BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan yang cukup tinggi, serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogenik (milkborne

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Fajar Budi Lestari, Siti Isrina Oktavia Salasia. Program Studi Diploma III Kesehatan Hewan, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB. I PENDAHULUAN. bakso menggunakan daging sapi dan daging ayam. campuran bakso, dendeng, abon dan produk berbasis bakso lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. dan kemampuan dalam melakukan kolonisasi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

BAB I. PENDAHULUAN. tahun Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

Epidemiologi veteriner PKH-UB 2013

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh organisme dari genus Streptococcus, merupakan salah satu

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I. PENDAHULUAN. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan air laut yang

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan air panas. Susu kedelai berwarna putih seperti susu sapi dan

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Iridoviridae yang banyak mendapatkan perhatian karena telah menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

Peranan berbagai modalitas diagnostik dalam deteksi Trichomonas vaginalis

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Makanan

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Ikan merupakan komoditas budidaya unggulan di Indonesia, karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Undang-

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang sering digunakan di

ABSTRACT Development Method of Detection Contaminant Bacterial Pathogen Escherichia coli in Milk with Real-Time Polymerase Chain Reaction (RTi- PCR)

I. PENDAHULUAN. yang terbuat dari gelatin sapi (Sahilah dkk., 2012). Produsen akan memilih

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar belakang. orang yang sudah meninggal, kegunaan golongan darah lebih tertuju pada

I. PENDAHULUAN. perempuan di dunia dan urutan pertama untuk wanita di negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya.

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PRODUKSI TELUR AYAM RAS MENGANDUNG ANTIBODI (IMUNOGLOBULIN Y ) ANTI PROTEASE Eschericia coli. Oleh: Wendry Setiyadi Putranto

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

repository.unimus.ac.id

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang didapatkan dari RSUP Dr. Kariadi yang telah diketahui hasil test

MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH DI INDONESIA : PENDEKATANNYA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu menjadi bahan pangan sumber protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa, enzim-enzim, dan beberapa mikroba (Anonim, 1998). Produksi susu nasional Indonesia hanya mampu memenuhi 25% kebutuhan nasional (Rachman, 2008). Selang empat tahun kemudian tahun 2012 hanya terdapat sedikit peningkatan kemampuan pemenuhan kebutuhan susu nasional yaitu sebesar 30% (Anonim, 2012). Sebaliknya kebutuhan susu nasional dari tahun ke tahun terus meningkat, tahun 2012 permintaan susu mencapai 3.120.000 ton dan produksi hanya 1.208.000 ton (Anoni, 2012). Sebagian besar produksi susu nasional (91%) dihasilkan oleh usaha peternakan rakyat skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak (Daryanto, 2007). Mastitis merupakan kasus yang sering dijumpai pada usaha peternakan sapi perah. Penurunan produksi susu sebagian besar disebabkan oleh mastitis subklinis. Hasil dari banyak penelitian menunjukkan bahwa 80% sapi laktasi di Indonesia menderita mastitis subklinis. Mastitis subklinis terjadi apabila gejalagejala klinis radang tidak dapat ditemukan pada waktu pemeriksaan ambing. Adanya bakteri dalam ambing tanpa diikuti perubahan fisik ambing dan susunya 13

14 dikatakan sebagai infeksi laten. Salah satu bakteri penyebab utama mastitis subklinis adalah Staphylococcus aureus (S. aureus) (Sudono et al., 2003). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis yang diperkirakan 15-40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin, 2000). Penyakit mastitis masih tetap merupakan masalah utama yang terjadi di dipeternakan rakyat saat ini, karena kerugian yang ditanggung akibat penyakit ini masih cukup besar, yaitu antara lain turunnya produksi dan kualitas susu, penolakan susu di Koperasi Unit Desa (KUD), biaya pengobatan serta perawatan ternak sapi (Sudarwnato, 1999). Menurut Effendi (2007) kerugian ekonomi akibat mastitis diperkirakan 10% dari total nilai jual yang diproduksi pada usaha peternakan sapi perah. Sekitar dua per tiga dari kerugian disebabkan karena penurunan produksi susu sapi yang terinfeksi penyakit mastitis. Kerugian lainnya timbul akibat susu abnormal yang terbuang serta susu yang diperah dari sapi yang diobati dengan antibiotik, biaya penggantian (replacement) sapi yang terinfeksi, turunnya nilai jual sapi yang di-culling, biaya obat-obatan dan layanan kesehatan ternak serta tambahan biaya tenaga kerja serta kadang-kadang mengakibatkan kematian ternak. Patogenesis S. aureus sebagai penyebab mastitis dan penurunan kualitas susu sangat dipengaruhi oleh adanya protein permukaan sel bakteri yang berperan dalam mekanisme adesi maupun menghindar dari respon imun hospes. Protein A adalah salah satu protein permukaan sel S. aureus. Protein A memiliki peranan penting dalam mekanisme patogenesis pada proses: adesi, kolonisasi, perusakan

15 sel hospes, dan sebagai faktor antifagositosis sehingga mampu menurunkan sistem imun hospes (Carlton dan Charles, 1993; Cox et al., 1986; Tizard, 1988; Suarsana, 2002). Antifagositosis S.aureus terhadap sistem pertahanan tubuh berperan penting dalam mempertahankan keberadaan bakteri ini dalam tubuh hospes. Mekanisme tersebut diperankan oleh protein A. Mekanisme patogenesis protein A terjadi karena kemampuannya mengikat reseptor Fc dari semua subkelas immunoglobulin G (IgG) kecuali IgG3 (spesifik manusia); IgG1 (mencit); IgG1, IgG2a dan IgG2b (tikus); juga tidak berikatan dengan IgY ayam (Boyle et al., 1985; Takeuchi et al., 1995). Mekanisme pengikatan reseptor Fc ini berperan penting dan efektif mencegah antibodi berikatan dengan sel respon imun yang lain (O Seaghdha et al., 2006). Terdapat sekitar 80.000 tempat mengikat immunoglobulin pada setiap sel S. aureus (Mims, 1988; Cheung et al., 1987). Protein A juga dapat berikatan dengan reseptor Fc leukosit polimorfonuklear (PMN) sehingga opsonin tidak dapat melekat dan proses fagositosis terhambat (Cunningham et al., 1996). Protein A S. aureus disandi oleh gen spa yang dikelompokkan menjadi dua macam yaitu spa-igg dan spa-x region (Atkins et al., 2008). Program pengendalian mastitis subklinis yang teratur dapat berhasil baik apabila mampu mengendalikan atau mendeteksi penyebab mastitis subklinis lebih awal. Program pengendalian infeksi S. aureus bervariasi pada berbagai negara. Pengendalian S. aureus akhir-akhir ini dilakukan dengan pengembangan karakter klaster patogenesis yang berbeda antar negara (Tato, 2012). Metode yang mudah 15

16 diaplikasikan, hasil yang akurat, dan dapat dijadikan gold standar dalam mengidentifikasi keberadaan S. aureus dari susu segar dari ambing yang mengalami mastitis merupakan faktor krusial dalam mengontrol penyebaran penyakit yang disebabkan oleh S. aureus. Identifikasi bakteri patogen dari susu segar dapat dijadikan diagnosa defenitif dan juga memberikan informasi penting tindakan preventif serta kontrol sumber keracunan makanan dari susu maupun produk olahan susu (He et al., 2010). Metode diagnosa mastitis subklinis yang saat ini sering digunakan adalah Somatic Cell Counter (SCC) dan California Mastitis Test (CMT), akan tetapi metode diagnosa ini masih memiliki kelemahan. Penggunaan metode SCC tidak bisa diaplikasikan untuk semua hewan ternak penghasil susu, hanya akurat pada sapi perah (Persson dan Olofsson, 2011). Kekurangan metode CMT adalah interpretasi hasil bersifat subyektif dan tingkat sensitifitas reagen metode ini masih rendah (3 x 10 5 PMN) (Mellenberger dan Roth, 2000). Identifikasi S. aureus skala laboratoriun dilakukan dengan cara konvensional dan secara molekular. Identifikasi S. aureus secara konvensional dengan isolasi dan identifikasi menggunakan berbagai media selektif dan biokemis, memiliki keterbatasan yaitu membutuhkan biaya serta waktu yang panjang. Metode identifikasi S. aureus secara molekular misalnya dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) memiliki kelebihan akurasi tinggi dan dapat dilakukan dalam waktu singkat, namun kelemahan metode ini adalah dibutuhkannya biaya yang mahal. 16

17 Sedikitnya penelitian yang menghubungkan hasil penelitian konvensional dengan penelitian molekular mendorong dilakukan penelitian ini. Aplikasi deteksi cepat S. aureus pada susu segar dengan latex agglutination berbasis protein A diharapkan akan memiliki akurasi tinggi dan biaya rendah. Prinsip uji aglutinasi adalah dengan menggunakan partikel latex yang di-coating dengan plasma yang mengandung protein A dan protein adhesive (fibronectin-binding-protein, IgG), untuk direaksikan dengan susu segar yang mengandung S. aureus yang mempunyai determinan virulen faktor (Protein A). Hasil reaksi positif akan terbentuk aglutinasi pada slide oxoid. Hasil uji tersebut akan dibandingkan dengan uji konvensional dan molekular dengan menggunakan PCR. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah S. aureus dapat dideteksi secara langsung dari susu segar menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A? 2. Plasma yang mengandung biomarker protein A dari spesies mana yang paling sensitif digunakan untuk deteksi S. aureus? 3. Apakah metode uji menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A memiliki kesesuaian dengan uji konvensional? 4. Apakah deteksi S. aureus menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A memiliki kesesuaian dengan uji molekular? 17

18 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeteksi S. aureus secara langsung dari susu segar menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A. 2. Membandingkan sensitivitas plasma yang mengandung biomarker protein A dari spesies hewan untuk deteksi S. aureus. 3. Mengetahui kesesuaian uji latex agglutination berbasis biomarker protein A dengan uji konvensional. 4. Mengetahui kesesuaian uji latex agglutination berbasis biomarker protein A dengan uji molekular Manfaat Diharapkan dari hasil penelitian ini deteksi S.aureus dapat dilakukan lebih efisien, efektif, dan aplikatif di lapangan. Metode ini dapat digunakan untuk skrining kualitas susu secara cepat, sehingga dapat melindungi konsumen dari foodborne disease. Selanjutnya adanya hubungan protein A dengan mekanisme patogenesis S. aureus berpeluang dalam pengembangan vaksin berbasis protein A non-toksigenik untuk pengendalian mastitis subklinis dengan etiologi S. aureus. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai identifikasi S. aureus telah banyak dilakukan diantaranya: Essers (1980) telah meneliti identifikasi secara cepat dan akurat S. aureus dengan latex agglutination test. Sampel S. aureus berasal dari manusia 18

19 strain 836 dan plasma coating yang dipakai adalah plasma kelinci. Pada penelitian ini tidak dapat dibedakan S. hyicus dan S. intermedius. Naidu (1988) meneliti partikel aglutinasi assay untuk mendeteksi fibronektin, fibrinogen, dan kolagen reseptor pada S. aureus. Plasma coating yang digunakan berasal dari babi. Hasil penelitian ini bersifat general cocok untuk skrining cepat, mengikat berbagai bakteri patogen serum dan jaringan ikat protein sehingga tidak spesifik untuk S. aureus. Dalam penelitian-penelitian tersebut antigen yang digunakan adalah isolat S. aureus yang dipreparasi melalui tahapan kultur tidak langsung dari sampel (susu segar). Fujikawa dan Igarashi (1988) melakukan uji latex spesifik untuk S. enterotoxin. Metode ini membutuhkan waktu inkubasi selama 3 jam untuk pengujian. Griethuysen (2001) melakukan penelitian evaluasi pada latex agglutination tes yang ada di pasaran. Penelitian ini hanya membandingkan efektivitas dari kit komersial yang sudah ada dan menetukan kit yang paling baik serta sensitif. Penelitian molekuler gen spesifik penyandi protein A telah banyak dilakukan. Karahan (2011) melakukan penelitian mengenai deteksi gen spa-igg dan spa-x region dari S. aureus isolat S. aureus di Turki. Deteksi gen spa IgG dan spa-x region S. aureus juga telah diteliti oleh Aziz (2013) langsung dari susu segar yang berasal dari Baturaden dengan metode PCR. Penelitian tersebut berhasil mendeteksi S. aureus secara langsung dari susu segar dengan dengan ekstraksi dan analisis gen 23S rrna menggunakan PCR, sementara isolasi dan identifikasi S. aureus secara konvensional tetap dilakukan. 19

20 Ferrero (2014) melakukan penelitian sirkuit elektronik untuk membantu mendeteksi dengan cepat kesehatan dan kualitas susu sapi. Uji ini dilakukan berdasarkan ukuran konduktivitas listrik susu sapi. Susu abnormal terdeteksi berdasarkan nilai konduktivitas mutlak dan konduktivitas diferensial nilai antara perempat dari ambing. Akurasi dan pengulangan instrumen dibandingkan dengan Testo konduktivitasmeter dan ditemukan bahwa kesalahan dalam pengukuran kurang dari 5%. Prototipe ini memiliki sensitivitas yang tinggi, mudah digunakan dan biaya adalah sekitar 20 dolar. Deteksi gen penyandi protein A (spa) S. aureus isolat susu dan hubungannya dengan protein A sebagai antifagosit oleh sel polimorfonuklear (PMN) telah diteliti oleh Guno (2014) untuk mengetahui hubungan kekerabatan S.aureus pada wilayah Boyolali, Ponorogo, dan Pacitan. Salasia et al., (2013) telah melakukan penelitian pengembangan deteksi cepat S. aureus pada sapi perah dengan latex agglutination berbasis clumping factor. Penelitian ini menggunakan plasma kelinci sebagai plasma coating. Reaksi positif antara reagen dengan S. aureus akan memperlihatkan adanya aglutinasi pada slide, dengan konsentrasi tertinggi 10 9 CFU dan konsentrsasi terkecil 10 4 CFU. Dalam penelitian ini perangkat diagnostik yang dikembangkan adalah dengan mendeteksi S. aureus secara langsung dari susu segar dengan menggunakan uji latex agglutination menggunakan plasma kelinci terbaik dari beberapa plasma spesies yang diujikan. 20