I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sosial politik di Indonesia mulai mengalami perubahan dari

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut

TINJAUAN PUSTAKA. organisasi yang memerlukan manajemen yang baik. Maka mau tidak mau

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. negara yang sentralistik, dimana segala bentuk keputusan dan kebijakan yang ada

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI

Program Kekhususan HUKUM TATA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari

I. PENDAHULUAN. sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. kecamatan (Widjaya, HAW 2008: 164). Secara administratif desa berada di

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.

PEMERINTAHAN KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI

PEMERINTAH KABUPATEN LIMA PULUH KOTA KANTOR WALI NAGARI SITUJUAH GADANG KECAMATAN SITUJUAH LIMO NAGARI

BAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat

PERAN BAMUS DALAM MENJALANKAN FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP WALINAGARI KAPAU KECAMATAN TILATANG KAMANG KABUPATEN AGAM PERIODE SKRIPSI.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN NAGARI BUKIT BUAL DI KECAMATAN KOTO VII DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi Daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 4 TAHUN 2008 T E N T A N G NAGARI

BAB II LANDASAN TEORI

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambaha

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI DI MINANGKABAU PASCA PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH. Oleh : Riki Rahmad, S.Pd., M.Sc.

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik. daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.

BUPATI MAMUJU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun

HASIL WAWANCARA. 4. Hari/Tanggal : Selasa/ 11 September Politik sedang mengadakan riset mengenai tugas dan fungsi Wali Nagari

ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO SERI C

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan yang bersifat sentralistik dengan cara mendelegasikan sejumlah

I. PENDAHULUAN. hakekatnya ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 8 TAHUN 2013

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. tujuannya. Artinya seorang pemimpin organisasi memegang peranan yang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. bagi pengembangan daerah baik pemerintah maupun masyarakat daerah.

BUPATI LIMA PULUH KOTA

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 9 TAHUN 2001 PEMBENTUKAN, PENGGABUNGAN, DAN PENGHAPUSAN KELURAHAN

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 9 TAHUN 2001 PEMBENTUKAN, PENGGABUNGAN, DAN PENGHAPUSAN KELURAHAN

BAB I PENDAHULUAN. bidang aspek ketatanegaraan. Amademen terhadap UUD 1945 menjadi momok

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. yang diyakini mampu memberikan nafas segar dari keterpurukan politik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 11 TAHUN 2007

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2001 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DI KABUPATEN SIAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2001 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DI KABUPATEN SIAK

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

KEPALA DESA MIAU MERAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DESA MIAU MERAH NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA

PEMERINTAH KABUPATEN LAHAT

BAB III MONOGRAFI KOTA PADANG

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 19 TAHUN 2001 PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTADAT DAN LEMBAGA ADAT

QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA ADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

APA ITU DAERAH OTONOM?

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut Asas

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 19 TAHUN 2001 PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR : 14 TAHUN 2000

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KERJASAMA ANTAR DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE,

EFEKTIFITAS BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SEBAGAI MITRA DAN PENGAWAS KEPALA DESA DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA. Oleh : Hendi Budiaman, S.H., M.H.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memakai sistem pemerintahan lokal selain pemerintahan desa yang banyak dipakai oleh berbagai daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang berdasarkan adat istiadat Minangkabau memiliki sifat khas dan keistimewaan tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Keistimewaan dan kekhasan tersebut adalah di Minangkabau menganut sistem matrilineal dalam garis keturunannya, masyarakat Minangkabau hidup bersuku dan berkaum dengan pimpinan seorang penghulu dalam masyarakat nagari. Desi Evayanti (2011: 1) mengatakan bahwa nagari-nagari Minangkabau menganut sistem pemerintahan berdasarkan kelarasan yang dikembangkan oleh Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Kelarasan tersebut yaitu Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Nagari-nagari di Minangkabau bersifat otonom dalam pemerintahannya sebagai pemerintahan terendah di Sumatera Barat. Secara historis pemerintahan nagari merupakan sebuah pemerintahan tradisional yang diperintah oleh penghulupenghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat atau limbago adat sebagai lembaga atau institusi adat

2 dalam nagari. Sistem Pemerintahan Nagari di wilayah Minagkabau diyakini telah diterapkan jauh sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung. Tetapi pada masa orde baru sistem pemerintahan orde baru telah rusak oleh rezim yang berkuasa dan dikuatkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang telah menyeragamkan sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia (Amardin Harahap, 2012: 2). Secara tidak langsung dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang pemerintahan desa tersebut membunuh nilai-nilai pemerintahan lokal di Minangkabau yang dikenal dengan Pemerintahan Nagari. Atas dasar Undang-Undang tersebut maka pada tanggal 1 Agustus 1983, seluruh nagari-nagari di Sumatera Barat dileburkan menjadi pemerintahan desa, sehingga nagari pada waktu itu jadi hilang. Adapun dampak dari hilangnya sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM, 2002: 31) adalah: 1. Jati diri masyarakat Minagkabau mengalami erosi. Pemahaman dan penghayatan falsafah adat Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang jadi Guru mengalami degradasi. 2. Anak nagari tidak lagi mempunyai kewenangan politis. Hubungan erat yang pernah terjalin antara pemerintah dengan anak nagari dan masyarakat adat menjadi semakin berkurang, bahkan hilang. 3. Hilangnya batas-batas nagari sehingga wilayah nagari terpecah. Pembentukan dan pemekaran desa menyebabkan hilangnya salah satu syarat adanya wilayah suatu nagari, yaitu mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas. 4. Masyarakat kehilangan tokoh Angku Palo atau Wali Nagari. Fungsinya tidak dapat digantikan oleh Kepala Desa atau Lurah. Wali Nagari adalah tokoh kharismatik yang sangat dihormati dan menjadi panutan bagi anak nagari. Wali Nagari tidak hanya menguasai dan memahami seluk beluk pemerintahan nagari tetapi juga menguasai dan memahami adat istiadat serta taat beragama. Sedangkan kebanyakan dari Kepala Desa atau Lurah

3 merupakan orang-orang muda yang kurang memahami adat istiadat ssetempat. Bahkan ada diantara mereka bukan berasal dari desa setempat. 5. Sistem Sentralistik yang diterapkan selama pemerintahan orde baru sangat mengurangi nilai-nilai luhur yang diwarisi sejak lama seperti gotongroyong dan sistem demokrasi. 6. Aspirasi anak nagari dalam pembangunan kehilangan wadah aslinya yaitu nagari. 7. Generasi muda Minang sudah banyak yang tidak mengetahui dan memahami tentang nagari, terutama mereka yang tinggal di kota. Berakhirnya orde baru seiring bergulirnya reformasi juga mengakhiri sistem pemerintahan desa. Era reformasi juga mengeluarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32 tahun 2004. Dalam BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 point 12 UU No. 32 tahun 2004 menyatakan bahwa: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 memberikan kekuasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Undang-Undang ini juga menegaskan bahwa pemberian otonomi kepada daerah didasarkan kepada asas desentralisasi dalam wujud otonomi untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, pemeliharaan hubungan pusat dengan daerah. Undang-undang tersebut menggambarkan bahwa dinamika pemerintahan diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai pemegang kendali penuh termasuk dalam pembentukan pemerintahan terendah di daerah tersebut berdasarkan asal usul budaya masyarakatnya (Desi Evayanti, 2011: 2)

4 Banyak perdebatan yang terjadi antara pemuka adat, tokoh masyarakat bahkan sampai kepada akademisi dan pakar politik Minang membahas tentang akan dikembalikannya sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat seiring dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Nadanada pesimis tentu banyak terucap dari mulut ke mulut mengingat sudah berpuluh tahun masyarakat Minangkabau tidak menggunakan pemerintahan nagari, tetapi dari sekian banyak nada pesimis tentu banyak kalangan yang optimis untuk diterapkannya lagi pemerintahan nagari di Sumatera Barat (Franz dan Keebet, 2007: 550). Perdebatan panjang tersebut merupakan bentuk keraguan masyarakat Minangkabau mengingat bahwa selama berlakunya pemerintahan desa penerapan adat istiadat Minangkabau sangat minim, filosofi adat Minangkabau yang dari dahulu sampai sekarang masih digunakan yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah sudah sangat jarang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Filosofi tersebut mengandung nilai adat dan Islam yang mengatur kehidupan bermasyarakat Minangkabau dan kedua nilai tersebut tidak boleh hilang dikalangan masyarakat. Faktanya saat ini nilai tersebut sudah jauh merosot di kalangan masyarakat Minangkabau seperti sepinya surau (masjid) yang dalam masyarakat Minangkabau dahulu digunakan sebagai tempat tinggal bagi lelaki Minang yang tidak memiliki tempat peristirahatan dirumahnya sekaligus menggali ilmu agama mengingat bahwa lelaki Minang akan menjadi pemimpin atau dalam adat Minang disebut penghulu bagi kaum atau sukunya menurut garis keturunan matrilineal.

5 Keraguan lain yang timbul adalah mengenai susahnya masyarakat nagari untuk beradaptasi lagi dengan pemerintahan nagari yang selaras dengan penerapan adat Minangkabau yang sudah lama hilang. Franz dan Keebet (2006: 545) menjelaskan bahwa Bagi penduduk nagari, institusi Negara telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka dan mereka sudah begitu terbiasa dengan prosedur birokratis sehingga hal tersebut telah menggeser institusi adat. Orang Minang memperoleh identitas mereka dari filosofi yang berkembang antara nilai adat dan keislaman. Keraguan berikutnya adalah terjadi banyaknya pergeseran dalam struktur administratif nagari. KAN (kerapatan adat nagari) yang dulunya merupakan lembaga dalam nagari yang mengatur kehidupan nagari sekarang sudah terpinggirkan dan tidak memiliki kewenangan penuh lagi. KAN yang beranggotakan penghulu-penghulu suku kini hanya menjadi penengah dalam masalah adat di nagari. Pergeseran tersebutlah yang membuat minimnya penerapan adat istiadat dan masih belum siapnya masyarakat untuk kembali ke pemerintahan nagari. KAN sebagai lembaga adat dalam nagari juga merupakan lembaga representatif niniak mamak sekarang hanya sebagai institusi yang digunakan oleh pemerintah nagari dalam melakukan konsultasi mengenai permasalahan-permasalahan adat di nagari (wawancara dengan Yaserdi DT Panjang Pusako 20 Februari 2014). Akhirnya perdebatan tersebut menyimpulkan nada optimis dari berbagai kalangan yang mengharuskan Sumatera Barat untuk kembali menerapkan pemerintahan nagari sebagai pemerintahan terendah di Sumatera Barat. Menyikapi hal tersebut

6 maka Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Daerah No. 09 tahun 2000 Tentang Pemerintahan Nagari. Hal tersebut menimbulkan istilah dalam masyarakat Minangkabau yaitu babaliak ka nagari. Dalam Perda ini dinyatakan bahwa pemerintahan terendah di Sumatera Barat adalah nagari, yang kemudian direvisi dengan Perda No. 02 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa nagari adalah: Kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan Perda No. 02 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari tersebut maka seluruh Kota atau Kabupaten di Sumatera Barat dileburkan menjadi Pemerintahan Nagari (Amardin Harahap, 2012: 8). Khusus di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk mengganti Pemerintahan Desa menjadi Pemerintahan Nagari maka dituangkanlah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari yang kemudian direvisi dengan Perda Kabupaten 50 Kota No. 02 tahun 2013 Tentang Pemerintahan Nagari, yaitu Nagari Taram tergabung didalamnya. Sistem Pemerintahan Nagari dilaksanakan oleh Wali Nagari sebagai pimpinan Eksekutif yang dibantu oleh Badan Permusyawaratan (BAMUS) sebagai lembaga Legislatif berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten 50 Kota No. 02 Tahun 2013 Tentang Pemerintahan Nagari. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari ini merupakan bentuk pelaksanaan otonomi dalam skala kecil dimana nagari berhak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Wali Nagari dan Badan

7 Permusyawaratan adalah aktor pokok penyelenggara pemerintahan nagari yang memiliki tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Wali Nagari sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan dalam pelaksanaan pemerintahan nagari sebagai lembaga Legislatif Nagari. Lembaga-lembaga nagari dalam menjalankan Pemerintahan Nagari masih terjadi tumpang tindih pada pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Kurangnya koordinasi dan komunikasi antar sesama lembaga, serta minimnya pengetahuan pemerintah nagari mengenai sistem pemerintahan yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari. Setiap lembaga-lembaga yang terdapat dalam nagari seyogyanya dapat sinkron dan saling melengkapi. Intinya saling mengingatkan antar penyelenggara pemerintahan nagari agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik, terkontrol, dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat (Lidia Nora, 2009: 12). Bongkar pasang dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari justru tidak membawa pemerintahan nagari kearah yang lebih baik. Politik-politik praktis yang mempengaruhi masyarakat nagari telah memudarkan nilai-nilai lokal adat Minangkabau yang pada dasarnya demokratis sekaligus memberi kesempatan kepada pemerintah nagari dalam melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari (Amardin Harahap, 2012: 8).

8 Nagari Taram sendiri tentu juga terdapat dinamika-dinamika dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan nagari. Tumpang tindih dalam menjalankan tugas dan fungsi lembaga nagari yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan dalam nagari. Permasalahan yang terjadi tidak terlepas dari kinerja seorang Wali Nagari sebagai pimpinan pemerintahan nagari. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sekretaris Nagari Taram dan wawancara dengan ketua Badan Permusyawaratan Nagari Taram di Kantor Wali Nagari Taram serta dari tinjauan melalui arsip nagari maka dapat peneliti jabarkan bahwa permasalahan yang terjadi di Nagari Taram sendiri adalah: 1. Minimnya pengetahuan Wali Nagari mengenai sistem Pemerintahan sehingga mengakibatkan buruknya administrasi penyelenggaraan pemerintahan nagari. 2. Filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang jarang digunakan oleh Wali Nagari dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari sekaligus mengakibatkan memudarnya nilai adat istiadat nagari. 3. Lemahnya koordinasi yang dilakukan Wali Nagari kepada Badan Permusyawaratan dan perangkat nagari serta kepada lembaga atau organisasi adat atau lembaga kemasyarakatan yang berkembang di nagari. 4. Buruknya pengelolaan keuangan nagari yang mengakibatkan cukup besarnya hutang nagari yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima nagari. 5. Tidak adanya pengelolaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana serta SDA yang dimiliki nagari.

9 6. Menurunnya kesejahteraan masyarakat atas dasar tidak terpeliharanya ketentraman, ketertiban, dan keamanan nagari. 7. Susahnya anggota Badan Permusyawaratan memisahkan diri antara Badan Permusyawaratan tingkat jorong atau tingkat nagari. 8. Tidak adanya aturan yang jelas mengenai konsep pengawasan Badan Permusyawaratan yang membuat sulitnya anggota Badan Permusyawaratan menjalankan pengawasan. 9. Tidak adanya bimbingan teknis yang ditujukan kepada anggota Badan Permusyawaratan. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang terjadi di atas menggambarkan buruknya kinerja Wali Nagari Taram. Buruknya kinerja Wali Nagari diduga karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Badan Permusyawaratan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten 50 Kota Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Pemerintahan Nagari dimana dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan berhak meminta keterangan kepada Pemerintah Nagari demi kelancaran pengawasan, dengan kata lain pengawasan merupakan kekuasaan penuh yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan. Oleh karena itu berdasarkan permasalahan-permasalahan serta fenomena yang terjadi dalam praktek penerapan fungsi Badan Permusyawaratan terutama pada fungsi pengawasan, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Pengawasan Badan Permusyawaratan (BAMUS) terhadap kinerja Wali Nagari Taram Kecamatan Harau Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat.

10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah yang ada adalah Bagaimana Pengawasan Badan Permusyawaratan (BAMUS) terhadap kinerja Wali Nagari Taram Kecamatan Harau Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat Periode 2008-2014. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengawasan Badan Permusyawaratan (BAMUS) terhadap kinerja Wali Nagari Taram Kecamatan Harau Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat Periode 2008-2014. D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan politik khususnya pada peranan legislatif nagari dalam melaksanakan fungsi pengawasan. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan dan evaluasi bagi Badan Permusyawaratan dalam menjalankan fungsi pengawasan serta dalam menjalankan pemerintahan nagari.