HADÎTS DLA ÎF DAN KEHUJJAHANNYA (Telaah terhadap Kontroversi Penerapan Ulama sebagai Sumber Hukum)

dokumen-dokumen yang mirip
Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:

2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina.

HADITS SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA. Oleh Drs. H. Aceng Kosasih, M. Ag

Pengertian Hadits. Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi.

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HADITS

Al-Hadits Tuntunan Nabi Mengenai Islam. Presented By : Saepul Anwar, M.Ag.

BAB II PEMBAGIAN HADITS

Written by Andi Rahmanto Wednesday, 29 October :49 - Last Updated Wednesday, 29 October :29

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap sampel sanad hadis,

Analisis Hadis Kitab Allah Dan Sunahku

HADITS MASYHUR. Definisi

BAB II MUKHTALIF AL-HADITS. Mukhtalif al-hadits secara bahasa dapat dipahami dengan hadis-hadis

BAB I PENDAHULUAN. hal ihwal Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur an.

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD3013 MUSTHOLAH AL-HADITH (Minggu 3)

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Rasulullah SAW, hadis belumlah dibukukan, beliau tidak sempat

Manzhumah Al-Baiquniyyah: Matan dan Terjemah Pustakasyabab.blogspot.com

BAB V PENUTUP. Berdasarkan penelitian hadits tentang Hadis-Hadis Tentang Aqiqah. Telaah Ma anil Hadits yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya,

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL SEKOLAH MENENGAH ATAS / MADRASAH ALIYAH KURIKULUM 2013 TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Kata Kunci: Ajjaj al-khatib, kitab Ushul al-hadis.

ULUMUL HADIS ULUMUL HADIS

DAFTAR PUSTAKA. M. Isa H.A. Salam Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, 2004

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

Mengenal Ilmu Hadits Versi Lengkap Mengenal Ilmu Hadits

BAB IV ANALISIS SANAD DAN MATAN HADITS TENTANG SYAFAAT PENGHAFAL AL-QUR AN

Modul Pesantren Virtual : ULUMUL HADITS. Persembahan dari :

Bab 5. Hadist: Sumber Ajaran Islam Kedua

SLABUS DAN SAP ILMU HADIS

Hadis Sahih. Kamarul Azmi Jasmi

HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.

BAB IV MUSNAD AL-SHĀFI Ī DALAM KATEGORISASI KITAB HADIS STANDAR. Ulama hadis dalam menentukan kitab-kitab hadis standar tidak membuat

Kewajiban berdakwah. Dalil Kewajiban Dakwah

Suap Mengundang Laknat

BAB II KAIDAH KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS

BAB V PENUTUP. Berdasarkan paparan bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai

BAB V PENUTUP. 1. Kualitas sanad hadis-hadis tentang shalat dhuha dalam kitab al-targi>b. a. Hadis-Hadis Anjuran melaksanakan Shalat Dhuha

BAB I PENDAHULUAN. jelas. Diantara sumber ajaran agama Islam adalah Alquran dan alhadits. Sebagai

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL SEKOLAH MENENGAH ATAS / MADRASAH ALIYAH KURIKULUM 2006 TAHUN PELAJARAN 2016/2017

KAIDAH KEMUTTASILAN SANAD HADIS (Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail)

SEBAB-SEBAB PARA ULAMA BERBEDA PENDAPAT. (Dirangkum dari kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Raf ul Malaam an Aimatil A laam )

BAB III. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).

Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I ânah ath- Thalibin, I/12).

ILMU QIRAAT 1 DIPLOMA PENGAJIAN AL QURAN DAN AL SUNNAH 2014 MINGGU KE-4

HADIS SAHIH MUTAWATIR

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i

KARYA : Syaikh Umar bin Muhammad bin Futuuh Al Baiquniy. Oleh : Abu Sa id

BAB II PRILAKU MEMINTA-MINTA DAN METODE KRITIK HADIS

Selain itu hukum wajib atas Khutbah Jum'at, dikarenakan Nabi tidak pernah meninggalkannya. Hal ini termasuk dalam keumuman hadits:

RISALAH AQIQAH. Hukum Melaksanakan Aqiqah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-qur a>n, hadis memiliki

BAB II TINJAUAN UMUM SEPUTAR SANAD HADIS. Sanad disebut juga dengan Thariq (Jalan), karena sanad merupakan

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD3013 MUSTHOLAH AL-HADITH (Minggu 4)

Khitan. 1. Sejarah Khitan

BAB I PENDAHULUAN. juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al- Qur an yang mujmal, muthlaq, amm dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orangorang yang ruku (Al Baqarah : 43)

Taqlid, Do'a Iftitah dan Shalawat HUKUM TAQLID, DOA IFTITAH DAN SHALAWAT KHUTBAH JUM'AT

SUMBER AJARAN ISLAM. Erni Kurnianingsih ( ) Nanang Budi Nugroho ( ) Nia Kurniawati ( ) Tarmizi ( )

Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang meninggal dunia.

Metodologi Imam Tirmizi DR MUHAMAD ROZAIMI RAMLE

IRSYAD AL-HADITH SIRI KE-222: DAGING UNTA MEMBATALKAN WUDHUK

BAB II KESAHIHAN HADIS DAN KONSEP AL-TANWI ATAU AL- TAKHYI>R

Tidak Menghadiri Kebatilan

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

BAB II TEORI KES}AH}>IHAN HADIS DAN PEMBERIAN NAMA YANG BAIK BAGI SESEORANG

Derajat Hadits Puasa TARWIYAH

Silabus Mata Kuliah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UNISNU Jepara

Bab 42 Menghapal Ilmu

AQIQAH Pengertian Aqiqah

Pengantar Ulumul Quran. (Realitas Al-Quran)

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Setelah menguraikan dan menuliskan sub-bab hasil penelitian dan sub-bab

Belajar Ilmu Hadis (1) Pendahuluan

Dua Kelompok Penyebar Hadis Palsu

BAB I PENDAHULUAN. Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran, 1 sebagaimana

IKHTISAR ULUMUL HADITS

Menjual Rokok HUKUM SEORANG PEDAGANG YANG TIDAK MENGHISAP ROKOK NAMUN MENJUAL ROKOK DAN CERUTU DALAM DAGANGANNYA.

BAB I PENDAHULUAN. berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). 1. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan

Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Mengusap Muka Dengan Kedua Tangan Sesudah Selesai Berdo'a

Hukum Jenggot dan Cadar HUKUM TENTANG JENGGOT DAN CADAR

Hadits Mudallas. Triyasyid Nuruddin. Sekilas Pandang بسم ال الرحمن الرحيم. Editing oleh Tim IlmuIslam.net

Berani Berdusta Atas Nama Nabi? Anda Memesan Sendiri Tempat di Neraka

Kekhususan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Yang Tidak Dimiliki Oleh Umatnya

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

(SESI 3) Disiapkan oleh: Muhammad Hidhir Jamil

BAB II METODE KRITIK HADIS DAN PEMAKNAANNYA

BAB IV PEMAKNAAN DAN PENYELESAIAN HADIS TENTANG TATA CARA SUJUD DALAM SUNAN ABU DAWUD NO INDEKS 838 DAN 840

Bab 34 Bagaimana Cara Dicabutnya Ilmu

BAB IV KUALITAS MUFASIR DAN PENAFSIRAN TABARRUJ. DALAM SURAT al-ahzab AYAT 33

Seribu Satu Sebab Kematian Manusia

: :

Penetapan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal

Ust. H. Ahmad Yani, Lc. MA. Urgensi Menjaga Lisan

Dusta, Dosa Besar Yang Dianggap Biasa

BAB I PENDAHULUAN. Hadis merupakan sumber hukum Islam setelah al-qur a>n. Keduanya

Bab 26 Mengadakan Perjalanan Tentang Masalah Yang Terjadi dan Mengajarkan kepada Keluarganya

BAB IV ANALISIS HADIS SUGUHAN KELUARGA MAYAT. sanad. Adapun kritik sanadnya, antara lain sebagai berikut:

Transkripsi:

HADÎTS DLA ÎF DAN KEHUJJAHANNYA (Telaah terhadap Kontroversi Penerapan Ulama sebagai Sumber Hukum) Abdul Rokhim (Dosen Jurusan Syari ah STAIN Jember, Jl. Jumat No. 94 Mangil Jember, email : ojhim73@yahoo.com) Abstract: Hadits is the second argumentation (hujjah) source after al- Qur ân. However, there are many hadits refused becoming as an argumentation. According to the perspective of a Hadîts whether it is accepted or refused, it has three stages, namely shahîh, hasan, and dla îf This article focuses on the discussion of Hadîts dla îf, its argumentation and also its telling. In this relationship, there are three arguments of ulama Hadîts related to the argument of Hadîts dla îf. Firtsly, the argument states that Hadîts dla îf cannot be applied absolutely. Secondly, Hadîts dla îf can be applied absolutely. Thirdly, Hadîts dla îf can be used in fadla il alamah. In its telling, ulama hadits reminded people who told dla if Hadîts without sanad not to tell by redacting which showed full stability that it was a Hadîts. Keywords: Hadîts dla îf, hujjah, tsîqah, dan perawi Pendahuluan Sebagaiman diketahui bahwa Hadîts sebagai sumber ajaran Islam menempati posisi yang sangat urgen bagi umat Islam, sebab tanpa Hadîts nampaknya beberapa hal yang terdapat di dalam al- Qur ân masih belum rinci dan jelas. Jumhûr Ulamâ telah sepakat kalau Hadîts menjadi sumber hujjah yang kedua setelah al-qur ân dan sudah tidak diperdebatkan lagi, kecuali orang-orang yang sengaja mungkir terhadap keberadaan Hadîts sebagai sumber ajaran Islam.

Abdul Rokhim Hanya saja di dalam Hadîts sendiri banyak terdapat Hadîts-Hadîts yang tertolak dijadikan sebagai hujjah, karena beberapa faktor. Sehingga para ahli Hadîts sepakat membuat klasifikasi, mana suatu Hadîts dapat dikatakan maqbûl (diterima) dan mana Hadîts dapat dikatakan mardûd (ditolak). Hadîts ditinjau dari sisi banyaknya perawi dibagi dalam klasifikasi mutawâtir dan ahad. 1 Sedang Hadîts ahad ditinjau dari sisi jumlahnya perawi ada tiga yaitu masyhur, aziz dan gharib. Sedang jika ditinjau dari sisi diterima dan ditolaknya maka ada tiga yakni sahih, hasan dan dla îf. Berangkat dari beberapa latar belakang di atas dan pembatasan masalah yang akan dibahas, maka makalah ini hanya akan membahas seputar Hadîts dla îf baik ditinjau dari pengertian, pembagian dan kehujjahan serta meriwayatkannya. Pengertian Hadîts dla îf menurut Ibn Shalah adalah setiap Hadîts yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat Hadîts shahih dan sifat-sifat Hadîts hasan. 2 Adapun sifat-sifat Hadîts shahîh tersebut adalah bersambungnya sanad, adil-nya perawi, dlabith-nya perawi, tidak adanya syadz dan tidak adanya illat. Adapun menurut Abû Syuhbah mengatakan bahwa jika suatu Hadîts yang tidak memenuhi di dalamnya syarat-syarat Hadîts shahîh dan hasan yang enam, maka dikategorikan sebagai Hadîts dlaif. Sedang syarat-syarat tersebut adalah: (1) Bersambungnya sanad, (2) adil-nya perawi, (3) selamat dari banyak salah dan lupa (dlabith), (4) selamat dari syadz, (5) Selamat dari illat, dan (6) dari arah lain jika suatu Hadîts yang sanad nya mastur, maka Hadîts tersebut tidak buruk, tidak banyak salah dan tidak palsu. 3 Pembagian Hadîts Dla îf Menurut Muhammad Ibn Hibban mengatakan bahwa Hadîts dla îf terdapat tiga ratus delapan puluh satu macam bentuk. Adapun 1 M. Mudzakir, et.al., Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hlm. 85. 2 Ibn al-shalâh, Ibn, Muqaddimah Ibn Shalâh fî Ulûm al-hadîts (Beirut: Dâr al-kutub al- Alamiyah, 1989), hlm. 20 3 Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-wasid fî Ulûm wa Musthalah al-hadîts, Beirut: Dar al-fikr al- Arabi, 1984), hlm. 265. al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 188

Hadîts Dla îf dan Kehujjahannya jika ditinjau dari kenyataannya ada empat puluh sembilan macam, hanya saja pembagian tersebut tidak diberi istilah-istilah secara khusus. 4 Adapun Ajaj al-khatib membagi jenis-jenis Hadîts dla îf dalam dua kategori yaitu: (1) Hadîts dla îf disebabkan karena ketidakmuttashil-an sanad, dan (2) Hadîts dla îf karena selain ketidakmuttashil-an sanad. 5 Yang termasuk dalam Hadîts dla îf yang disebabkan karena ketidak muttasil-an sanad adalah: Pertama, Hadîts mursal. Menurut Jumhur Muhadîtsin, Hadîts mursal adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh seorang tâbi în baik dia besar atau kecil dari Rasûlullâh saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan maupun taqrîr-nya. 6 Akan tetapi sebagian ahli Hadîts mengatakan bahwa Hadîts mursal itu adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh seorang tâbi în besar saja dari Rasûlullâh saw, sedangkan yang dari thâbi în kecil dikategorikan sebagai Hadîts munqathi. Kedua, Hadîts munqathi. Hadîts munqathi adalah Hadîts yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. 7 Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan Hadîts mursal, hanya saja kalau Hadîts mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat. Sementara Hadîts munqathi tidak ada batasan gugurnya perawi pada tingkatan keberapa, baik gugurnya di awal, di tengah atau di akhir tetap disebut Hadîts munqathi. Dengan demikian Hadîts mursal dapat dimasukkan kedalam Hadîts munqathi sebab gugurnya pada posisi di awal yakni pada tingkatam sahabat. Ketiga, Hadîts Mu dal. Hadîts mu dal adalah Hadîts yang sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah Hadîts yang dimursalkan oleh tâbi altâbi în. Hadîts ini sama bahkan lebih rendah dari Hadîts munqathi. Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila ke munqathi an-nya lebih 4 Ibid., hlm. 276 5 Muammad Ajjâj al-khatib, Ushûl al-hadîts, (Beirut: Dâr al-fikr, 1998) 6 Syuhbah, al-wasid fî Ulûm, hlm. 280. 7 al-khatib, Ushûl al-hadîts, hlm. 305. al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 189

Abdul Rokhim dari satu tempat. 8 Adapun perbedaan antara mu dal dengan munqathi adalah kalau mu dal sanadnya gugur dua atau lebih secara berurutan, sedangkan pada munqathi sanadnya yang gugur satu atau lebih tidak secara berurutan. Ibnu Shalah mengatakan bahwa setiap Hadîts mu dal itu termasuk munqathi, akan tetapi tidak setiap munqathi itu mu dal. 9 Keempat, Hadîts Mudallas. Secara etimologi kata tadlis berasal dari akar kata al-dalas yang berarti al-dzulmah (kedzaliman). Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya. 10 Tadlis terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Tadlis al-isnad Tadlis al-isnad adalah seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu dari orang semasanya yang tidak pernah bertemu dengan orang lain, atau pernah bertemu tetapi yang diriwayatkannya itu tidak pernah didengar dari orang tersebut, dengan cara yang menimbulkan dugaan mendengar langsung. Misalnya dengan menyatakan: Fulan berkata, dari Fulan, Sesungguhnya Fulan melakukan begini-begini atau yang sejenis. Jenis tadlis al-isnad yang lebih buruk lagi adalah jika ada seorang perawi mengugurkan gurunya atau guru dari gurunya ataupun yang lain, dengan alasan ke-dla îf-an mereka atau karena masih kecil atau karena alasan lain. Kemudian ia menggunakan kata yang mengandung kemungkinan mendengar langsung dari gurunya untuk memperindah kualitas Hadîtsnya, dengan meratakan sanadnya. Sehingga seolah-olah ia bertemu langsung dengan para perawi yang tsîqah. Jenis yang demikian ini disebut tadlis al-taswiyah. Dan ini merupakan jenis tadlis yang terburuk karena mengandung pengelabuhan yang sangat keterlaluan. 11 2. Tadlis al-syuyûkh 8 Ibid., hlm. 306 9 Ahmad Umar Hasyim, Qawâ id Ushûl al-hadîts (Beirut: Dâr al-kutub al- Arabi, 1984), hlm. 103. 10 al-khatib, Ushûl al-hadîts, hlm. 307. 11 Ibid., hlm. 307. al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 190

Hadîts Dla îf dan Kehujjahannya Jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad, karena perawinya tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad, dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawinya hanya menyebut gurunya, memberi kunyah, nisbat ataupun sifat yang tidak lazim dikenal. 12 Kelima, Hadîts Mu allal, yakni Hadîts yang tersingkap didalamnya illat qadihah, meski lahiriyahnya tampak terbebas darinya. Artinya seolah-olah Hadîts tersebut tergolong bebas dari cacat tetapi setelah diteliti secara mendalam ternyata terdapat kecacatan pada sanadnya. Ajaj al-khatib memasukkan Hadîts dalam kategori ini kedalam Hadîts dla îf dari segi kemuttasilan sanad, karena kecacatan Hadîts bisa dari sanad, kadang pada matan, dan kadang juga pada sanad dan matan sekaligus. Adapun Hadîts dla îf yang karena sebab lain dari ketidak muttasil-an sanad atau hal lain ada enam jenis kategori, yaitu: Pertama, Hadîts mudlâ af, yakni Hadîts yang tidak disepakati kedla îf-annya. Sebagian ahli Hadîts menilainya mengandung kedlaifan, baik dari segi sanadnya maupun matannya, dan sebagian ahli lain menilainya sebagi Hadîts yang kuat. Dengan demikian yang tergolong Hadîts ini tidak ada kesepakatan atas kedla îf-annya dan sebagian ahli Hadîts mengkategorikan sebagai Hadîts dla îf yang derajatnya paling tinggi. 13 Kedua, Hadîts Mudltharib, yakni Hadîts yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak mungkin di-tarjîh-kan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Bila salah satunya bisa di tarjih kan dengan salah satunya yng lain dengan alasan tarjîh, misalnya perawinya lebih hafid atau lebih sering bergaul dengan perawi sebelumnya (gurunya), maka penilaiannya diberikan kepada yang râjih itu. Dalam kondisi yang demikian tidak lagi dimasukkan dalam kategori yang mudltharib, baik untuk yang râjih maupun yang marjûh. Kadang-kadang ke-mudltharib-an terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi, kadang juga pada sanad,kadang 12 Ibid., hlm. 308 13 Hasyim, Qawâ id Ushûl, hlm. 117. al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 191

Abdul Rokhim pada matan dan kadang juga pada keduanya. Ke-mudltharib-an mengakibatkan suatu Hadîts menjadi dla îf, karena menunjukkan ketidak dlabit-an adalah syarat ke-shahîh-an dan ke-hasan-an Hadîts. 14 Ketiga, Hadîts Maqlûb, yakni Hadîts yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu anad untuk matan lainnya. Pemutarbalikan itu adakalanya pada matannya, adakalanya pada sanadnya yaitu terbaliknya nama perawi, kadang pula ada Hadîts yang diriwayatkan melalui jalur perawi yang telah dikenal atau sanadnya telah populer kemudian tertukar dengan perawi lain pada tingkatannya atau dengan sanad lain yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja. 15 Keempat, Hadîts Syadz. Sebagaimana kata Imâm al-syafi i sang ulama yang memperkenalkan Hadîts syadz bahwa, Hadîts syadz tidaklah merupakan Hadîts yang perawinya tsîqah meriwayatkan Hadîts yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain, tetapi Hadîts syadz adalah bila diantara sekian perawi tsîqah ada diantara mereka yang menyimpang dari lainnya. Dan selanjutnya pengikut Imâm al-syâfi î sepakat dengan pengertian tersebut. 16 Dengan demikian kriteria syadz adalah tafarrud (kesendirian perawinya) dan mukhâlafah (penyimpangan). Seandainya ada perawi yang berkualitas tsîqah melakukan penyendirian dalam periwayatan suatu Hadîts tanpa melakukan penyimpangan dari yang lainnya, maka Hadîtsnya shahîh bukan syadz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena hafalannya atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjîh lainnya, maka yang rajih disebut mahfûdz, sedang yang marjûh disebut syadz. 17 Kelima, Hadîts Munkar, yakni Hadîts yang diriwayatkan oleh perawi dla îf yang berbeda dengan perawi-perawi lainnya yang tsîqah. Oleh karena itu kriteria Hadîts munkar adalah 14 al-khatib, Ushûl al-hadîts, hlm. 310. 15 Ibid., hlm. 12. 16 Syuhbah, al-wasid fî Ulûm, hlm. 300. 17 al-khatib, Ushûl al-hadîts, hlm., 313 al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 192

Hadîts Dla îf dan Kehujjahannya penyendirian perawi dla îf dan mukhalafah. Seandainya ada seorang perawi dla îf melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu Hadîts, tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang tsîqah, maka Hadîtsnya tidak munkar, akan tetapi dla îf. Bila Hadîtsnya ditentang dengan adanya Hadîts dari perawi tsîqah, maka yang râjih disebut ma rûf dan yang marjûh disebut munkar. 18 Dalam hal ini Ibnu Shalah menggolongkan Hadîts munkar ke dalam Hadîts syadz, karena memiliki kesamaan kriteria, yakni tafarrud dan mukhalafah. Keenam, Hadîts Matruk dan Matruh. Hadîts matruk adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang muttaham bi al-kidzbi (yang tertuduh melakukan dusta) dalam Hadîts nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun perkataannya, ataupun yang sering sekali salah dan lupa. Dan Hadîts ini adalah tingkat Hadîts dla îf yang terendah derajatnya. Misalnya Hadîts Sidqah al- Daqiqi dari Farqad dari Murrah dari Abî Bakr, dan Hadîts Amr ibn Shamr dari Jâbir al-ja fî dari Harits dan Alî. 19 Sedangkan dalam hal Hadîts matruh, al-hâfidz al-dzahabi memasukkan sebagai suatu Hadîts tersendiri. Dengan mengambil istilah tersebut dari term ulama Fulan Matruh al-hadîts (seseorang yang terlempar Hadîtsnya). Ia mengatakan: seseorang yang demikian termasuk dalam daftar Hadîts perawi dla îf lagi tertinggal Hadîtsnya. Akan tetapi al-jazayri berpendapat bahwa yang demikian itu tidak lain adalah Hadîts matruk, yakni yang diriwayatkan dengan menyendiri oleh perawi yang tertuduh dusta dalam Hadîts, termasuk orang yang dikenal sering berbuat dusta selain dalam Hadîts. 20 Kehujjahan Hadîts Dla îf Telah diketahui bahwa Hadîts semasa sebelum al-tirmidzi dibagi dalam dua kategori yakni: (1) Hadîts shahîh yang didalamnya terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh, dan (2) Hadîts dla îf yang di 18 Ibid., 313. 19 Syuhbah, al-wasid fî Ulûm, hlm. 305. 20 al-khatib, Ushûl al-hadîts, hlm. 314. al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 193

Abdul Rokhim dalamnya tidak terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh, termasuk di dalamnya Hadîts hasan atau Hadîts dla îf yang derajatnya naik menjadi Hadîts hasan karena aspek banyaknya jumlah sanad dan jalan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang mengenalkan pembagian Hadîts kedalam shahîh, hasan dan dla îf adalah al-tirmidzi, serta tidak dikenal pembagian semacam ini sebelumnya. Dan telah diketahui kalau Imâm Ahmad bin Hanbal sesunguhnya menggunakan Hadîts dla îf sebagai hujjah setelah fatwa sahabat. Imâm Ahmad bin Hanbal sesungguhnya menerima riwayat dla îf jika tidak diketahui kebohongan perawi dan tidak masyhûr dlabith-nya tetapi mereka dikenal kebaikannya seperti Ibn luhai ah dan lainnya. Dengan demikian dla îf dalam pandangan Imâm Ahmad bin Hanbal ini adalah Hadîts hasan atau Hadîts dla îf yang naik derajatnya menjadi Hadîts hasan. 21 Adapun menurut Ibnu Taymiyah dalam Minhâj al-sunnah mengatakan: Jika aku mengatakan Hadîts dla îf lebih baik dari pada pendapatku berarti yang dimaksud adalah bukan Hadîts matruk tetapi Hadîts hasan. Sebagaimana Hadîtsnya Amr ibn Syu aib dari bapaknya dari kakeknya. 22 Adapun kehujjahan Hadîts dla îf ada tiga pendapat yaitu: Pertama, pendapat para ahli Hadîts yang besar seperti Imâm Bukhârî dan Imâm Muslim, yang berpendapat bahwa Hadîts dla îf tidak bisa diamalkan secara mutlak. Baik dalam masalah fadlâ il al-a mâl, ahkâm, al-i tibar maupun masalah mawâ idz. Perkara-perkara agama tidak dapat didasarkan kecuali pada al-qur ân dan Sunnah Rasûlullâh saw yang shahîh. Adapun Hadîts dla îf adalah Hadîts yang bukan shahîh. Dan pengambilan Hadîts dla îf dalam masalah agama berarti menambah masalah-masalah syari at yang tidak diketahui dasar ilmunya. Padahal ada larangan dari Allah swt. yang tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak didasarkan atas ilmunya (walâ takfu mâ laysa laka bihi ilm). 23 21 Hasyim, Qawâ id Ushûl, hlm. 89. 22 Ibid., hlm. 91. 23 Ibid., hlm. 91. al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 194

Hadîts Dla îf dan Kehujjahannya Kedua, Hadîts dla îf bisa diamalkan secara mutlak. Sebagaimana Imâm al-suyûthî mengatakan bahwa Imâm Abû Dawûd dan Imâm Ahmad, keduanya berpendapat kalau Hadîts dla îf lebih kuat dari pada ra y perorangan. 24 Ketiga, Hadîts dla îf bisa digunakan dalam masalah fadlâ il, mawâ idz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mensyaratkan Hadîts dla îf yang dapat diamalkan adalah: (1) ke-dla îfannya tidak terlalu, sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering melakukan kesalahan; (2) Hadîts dla îf tersebut masuk dalam cakupan Hadîts pokok yang bisa diamalkan dan tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam; (3) ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa Hadîts itu berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati; (4) fadlâ il dan yang sejenis seperti mawadz, al-targhib wa al-tarhib bukan dalam masalah aqidah dan hukum. 25 Meriwayatkan Hadîts Dla îf Ulama Hadîts mengingatkan agar orang yang meriwayatkan Hadîts dla îf tanpa sanad tidak meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa hal itu merupakan Hadîts. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan : Rasûlullâh SAW menyabdakan begini-begini, dan sejenisnya. Dan kata-kata tersebut makruh digunakan dalam meriwayatkan Hadîts shahih. Sehingga dalam meriwayatkan Hadîts shahih seseorang harus menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh akan kualitasnya. Adapun meriwayatkan Hadîts dla îf lengkap dengan sanadnya tidak dimakruhkan menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahl al-ilmi. Sedang bila diriwayatkan kepada orang yang awam, agar tidak menunjukkan kemantapan penuh. 26 24 Ibid., hlm. 91. 25 Ibid., hlm. 92. 26 al-khatib, Ushûl al-hadîts, hlm. 316. al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 195

Abdul Rokhim Penutup Demikian sekelumit pembahasan tentang Hadîts dla îf, ditinjau dari pengertian, pembagian, kehujjahan dan meriwayatkannya. Tentu dalam paparan sederhana ini sangat kurang bermutu dan banyak kesalahan. Kritik dan saran konstruktif untuk perbaikan sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini. Wallâhu a lam bi al-shawâb. Daftar Pustaka Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad Abû al-wasît fî Ulûm wa Musthalah al-hadîts. Beirut : Dar al-fikr al- Arabi. 1984. Khatib, Muhammad Ajjaj al-. Ushûl al-hadîts. Beirut: Dâr al-fikr, 1998 Shalah, Ibn al-. Muqaddimah Ibn Shalâh fî Ulûm al-hadîts. Beirut: Dâr al- Kutub al-ilmiyah, 1989. Hasyim, Ahmad Umar. Qawâ id Ushûl al-hadîts. Beirut: Dâr al-kutub al- Arabi. 1984. Mudzakir, M, et. al. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2004 al-ihkâ V o l. IV N o. 2 D e s e m b e r 2 0 0 9 196