KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Bagian Kedua Penyidikan

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

PERAN DOKTER AHLI FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PERKARA PIDANA SAMPAI PADA TINGKAT PENYIDIKAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

Transkripsi:

Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Yosy Ardhyan 2 A. PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan pengetahuan, seringkali menyebabkan seseorang tidak dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri. Seseorang itu mau tidak mau harus memerlukan bantuan orang lain yang lebih paham untukdimintai bantuan menyelesaikan masalah yang telah dialami orang tersebut. Manusia hidup diwajibkan untuk mengadakan hubungan satu dengan yang lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh keperluan hidupnya. Akan tetapi seringkali kepentingan-kepentingan itu berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. 3 Adanya ketentuan Undang-Undang tersebut maka dalam proses penyelesaian perkara pidana aparat penegak hukum haruslah berkewajiban untuk mengumpulkan bukti mengenai perkara pidana yang ditanganinya. Pengaturan alat-alat bukti yang sah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1) yang menerangkan alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Dalam pemeriksaan perkara pidana seringkali aparat penegak hukum dihadapkan dengan masalah hal-hal tertentu di luar kemampuan, maka aparat penegak hukum memerlukan bantuan seorang ahli dalam mencari bukti dan kebenaran materiil bagi penegak hukum tersebut. Kenyataannya dalam penegakan hukum khususnya pada proses penyidikan dalam mengungkap kasus tindak pidana penganiayaan hampir semuanya memerlukan keterangan dokter ahli forensik untuk mengawali penyidikan itu, dengan keterangan dokter ahli diakui cukup efektif di dalam penyidikan tindak pidana penganiayaan. Pengertian secara harfiah Visum Et Repertum adalah 1 Artikel skripsi. Pembimbing skripsi: Frans Maramis, SH,MH dan Eske Worang, SH, MH 2 Nim. : 120711549 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado 3 C. S. T. Kansil., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,: Balai Pustaka,Jakarta, 2002, hal. 33. 46

Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap berasal dari kata Visual, yaitu melihat dan Repertum yaitu melaporkan, berarti; apa yang dilihat dan diketemukan, sehingga Visum Et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. 4 Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagaimana yang tertuang dalam bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan). 5 B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah kewenangan penyidik terhadap permintaan visum et repertum pada tahap penyidikan menurut KUHAP? 2. Baimanakah peranan visum et repertum dalam pemeriksaan tindak pidana pada tahap penyidikan perkara pidana? C. METODE PENELITIAN Suatu penelitian ilmiah mutlak menggunakan metode, karena metode itu berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu, artinya penelitian tidak bekerja secara acak-acakan melainkan setiap langkah diambil harus jelas serta ada pembatasanpembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendali. 6 Setelah bahan hukum terkumpul, baik bahan hukum primer, sekunder, maupun bahan hukum tersier maka selanjutnya dilakukan analisa. Langkahlangkah analisa dalam penelitian hukum normative ini adalah sesuai dengan pendapat Peter Mahmud Marzuki sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal yang tidak relevan; 2. Mengumpulkan bahan-bahan hukum dan bahan non hukum yang relevan dengan isu hukum; 3. Menelaah isu hukum berdasarkan bahan yang dikumpulkan; 4. Menarik kesimpulan dalam argumentasi sesuai isu hukum; 4 Tjiptomartono Agung Legowo,. Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta, 1982, hal 15 5 Tholib Setiady,. Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Cet Ke-2, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 39-40. 6 Jonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi revisi, Cetakan II, Banyumedia Publising, Malang, 2006, hal 294. 47

Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum 5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun. 7 6. Hasil analisa bahan hukum dibahas menggunakan metode deduktif, yaitu berpangkal dari hal bersifat umum ke hal yang bersifat khusus. Kemudian dianalisa dan dituangkan dalam bentuk preskripsi, sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjawab rumusan masalah yang ada. D. PEMBAHASAN 1. Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Permintaan Visum et Repertum Pada Tahap Penyidikan Menurut KUHAP Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum. Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. 8 Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai "barang bukti". 9 Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara "en block" (seutuhnya) 7 Ibid, hal 171. 8 Tjiptomartono Agung Legowo,. Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta, 1982, hal. 1. 9 Kuffal, Pemahaman Bukti Petunjuk dalam Hukum Pidana,. Press UI, Jakarta, 2011, hal 23. 48

Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap merupakan barang bukti. 10 Yang merupakan "barang bukti" pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah "menyalin" barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum. Adanya keharusan membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan ini berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan ihwalnya. 2. Peran Visum et Repertum Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Terkait dengan peranan Visum Et Repertum, sebelum kita mengulas tentang bagaimana peranan Visum Et Repertum maka kita akan telaah terlebih dahulu dengan apa yang di maksud dengan kata peranan. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata peran diartikan sebagai seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Sedangkan kata peranan diartikan yaitu bagian dari tugas yang harus dijalankan. Kata pemeranan diartikan proses, cara, perbuatan memahami, perilaku yang diharapkan dan diikatkan dengan kedudukan seseorang. 11 Dari definisi tentang peranan di atas yang berartikan sebagai tugas yang harus dijalankan, maka kemudian ketika kata peranan disandingkan dengan kalimat Visum Et Repertum maka yang di maksud adalah tugas, fungsi dari pada Visum et repertum yang khususnya dalam hal kewenangan polisi untuk memintakan visum et Repetum pada tingkat pemeriksaan pendahuluan. 10 Njowito Hamdani., Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1992,hal 128. 11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1994, hal, 751. 49

Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum Ayat (2) Pasal 133 KUHAP menyebutkan : Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Sedangkan mengenai dasar hukum tindakan dokter dalam memberikan bantuan keahliannya pada pemeriksaan perkara pidana, hal ini tercantum dalam Pasal 179 KUHAP dimana pada ayat (1) disebutkan : Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. 12 Apa yang terungkap ini adalah merupakan manifestasi daripada salah satu tugas hukum acara pidana yakni: Mencari dan mendapatkan kebenaran selengkap-lengkapnya (het zooken naar en het vinden van de waar heid). 13 Visum et Repertum selaku keterangan dalam bentuk yang formil menyangkut hal-hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada benda-benda yang diperiksa sesungguhnya adalah pengganti barang bukti, bahwa pada keharusannya dalam hal pembuktian mestinya orang yang menjadi obyek penganiayaan, pembunuhan atau kejahatan lainnya dari suatu peristiwa pidana sepatutnya diajukan menjadi barang bukti seperti misalnya orang yang dianiaya dan mati terbunuh sudah barang tentu menjadi kesulitan dalam praktek karenanya orang yang meninggal (mayat) harus dikebumikan sebab dapat membusuk untuk selanjutnya mengalami proses alamiah hancur menjadi abu tanah. Penyidik sebagaimana yang telah disebutkan di atas, untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya secara tertulis yang di dalamnya disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat. Jika si korban yang luka dibawa ke rumah sakit untuk diadakan pemeriksaan, ia harus diantar oleh Polisi dan disertai dengan surat keterangan. Korban mati (mayat) yang oleh penyidik pada pengiriman untuk pemeriksaan dokter kehakiman atau dokter pada rumah sakit haruslah diberi label yang memuat identitas mayat, 12 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Penjelasannya, Yayasan Pelita Jakarta, 1982, hal. 43 13 Hartono,. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal,16. 50

Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap dilakukan dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat (pasal 133 ayat (3) KUHAP). Hal ini penting sekali untuk mencegah kemungkinan tertukarnya barang bukti tersebut sebab dimungkinkan dapat terjadi korban lelaki menjadi keliru misalnya wanita atau wadam. Demikian pula halnya dengan suatu kasus di mana seorang disangka mati karena keracunan/peracunan, maka pengiriman benda-benda atau organorgan tubuh kepada ahli toxicologi untuk diminta bantuannya agar dilakukan pemeriksaan, harus dibungkus dengan rapih lalu diikat dengan tali rami dan diberi lak serta cap jabatan (disegel) kemudian ditandatangani oleh penyidik, disertai pula berita acara dan dijelaskan tentang alat-alat apa yang dipakai untuk membungkus, tali pengikat, bahan pengawet dan laknya serta sekaligus diikut sertakan contohnya. Mengenai penyegelan ini diatur dalam KUHAP pasal 130 ayat (1) dan ayat (2) dan penyegelan ini penting sekali yaitu maksudnya agar barang bukti tersebut tetap ada dalam keadaan aslinya, dan juga untuk mencegah jangan sampai tertukar atau ditukarkan dengan yang lain baik tidak disengaja maupun disengaja dengan mempunyai maksud tertentu dari pihak manapun. Permohonan Visum et Repertum dari suatu kejadian yang lampau adalah bertentangan dengan rahasia jabatan dokter karena itu adalah rahasia dokter. Atas dasar ketentuan pasal 170 KUHAP dokter dapat menggunakan hak imunitasnya untuk menyimpan rahasia jabatan karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya selaku hak undur diri (verschoningsrecht). Namun demikian, hakimlah yang menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut, akan tetapi sejak permohonan Visum et Repertum disampaikan kepadanya segala sesuatu yang menyangkut ketentuan rahasia jabatan itu menjadi tanggal (gugur) terhadap sang korban dengan klausul bahwa semua yang terjadi sebelum permintaan Visum et Repertum tetap menjadi rahasia jabatan. E. PENUTUP Penyidik berwenang melakukan pemeriksaan seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, dapat mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya secara tertulis yang di dalamnya disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat. Jika si korban yang luka dibawa ke rumah sakit untuk diadakan pemeriksaan, ia harus diantar oleh Polisi dan disertai dengan 51

Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum surat keterangan. Korban mati (mayat) yang oleh penyidik pada pengiriman untuk pemeriksaan dokter kehakiman atau dokter pada rumah sakit haruslah diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat (pasal 133 ayat (3) KUHAP). Hal ini penting sekali untuk mencegah kemungkinan tertukarnya barang bukti tersebut sebab dimungkinkan dapat terjadi korban lelaki menjadi keliru misalnya wanita atau wadam. Peranan visum et repertum dalam pemeriksaan tindak pidana pada tahap penyidikkan antara lain mendukung upaya kelancaran penyidikan tindak pidana serta keakuratan penemuan barang bukti dalam pembuktian tindak pidana yang terjadi. DAFTAR PUSTAKA Hartono,. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal,16. Ibrahim Jonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi revisi, Cetakan II, Banyumedia Publising, Malang, 2006, hal 294. Kansil C. S. T.., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,: Balai Pustaka,Jakarta, 2002, hal. 33. Kuffal, Pemahaman Bukti Petunjuk dalam Hukum Pidana,. Press UI, Jakarta, 2011, hal 23. Njowito Hamdani., Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1992,hal 128. Tholib Setiady,. Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Cet Ke-2, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 39-40. Tjiptomartono Agung Legowo,. Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta, 1982, hal 15...,. Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta, 1982, hal. 1. Lain Lain : 52

Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1994, hal, 751. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Penjelasannya, Yayasan Pelita Jakarta, 1982, hal. 43 53