Jurnal Fisika Unand Vol. 2, No. 4, Oktober 2013 ISSN

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KARAKTERISTIK FREKUENSI KRITIS (fof2), KETINGGIAN SEMU (h F) DAN SPREAD F LAPISAN IONOSFER PADA KEJADIAN GEMPA PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI

ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007

ANALISIS PERBANDINGAN ANOMALI FREKUENSI KRITIS LAPISAN E S DAN F 2 IONOSFIR YANG MERUPAKAN PREKURSOR GEMPA ACEH PADA TANGGAL 07 APRIL 2010

Skripsi Diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika. Oleh: Edwards Taufiqurrahman

METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

Sri Suhartini *)1, Irvan Fajar Syidik *), Annis Mardiani **), Dadang Nurmali **) ABSTRACT

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

PENERAPAN METODE POLARISASI SINYAL ULF DALAM PEMISAHAN PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI DARI ANOMALI GEOMAGNET TERKAIT GEMPA BUMI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada pembenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia,

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA

Analisis Percepatan Tanah Maksimum Wilayah Sumatera Barat (Studi Kasus Gempa Bumi 8 Maret 1977 dan 11 September 2014)

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

Bab IV Hasil dan Pembahasan

VARIASI LAPISAN E DAN F IONOSFER DI ATAS KOTOTABANG

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

ANALISIS KOMPATIBILITAS INDEKS IONOSFER REGIONAL [COMPATIBILITY ANALYSIS OF REGIONAL IONOSPHERIC INDEX]

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dari katalog gempa BMKG Bandung, tetapi dikarenakan data gempa yang

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS

LAPISAN E IONOSFER INDONESIA

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER

Gambar 1. Perubahan nilai kandungan elektron di atmosfer sebelum terjadi Gempabumi Yogyakarta 26 Mei 2006 ( I Made Kris Adi Astra, 2009)

* ABSTRAK ABSTRACT

PENENTUAN PREKURSOR GEMPA BUMI MENGGUNAKAN DATA GEOMAGNET NEAR REAL TIME DENGAN METODE PERBANDINGAN POLARISASI 2 STASIUN

PENGOLAHAN SINYAL GEOMAGNETIK SEBAGAI PREKURSOR GEMPA BUMI DI REGIONAL JEPANG

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF

PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

Sri Suhartini 1, Irvan Fajar Syidik, Slamet Syamsudin Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 15 Februari 2014; Disetujui 17 April 2014

PERBANDINGAN PERHITUNGAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI SEKITAR STASIUN TANGERANG (175 4'BT; 17 6'LS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC

ANALISIS DATA EQUATORIAL ATMOSPHERE RADAR (EAR) PADA GEMPA PADANG PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL

Diterima 2 Februari 2015; Direvisi 13 Februari 2015; Disetujui 16 Maret 2015 ABSTRACT

Analisis Medan Magnet Bumi Sebelum dan Sesudah Kejadian Gempa (Studi Kasus: Gempa 18 November 2014 di Sabang)

TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK

BAB III METODE PENELITIAN

LAPISAN E SPORADIS DI ATAS TANJUNGSARI

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini dilakukan indentifikasi terhadap lubang korona, angin

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

KORELASI POLARISASI MAGNET Z/H UNTUK IDENTIFIKASI PREKURSOR GEMPA DI SEKITAR PELABUHAN RATU

BAB III METODE PENELITIAN

RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN

Analisis Karakteristik Prakiraan Berakhirnya Gempa Susulan pada Segmen Aceh dan Segmen Sianok (Studi Kasus Gempa 2 Juli 2013 dan 11 September 2014)

Buldan Muslim Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

Analisis Daerah Dugaan Seismic Gap di Sulawesi Utara dan sekitarnya

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN. Sepertiga wilayah Indonesia berada di atas permukaan laut yakni belasan

STUDI ANOMALI SINYAL MAGNET BUMI Ultra Low Frequency SEBAGAI PREKURSOR GEMPA BUMI UNTUK KASUS KEJADIAN GEMPA BUMI DENGAN MAGNITUDO KECIL

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan

ANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI

VARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA

ANCAMAN BADAI MATAHARI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

NEAR REAL TIME SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PEMANTAU CUACA ANTARIKSA

Diterima 6 September 2012; Disetujui 15 November 2012 ABSTRACT

Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

ANALISIS MORFOLOGI GANGGUAN SINTILASI IONOSFER DI INDONESIA

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

Pengolahan awal metode magnetik

Diterima 6 Maret 2015; Direvisi 18 Maret 2015; Disetujui 17 April 2015 ABSTRACT

PEMANTAUAN ANOMALI TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) BERKAITAN DENGAN KEJADIAN GEMPABUMI DI SEKITAR WILAYAH JAWA TAHUN 2015

PEMANTAUAN ANOMALI TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) BERKAITAN DENGAN KEJADIAN GEMPABUMI DI SEKITAR WILAYAH JAWA TAHUN 2015

ANALISIS PERIODE ULANG DAN AKTIVITAS KEGEMPAAN PADA DAERAH SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA

BAB IV ANALISIS KUAT MEDAN PADA PENERIMAAN RADIO AM

Transkripsi:

ANALISIS ANOMALI KETINGGIAN SEMU LAPISAN F IONOSFER (h F) SEBAGAI PREKURSOR TERJADINYA GEMPA LAUT (Studi kasus terhadap 2 sampel gempa laut di Sumatera Barat) Rika Desrina Saragih 1, Dwi Pujiastuti 1, Ednofri 2 1 Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Andalas 2 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Palupuh, Sumatera Barat e-mail: rikadesrinasaragih@ymail.com ABSTRAK Telah dilakukan analisis kualitatif untuk korelasi antara aktivitas seismik sebelum gempa besar (M 5 SR) dengan ketinggian semu lapisan F ionosfer (h F) untuk 2 sampel gempa laut di Sumatera Barat. Sampel gempa laut yang dipilih adalah gempa Pariaman (30 September 2009) dan gempa Pesisir Selatan (07 Februari 2013). Data ionosfer yang digunakan adalah ionogram yang diperoleh dari ionosonda Frequency Modulation Continous Wave (FMCW) di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Palupuh, Sumatera Barat. Proses scaling ionogram untuk kedua gempa selama 7 hari sebelum gempa dilakukan dan diproses lebih lanjut untuk mendapatkan nilai variasi harian h F. Nilai variasi harian h F kemudian dibandingkan dengan nilai mediannya untuk melihat anomali yang muncul. Berdasarkan pada analisis yang dilakukan, ditemukan bahwa untuk kedua sampel gempa, prekursor mulai muncul pada saat 7 hari sebelum gempa. Total munculnya prekursor untuk gempa Pariaman sebanyak 7 kali dan untuk gempa Pesisir Selatan sebanyak 2 kali. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan karakteristik dari kedua gempa. Kata kunci : ionosfer, h F, prediksi gempa. ABSTRACT Corellation between seismic activity prior to strong earthquake (M 5 SR) and ionosphere s F-layer height (h F) was analyzed qualitatively using 2 earthquake events occurred in West Sumatera. The earthquakes chosen were Pariaman earthquake (September 30, 2009) and South Pesisir earthquake (February 07, 2013). Ionospheric data used were ionogram from ionosonde Frequency Modulation Continous Wave (FMCW) retrieved at LAPAN (National Space and Airline Agency), Palupuh, West Sumatera. Ionogram scaling for 7 days before earthquake were performed to get h F daily values, then the values are compared with their medians to find anomalies. From analysis, precursor were found 7 days before both earthquake events. Precursor occurence for Pariaman earthquake is 7 times and for Pesisir Selatan earthquake is 2 times. Difference in precursor occurence is probably due to different characteristic of each earthquake. Keywords : ionosphere, h F, earthquake prediction. I. PENDAHULUAN Gempa bumi adalah tanah yang berguncang akibat patahan atau pergeseran mendadak yang terjadi di dalam kerak bumi. Dampak yang ditimbulkan oleh gempa bumi, yaitu : getaran atau guncangan tanah (ground shaking), likuifaksi (likuifaction), tsunami, longsoran tanah dan bahaya sekunder seperti arus pendek dan gas bocor yang dapat menyebabkan kebakaran, memakan korban jiwa dan mengakibatkan kerugian dalam sisi perekonomian. Mengingat besarnya dampak dan kerugian yang diakibatkan oleh gempa bumi maka muncul gagasan untuk memantau, mempre-deteksi bahkan memprediksi kapan terjadinya sebuah gempa bumi secara komprehensif. Metode prediksi gempa dengan memperhatikan kondisi fisis di sekitar episenter gempa semakin giat dikembangkan seperti pengukuran terhadap anomali emisi gas radon dan pengukuran air tanah. Beberapa fenomena lain juga telah dikenali sebagai prekursor gempa bumi misalnya perubahan medan magnet, perubahan medan elektromagnetik, perubahan medan listrik, perubahan medan gravitasi dan gangguan di ionosfer sebelum terjadinya gempa bumi. Pengamatan terhadap gangguan di ionosfer sebelum terjadinya gempa bumi merupakan salah satu metode yang sedang berkembang saat ini. Ionosfer merupakan lapisan yang terletak pada ketinggian sekitar 50 km hingga sekitar 1000 km dari permukaan bumi, dan mengandung partikel-partikel bermuatan (Kaloka et al., 2010). Deformasi pada zona persiapan gempa akan 220

menyebabkan radon yang tersimpan dalam batuan terlepas ke udara dan meluruh. Energi hasil peluruhan radon mengionisasi atom di atmosfer dan menyebabkan perubahan komposisi ion di ionosfer (Pulinets dan Legen ka, 2003; Pulinets dan Boyarchuck, 2004). Karena gempa bumi menyebabkan perubahan komposisi ion di ionosfer (Pulinets dan Legen ka, 2003; Pulinets dan Boyarchuck, 2004) maka gangguan yang terjadi di ionosfer dapat dijadikan sebagai salah satu prekursor gempa bumi dengan memanfaatkan ionosonda yang telah terpasang dan memberikan rekaman citraan keadaan lapisan ionosfer. Sebagai studi awal yang sedang berkembang, maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi antara gangguan yang terdapat di lapisan ionosfer terhadap gempa bumi khususnya pengembangan terhadap parameter yang terdapat pada lapisan F ionosfer. Lapisan F ionosfer ini merupakan satu dari tiga lapisan yang terdapat pada ionosfer yang berada pada rentang ketinggian ± 140 210 km. Ketika siang hari lapisan F ini terbagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan F 1 dan F 2 dan ketika malam hari lapisan ini bergabung hanya menjadi 1 lapisan yaitu lapisan F. Melihat keberadaan dari lapisan ini maka dapat diketahui bahwa karakteristik utama dari lapisan F adalah lapisan yang selalu ada (24 jam) sehingga membuat lapisan ini dapat menjadi prekursor yang baik untuk memprediksi terjadinya sebuah gempa bumi. Prekursor gempa dapat terjadi pagi, siang, sore atau malam hari sehingga dengan mengamati anomali pada lapisan F tidak akan ada waktu yang terlewatkan. Anomali ketinggian semu lapisan F (h F) dapat disebabkan oleh dorongan dari gelombang gravitasi akustik yang disinyalir akibat adanya gempa bumi, badai magnetik dan aktivitas matahari. Pada penelitian ini akan dilakukan peninjauan terhadap badai magnetik dan aktivitas matahari untuk memastikan bahwa anomali yang terjadi pada ketinggian semu lapisan F (h F) hanya disebabkan oleh adanya dorongan dari bawah yaitu gempa bumi. Gempa yang dijadikan sampel penelitian ini merupakan 2 sampel gempa laut di Sumatera Barat dengan magnitudo gempa 5 SR. Pemilihan 2 sampel gempa laut dengan magnitudo gempa 5 SR diinspirasi oleh pernyataan Pulinets (2004) yaitu bentuk dan ukuran area yang menghasilkan medan listrik serta arah medannya akan berpengaruh terhadap ketidakstabilan yang terjadi, dengan demikian gempa dengan magnitudo yang besar akan menyebabkan gangguan yang signifikan. Waktu pengamatan prekursor gempa bumi adalah 7 hari sebelum gempa bumi dan 7 hari setelah gempa bumi. Pengamatan pada 7 hari sebelum gempa bumi ini berdasarkan pernyataan Pulinets dan Legen ka (2003) menyatakan bahwa prekursor biasanya teramati lima hari hingga beberapa jam sebelum gempa, dan beberapa sumber lain mengatakan prekursor muncul seminggu sebelum gempa. Waktu pengamatan 7 hari setelah gempa bumi ini untuk melihat bahwa setelah terjadinya gempa bumi, ketinggian semu lapisan F (h F) berada pada keadaan normalnya. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan menganalisis ionogram dari ionosonda FMCW (Frequency Modulation Continous Wave) yang berada di LAPAN LPA Kototabang, Kabupaten Agam dengan data tanggal ionogram untuk masing-masing gempa seperti pada Tabel 1. Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung jarak lokasi Ionosonda yaitu Kototabang ke masingmasing lokasi episenter gempa dihitung dengan menggunakan Latitude/Longitude Distance Calculator di alamat website : http://www.nhc.noaa.gov/gccalc.shtml. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menghitung luas zona persiapan gempa dengan menggunakan persamaan 1. Tabel 1. Data tanggal Ionogram yang dibutuhkan untuk masing-masing sampel gempa No. Lokasi Gempa Tanggal Gempa M (SR) Ionogram yang Dibutuhkan 1. Pariaman 30 September 7,6 2009 23 September 2009 07 Oktober 2009 2. Pesisir Selatan 07 Februari 5,6 2013 31 Januari 2013 14 Februari 2013 221

0,43M 10 (1) dengan keterangan, ρ adalah radius zona persiapan gempa (km) dan M adalah magnitudo gempa (SR). Luas zona persiapan gempa akan berpengaruh pada perubahan fisis dan kimiawi yang terjadi (Pulinets, et al., 2003; Pulinets, et al., 2004; Tsolis, et al., 2009). Selanjutnya, proses scaling ionogram dilakukan dengan dengan membuka data ionogram menggunakan Microsoft Paint dan mengarahkan cursor pada titik horizontal terendah dari jejak lapisan F seperti yang terlihat pada Gambar 1. h F Gambar 1 Proses scaling ionogram menggunakan Microsoft Nilai y Paint Untuk memperoleh nilai variasi harian h F hasil scaling h F diolah menggunakan Persamaan 2 (Jiyo, 2008). h( y) 3(340 y) (2) Dengan keterangan, y adalah koordinat piksel dari h F. Scaling h F dilakukan untuk ionogram setiap 5 menit, dan nilai piksel pada sumbu-y dicatat dan dimasukkan ke Persamaan 2 untuk mendapatkan variasi harian h F dan langkah ini diulangi untuk setiap ionogram. Setelah diperoleh nilai variasi harian h F, dilakukan perhitungan nilai median h F menggunakan Microsoft Excel dan selanjutnya nilai deviasi h F untuk setiap waktu dihitung dengan menghitung selisih antara nilai variasi harian h F terhadap nilai mediannya. Nilai standar deviasi juga dihitung menggunakan Persamaan 3. 2 ' ' h F i h F h (3) n 1 dengan keterangan, σ h adalah standar deviasi harian, h F i adalah ketinggian semu lapisan F (km) untuk setiap waktunya, h ' F adalah nilai rata-rata harian h F untuk suatu waktu yang sama,dan n adalah banyak data h F dalam 15 hari pengamatan. Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap nilai deviasi rata-rata untuk keseluruhan nilai deviasi. Nilai batas atas h F diperoleh dari menjumlahkan nilai median untuk masing-masing waktu dengan nilai rata-rata standar deviasi selama 15 hari pengamatan. Nilai batas bawah diperoleh dari menghitung selisih nilai median untuk masing-masing waktu dengan nilai rata-rata standar deviasi selama 15 hari pengamatan. Anomali h F ditandai dengan nilai h F yang melebihi nilai batas atas h F atau batas bawah h F. Waktu munculnya anomali h F kemudian dilanjutkan dengan peninjauan terhadap badai magnetik yang dilakukan dengan menganalisis plot data Indeks Dst yang diperoleh dari World Data Center C-2 Kyoto University, Jepang, dengan alamat website : http : // wdc.kugi.kyoto-u. ac.jp/dstdir/. Peninjauan terhadap aktivitas matahari dilakukan dengan menganalisis grafik X-Ray Solar Flare yang diperoleh dari Space Weather Prediction Center 222

(SWPC) dengan alamat website : http://www.swpc.noaa.gov/ftpmenu/warehouse.html. Sehingga, anomali h F dapat dipastikan merupakan akibat dari gempa bumi. III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Jarak Episenter Gempa ke Ionosonda Kototabang dan Luas Zona Persiapan Gempa Jarak masing-masing episenter gempa ke ionosonda Kototabang yang dihitung menggunakan Latitude/Longitude Distance Calculator dapat dilihat pada Tabel 2 dan Luas zona persiapan gempa yang dihitung dengan menggunakan Persamaan 1 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2 Jarak episenter gempa ke ionosonda Kototabang No. Lokasi Gempa Episenter Gempa Lokasi Ionosonda KTB Jarak (km) 1. Padang Pariaman 0,84 LS 99,65 BT 0,30 LS - 100,35 BT 98 2. Pesisir Selatan 1,51 LS 100,18 BT 0,30 LS - 100,35 BT 136 Tabel 3 Luas zona persiapan gempa No 3 5 Lokasi Gempa Padang Pariaman Pesisir Selatan Tanggal Jam (WIB) Episenter Kedalaman (km) Magnitudo (SR) Luas Zona Pesiapan Gempa (km) 30/09/2009 17.16 0,84 LS 99,65 BT 71 7,6 1853,5 07/02/2013 05.12 1,51 LS 100,18 BT 10 5,6 255,8 Secara teori, luas zona persiapan gempa akan berpengaruh pada perubahan fisis dan kimiawi yang terjadi (Pulinets, et al., 2003; Pulinets, et al., 2004; Tsolis, et al., 2009). Karena jarak masing-masing episenter gempa ke ionosonda KTB (Tabel 1) masih berada dalam radius zona persiapan gempa (Tabel 2) maka secara teori lapisan ionosfer yang berada pada lokasi ionosonda di Kototabang juga mengalami perubahan fisis dan kimiawi yang diakibatkan oleh masing-masing sampel gempa bumi. Pernyataan secara teoritis ini melanjutkan langkah menuju tahap pencarian waktu munculnya prekursor yang dapat dilihat pada plot ketinggian (km) terhadap waktu Lintang Time (LT) untuk masing-masing sampel gempa bumi pada penjelasan analisis anomali h F. 3.2 Deviasi h F untuk Gempa Pariaman Tanggal 30 September 2009 Plot nilai deviasi dan nilai standar deviasi untuk tanggal 23 30 September 2009 dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut. Gambar 1 Plot deviasi dan standar deviasi tanggal 23 30 September 2009 untuk gempa Pariaman tanggal 30 September 2009. Pengamatan terhadap Gambar 1 memberikan petunjuk bahwa terjadi deviasi yang melebihi standar deviasi yang siginifikan pada tanggal 23, 25, 26, 27, 28,29 dan 30 September 2009. Pada tanggal 23 September 2009 pukul 10.50 11.35 WIB, h F mencapai ketinggian minimum yaitu 183 km yang biasanya berada pada ketinggian 369 km. Pada pukul 10.50 11.35, seharusnya h F mengalami kenaikan karena kuatnya pengaruh intensitas matahari. Akan tetapi, h F justru mengalami deviasi negatif yang telah melebihi batas bawah h F, sehingga 223

deviasi negatif ini diduga merupakan anomali. Anomali h F Pada tanggal 23 September 2009 pukul 10.50 11.35 WIB direkomendasikan sebagai waktu awal munculnya prekursor gempa Pariaman tanggal 30 September 2009. Pada tanggal 26 September 2009, terjadi deviasi positif pada pukul 00:40 01.25 WIB dengan h F mencapai ketinggian hingga 300 km. Deviasi positif ini direkomendasikan sebagai prekursor gempa. Pada tanggal 27 September 2009, deviasi negatif terjadi pada pukul 09.50 12.40 WIB. Deviasi negatif maksimum adalah -189 dengan ketinggian h F minimum adalah 159 km pada pukul 11.25 WIB. Penurunan nilai h F yang telah melebihi nilai batas bawah h F ini dianggap sebagai sebuah anomali dan direkomendasikan sebagai prekursor gempa. Grafik Anomali h F untuk gempa Pariaman dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Grafik prekursor Gempa Pariaman Tanggal 30 September 2009. Pada tanggal 28 September 2009 terjadi deviasi negatif pada pukul 09.50 11.30 WIB. Deviasi negatif maksimum adalah -186 dan ketinggian h F minimum adalah 177 km. Deviasi negatif ini juga direkomendasikan sebagai prekursor gempa. Deviasi negatif kembali terjadi keesokan harinya yaitu tanggal 29 September 2009 pada waktu yang sama, yaitu pukul 09.55 11.30. Penurunan nilai h F yang terjadi pada pukul 09.55 11.30 WIB ini juga telah melebihi nilai batas bawah h F seperti yang terjadi pada hari-hari sebelumnya. Selain deviasi negatif, 224

pada tanggal 29 September juga terjadi deviasi positif pada pukul 19.50 22.10 WIB dengan nilai deviasi maksimum adalah 49,5. Pada pukul 20.15 WIB, h F mencapai ketinggian maksimum yaitu 285 km. Deviasi positif yang terjadi pada pukul 19.50 22.10 WIB ini telah melebihi nilai batas atas h F sehingga dianggap sebagai sebuah anomali dan direkomendasikan sebagai prekursor gempa. Tanggal 30 September 2009 terlihat deviasi positif pukul 02.10 04.05 WIB dengan ketinggian h F maksimum adalah 351 km pada pukul 02.10 WIB. Deviasi positif yang terjadi pada waktu ini, diduga merupakan kelanjutan deviasi positif yang terjadi pada hari sebelumnya. Nilai h F yang telah melebihi nilai batas atas h F ini dianggap sebagai sebuah anomali dan kembali direkomendasikan sebagai prekursor gempa. Keseluruhan anomali h F untuk tanggal 23, 25, 26, 27, 28,29 dan 30 September 2009 ini dapat direkomendasikan menjadi prekursor gempa, karena terjadi diluar adanya pengaruh dari aktivitas geomagnetik dan X-Ray solar flare. Aktivitas geomagnetik selama 7 hari sebelum dan 7 hari setelah gempa Pariaman dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Plot indeks Dst Tanggal 23 September 07 Oktober 2009 untuk Gempa Pariaman Tanggal 30 September 2009. Badai geomagnetik ditandai dengan nilai indeks Dst yang lebih kecil dari -50 nt (<-50 nt). Gambar 3.3 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai indeks Dst yang lebih kecil dari -50 nt dan ini berarti bahwa tidak selama 7 hari sebelum gempa Pariaman, 30 September 2009, tidak terdapat badai geomagnetik yang menyebabkan anomali h F. Untuk aktivitas matahari yang mengganggu h F ditandai dengan terjadinya badai matahari yang mencapai kelas-x atau disebut juga X-Ray solar flare. Selama 7 hari sebelum gempa Pariaman tidak terjadi badai matahari yang mencapai kelas-x yang terlihat pada grafik yang diunduh dari alamat : http://www.swpc.noaa.gov/ftpmenu/warehouse.html. 3.3 Deviasi h F untuk Gempa Pesisir Selatan Tanggal 07 Februari 2013 Plot nilai deviasi dan nilai standar deviasi untuk tanggal 31 Januari 07 Februari 2013 dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4 dapat terlihat bahwa terjadi deviasi positif pada tanggal 01 Februari 2013 pada pukul 19.00 22.15 WIB dan tanggal 02 Februari 2013 pukul 00.20 01.10 WIB. Gambar 4 Plot deviasi dan standar deviasi tanggal 31 Januari 07 Februari 2013 untuk gempa Pesisir Selatan tanggal 07 Februari 2013. 225

Tanggal 01 Februari 2013 terjadi deviasi positif pada pukul 19.00 22.15 WIB dengan nilai deviasi positif maksimum adalah 58,5 dan pada pukul 19.35 19.40 WIB, h F mencapai nilai maksimum yaitu 384 km dengan nilai median biasanya adalah 334 km. Selain telah melebihi nilai median, h F ini juga telah melebihi nilai batas atas h F. Nilai h F yang telah melebihi batas atas h F ini merupakan pertanda bahwa h F telah mengalami anomali. Deviasi positif kembali terlihat keesokan harinya yaitu tanggal 02 Februari 2013 pada pukul 00.20 01.10 WIB dengan nilai deviasi positif maksimum adalah 70,5. Pada pukul 00.00 01.10 WIB, nilai h F seharusnya mengalami penurunan karena tidak adanya intensitas matahari. Karena h F justru mengalami kenaikan, maka ini dianggap sebagai sebuah anomali. Anomali-anomali h F yang terjadi pada tanggal 01 dan 02 Februari 2013 direkomendasikan menjadi prekursor gempa, karena terjadi diluar adanya pengaruh dari aktivitas geomagnetik dan X-Ray solar flare. Grafik prekursor Gempa Pesisir Selatan Tanggal 07 Februari 2013, dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Grafik prekursor Gempa Pesisir Selatan Tanggal 07 Februari 2013. Keseluruhan anomali h F untuk tanggal 01 dan 02 Februari 2013 ini dapat direkomendasikan menjadi prekursor gempa, karena terjadi diluar adanya pengaruh dari aktivitas geomagnetik dan X-Ray solar flare. Aktivitas geomagnetik selama 7 hari sebelum dan 7 hari setelah gempa Pesisir Selatan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Plot indeks Dst Tanggal 31 Januari 14 Februari 2013 untuk Gempa Pesisir Selatan Tanggal 07 Februari 2013. Badai geomagnetik ditandai dengan nilai indeks Dst yang lebih kecil dari -50 nt (<-50 nt). Gambar 6 menunjukkan bahwa tidak terdapat nilai indeks Dst yang lebih kecil dari -50 nt dan ini berarti bahwa tidak selama 7 hari sebelum gempa Pesisir Selatan, 07 Februari 2013, tidak terdapat badai geomagnetik yang menyebabkan anomali h F. Untuk aktivitas matahari yang mengganggu h F ditandai dengan terjadinya badai matahari yang mencapai kelas-x atau disebut juga X-Ray solar flare. Selama 7 hari sebelum gempa Pesisir Selatan tidak terjadi badai matahari yang mencapai kelas-x yang terlihat pada grafik yang diunduh dari alamat : http://www.swpc.noaa.gov/ftpmenu/warehouse.html. 226

3.4 Perbandingan Kasus Kedua sampel gempa laut yang digunakan yaitu gempa Pariaman tanggal 30 September 2009 (M = 7,6 SR) dan gempa Pesisir Selatan tanggal 07 Februari 2013 (M = 5,6 SR) memiliki kesamaan dalam waktu awal kemunculan prekursor yaitu 7 hari sebelum gempa terjadi dan hal ini telah bersesuaian dengan pernyataan Pulinets dan Legen ka (2003) yang menyatakan bahwa prekursor biasanya teramati lima hari hingga beberapa jam sebelum gempa, dan beberapa sumber lain mengatakan prekursor muncul seminggu sebelum gempa. Jumlah kemunculan prekursor untuk gempa Pariaman (M = 7,6 SR) adalah sebanyak 7 kali dan jumlah ini lebih banyak dibandingan dengan jumlah kemunculan prekursor untuk gempa Pesisir Selatan (M = 5,6 SR) yaitu sebanyak 2 kali. Hal ini telah bersesuaian dengan pernyataan Pulinets (2004) yaitu bentuk dan ukuran area yang menghasilkan medan listrik serta arah medannya akan berpengaruh terhadap ketidakstabilan yang terjadi, dengan demikian gempa dengan magnitudo yang besar akan menyebabkan gangguan yang signifikan. Prekursor gempa yang lebih banyak ini berkaitan dengan kekuatan gempa Pariaman yang besar sehingga menyebabkan zona persiapan gempa juga lebih luas (Pulinets, et al., 2003; Pulinets, et al., 2004; Tsolis, et al., 2009). IV. KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap 2 sampel gempa laut diperoleh kesimpulan bahwa kedua sampel gempa laut memiliki korelasi positif dengan anomali h F. Gempa Pariaman tanggal 30 September 2009 (M = 7,6 SR), prekursor muncul pada tanggal 23, 25, 26, 27,28 dan 29 September 2009 dan waktu awal kemunculan prekursor adalah 7 hari sebelum gempa. Gempa Pesisir Selatan tanggal 07 Februari 2013 (M = 5,6 SR), prekursor muncul pada tanggal 01 dan 02 Februari 2013 dan waktu awal kemunculan prekursor adalah 7 hari sebelum gempa. Total munculnya prekursor untuk gempa Pariaman sebanyak 7 kali dan untuk gempa Pesisir Selatan sebanyak 2 kali. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan magnitudo kedua gempa. DAFTAR PUSTAKA Ednofri, 2009, Implementasi Metoda Case Based Reasoning untuk Mendukung Proses Scaling Data Ionogram Ionosonda (Studi Kasus : Ionosonda FMCW Stasiun Pengamat Dirgantara LAPAN Kototabang, Kec. Palupuh, Ka. Agam, Sumatera Barat), Tesis, PPS FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ednofri dan Suhartini, 2008, Variasi Lapisan E dan F Ionosfer di Atas Kototabang, Jurnal Sains Dirgantara, Vol. 6, No.1, LAPAN. Jiyo, 2008, Metode Pembacaan Data Ionosfer Hasil Pengamatan Menggunakan Ionosonda FMCW, Berita Dirgantara, Vol. 2, No. 9, LAPAN, Bandung. Kaloka, S., Jiyo, Suhartini, S., Perwitasari, S., Mardiani, A. S., Dear, V. et al, 2010, Lapisan Ionosfer, Prediksi Frekuensi dan Teknis Komunikasi Radio (Jiyo, Ed), Pusat Pemanafaatan Sains Antariksa LAPAN, Bandung. Pulinets S. A., Legen ka A. D., Gaivoronskaya T.V. dan Depeuv V. K., 2003, Main Phenomenological Features of Ionospheric Precursors of Strong Earthquake, Jurnal of Atmospheric and Solar-Terestrial Physics, Vol. 65. Pulinets S. A., 2004, Ionospheric Precursors of Earthquake: Recent Advances in Theory and Practical Applications, Vol. 15, No. 3, TAO. Pulinets S. A., dan Boyarchuk K., 2004, Ionospheric Precursors of Earthquakes, Springer- Verlag, Berlin. Tsolis G. S., dan Xenos T. D., 2009, Seismo-ionospheric Coupling Correlation Analysis of Earthquakes in Grecee Using Empirical Mode Decompisition, Vol. 16, Hal. 123-130, Proceses Geophys., No-nlin. Yatini Y. C., Jiyo, Ruhimat M., 2009, Badai Matahari dan Pengaruhnya pada Ionosfer dan Geomagnet di Indonesia, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, Vol. 4 No. 1, Hal. 17-24, LAPAN, Bandung. 227