ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tradisional masyarakat Minang hidup berkelompok dalam suatu ikatan genealogis dan teritorial yang otonom dengan pemerintahan kolektif berdasarkan hukum adat dalam sebuah sistem pemerintahan yang disebut nagari. Keberadaan pemerintahan nagari praktis hilang secara de jure dari Sumatera Barat sejak di berlakukannya UU No.5 tahun 1979 mengenai bentuk pemerintahan terendah yaitu desa. Pelaksanaan UU No.5 tahun 1979 ini efektif diberlakukan di Sumatera Barat pada tahun Pada saat itu 543 nagari dihapuskan dan jorong/dusun ditingkatkan statusnya menjadi desa sehingga jumlahnya menjadi 3516 desa. Melalui SK Gubernur No 347/GSB/1984 maka nagari kemudian hanya menjadi kesatuan masyarakat hukum adat setelah sebelumnya juga merupakan kesatuan pemerintahan terendah. Pengaturan mengenai urusan adat diserahkan kepada Kerapatan Adat (KAN) yang merupakan kumpulan niniak mamak, cadiak pandai dan alim ulama (tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan) dalam nagari tersebut. Jadi, walaupun selama pemerintahan desa, nagari seolah-olah tidak ada, namun secara de facto, pemerintahan nagari masih berjalan, namun hanya mengurusi masalah yang berkaitan dengan kegiatan adat-istiadat. Ini disebabkan pemerintahan desa tidak bisa menggantikan fungsi informal dari pemerintahan nagari. Dengan demikian, pada masa tersebut terjadi pemisahan yang tajam antara unsur adat dengan unsur administrasi pemerintahan. Banyak diantara desa-desa tersebut yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah pemerintahan desa, diantaranya adalah jumlah penduduk yang terlalu sedikit yaitu kurang dari 1000 jiwa, bahkan terdapat desa yang penduduknya hanya sekitar 500 jiwa. Keadaan ini membuat pemerintahan desa tidak berjalan efektif. Hal ini terjadi karena desa itu hanyalah berawal dari sebuah jorong/dusun (Syahmunir, 2006). Selanjutnya untuk meningkatkan fungsi dan peranan Pemerintah, maka Pemda Sumatera Barat mengeluarkan Instruksi Gubernur No.11 tahun 1988 (mengikuti Permendagri No. 4 tahun 1981) tentang petunjuk penataan kembali wilayah administrasi desa. Sehubungan dengan Penataan Wilayah (PWD)

2 ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV tahun 1993, bahkan terdapat 93 desa yang kembali ke wilayah nagari lama. Meskipun telah dilakukan upaya penataan pemerintahan desa, namun itu belum mampu menjawab permasalahan atau memenuhi tuntutan masyarakat. Persoalannya bukan hanya pada luas wilayah dan jumlah penduduk, akan tetapi terletak pada sistem pemerintahan yang tidak berakar pada sistem sosial budaya masyarakat (Syahmunir, 2006). Jatuhnya rezim pemerintahan orde baru telah membawa perubahan dari sistem pemerintah sentralistik menjadi desentralistik. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan peluang bagi dihidupkannya kembali bentuk pemerintahan terendah asli jika masyarakat setempat menginginkannya. UU No. 22/1999 ini selanjutnya disempurnakan oleh UU No. 32/2004, menurut Dharmawan (2008) secara eksplisit dan implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsi-prinsip demokratisme (kesetaraan, kesejajaran, etika-egalitarian), keunggulan lokal komitmen pada rule of the game yang telah disepakati, apresiasi terhadap keberagaman, prinsip buttom up, desentralisme administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan mengatasi persoalan riil di lapangan. Salah satu dari good governance principle, yaitu control of power yang diwujudkan secara operasional dalam prinsip transparansi ketata-pemerintahan dan akuntabilitas (pengelolaan keuangan) publik juga menjadi salah satu ciri utama UU tersebut. Desentralisasi, yang diimplementasikan dengan pemberian otonomi kepada daerah, memungkinkan adanya proses pemberdayaan masyarakat karena tersedianya ruang untuk berpartisipasi dan menentukan sendiri model pembangunan bedasarkan kebutuhan lokal. Menerapan desentralisasi tentu saja menuntut adanya reorganisasi dari struktur pemerintahan lokal. Hal ini direspon oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan mengelurkan Perda No. 9/2000 yang kemudian disempurnakan dengan Perda No. 2/2007. Proses kembali ke nagari ini dilaksanakan secara bertahap, hingga tahun 2006 telah terbentuk 519 pemerintahan nagari (Tabel 1).

3 Tabel 1. Jumlah nagari di Sumatera Barat No Kabupaten/kota Jumlah * Jumlah ** 1 Agam Kota Tanah Datar Solok (Kota) 1-5 Solok (kabupaten) Solok Selatan Padang panjang 4-8 Bukittinggi 5-9 Padang Pesisir Selatan Padang Pariaman Sawah Lunto Sijunjung Darmas Raya Sawah Lunto 5-15 Payakumbuh 7-16 Pasaman Pasaman barat - 19 Total Sumber: di olah dari arsip pemerintah daerah Sumatera Barat 2007 * nagari sebelum UU No 5/1979, ** nagari setelah UU No 22/1999 Dari data yang ada tampak bahwa dibeberapa kabupaten terdapat beberapa nagari baru. Ini mengindikasikan bahwa ketika nagari terpecah-pecah ke dalam bentuk pemerintahan desa, terdapat beberapa desa yang kemudian setelah diterapkan kebijakan kembali ke nagari tidak bergabung kembali dengan nagari asalnya. Untuk wilayah kota, saat ini tidak lagi terdapat nagari karena pemerintahan terendah telah berbentuk kelurahan. berikut: Dari keterangan di atas, dapat dibuat tipologi perubahan nagari sebagai Gambar 1. Perubahan nagari Tipe 1 Tipe 1 menggambarkan perubahan sebuah nagari yang terpecah menjadi beberapa desa (sesuai dengan jumlah jorongnya) akibat diberlakukannya UU No 5/1979, dengan diterapkannya PWD tahun 1993, desa-desa tersebut bergabung menjadi satu desa dan selanjutnya setelah diterapkan UU No 22/1999, kembali ke nagari semula. Perubahan ini relatif tidak ada masalah. Untuk Tipe 1 terdapat 93 kasus.

4 Gambar 2. Perubahan nagari Tipe 2 Tipe 2 menggambarkan perubahan sebuah nagari yang terpecah menjadi beberapa desa (sesuai dengan jumlah jorongnya) akibat diberlakukannya UU no 5/1979, dan selanjutnya setelah diterapkan UU no 22/1999, kembali ke nagari semula. Prosesnya lebih sulit dari tipe satu karena menyatukan daerah-daerah yang sebelumnya telah terpecah-pecah. Untuk Tipe 2 terdapat 366 kasus Gambar 3. Perubahan nagari Tipe 3 Tipe 3 menggambarkan sebuah nagari yang pecah menjadi beberapa desa dan selanjutnya setelah UU No 22/1999 beberapa desa kembali ke nagari awal dan desa lainnya membentuk nagari sendiri. Proses kembali ke nagari menimbulkan konflik karena terdapat sebagian kelompok/wilayah yang tidak mau bergabung dengan nagari asal. Untuk Tipe 3 terdapat 30 kasus Setelah desa-desa bertansformasi menjadi nagari, maka permasalahan yang timbul kemudian, bentuk nagari seperti apa yang akan diterapkan kembali, apakah nagari asli dengan bentuk kepemimpinan kolektif ataukah nagari sebelum diterapkannya UU No.5 Tahun 1979, nagari berada di bawah pimpinan wali nagari. Simarmata (2006) menyatakan bahwa pada sebagian orang membayangkan bahwa kembali ke nagari berarti kembali ke pemerintahan adat atau mengembalikan nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Pikiran ini tumbuh subur di kalangan rakyat dan pemangku adat serta sebagian akademisi dan aktivis Ornop. Sementara dari kalangan legislator dan pemerintahan daerah

5 mengembangkan cara pandang yang lain. Pemerintahan nagari yang akan dihidupkan adalah yang bisa menjawab tantangan sekaligus modern. Sebuah nagari yang merupakan perpaduan antara kelembagaan tradisional dan organisasi modern. yang sejak tahun 1984 hanyalah sebuah kesatuan wilayah adat dan hanya mengurusi persoalan yang berkaitan dengan adat sekarang harus dimodernkan, karena ia juga mengurusi persoalan administrasi. Oleh sebab itu birokrasi modern harus diterapkan ke dalam struktur pemerintahan nagari. Castle L (1986) mengutip apa yang dikemukakan oleh Webber, bahwa birokrasi modern, bersifat rasional dan impersonal bagaikan mesin, falsafah dasar organisasinya untuk mencapai efisiensi dan efektifitas yang tinggi Perumusan Masalah Keberadaan nagari di Sumatera Barat seolah timbul tenggelam seiring dengan intervensi pemerintah mengenai kebijakan pemerintahan terendah. Perubahan dari nagari ke desa berdampak cukup besar bagi struktur masyarakatnya. dan desa sesungguhnya merupakan dua bentuk yang saling bertolak belakang. Pemerintahan nagari bercirikan egaliter, mandiri dan berorientasi pada masyarakat. Sementara desa adalah cermin dari pemerintahan yang feodalistis, sentralistis dan top down. Perubahan pemerintahan dari nagari ke desa tidak saja hanya sekedar perubahan nama, tetapi juga sistem, orientasi dan filosofinya. Sementara itu perubahan dari desa kembali ke nagari masih menemui kendala dalam mencari bentuk tepat. UU No. 22/1999, yang mengakhiri penyeragaman bentuk pemerintahan desa telah mendorong munculnya kebijakan untuk menghidupkan kembali bentuk-bentuk asli pemerintahan terendah di beberapa wlayah di Indonesia. Pemerintah Daerah Sumatera Barat sendiri mencoba untuk mensinergikan unsur adat dan birokrasi modern dalam satu kelembagaan formal yaitu pemerintahan nagari. Seperti yang diutarakan oleh Eko S (2005) nagari yang sekarang diharapkan mampu memadukan self-governing community (otonomi asli yang berbasis adat) dan local-self government (desentralisasi dari pemerintah). UU No. 32/2004 yang mengamanatkan diselenggarakannya desentralisasi, diwujudkan dengan pembagian kewenangan dan keuangan dari pemerintah supra-

6 nagari kepada nagari, yang kemudian nagari bertanggung jawab menggunakan kewenangan dan keuangan itu untuk meningkatkan pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, yang hasil akhirnya adalah kesejahteraan dan kemandirian anak-anak nagari. Ternyata di lapangan konsep tersebut tidak mudah untuk diimplementasikan. Peralihan dari desa ke nagari telah membuat masyarakat dalam nagari seolah berada dalam fase transisi. Proses penanaman pemahaman akan wewenang dan tanggung jawab diantara lembagalembaga dalam nagari berjalan lambat, karena disaat yang sama sebagian elite lokal masih berpikiran akan model nagari yang lama sementara sebagian yang lain berpatokan pada pembagian kewenangan berdasarkan peraturan formal. Seperti pendapat yang diutarakan oleh Dharmawan (2008), sekalipun UU No. 32/2004 mengapresiasi keberadaan tata aturan adat (pasal 203 dan pasal 216), namun otoritas adat dengan sistem tata-pemerintahan asli, sulit beradaptasi/menyelaraskan dengan keberadaan sistem pemerintahan formal dalam konsep desa. Alhasil dalam merespon peluang desentralisasi atau otonomi lokalitas (desa/nagari) yang ditawarkan oleh negara melalu platform UU No. 32/2004, otoritas adat seringkali berbenturan secara kelembagaan dengan otoritas formal (pemerintahan desa/nagari) yang legitimate menurut hukum positif kenegaraan. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Nurrochmat dan Purwandari (2006), mereka menemukan bahwa tata pemerintahan asli ternyata dapat berdampingan dengan dengan sistem pemerintahan formal. Ini seperti yang terjadi di Bali pemerintahan terendah memiliki dua kelembagaan formal yang dapat berkoordinasi secara efektif yaitu desa adat yang bernama pakraman (mengurusi masalah adat) dan desa dinas atau perbekel (mengurusi masalah pemerintahan). Bentuk lain seperti yang terdapat di Aceh dan Papua, dalam pemerintahan terendahnya memiliki dua kelembagaan yaitu formal dan informal. Di Aceh, kelembagaan desa mengurusi masalah pemerintahan dan kelembagaan mukim mengurusi masalah sosial budaya. Sementara, di Papua terdapat kelembagaan kampung yang mengurusi masalah pemerintahan dan kelembagaan ondoafi yang mengurusi masalah adat. Di Sumatera Barat sendiri hanya terdapat

7 satu kelembagaan formal yaitu nagari yang mengurusi dua urusan yaitu kedinasan dan adat. Di sinilah letak permasalahannya, karena hanya terdapat satu kelembagaan formal saja yaitu nagari yang mengurusi masalah kedinasan dan adat, maka pemerintah harus merestrukturisasi pemerintahan nagari agar dapat menjalankan kedua fungsi tersebut. Unsur tradisional tetap dipertahankan agar dapat mengurusi urusan adat dan disisi lain birokrasi modern juga harus dikembangkan agar dapat menangani urusan kedinasan. Masuknya birokrasi modern ke dalam pemerintahan nagari, pada akhirnya menjadi salah satu sumber konflik. Seperti yang ditulis oleh Sjofjan Thalib (2006) (dalam Abna, 2008), kendala yang ditemui setelah kembali ke dalam pemerintahan nagari antara lain: terjadinya kesalahpahaman dalam memandang nagari sebagai masyarakat hukum adat teritorial saja, pada hal nagari adalah persekutuan hukum adat genealogis matrilineal teritorial; banyaknya lembaga kenagarian yang ditetapkan dalam perda-perda yang menyimpang dari struktur asli, sehingga diperlukan banyak dana dan tenaga untuk menjalankan tugas mereka; terjadinya kebingungan masyarakat nagari karena nagari sekarang yang ditata secara rinci melalui perda kabupaten dengan menerapkan prinsip trias politica yang tidak dikenal mereka sebagai nagari baru bentukan pemerintah atasan; serta telihat ekses adanya keberatan dari KAN untuk menyerahkan aset nagari kepada pemerintah nagari karena dianggap mendominasi kekuasaan mereka. Tumpang tindih peran dan tidak jelasnya fungsi masing-masing komponen dalam pemerintahan nagari, sebenarnya berpangkal dari Perda Sumatera Barat No. 9/2000 yang mengatur pembentukan lembaga-lembaga dalam nagari, yaitu: yang pertama terdapat lembaga Wali dan perangkatnya sebagai eksekutif yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam nagari, selanjutnya lembaga Badan Perwakilan Anak (BPAN) yang menjalankan fungsi legislasi yaitu mengawasi pelaksanaan dari pelaksanaan peraturan-peraturan nagari dan lembaga Badan Musyawarah Adat dan Syarak (BMASN) yang tugasnya menyangkut urusan adat. Sementara itu juga terdapat lembaga nonstruktural yaitu Kerapatan Adat (KAN) yang fungsinya tidak secara jelas diatur dalam

8 perda No. 9/2009 tapi secara tradisional mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa sako-pusako (gelar dan harta warisan) dan hal-hal yang menyangkut urusan adat istiadat. Menurut Sayuti Dt Rajo Pangkulo (dalam Simarmata, 2006) ketiga lembaga ini anggotanya beririsan dan mempunyai tugas dan fungsi yang hampir mirip. Untuk membenahi tumpang tindih tugas dan fungsi lembaga lembaga dalam pemerintahan nagari, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat mengeluarkan Perda No. 2/2007, dalam perda ini lembaga BPAN dan BMASN dihilangkan dan diganti dengan Badan Musyawarah (Bamus ). Disebutkan bahwa tugas, wewenang, kewajiban dan hak Bamus diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (pasal 13). Sementara lembaga KAN tetap merupakan lembaga nonstruktural yang diakui yang fungsinya memelihara kelestarian adat serta menyelesaian perselisihan sako dan pusako (pasal 1 nomor 13). Ketika Perda No. 2/2007 ini diberlakukan secara otomatis Perda No. 9/2000 tidak berlaku lagi, hal ini membuat struktur pemerintahan dalam nagari kembali mengalami perombakan. Dari penjelasan tersebut dapat diduga bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam pemerintahan nagari saat ini, selain berbentuk perubahan yang direncanakan atau disengaja (intended change) namun juga menimbulkan perubahan yang tidak direncanakan atau tidak disengaja (unintended change). Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam nagari akibat implementasi kebijakan pemerintah sesungguhnya meliputi semua aspek sosial dan budaya dalam masyarakat, karena luasnya cakupan tersebut maka penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan yang terjadi dalam struktur pemerintahan akibat perubahan sistem pemerintahan dari desa ke nagari. Dari uraian di atas, maka pertanyaan yang kemudian timbul dan dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana pemerintahan nagari saat ini dijalankan, apa yang membedakannya dengan bentuk pemerintahan desa, bagaimana peran yang dimainkan oleh masing-masing komponen dalam struktur pemerintahan nagari serta bagaimana konflik/potensi konflik yang berkembang akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa ke nagari Tujuan Penelitian

9 Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan dan menganalisa dinamika perubahan pemerintahan nagari ke pemerintahan desa dan kembali ke pemerintahan nagari dengan melihat peran yang dimainkan oleh masing-masing komponen dalam struktur pemerintahan nagari. 2. Menganalisa potensi konflik akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa kembali ke nagari. 3. Memberikan masukan bagi pengaturan tata pemerintahan lokal di Provinsi Sumatera Barat Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dalam tataran teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan tata pemerintahan lokal. Pada tataran praktis, penelitian ini dimaksudkan sebagai wujud kritik terhadap kebijakan pemerintah. Selanjutnya informasi yang disajikan dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi tata pemerintahaan lokal yang lebih baik di masa datang.

MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI DI MINANGKABAU PASCA PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH. Oleh : Riki Rahmad, S.Pd., M.Sc.

MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI DI MINANGKABAU PASCA PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH. Oleh : Riki Rahmad, S.Pd., M.Sc. MENGEMBALIKAN KEISTIMEWAAN NAGARI DI MINANGKABAU PASCA PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH Oleh : Riki Rahmad, S.Pd., M.Sc. Minangkabau merupakan salah satu diantara suku bangsa yang menempati wilayah bagian tengah

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI NURAINI BUDI ASTUTI

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI NURAINI BUDI ASTUTI TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI (Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat) Oleh : NURAINI BUDI ASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang: a. bahwa nagari sebagai kesatuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memakai sistem pemerintahan lokal selain pemerintahan desa yang banyak dipakai oleh berbagai daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang sentralistik, dimana segala bentuk keputusan dan kebijakan yang ada

BAB I PENDAHULUAN. negara yang sentralistik, dimana segala bentuk keputusan dan kebijakan yang ada BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara, Indonesia telah mengalami berbagai macam bentuk sistem pemeritahan. Sebelum reformasi bergulir, Indonesia adalah sebuah negara yang sentralistik,

Lebih terperinci

Program Kekhususan HUKUM TATA NEGARA

Program Kekhususan HUKUM TATA NEGARA SKRIPSI PELAKSANAAN KEWENANGAN BADAN MUSYAWARATAN NAGARI (BAMUS) DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NAGARI PADA NAGARI KOTO MALINTANG KECAMATAN TANJUNG RAYA KABUPATEN AGAM Program Kekhususan HUKUM TATA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut

I. PENDAHULUAN. Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Motivasi terbesar yang mendasari perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan dari kaum penjajah adalah cita-cita untuk dapat mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sosial politik di Indonesia mulai mengalami perubahan dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sosial politik di Indonesia mulai mengalami perubahan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan sosial politik di Indonesia mulai mengalami perubahan dari Orde Lama, Orde Baru sampai kepada reformasi seperti yang kita jalani pada saat sekarang ini.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT Menimbang: PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT a. bahwa berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan

Lebih terperinci

Dilema Dalam Transformasi Desa Ke Nagari :

Dilema Dalam Transformasi Desa Ke Nagari : ISSN : 1978-4333, Vol. 03, No. 02 1 Dilema Dalam Transformasi Ke : Studi Kasus di Kenagarian IV Koto Palembayan, Provinsi Sumatera Barat Nuraini Budi Astuti, Lala M. Kolopaking, dan Nurmala K. Pandjaitan

Lebih terperinci

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI NURAINI BUDI ASTUTI

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI NURAINI BUDI ASTUTI TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI (Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat) Oleh : NURAINI BUDI ASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002 Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI Menimbang : a. bahwa modal dasar pembangunan Nagari yang tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, oleh karenanya manusia tidak bisa terlepas dari tanah. Tanah sangat dibutuhkan oleh setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin global, pola pemerintahan yang baik atau Good Governance sudah menjadi tuntutan sekaligus kebutuhan dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 56 TAHUN 2011 T E N T A N G

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 56 TAHUN 2011 T E N T A N G BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 56 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN NAGARI TERATAK TEMPATIH IV KOTO MUDIEK DI KECAMATAN BATANG KAPAS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good

BAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Sebagai sebuah bentuk kehidupan dalam masyarakat, organisasi atau lembaga pemerintahan nagari telah mengalami banyak perubahan, mulai dari perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN

BUPATI PESISIR SELATAN BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 19 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN NAGARI PULAU KARAM AMPANG PULAI DI KECAMATAN KOTO XI TARUSAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pedoman Wawancara Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Anggota Bamus Nagari Atau Kerapatan Adat Nagari Tabel.1 Pertanyaan tentang UU no 6 tahun 2014

Pedoman Wawancara Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Anggota Bamus Nagari Atau Kerapatan Adat Nagari Tabel.1 Pertanyaan tentang UU no 6 tahun 2014 LAMPIRAN Pedoman Wawancara Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Anggota Bamus Nagari Atau Kerapatan Adat Nagari Tabel.1 Pertanyaan tentang UU no 6 tahun 2014 Pertanyaan 1. Bagaimana Tanggapan Bapak sendiri

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. Propinsi Sumatera Barat dan Susunan Pemerintahan Nagari, SK. Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat. I Sumatera Barat.

BAB VII PENUTUP. Propinsi Sumatera Barat dan Susunan Pemerintahan Nagari, SK. Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat. I Sumatera Barat. BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pada era Orba di Sumatera Barat, tidak satupun produk hukum dikeluarkan badan legislasi daerah yang secara khusus mengatur tentang tanah ulayat, kecuali sekadar ditumpangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN ! III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat. Kenagarian ini termasuk ke dalam tipe ke-2 yaitu satu nagari yang terpecah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia. kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), Negara Indonesia merupakan Negara

Lebih terperinci

SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU SKRIPSI DISUSUN OLEH HENI MELIA SAFITRI

SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU SKRIPSI DISUSUN OLEH HENI MELIA SAFITRI SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU (Studi Pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa (UU No. 06 Tahun 2014) pada tanggal 15 Januari tahun 2014, pengaturan tentang Desa mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Barat memiliki 19 kabupaten kota,179 kecamatan dan 648 nagari. 1

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Barat memiliki 19 kabupaten kota,179 kecamatan dan 648 nagari. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang berada di Indonesia.Provinsi Sumatera Barat memiliki 19 kabupaten kota,179 kecamatan dan 648 nagari. 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program

BAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari organisasi tingkat atas kepada tingkat bawahnya

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 112 TAHUN 2011 T E N T A N G

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 112 TAHUN 2011 T E N T A N G BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 112 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN NAGARI DURIAN SERIBU DI KECAMATAN LUNANG SILAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok

Lebih terperinci

MODEL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI DI KOTA SALATIGA) PERIODE

MODEL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI DI KOTA SALATIGA) PERIODE MODEL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE (STUDI DI KOTA SALATIGA) PERIODE 2014-2019 Tesis Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. hukum adat terdapat pada Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nagari dalam sejarah dan perkembangannnya merupakan suatu wilayah Pemerintahan terendah. Pengakuan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terdapat pada Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN BAB IV SIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan penutup dalam kajian penelitian ini. Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan hasil penelitian tentang Modal Sosial dan Otonomi Desa dalam Pemerintahan Nagari

Lebih terperinci

WALI NAGARI TARATAK TINGGI KABUPATEN DHARMASRAYA PERATURAN NAGARI TARATAK TINGGI NOMOR 8 TAHUN 2017 T E N T A N G PUNGUTAN NAGARI

WALI NAGARI TARATAK TINGGI KABUPATEN DHARMASRAYA PERATURAN NAGARI TARATAK TINGGI NOMOR 8 TAHUN 2017 T E N T A N G PUNGUTAN NAGARI WALI NAGARI TARATAK TINGGI KABUPATEN DHARMASRAYA PERATURAN NAGARI TARATAK TINGGI NOMOR 8 TAHUN 2017 T E N T A N G PUNGUTAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI NAGARI TARATAK TINGGI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok Program Pengembangan Otonomi Daerah pada tahun 2004, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 18B ayat (2) menyatakan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pertama ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pertama ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, BAB I PENDAHULUAN Pada bab pertama ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah yang kemudian fokus menjadi pertanyaan penelitian, serta tujuan dilakukannya penelitian. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI

VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI $&# VI. DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI Pengakuan kembali nagari sebagai pemerintahan terendah, membuat nagari berada pada kondisi yang dilematis. Nagari menerima intervensi pemerintah yang menempatkan

Lebih terperinci

KEWENANGAN DI BIDANG KEARSIPAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

KEWENANGAN DI BIDANG KEARSIPAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH KEWENANGAN DI BIDANG KEARSIPAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH Dra. Monika Nur Lastiyani Kepala Seksi Data TI KAD Prop. DIY A. Latar Belakang Setiap undang-undang dapat dikategorikan sebagai salah satu elemen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma pembangunan masa lalu yang menempatkan pemerintah sebagai aktor utama pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi terbukti tidak mampu mensejahterakan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN Untuk memberikan gambaran yang jelas pada visi tersebut, berikut ada 2 (dua) kalimat kunci yang perlu dijelaskan, sebagai berikut : Masyarakat

Lebih terperinci

Kata kunci: Nagari, Political Conflict, Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai

Kata kunci: Nagari, Political Conflict, Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai Konflik dalam Pemerintahan Nagari: Penelitian di Nagari Padang Sibusuk Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Sumatera Barat ========================================================== Oleh: Susi Fitria Dewi ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Lebih terperinci

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI

PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BERDASARKAN U.U. NO. 32 TAHUN 2004 SANTOSO BUDI N, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract:In order to establish the local autonomy government, the integration

Lebih terperinci

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari

SKRIPSI. Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari SKRIPSI Pemekaran Nagari Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pemerintahan Nagari Di Nagari III Koto Aur Malintang Timur,Kecamatan IV Koto Aur Malintang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN

BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN BAB V VISI, MISI DAN TUJUAN PEMERINTAHAN KABUPATEN SOLOK TAHUN 2011-2015 5.1. Visi Paradigma pembangunan moderen yang dipandang paling efektif dan dikembangkan di banyak kawasan untuk merebut peluang dan

Lebih terperinci

BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENATAAN DESA

BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENATAAN DESA SALINAN BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENATAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI FLORES TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. langsung, kebebasan berekspresi secara terbuka, berasosiasi, sampai kebebasan

I. PENDAHULUAN. langsung, kebebasan berekspresi secara terbuka, berasosiasi, sampai kebebasan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Peristiwa besar di tahun 1998 telah menciptakan beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang memberikan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat pedesaan. Namun masih banyak wilayah pedesaan yang

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat pedesaan. Namun masih banyak wilayah pedesaan yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Upaya pembangunan pedesaan telah dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan programprogram. Upaya-upaya itu

Lebih terperinci

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di Indonesia, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan pimpinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam perjalanan otonomi daerah sejak ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 sebagai pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA RAYA, Menimbang

Lebih terperinci

Penutup. Sekapur Sirih

Penutup. Sekapur Sirih Penutup Sekapur Sirih Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 Provinsi Sumatera Barat merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan. Pembangunan yang melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS

UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS 1 UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat Oleh Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS Permasalahan Diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di

BAB I PENDAHULUAN. rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya. Hal

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa, sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman dan pelajaran

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa, sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman dan pelajaran BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan demokrasi di Indonesia nertujuan untuk kepentingan bangsa dan Negara Indonesia yaitu mewujudkan tujuan nasional. Dalam perjalanan sejarah bangsa,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) terdiri dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Indonesia berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) terdiri dari daerah provinsi, dibagi atas kabupaten dan kota. Kabupaten atau kota sendiri dibagi atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menerangkan bahwa negara Indonesia terdiri dari daerah-daerah provinsi dibagi atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peraturan yang ada diantaranya adalah; Peraturan Pemerintah (PP)

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peraturan yang ada diantaranya adalah; Peraturan Pemerintah (PP) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi pengelolaan keuangan daerah ditandai dengan terbitnya berbagai peraturan baru di bidang pengelolaan keuangan negara dan daerah. Berbagai peraturan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat

BAB I PENDAHULUAN. batas-batas wilayah dihuni oleh sejumlah penduduk dan mempunyai adat-istiadat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desentralisasi dan otonomi daerah sangat berkaitan erat dengan desa dan pemerintahan desa. Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah

Lebih terperinci

HASIL WAWANCARA. 4. Hari/Tanggal : Selasa/ 11 September Politik sedang mengadakan riset mengenai tugas dan fungsi Wali Nagari

HASIL WAWANCARA. 4. Hari/Tanggal : Selasa/ 11 September Politik sedang mengadakan riset mengenai tugas dan fungsi Wali Nagari 1. Identitas informan 1. Nama : Fajri Kirana 2. enis Kelamin : Laki-Laki 3. abatan : Wali Nagari 4. Hari/anggal : Selasa/ 11 September 2012 : Pak, saya mahasiswa universitas Lampung dari fakultas Ilmu

Lebih terperinci

PERAN BAMUS DALAM MENJALANKAN FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP WALINAGARI KAPAU KECAMATAN TILATANG KAMANG KABUPATEN AGAM PERIODE SKRIPSI.

PERAN BAMUS DALAM MENJALANKAN FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP WALINAGARI KAPAU KECAMATAN TILATANG KAMANG KABUPATEN AGAM PERIODE SKRIPSI. PERAN BAMUS DALAM MENJALANKAN FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP WALINAGARI KAPAU KECAMATAN TILATANG KAMANG KABUPATEN AGAM PERIODE 2006-2012 SKRIPSI Diajukan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Fakultas

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA BARAT No.15/2/13 Th XVIII, 16 Februari 2015 Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 06 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN / PEMEKARAN, PENGGABUNGAN DAN PENGHAPUSAN KECAMATAN DI KABUPATEN MURUNG RAYA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PE NDAH ULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PE NDAH ULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan Rencana Strategis Kecamatan Bulik Tahun 2013-2018, merupakan bentuk pelaksanaan Undang-undang No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pemberian landasan berpijak dalam penulisan penelitian ini, maka akan Penulis uraikan mengenai rangkaian teori yang akan digunakan dalam menelusuri pembahasan dalam penelitian

Lebih terperinci

Otonomi Daerah : Formulasi. 3/11/2016 Marlan Hutahaean

Otonomi Daerah : Formulasi. 3/11/2016 Marlan Hutahaean Otonomi Daerah : Formulasi 1 Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dekonsentrasi : Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demikian besar dan luasnya, maka dibutuhkan strategi pemerintahan yang mantap.

I. PENDAHULUAN. demikian besar dan luasnya, maka dibutuhkan strategi pemerintahan yang mantap. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan, dengan luas wilayah mencapai 4,8 juta Km 2 dengan 1,9 juta Km 2 diantaranya merupakan daratan yang terpencar berupa 13.667 pulau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah negara Republik Indonesia yang membawa rakyatnya pada suasana

BAB I PENDAHULUAN. sebuah negara Republik Indonesia yang membawa rakyatnya pada suasana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dan cita-cita didirikannya negara Indonesia tidak lain adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terwadahi dalam sebuah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatkan peranan publik ataupun pembangunan, dapat dikembangkan melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita yang kompleks namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi itu telah mewujudkan Negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 120 Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumbangan besar dalam menciptakan stabilitas nasional. Pembangunan desa adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. sumbangan besar dalam menciptakan stabilitas nasional. Pembangunan desa adalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Bukan hanya dikarenakan sebagian besar rakyat Indonesia bertempat tinggal di desa, tetapi desa memberikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan pemerintahannya menekankan asas desentralisasi yang secara utuh dilaksanakan di daerah kota/kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. perjalanan kehidupan umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. perjalanan kehidupan umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karateristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi fenomena global termasuk di Indonesia. Saat ini Negara Indonesia sedang memasuki masa transisi pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif

BAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam menyikapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan reformasi di segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama membangun daerahnya sendiri. Otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sejak berlakunya otonomi daerah, kabupaten/kota memiliki kewenangan yang besar, kemudian disertai dengan transfer kepegawaian, pendanaan dan aset yang besar

Lebih terperinci