti ini dapat berdampak kurang baik bagi tanaman tahunan yang tidak banyak membutuhkan air akibat rembesan air lewat saluran. Untuk kasus alihfungsi sawah ke arah penggunaan nonpertanian khususnya untuk pemukiman atau fasilitas umum lainnya, rupanya banyak petani yang merasa sangat dirugikan. Ini disebabkan karena saluran-saluran irigasi tidak bisa difungsikan lagi karena sudah ditutup. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan kekecewaan bagi mereka yang masih bertani dan akhirnya dapat memicu kerawanan sosial (Sutawan, 2008: 385). 4.3.3 Proyek-proyek pengembangan irigasi Proyek penggabungan beberapa sistem irigasi kecil menjadi satu kesatuan sistem irigasi yang lebih besar juga kemudian menimbulkan permasalahan. Proyek irigasi Bali, mulai sejak tahun 1980-an melaksanakan proyek-proyek yang menggabungkan beberapa subak menjadi satu kesatuan sistem irigasi. Masing- 58

masing dari subak yang digabung tersebut, pada awal mulanya telah memiliki empelan sendiri-sendiri. Tetapi, setelah penggabungan, semuanya harus mengambil air dari satu bangunan pengambilan (bendung) bersama, sedangkan empelan semula tidak lagi difungsikan. Proyek penggabungan sistem irigasi ini ternyata kurang melibatkan subak-subak terkait dalam proses pengambilan keputusan sehingga aspirasi mereka tidak tertampung. Dengan perkataan lain, pendekatan yang dipakai oleh pelaksana proyek bersifat top down bukannya partisipatif. Penggabungan sistem fisik dari beberapa sistem irigasi kecil tanpa penggabungan sistem sosialnya tentu dapat menimbulkan berbagai permasalahan. (Sutawan: 2008). Secara tradisional bentuk bangunan bagi (tembuku) yang dipakai oleh subak adalah menurut model yang dikenal dengan istilah numbak. Pada sistem numbak, bentuk ambang pembagiannya adalah rata dan semuanya diletakkan pada satu garis lurus atau searah dengan aliran pokok. Kemudian, dengan adanya bantuan pemerintah dalam peningkatan jaringan irigasi sejak tahun 1980-an khususnya bantuan untuk irigasi tersier melalui PIB (Proyek Irigasi Bali), sistem numbak mulai diganti dengan bentuk bangunan yang menyerupai kotak bersegi empat. Bentuk bangunan bagi ini dikenal dengan istilah Box Tersier. Tetapi di kalangan subak, bangunan model baru ini disebut sebagai bentuk ngerirun, perubahan bentuk bangunan bagi dari desain tradisional (numbak) ke model ngerirun kurang dapat diterima oleh petani. Lebih dari itu, dalam pembangunan proyek bantuan tersier ini juga tidak melibatkan petani dalam pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan 59

sampai tahap konstruksinya. Setelah konstruksi selesai para petani baru sadar bahwa bangunan tersebut tidak mereka kehendaki karena tidak merupakan teknologi yang tepat atau tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Sistem ngerirun dirasakan sangat kurang adil sebab ternyata lebih menguntungkan kelompok petani tertentu (Sutawan, 1991: 63-64). Keadaan ini sangat berpeluang menjadi sumber konflik bukan saja konflik antara kelompokkelompok petani, tetapi juga antara kelompok petani dengan pihak pemerintah. Kasus konflik mengenai proyek pembangunan irigasi seperti yng terjadi DI Sungsang seluas (290,6 Ha) dan Subak Blumbang seluas (190,8 Ha), keduanya berada di bagian hilir daerah aliran sungai Ho, Tabanan. Kedua Subak digabung menjadi satu sistem irigasi yang dinamakan DI Sungsang. Bendung baru untuk mengairi kedua subak dibangun sekitar 2.500 meter di hulu empelan Subak Sungsang yang lama. Tahap konstruksi dari proyek penggabungan ini selesai pada tahun 1985. Meskipun demikian, hampir selama tiga tahun sejak selesainya proyek, ternyata sistem irigasi hasil penggabungan ini tidak dapat berfungsi sebagaimana direncanakan. Air hanya dimanfaatkan oleh Subak Blumbang, sedangkan Subak Sungsang terpaksa tetap memanfaatkan air dari empelan miliknya semula. Ini berarti bahwa proyek hanya dimanfaatkan oleh satu subak saja. Perlu ditekankan bahwa proyek ini tidak melibatkan kedua subak mulai dari tahap persiapan sampai tahap konstruksi. Setelah proyek ini berfungsi, kedua subak hampir tidak pernah berkoordinasi secara formal tentang pembagian air yang bersumber dari bendung yang baru itu (Sutawan: 2008). Hal ini dapat dikatakan bahwa kurangnya sosialisasi atau koordinasi atas proyek baru yang 60

dibangun, artinya pembangunan fisik yang dibangun tidak melibatkan pembangunan sosial budaya masyarakat setempat sehingga berdampak pada konflik. Menurut (Sutawan: 2008) kasus konflik mengenai pengembangan irigasi ini juga terjadi di DI Penebel yang juga terletak pada DAS Ho Kabupaten Tabanan, merupakan penggabungan tiga sistem irigasi yang secara keseluruhan mencakup 6 subak dengan luas areal seluruhnya mencapai 760,5 ha. Tiga buah subak diantaranya, yakni berturut-turut Subak Penebel (100,25 ha), Subak Benana (87,95 ha), dan Subak Rianggede (306,17 ha) pada mulanya memiliki empelan sendiri-sendiri. Sementara itu, 3 subak lainnya, yaitu Subak Priyuk (108 ha), Petung Gambang (41 ha) dan Manik Menuh (117 ha), semuanya merupakan subak nataktiyis yang memperoleh rembesan air dari subak-subak yang ada di hulunya. Tahap konstruksi proyek penggabungan ini rampung tahun anggaran 1984/1985. Bendung yang baru ini ditempatkan sekitar 50 meter di hilir empelan Penebel yang lama. Sama halnya kasus DI Sungsang seperti telah diuraikan di atas, proyek ini juga hanya menguntungkan salah satu subak yaitu yang di hulu (Subak Penebel), sedangkan subak-subak lainnya masih mengandalkan air dari sumber yang lama. Subak Penebel dengan luas hanya 100 ha menerima air sebanyak 504 liter, dan Subak Benana yang arealnya Cuma 80 ha mendapat 349 liter per detik dari intake-nya sendiri. Subak Rianggede, yang merupakan subak paling luas (306 ha) hanya menerima 196 liter per detik juga dari intake-nya semula. Subak Rianggede mengeluh debit air yang masuk ke intake-nya mengecil sejak dibangunnya 61

bendung permanen yang baru tetapi hanya dimanfaatkan oleh satu subak saja. Subak-subak terkait juga tidak tahu tentang proyek penggabungan ini karena pendekatannya adalah top down. Subak Penebel tidak pernah meminta untuk digabung dan berbagi air dengan subak-subak lain. Yang diinginkannya tidak lain adalah bantuan perbaikan empelan miliknya semula tanpa harus dimanfaatkan bersama dengan subak lain. Subak ini hanya bersedia memberikan air kepada subak lain apabila dapat dijamin bahwa subaknya sendiri sudah cukup air. Kelima subak lainnya yang direncanakan akan ikut memanfaatkan proyek ini menuntut bagian air dari bendung yang baru. Meskipun mereka diberikan air dari bendung yang baru, namun mereka menginginkan agar empelan mereka yang lama masih diizinkan untuk dimanfaatkan. Alasannya karena air dari bendung yang baru tidak akan mencukupi tanpa ada tambahan air dari empelan yang lama. Melihat keadaan ini kemudian beberapa peneliti dari Universitas Udayana untuk melakukan pilot proyek dengan pendekatan partisipatif agar proyek irigasi itu dapat dimanfaatkan demi kepentingan semua subak terkait. Melalui kerjasama dengan pihak Sub Dinas Pengairan Dinas PU Propinsi Bali dibuatlah usulan Pilot Proyek Pengembangan Sistem Irigasi yang menggabungkan beberapa Empelan/Subak di Kabupaen Tabanan dan Buleleng. Tim peneliti telah berhasil memfasilitasi pembentukan wadah koordinasi antarsubak (subak-gede) dan mereka bersepakat untuk berbagi air yang bersumber dari bendung yang baru dibangun oleh pemerintah. Untuk kasus DI Sungsang, kedua subak sepakat untuk membentuk subak-gede yang dinamakan Subak-gede Tirta Nadi. 62

Dalam lingkungan DI Penebel, juga berhasil dibentuk wadah koordinasi dengan nama Subak-gede Batu Agung. Beberapa kesepakatan yang dicapai oleh subak-subak terkait terutama yang menyangkut pembagian air antara subak-subak terkait yang airnya diperoleh dari bendung yang baru dibangun adalah sebagai berikut. Subak Penebel yang terletak paling di hulu harus rela memberikan dua per lima (40%) dari air yang tersedia kepada Subak Benana dan Subak Rianggede. Selanjutnya, air sebanyak 40 % bagian ini harus dibagi antara Subak Benana dan Subak Rianggede dengan proporsi 4 berbanding 5. Atau dengan kata-kata lain, Subak Benana yang letaknya agak lebih di hulu dari Subak Rianggede, harus memberikan 4 per 9 bagian (= 44,4%) dari air yang dialokasikan bagi kedua subak yang bersangkutan. Pola tanam yang berlaku sebelum penggabungan adalah padi-padi-padi. Akan tetapi, setelah terbentuk subak-gede, pola tanam berubah menjadi padipalawija-padi. Khusus untuk Subak Penebel yang semula menerapkan pola tanam padi terus-menerus bersedia untuk menggantinya menjadi padi-bera-padi. Pada musim hujan, semua subak menanam padi secara hampir bersamaan, tetapi di musim kemarau, yang diberikan kesempatan lebih dahulu untuk menanam ialah Subak Penebel dan dua minggu sesudahnya diikuti oleh Subak Benana dan demikian seterusnya secara bergilir sampai ke hilir. Mereka juga sepakat berbagi tugas dalam pemeliharaan saluran irigasi, yaitu saluran primer menjadi tugas semua subak. Untuk pemeliharaan saluran di bawah saluran primer, hanya menjadi tugas dari subak atau subak-subak yang menerima air dari saluran tersebut. 63

4.3.4 Konflik Akibat Adanya Polusi Air Kasus-kasus konflik akibat pencemaran air irigasi, umumnya sering terjadi di subak-subak yang letaknya berdekatan dengan wilayah pemukiman. Misalnya, beberapa subak di daerah Tabanan mengalami pencemaran air irigasi akibat kotoran ternak babi dan ayam. Kotoran ternak dapat membentuk sedimen pada saluran irigasi. Selain pencemaran yang bersumber dari usaha peternakan, sampah yang hanyut di saluran terutama sampah plastik juga sangat menganggu para petani anggota subak. Pembuangan sampah secara sembarangan oleh penduduk bertebaran ke saluran irigasi yang sekaligus difungsikan sebagai drainase dapat merugikan petani. Dampak dari pencemaran akibat sampah adalah: (i) dapat menyumbat saluran irigasi sehingga meluap ke jalan-jalan umum; (ii) mencemari sawah yang menerima air dari saluran bersangkutan dan mungkin dapat menyebabkan berkembang biaknya berbagai penyakit, dan (iii) menghambat aliran air sehingga menganggu pengalokasian dan pendistribusian air irigasi. Pemerintah daerah sesungguhnya telah mencoba meletakkan tempat-tempat sampah di pinggir jalan dekat saluran drainase supaya penduduk membuang sampahnya di tempat-tempat yang sudah disediakan. Demikian juga kepala-kepala desa sudah diberitahu untuk mendorong warganya supaya tidak lagi membuang sampah secara sembarangan, namun sampai kini masalah sampah ini belum dapat diatasi dengan tuntas. Seperti hasil wawancara yang di lakukan di daerah Ubud, Ketut (55) menyatakan bahwa: 64

sawah saya ini seperti yang anda lihat sampah-sampah masuk di aliran irigasi saya, dan saya yang membersihkannya sendiri mengenai sumbernya ya bermacam-macam namanya juga dipinggir jalan, dekat dengan restoran, hotel, warung, perumahan dsb. Selain polusi sampah saya memagari sawah saya ini dengan jaring karena banyaknya bebek yang masuk di sini. Saya pikir tanah ini tahun depan akan saya kontrakkan saja atau saya jual karena saya sudah tua hasil pertaniannya juga tidak sebanding dengan usaha saya. Penjelasan bapak ini menunjukkan bahwa jika tidak sesegera di atasi masalah sampah ini maka minat petani untuk bertani tentunya berkurang karena hasil produksi banyak lagi karena gangguan polusi di sekitar mereka. Lebih daripada itu, di pinggir sungai banyak dibangun villa dan hotel serta restoran. Dapat diduga limbah yang berasal dari industri pariwisata ini dapat menjadi sumber polutan bagi air sungai. Beberapa petanidari sebuah subak di sekitar Kedewatan Ubud, Gianyar misalnya memberikan informasi bahwa beberapa hotel membuang limbah dari hotel dan restoran ke sungai Ayung yang telah mencemari air sungai dan mata air yang dianggap sakral oleh penduduk setempat. Ternyata yang mengeluh bukan hanya petani dan warga setempat saja tetapi juga perusahaan rafting yang beroperasi di Sungai Ayung karena limbah dari hotel dan restoran sering menebar bau busuk Sutawan (2008). 4.3.5 Konflik akibat lemahnya koordinasi antar aktor (Pemerintah, Petani dan Investor) Mengenai lemahnya koordinasi antar pemerintah dan petani ini juga dijelaskan dalam wawancara bersama salah satu pekerja di museum subak Tabanan, Ni made (35) Januari 2011 menjelaskan mengenai adanya konflik air 65

antara pemerintah dengan petani misalnya kasus PDAM dengan petani karena tidak taunya petani tentang kuota pembagian air, berapa untuk subak dan berapa untuk PDAM lebih lanjut dijelakan pula PDAM mendapatkan air tentunya lebih banyak karena menyangkut konsumsi air bersih meliputi seluruh penduduk maka dibutuhkan sebuah sosialisasi yang jelas kepada petani tentang pembagian air ini. 4.4 Perkembangan Infrastruktur dan Dinamika Konflik di Kabupaten Badung 4.4.1 Jumlah Penduduk dan Infrastruktur di Kabupaten Badung Grafik 4.1 Populasi penduduk Kabupaten Badung tahun 1995-2010 282.548 318.064 374.337 388.514 Sumber: Berdasarkan data BPS Badung antara tahun 1990-2010 Berdasarkan grafik tersebut di atas, pda tahun 1995 jumlah penduduk Badung yakni 282.548 jiwa dan pada tahun 2010 jumlah penduduk mencapai 388.514 jiwa. Dari grafik itu pula kita dapat melihat bahwa adanya peningkatan 66

jumlah penduduk Badung antara tahun 1995 dan 2000, yang mengalami peningkatan sebanyak 35.000 jiwa Kemudian antara tahun 2000 dan 2005 terjadi pula peningkatan jumlah penduduk sebanyak 56.273 jiwa Sedangkan pada tahun 2005 dan 2010 hanya mengalami peningkatan sebanyak 14.177 jiwa. Dapat dikatakan bahawa peningkatan yang lebih tinggi terjadi pada tahun 1995 dan 2005. Akan tetapi antara tahun 2005 dan 2010 peningkatan itu ada namun tidak terlalu banyak diperkirakan bahawa pada kurun waktu tersebut adanya penekanan jumlah kelahiran misalnya berhasilnya program keluarga berencana yang pernah dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu pula kemungkianan adanya penduduk lokal yang melakukan perpindahan ke daerah lain disebabkan karena lahan mereka telah banyak dimiliki oleh non penduduk Badung, akan tetapi diperkirakan jumlah orang asing atau tourist meningkat pada kurun waktu 2005-2010. Melihat adanya peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Badung, dari tahun ke tahun baik peningkatan itu tinggi atau rendah, tentunya ada hubungannya dengan penggunaan air di Kabupaten yang tentunya berpengaruh pada kondisi air yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini. 67

4.4.2 Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Badung Tabel 4.2 Perkembangan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara di Kabupaten Badung (periode tahun 1995 2010) No Tahun Jumlah wisatawan (orang) Domestik Mancanegara Keterangan 1. 1995-680.859 2. 2000 122.689 681.137 3. 2005-1.386.448 4. 2010 212.375 2.269.217 Sumber: Badung Dalam Angka- BPS Kab. Badung Melihat tabel perkembangan wisatawan domestik dan mancanegara di Kabupaten badung, sepertinya ada hubungan dengan penurunan kenaikan jumlah penduduk di Kabupaten Badung pada periode 2005-2010 yang sebanding dengan peningkatan yang tinggi jumlah tourist pada periode ini pula. Jumlah wisatwan asing di Kabupaten Badung pada tahun 1995 adalah sebesar 680.859 orang dan pada tahun 2010 sebesar 2.269.217 orang. Sedangkan pada wisatawan domestik peningkatannya tidak sebanyak wisatawan asing yakni pada tahun 2000 sebanyak 122.689 dan pada tahun 2010 sebanyak 212.375. setelah dijumlahkan peningkatan jumlah wisatawan ini sangat besar. Dengan banyaknya peningkatan jumlah wisatwan yang terjadi maka dapat pula dikatakan bahwa adanya peningkatan jumlah penggunaan air besih. 68

4.4.3 Infrastruktur Pariwisata Kabupaten Badung merupakan wilayah strategis secara ekonomi dan pariwisata, salah satu sarat pengembangan pariwisata adalah adanya accessibility yang baik seperti, perhubungan udara, darat dan laut. Kabupaten Badung memiliki satu bandara Internasional yaitu I Gusti Ngurah Rai yang menjadi pintu masuk wisatawan. Untuk perhubungan darat ditunjukkan dengan pembangunan jalan yang dilakukan di Kabupaten Badung dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan juga bertujuan sebagai prasarana penunjang kepariwisataan. Menurut data BPS tahun 2007 sepanjang 564,377 km yang dapat menghubungkan pelayanan internal dan eksternal wilayah. Kemudian perhubungan laut, Kabupaten Badung tidak memiliki pelabuhan laut, akan tetapi keberadaan pelabuhan Benoa yang berada di wilayah Kota Denpasar yang hampir bersebelahan dengan perbatasan Kabupaten Badung cukup mendukung dari kegiatan pariwisata diwilayah ini. 69

Tabel 4.3 Jumlah Akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung pada Tahun 1996-2010 NO. Tahun Hotel Berbintang hotel melati Rumah Penginapan 1. 2000 73 232 101 2. 2001 75 251 102 3. 2002 76 271 99 4. 2003 81 290 103 5. 2004 90 302 110 6. 2005 90 309 124 7. 2006 90 337 143 8. 2007 93 364 189 9. 2008 94 377 230 10. 2009 94 422 332 11. 2010 94 455 401 Sumber; Badan pusat statistik (BPS) Badung 2000-2010 Analisis berikutnya kita lihat tabel jumlah akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung, yang meupakan bagian penting dalam industri pariwisata. Berdasarkan tabel di atas menarik data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di Kabupaten Badung ada tiga bentuk akmodasi di Badung yakni mulai dari hotel berbintang, hotel melati dan penginapan seperti villa dan rumah yang di sewakan. Kemudian kita telah melihat pada tabel bahwa jumlah hotel berbintang relatif stabil dalam peningkatannya misalnya pada periode 2000 sebanyak 73 hotel dan 70

2005 menjadi 90 hotel. Kemudian periode 2005 sebnayak 90 hotel hingga tahun 2010 hanya meningkat 4 buah hotel.. Hal ini diiringi dengan peningkatan dalam bentuk akomodasi lainnya. seperti hotel melati pada kurun waktu 2000 hingga 2010 terajadi peningkatan dari 232 hotel melati menjadi 455 hotel melati. Meskipun demikian peningkatan yang terjadi pada hotel berbintang maupun hotel melati relatif dinamik berdasarkan periode tertentu. Lebih daripada itu, peningkatan terjadi pula pada penginapan seperti villa, atau rumah sewa yang perkembangannya relatif cepat yang dilaksanakan oleh para investor bisa dilihat pada tabel pada tahun 2000 hanya 101 jumlah rumah penginapan sedangkan pada tahun 2010 peningkatannya mencapai 401 jumlah penginapan. Artinya sejak tahun 2005 penginapan seperti villa dan rumah sewa menjadi alternatif tempat peristirahatan tourist yang lebih diminati dibandingkan hotel. Demikian pula ketika melaksanakan observasi di wilayah ini terlihat perkembangan pembangunan villa mengarah pada daerah Korobokan yang terletak di Kuta Utara kabupaten Badung. sebagaimana diuangkapkan oleh ketua assosiasi Bali Villa, perkembangan villa saat ini sudah mengarah ke daerah Krobokan mengingat bahwa untuk wilayah Seminyak dan Kuta sudah penuh dan wilayah Krobokan memiliki potensi pariwisata. Untuk lebih jelasnya kita bisa melihat kondisi villa yang terjadi di wilayah kuta Utara seperti di Krobokan yang menjadi daerah pembangunan villa sebagaimana gambar di bawah ini: 71

Gambar 4.4 Persebaran villa di Kelurahan Krobokan Kuta Utara Kabupaten Badung Sumber; www.indonesia-bali.com/canggu_kerobokan_map.php Desember 2010 Berdasarkan informasi dari hasil wawancara menjelaskan bahwa perkembangan villa dan infrastruktur di wilayah Krobokan ini di mulai pada tahun 1995. sejumlah villa banyak dibangun pada daerah yang berdekatan dengan distinasi pariwisata dan memiliki tempat yang nyaman dan strategis tentunya, seperti wilayah Kuta Utara, Kuta Selatan, Kuta maupun mengwi. Para investor lebih tertarik mencari lokasi yang indah misalnya berdekatan dengan sawah, Pura dan pantai. Lebih lanjut ditambahkan oleh keterangan ketua assosiasi Bali villa yang menjelaskan ada sekitar 800 villa di daerah Badung hingga tahun 2011 ini. Akan tetapi, hanya 520 villa yang memiliki izin resmi, dan yang 280 belum terdata secara resmi. Kemudian harapan dari pemerintah dinas pariwisata bahwa 72

semua villa dapat terdaftar secara resmi di kantor DISPARDA untuk memudahkan dalam pengontrolan serta pemungutan pajak sebagaimana halnya hotel. Lebih dari itu, untuk saat ini wisatawan lebih suka menginap di villa di banding di hotel-hotel. Fenomena ini ketika tidak di atasi dengan cepat dapat menimbulkan dampak tidak hanya pada sektor pariwisata namun juga pada sektor lainnya seperti lingkungan dan populasi yang sulit dikontrol. Sebagaimana yang disebutkan pada hasil wawancara bahwa sejumlah villa di Bali pada awal berdirinya atas nama penduduk setempat akan tetapi tidak jarang yang kemudian villa-villa tersebut berpindah tangan pada orang asing seperti mereka yang menikah dengan penduduk setempat. Hal ini tentunya menimbulkan kesulitan pula bagi pemerintah dalam mendata antra penduduk lokal Bali dan penduduk pendatang maupun orang asing yang tinggal di sana. Tabel 4.4 Jumlah Restoran di Kabupaten Badung (Tahun 1996-2010) No. Tahun Restoran Rumah Makan Bar Total 1. 1996 14 162 113 289 2. 1997 21 159 117 297 3. 1998 22 249 158 429 4. 1999 38 335 179 552 5. 2000 43 377 206 626 73

6. 2001 43 388 220 651 7. 2002 61 362 246 669 8. 2003 67 374 258 699 9. 2004 76 383 264 723 10. 2005 97 413 287 797 11. 2006 131 429 302 862 12. 2007 185 452 324 961 13. 2008 192 446 322 960 14. 2009 236 451 336 1.023 15. 2010 277 457 345 1.079 Sumber; Badan pusat statistik (BPS) Badung 2000-2010 Berdasarkan tabel jumlah restoran, rumah makan maupun bar mengalami peningkatan dari tahun 1996 hingga tahun 2010 dari jumlah total tahun 1996 sebanyak 289 ke 1.079 pada tahun 2010. Melihat data dari BPS ini secara total jumlah kenaikan restoran, rumah makan, maupun bar mengalami peningkatan sekitar 790 buah. Sedangkan jumlah peningkatan pada rumah makan juga mengalami peningkatan namun tidak terlalu besar yakni sebanyak 295 buah dari tahun 1996-2010. Kemudian diikuti dengan kenaikan jumlah bar sebanyak 232 periode 1996-2010. Situasi ini menunjukkan sebuah realisasi dari pengusaha dalam mendukung sektor pariwisata. Selanjutnya dilihat dari tabel tersebut untuk restoran itu sendiri mengalami peningkatan sebanyak 263 buah dimulai dari tahun 1996 hingga 2010. 74

Selain itu kita bisa melihat pula adanya stagnasi kenaikan jumlah restoran dan rumah makan pada tahun 2000 hingga 2003 terutama pada rumah makan. Hal ini dikarenakan adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti adanya isu tentang terorisme pada periode tersebut. Sehingga investor menunda sejenak investasi mereka. Akan tetapi setelah periode tersebut jumlah peningkatan restoran rumah makan dan bar cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Selain keberadaan sarana akomodasi di Kabupaten Badung memiliki beberapa sarana dan rekreasi wisata lain berupa: 21 uah pusat kebugaran, 22 tempat pertujukkan, 3 tempat renang, 29 Usaha billyard, 1 bioskop, 2 bowling, 17 ketangkasan, 10 karaoke, 9 panti pijat dan 201 salon / SPA. Grafik 4.2 Jumlah Subak di Kabupaten Badung Sumber : Badan Pusat Statistik Badung (BPS) pada tahun 1995, 2000, 2005 dan 2010 75