Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata

dokumen-dokumen yang mirip
Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

1 Universitas Kristen Maranatha

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. pesan yang akan disampaikan (Azrul & Azwar, 1983). Sedangkan Glanz, dkk.,

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

komisi penanggulangan aids nasional

PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

BAB I PENDAHULUAN. bonus demografi, dimana penduduk usia produktif yaitu penduduk dengan usia 15

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 24 HLM, LD Nomor 4 TAHUN 2013

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

OLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk Indonesia tahun , BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN IMS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB I PENDAHULUAN. generasi baik secara kualitas maupun kuantitas. sesuatu yang mengarah pada aktivitas positif dalam pencapaian suatu prestasi.

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV & AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

Transkripsi:

SIDANG KABINET SESI KHUSUS HIV/AIDS Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata BAK T I H USADA Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2002

SIDANG KABINET SESI KHUSUS HIV/AIDS Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata BAK T I H USADA Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2002

Prakata Pada Sidang Kabinet sesi khusus HIV/AIDS yang lalu telah dilaporkan tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pada sidang Kabinet kali ini, laporan disusun berdasarkan informasi-informasi terbaru yang dikumpulkan melalui sistem surveilans HIV dan beberapa studi yang terkait, yang memperkuat perkiraan tentang potensial ancaman epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Dua jalur utama penularan yang mendorong percepatan tingkat penularan HIV di Indonesia adalah jalur penularan seksual berisiko dan jalur penularan pada pengguna napza suntik. Rendahnya pemakaian kondom pada hubungan seks berisiko serta tingginya penggunaan bersama alat suntik tidak steril pada napza suntik merupakan perilaku yang perlu diubah agar kita dapat mencegah penularan HIV. Disadari bahwa upaya penanggulangan HIV belum menjangkau sebagian besar kelompok berisiko tinggi. Selain keterbatasan sumber daya, juga dirasakan masih kurang peran-serta semua pihak agar upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dapat didukung oleh kita semua. Diperkirakan tahun 2002 ini ada sekitar 90 ribu-130 ribu orang dengan HIV (ODHA) di Indonesia. Upaya dukungan dan peningkatan akses terhadap pengobatan anti retroviral serta anti infeksi oportunistik sangat penting agar para ODHA mampu hidup secara produktif. Sidang kabinet sesi khusus HIV/AIDS kedua kali ini bertepatan dengan hari AIDS sedunia 1 Desember 2002 yang mengambil tema Tetap Hidup dengan Tegar (Live and Let Live) merupakan tema kampanye global untuk 2002-2003. Sesuai kesepakatan global, Indonesia mengupayakan penanggulangan HIV/AIDS dan sekaligus mengurangi stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA. Dari sidang kabinet ini diharapkan dukungan dan komitmen dari semua pihak untuk mewujudkan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih berdampak untuk menurunkan tingkat penularan HIV yang semakin meluas. Jakarta, November 2002 Dr. Achmad Sujudi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS Nasional i

Fakta Penting 2002 1. Jumlah orang rawan tertular HIV di Indonesia diperkirakan antara 13 juta-20 juta orang. 2. Jumlah orang dengan HIV di Indonesia sampai 2002, diperkirakan antara 90 000-130 000 orang. 3. Tingkat penularan HIV tertinggi pada penjaja seks yang pernah dilaporkan di Papua, sekitar 26 persen. 4. Tingkat penularan HIV pada pengguna napza suntik yang dirawat di Jakarta sekitar 48 persen. Dan 53 persen pada kelompok narapidana yang terlibat napza di Bali. 5. Hasil survei surveilans perilaku di beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari separuh kelompok lelaki dengan mobilitas tinggi membeli jasa seks setahun terakhir ini. Sebagian besar lelaki tersebut mempunyai pasangan tetap, isterinya. 6. Diperkirakan ada sekitar 7-10 juta lelaki pelanggan penjaja seks di Indonesia. Yang memprihatinkan, ternyata tidak sampai 10 persen yang mau melindungi dari risiko penularan dengan menggunakan kondom secara teratur pada setiap kegiatan seks komersial tersebut. 7. Sekitar 30 persen pelajar pria di SMU Jakarta pernah mencoba napza dan sekitar 8 persen pelajar pria pernah melakukan hubungan seks. 8. Studi perilaku pengguna napza suntik di beberapa kota menunjukkan perilaku berisiko yang merisaukan, yaitu sebagian besar menggunakan secara bersama alat suntik yang tak steril serta sekitar 30 persen lebih melakukan seksual yang aktif dengan membeli jasa seks tanpa pakai kondom. 9. Tingkat penularan pada kelompok waria penjaja seks telah mencapai sekitar 22 persen, meningkat tajam hampir 4 kali lipat dibandingkan tahun 1997. ii

10. Penularan HIV sudah meluas ke istri. Telah dilaporkan di beberapa wilayah di Jakarta, penularan HIV sudah masuk ke pasangan dari kelompok berisiko, ada sekitar 3 persen dari 500 ibu hamil yang dites secara sukarela sudah terkena HIV. iii

Daftar Isi 1 Pendahuluan 1 2 Berapa orang yang tertular HIV di Indonesia saat ini? 3 2.1 Perkiraan jumlah orang yang rawan tertular HIV.......... 3 2.2 Berapa banyak orang yang akan tertular HIV?........... 4 3 Penggunaan napza suntik, cara penularan HIV yang efisien 6 3.1 Apakah narapidana rawan tertular HIV?.............. 8 4 Perilaku seks berisiko di Indonesia 10 4.1 Perilaku seks berisiko yang lain: Waria dan Lelaki Suka Seks Lelaki 11 5 Apakah remaja berisiko untuk tertular HIV? 13 6 Tantangan yang dihadapi 15 6.1 Apakah program intervensi telah berhasil merubah perilaku?... 15 6.2 Dinamika penularan HIV di Indonesia............... 16 6.3 Manfaat kondom dalam mencegah perluasan epidemi HIV.... 18 7 Peningkatan intensitas upaya penanggulangan epidemi HIV di Indonesia 20 7.1 Upaya yang ada belum memadai dan belum menjangkau sebagian besar kelompok berisiko...................... 20 7.2 Peningkatan upaya dukungan pada ODHA............. 22 7.3 Perlu perluasan program untuk penanggulangan HIV/AIDS yang efektif................................ 23 8 Penutup 25 iv

1 Pendahuluan Sejak dicanangkan Gerakan Nasional Penanggulangan HIV/AIDS pada tanggal 23 April 2002, dirasakan sekali kebutuhan yang sangat mendesak tentang informasi terbaru situasi epidemi HIV serta faktor perilaku yang mempengaruhi penyebarannya. Informasi tersebut tidak hanya berguna dalam memahami secara lebih baik perjalanan epidemi HIV di kawasan nusantara, juga untuk memfokuskan kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia agar berhasilguna. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi informasi tersebut antara lain penguatan sistem pemantauan HIV di Indonesia. Tahun ini Departemen Kesehatan telah melaksanakan surveilans HIV generasi kedua di beberapa propinsi uji-coba. Adapun yang sistematik dilakukan yaitu memperkuat sistem surveilans sentinel HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS), melakukan surveilans perilaku, serta upaya pemanfaatan data surveilans tersebut untuk perencanaan kegiatankegiatan penanggulangan yang bersifat strategik baik di tingkat lokal maupun nasional. Selain itu, sudah cukup mendesak adanya informasi yang akurat tentang jumlah populasi rawan tertular HIV dan jumlah orang yang telah tertular HIV di Indonesia. karena tidak saja diperlukan untuk penyusunan kebijaksanaan maupun perumusan kegiatan-kegiatan penanggulangan, serta perlunya dukungan dari berbagai pihak agar masalah epidemi HIV menjadi masalah bersama dan ditanggulangi secara bersama. Pada penyusunan kebijaksanaan, informasi tersebut diperlukan dalam kegiatankegiatan advokasi, perencanaan strategis, pengalokasian sumber-daya yang relatif terbatas, serta melakukan proyeksi dan mengestimasi beban masalah kesehatan akibat dampak perluasan epidemi HIV. 1

Pada penyusuan program penanggulangan, informasi tersebut diperlukan dalam penyusunan rencana intervensi, penetapan target sasaran, strategi penjangkauan, dan pemantauan serta penilaian keberhasilan program-program penanggulangan HIV. Disadari pula bahwa kita perlu memperbarui tekad bersama dengan berbasiskan informasi terakhir tentang situasi epidemi HIV di Indonesia agar bersama dapat merespon dan menyadari bersama tentang potensial masalah yang akan terjadi bila kita terlambat meresponnya. Saat ini tingkat epidemi HIV di Indonesia sudah dalam kategori terkonsentrasi, karena prevalensi HIV pada beberapa sub-populasi berisiko telah jauh melampui 5 persen secara konsisten, tetapi belum mencapai 1 persen pada kelompok ibu hamil yang berkunjung ke pusat-pusat pelayananan kesehatan. Yang perlu kita sadari bersama bahwa tingkat epidemi tersebut menunjukkan bahwa adanya jaringan perilaku berisiko yang sangat aktif, sehingga HIV ditularkan dari individu yang satu ke individu lain yang berisiko tersebut. Perluasan epidemi selanjutnya ditentukan oleh besarnya jalur lintas perilaku berisiko antara kelompok-kelompok berisiko yang berbeda dan juga penularan meluas ke pasangan-pasangan tetap mereka. Yang perlu diantisipasi adalah mencegah perluasan epidemi HIV selanjutnya dengan meningkatkan upaya-upaya penanggulangan HIV di Indonesia. Kita perlu mencegah kemungkinan penularan HIV dari kelompok pengguna napza suntik yang sudah tinggi melampaui 50 persen itu ke kelompok lain yang dapat ditularkan melalui jalur seksual. Laporan ini disusun setelah kita memiliki informasi yang jauh lebih banyak dan lebih jelas dalam memahami perjalanan epidemi HIV di Indonesia sampai saat ini serta prediksinya di masa datang. Ini merupakan hasil dari penguatan sistem surveilans HIV dan ditambah dengan informasi dari studi-studi lain yang terkait. Diharapkan laporan ini sangat berguna untuk memfokuskan perencanaan kegiatan-kegiatan penanggulangan di Indonesia, dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan penularan HIV yang relatif cepat serta mencegah dampak buruk epidemi tersebut pada kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. 2

2 Berapa orang yang tertular HIV di Indonesia saat ini? Tidak mudah untuk memperkirakan jumlah orang yang telah tertular HIV di Indonesia. Disadari bahwa perkiraan jumlah orang tertular HIV sangat penting untuk memperkirakan dampak buruk sosial-ekonomi yang perlu ditanggulangi serta menyadari bahwa jika penularan terus berlangsung maka beban tersebut akan semakin besar. Terjadinya dampak yang lebih buruk akibat peningkatan epidemi HIV tersebut perlu dicegah dan ditanggulangi secara bersamasama. 2.1 Perkiraan jumlah orang yang rawan tertular HIV Para ahli memperkirakan bahwa sampai tahun 2002 ada sekitar 12-19 juta orang di Indonesia yang rawan tertular HIV 1. Jenis kelompok rawan tertular HIV yang diidentifikasi antara lain adalah: Pengguna napza suntik Wanita penjaja seks Lelaki pelanggan dari wanita penjaja seks Lelaki suka seks dengan lelaki, antara lain Lelaki penjaja seks, dan gay Waria penjaja seks dan pelanggannya 1 DepKes RI, Lokakarya Estimasi Jumlah Populasi Rawan Tertular HIV, September 2002 3

Pasangan seks dari kelompok berisiko tersebut Berdasarkan hasil-hasil surveilans HIV dan beberapa studi pada kelompokkelompok rawan tersebut, diperkirakan ada sekitar 90-130 ribu orang tertular HIV sampai tahun 2002; Sekitar 25 persen diantaranya adalah perempuan. Secara keseluruhan cara penularan pada pengguna napza suntik dan pelanggan penjaja seks berkontribusi cukup besar pada jumlah orang tertular HIV. Diperkirakan pula, ada 14 persen pasangan seks (isteri atau suami) dari kelompokkelompok rawan tersebut juga telah tertular HIV (lihat gambar 2.1). Walaupun pasangan tetap tersebut hanya mempunyai satu pasangan saja, yaitu suaminya. Hal tersebut perlu mendapat perhatian, karena selama ini kegiatan penanggulangan HIV belum banyak menjangkau pasangan-pasangan tetap dari individu-individu yang berisiko tersebut. Perkiraan kelompok rawan yang tertular HIV sampai tahun 2002 Gay 9% Pasangan dari kelompok risiko tinggi 14% Waria 1% Napza Suntik 38% Pelanggan Penjaja Seks 30% Penjaja Seks 8% Gambar 2.1: Perkiraan kelompok rawan yang tertular HIV sampai tahun 2002 2.2 Berapa banyak orang yang akan tertular HIV? Upaya-upaya pencegahan diharapkan dapat mencegah terjadinya penularan baru. Bila tidak ada perluasan upaya pencegahan yang intensif dan mampu menjangkau 4

kelompok-kelompok yang rawan tertular HIV, maka penularan baru sulit dicegah. Berdasarkan perhitungan matematis, dengan menggunakan informasi hasil perkiraan jumlah orang rawan tertular HIV, serta variabel perilaku yang diperoleh dari surveilans HIV, diperkirakan ada sekitar 80 ribu orang yang akan tertular HIV di tahun 2003 saja. Yang memprihatinkan adalah 80 persen lebih diantara kasus baru HIV yang diperkirakan tersebut berasal dari para pengguna napza suntik (lihat gambar 2.2). Perkiraan jumlah kumulatif yang tertular HIV di Indonesia sampai tahun 2002 dan jumlah infeksi baru pada tahun 2003 berdasarkan cara penularan 120,000 100,000 Perkiraan infeksi sampai 2002 Perkiraaan infeksi baru pada 2003 Jumlah orang terkena HIV 80,000 60,000 40,000 20,000 0 Napza suntik Lelaki suka seks lelaki Penjaja seks Pasangan Total Gambar 2.2: Diagram distribusi yang menggambarkan jumlah perkiraan orang yang telah terkena HIV sampai tahun 2002 dan akan terkena HIV pada tahun 2003 Tingginya tingkat penularan HIV di kalangan pengguna napza suntik bisa dimengerti, mengingat cukup banyak jumlah pengguna napza, termasuk napza suntik, serta HIV sangat efisien ditularkan pada penggunaan alat suntik yang tidak steril secara bertukaran. 5

3 Penggunaan napza suntik, cara penularan HIV yang efisien Diperkirakan ada sekitar 124-196 ribu pengguna napza suntik di Indonesia sampai akhir tahun 2002. Merebaknya penggunaan napza 1 di berbagai wilayah Indonesia sungguh memprihatinkan, apalagi sebagian penggunanya adalah kaum usia muda. Perilaku penggunaan alat suntik yang tidak steril bersama menyebabkan penularan HIV dan virus hepatitis C yang yang relatif lebih cepat pada pengguna napza suntik. Program intervensi diharapkan tidak saja mampu mencegah timbulnya pengguna baru, tetapi juga dapat meminimalkan dampak buruk penularan HIV dan hepatitis C. Pengamatan pada pengguna napza suntik yang dirawat di RS Ketergantungan Obat Fatmawati, Jakarta mengindikasikan peningkatan HIV yang sangat pesat sampai mencapai 48 persen di tahun 2001 (lihat gambar 3.1). Hampir separuh pengguna napza suntik sudah tertular HIV yang dapat menjadi sumber penularan bagi pengguna napza suntik yang lain, karena penggunaan bersama alat suntik yang tidak steril. Selain itu pengguna napza suntik mempunyai perilaku seks berisiko, yaitu membeli jasa seks tanpa menggunakan kondom 2. Telah diketahui bahwa hampir separuh pengguna napza suntik kena HIV, maka dengan perilaku seks berisiko tersebut akan memperluas penularan selanjutnya. Hanya dengan menghindari penggunaan bersama alat suntik yang tidak seteril serta penggunaan kondom pada 1 Dua singkatan yang umum digunakan, yaitu napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) atau istilah narkoba (narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya) 2 Sumber: Studi Perilaku pada Pengguna Napza Suntik di Surabaya, Jakarta, dan Bandung, 2002, DepKes & PusLitKes-UI, 2002 6

60 50 Peningkatan penularan HIV yang cepat, Hentikan pakai alat suntik tak steril secara bersama 40 Persen yang terular HIV 30 20 10 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Gambar 3.1: Peningkatan Kejadian HIV pada Pengguna Napza Suntik di RS Ketergantungan Obat Fatmawati, Jakarta; Sumber: DepKes RI setiap kegiatan seks yang akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas tidak hanya pada sesama pengguna napza suntik, tetapi juga kelompok lain yaitu kelompok perilaku seks berisiko. Masalah penggunaan napza, tidak hanya terbatas merebak di kalangan masyarakat bawah, tetapi juga menjalar ke generasi muda pada umumnya. Antara lain melalui proses coba-coba atau dorongan dari teman sebaya, dan semakin mudahnya akses terhadap napza, maka penggunaan napza meningkat dan meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Hasil survei perilaku di Jakarta menunjukkan ada sekitar 30 persen pelajar SMU yang pernah mencoba napza (lihat gambar 5.1). Hasil studi yang dilakukan oleh Puslitkes UI pada pengguna napza suntik di Jakarta, Surabaya, dan Bandung menunjukkan hal-hal yang berbeda. Sebagian besar pengguna napza suntik ternyata tinggal bersama dengan anggota keluarga dan berpendidikan SMU ke atas. Walaupun semua mengetahui bahwa pemakaian bersama jarum tidak steril bisa menularkan HIV, tetapi sebagian besar yang tetap menggunakan jarum tidak steril secara bersama. Diakui bahwa tidak mudah melakukan intervensi perubahan perilaku pada kelompok pengguna napza suntik, karena stigma dan anggapan yang keliru masih meluas. Masalah kecanduan dapat dianggap seperti penyakit kronis yang sebenar- 7

Saat ini napza suntik penyumbang terbesar epidemi HIV di Indonesia nya dapat disembuhkan. Tetapi sampai sekarang, para pengguna napza masih dianggap sebagai suatu kejahatan, bukan sebagai korban atau penderita adiksi yang perlu ditolong. Memang sungguh berat tantangan untuk melakukan intervensi perubahan perilaku. Jika kita dapat melakukan upaya intervensi tersebut pada kelompok napza suntik dengan sukses, maka kita dapat mencegah sebagian besar penularan HIV yang akan terjadi. Upaya tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan, karena kita tidak saja mampu mencegah infeksi baru HIV pada para pengguna napza suntik itu sendiri, tetapi juga sekaligus mencegah perluasan penularan HIV ke kelompok berisiko lainnya, terutama ke pasangan mereka serta anaknya. Tingkat penularan HIV yang tinggi pada pengguna napza suntik dapat meningkatkan tingkat penularan HIV melalui kegiatan seksual berisiko. 3.1 Apakah narapidana rawan tertular HIV? Seiring dengan peningkatan jumlah narapidana napza, terjadi juga peningkatan penularan HIV pada penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (lihat gambar 3.2) Kemungkinan besar penularan HIV juga terus terjadi pada institusi rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas). Dengan sarana yang sangat terbatas, maka penggunaan bersama alat suntik yang tidak steril akan semakin meningkatkan risiko penularan. Selama ini belum ada perhatian khusus untuk melakukan upaya penyuluhan serta upaya lain untuk mengurangi risiko penularan HIV serta virus lainnya. Risiko penularan akan semakin meluas bila kegiatan seks berisiko tanpa menggunakan pelindung juga terjadi di tempat tersebut. Tingkat penularan infeksi menular seksual pada narapidana tertinggi yang pernah dilaporkan sampai tahun 8

6000 Peningkatan Kasus Napi Napza 100 90 5000 80 Jumlah Napi Napza 4000 3000 2000 1000 Napi terkena HIV 70 60 50 40 30 20 Persen terkena HIV 10 0 1997 1998 1999 2000 2001 0 Gambar 3.2: Peningkatan Kejadian HIV pada narapidana di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta & Peningkatan Jumlah Napi Napza di Indonesia; Sumber: DepKes RI & Badan Narkotika Nasional, 2002 2001 sekitar 10 persen. Tingkat penularan tersebut mengindikasikan adanya perilaku seksual berisiko di kalangan narapidana. Penularan HIV dapat semakin meluas, ketika napi kembali ke masyarakat luas; Penularan dapat berlanjut ke pasangan seks mereka, apalagi bila mereka tidak tahu sudah tertular dan tidak tahu cara-cara pencegahan penularan HIV. Sudah waktunya diselenggarakan upaya penanggulangan HIV menjangkau para penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan, mengingat peningkatan penularan HIV yang cukup tajam selama beberapa tahun terakhir ini. Hal tersebut mengindikasikan adanya perilaku berisiko untuk tertular dan mungkin sebagian besar napi tidak memperoleh informasi yang berkaitan dengan cara-cara penularan dan pencegahannya. 9

4 Perilaku seks berisiko di Indonesia Meningkatnya perilaku seks berisiko di Indonesia, tidak hanya terbatas pada kelompok heteroseksual, tetapi juga pada kelompok lelaki yang suka seks dengan lelaki, antara lain waria penjaja seks, lelaki penjaja seks dan gay. Kegiatan jasa seks tumbuh pesat di penjuru nusantara. dengan skala kegiatan jasa seks sangat bervariasi. Wanita yang menjaja seks dapat diklasifikasi menjadi dua jenis, yaitu wanita penjaja seks secara langsung dan tidak langsung. Yang dimaksud dengan wanita penjaja seks (WPS) langsung yaitu mereka yang menjajakan jasa seks di lokalisasi, rumah-rumah prostitusi, atau di jalanan. Sedangkan penjaja seks tidak langsung, pada umumnya terselubung dalam industri hiburan dan kebugaran, seperti bar, karaoke, panti pijat, dan lain sebagainya. Diperkirakan ada sekitar 190-270 ribu wanita penjaja seks di Indonesia, dan ada sekitar 7-10 juta lelaki yang menjadi pelanggan jasa seks. Lebih dari 50 persen lelaki pelanggan tersebut mempunyai pasangan tetap atau berstatus kawin. Ironisnya kurang dari 10 persen yang selalu menggunakan kondom agar tidak tertular infeksi menular seksual termasuk HIV. Hasil surveilans HIV menunjukkan peningkatan penularan HIV pada wanita penjaja seks. Bila kita tidak berhasil meningkatkan penggunaan kondom pada kegiatan seks komersial, maka penularan akan terus berlangsung tidak hanya dari penjaja seks ke pelanggan atau sebaliknya, tetapi juga meluas ke pasangan tetap (istri) dari suami yang merupakan pelanggan penjaja seks. Walaupun pasangan tetap tersebut hanya berhubungan seks dengan satu orang saja, suaminya. Kegiatan jasa seks tidak hanya terbatas pada perempuan penjaja seks. Dalam jumlah yang terbatas juga mulai tumbuh kegiatan jasa seks yang dilakukan oleh lelaki penjaja seks dan waria. 10

4.1 Perilaku seks berisiko yang lain: Waria dan Lelaki Suka Seks Lelaki Perilaku seks kaum lelaki ternyata jauh lebih kompleks, karena ada lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki, dengan perempuan, atau dengan waria. Kenyataan bahwa ada kaum lelaki di Indonesia yang berorientasi atau memilih hubungan seks dengan sesamanya juga menumbuhkan industri seks yang lain. Di kota-kota besar di Indonesia tumbuh jasa seks yang dilakukan oleh kaum waria dan juga kaum lelaki yang sama-sama melayani pelanggan lelaki. 25 20 Penularan HIV yang tinggi pada waria dan potensial terjadi pada kelompok lelaki suka seks lelaki yang lain Waria 21.7 Persen yang tertular HIV 15 10 5 0 0 0.2 0.3 3.2 tahun 1996 6 Tingkat Kejadian HIV tahun 2002 pada Gay/pekerja seks pria mirip waria 1996 Pekerja seks pria 1993 1994 1995 1996 1997 2002 Gay 3.8 2.5 Gambar 4.1: Kejadian HIV pada waria penjaja seks di Jakarta, 1993-2002; Sumber: IAKMI,1993-1997, DepKes & Puslitkes-UI, 2002 Pada kelompok waria di Jakarta terjadi peningkatan yang cukup tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (lihat gambar 4.1). Ada peningkatan tajam dari 6 persen di tahun 1997 menjadi 21.7 persen 2002. Peningkatan tajam tersebut dapat juga terjadi pada kelompok lain yang sering melakukan seks anal tanpa pelindung. Diperkirakan saat ini ada sekitar 1,2 juta (600 ribu - 1.7 juta) kelompok gay, sekitar 8-15 ribu waria, dan sekitar 2500 lelaki penjaja seks. Hasil studi perilaku dan survei serologis pada kelompok-kelompok lelaki suka seks lelaki menun- 11

jukkan perilaku seks berisiko, yaitu seks anal tanpa menggunakan kondom dan pelumas. Pelumas digunakan pada seks anal agar menghindari perlukaan yang memudahkan terjadi penularan. 70 60 50 61.9 Infeksi menular seksual yang tak diobati, memudahkan penularan HIV Persen tertular 40 30 HIV Riwayat IMS 21.8 20 10 3.7 7 2.5 5.8 0 Waria penjaja seks Pria penjaja seks Gay Gambar 4.2: Kejadian HIV dan IMS pada kelompok lelaki suka seks lelaki di Jakarta, 2002; Sumber: DepKes & Puslitkes-UI, 2002 Dampak perilaku seks berisiko, terlihat pada kejadian HIV dan riwayat infeksi menular seksual (IMS) yang cukup tinggi, terutama pada waria yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya (lihat gambar 4.2). Seperti diketahui, adanya IMS dapat mempermudahkan penularan HIV. Upaya pengobatan IMS merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mecegah penularan HIV selanjutnya pada kelompok dengan kejadian IMS yang cukup tinggi. 12

5 Apakah remaja berisiko untuk tertular HIV? Remaja lebih banyak pakai napza dibandingkan pernah seks Pernah seks 5.3 8.9 Wanita Pria Pernah pakai napza suntik 0.5 2.5 Pernah coba napza 6.3 34.2 Pernah minum sampai mabuk 4.3 29.8 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 Gambar 5.1: Survei Perilaku pada Pelajar SMU di Jakarta, 2002; Sumber: DepKes RI dan BPS, 2002 Membicarakan remaja adalah membicarakan masa depan bangsa Indonesia. Para remaja diharapkan tidak melakukan perilaku berisiko untuk tertular HIV, mengingat besarnya dorongan rasa ingin tahu dan masih 13

terbatas pengetahuan tentang dampak perilaku berisiko. Hasil surveilans perilaku pada kelompok pelajar tingkat SMU di Jakarta, menunjukan bahwa ada 8 persen pelajar pria dan 5 persen pelajar wanita pernah melakukan hubungan seks. Ternyata perilaku yang lebih berisiko jauh lebih besar, yaitu ada sekitar 30 persen pada pelajar pria dan 6 pelajar perempuan pernah mencoba napza (lihat gambar 5.1). Sekitar 2 persen lebih pernah menggunakan napza suntik. Menyadari perilaku berisiko sudah dimulai pada saat usia remaja, maka diperlukan upaya-upaya program pendidikan yang mengajarkan risiko penularan dan cara-cara pencegahan yang sesuai, seperti menghindari perilaku seks serta penggunaan zat adiktif. Tidak hanya adanya keingintahuan dan dorongan teman, tetapi juga kurang pengetahuan dan ketrampilan untuk melindungi diri ikut mempengaruhi adanya perilaku berisiko. Dunia sudah sepakat untuk menurunkan kejadian HIV pada kaum muda usia 15-24 tahun menjadi seperempatnya secara global pada tahun 2010. Upaya tersebut perlu dimulai sekarang juga, terutama untuk mengurangi kerawanan serta meningkatkan ketrampilan kaum muda agar terhindar dari penularan HIV serta penggunaan napza. Upaya tersebut diharapkan dapat dilakukan secara struktural sehingga dapat menjangkau generasi muda yang sedang sekolah atau di luar sekolah. Kaum muda perlu tahu cara penularan dan pencegahan HIV, serta trampil untuk menghindari perilaku berisiko 14

6 Tantangan yang dihadapi Kebijakan program penanggulangan HIV sebaiknya berdasarkan kemungkinan yang terburuk yang akan terjadi bukan pada harapan yang terbaik. Sampai saat ini, penularan HIV terus berlangsung dan semakin cepat pada kelompok tertentu, sehingga semakin banyak yang tertular. Disadari sepenuhnya adanya potensial penularan HIV yang semakin meluas, karena adanya interaksi dari kelompok-kelompok rawan tertular HIV serta berinteraksi dengan masyarakat umum. Sesungguhnya kelompok rawan tersebut juga anggota masyarakat pada umumnya. Upaya pencegahan yang ada belum menjangkau semua kelompok berisiko serta belum mampu memotivasi perubahan perilaku. Mengingat bahwa konsekuensi epidemik HIV dapat berdampak buruk terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan intensifikasi dan perluasan program penanggulangan HIV, serta program dukungan yang nyata agar epidemi HIV tidak cepat meluas. 6.1 Apakah program intervensi telah berhasil merubah perilaku? Kegiatan intervensi untuk merubah perilaku berisiko, antara lain penyuluhan dan penjangkauan pada kelompok risiko tinggi. Pencapaian kegiatan pencegahan, melalui berbagai saluran komunikasi, hanya mencapai kurang dari 20 persen kelompok berisiko. Selain luas penjangkauan yang sangat kurang, juga program intervensi belum mampu mendorong adanya perilaku yang kurang berisiko untuk tertular HIV. 15

100 Dapat intervensi Tidak dapat intervensi 90 80 70 60 Persen 50 40 30 20 10 0 Tahu semua cara penting untuk menghindari HIV Pernah jual seks tanpa kondom dalam minggu terakhir Ada gejala IMS dalam tahun terakhir Gambar 6.1: Adakah perbedaan pada mereka yang terjangkau intervensi dengan yang tidak?; Sumber: DepKes RI dan BPS: Survei Surveilans Perilaku di Jakarta, Riau, dan SumUt, 2002 6.2 Dinamika penularan HIV di Indonesia Pola epidemi HIV di negara-negara Asia memiliki kemiripan, walaupun sangat beraneka-ragam tentang besaran dan saat terjadinya epidemi, bahkan ada keanekaragaman yang besar di masing-masing negara tersebut. Pada tahap awal penularan HIV terjadi pada sub-populasi berisiko tertentu dan kemudian menyebar dari kelompok tersebut ke populasi lain yang lebih besar. Epidemi tersebut dapat terjadi pada: (1) pengguna napza suntik; (2) lelaki suka seks lelaki; (3) penjaja seks dan pelanggannya; dan (4) pasangan tetap (istri atau suami) anggota kelompok berisiko tersebut. Disadari betul bahwa gambaran epidemi HIV di Indonesia, sesungguhnya terdiri atas berbagai tingkatan epidemi di berbagai wilayah propinsi, kabupaten maupun kota; Juga sangat beraneka-ragam tingkatan pada subkelompok yang ada. Terlihat jelas tingkat penularan HIV yang tinggi terjadi pada kelompok pengguna napza suntik, dan pada penjaja seks, terutama pada waria yang menjajakan seks di jalan. Berdasarkan hasil survei perilaku pada berbagai kelompok rawan tertular HIV di berbagai kota di Indonesia, menunjukkan adanya perilaku berisiko pada kelompok- 16

Penjaja Seks Pelanggan Lelaki berisiko rendah Lelaki suka seks lelaki Napza suntik Perempuan berisiko rendah Gambar 6.2: Potensial perluasan jalur penularan HIV di Indonesia, dari satu kelompok ke kelompok berisiko lainnya melalui kegiatan seks tanpa kondom pada lintas kelompok tersebut kelompok tersebut. Terutama masih tingginya frekuensi kegiatan seks berisiko tanpa menggunakan kondom serta penggunaan alat suntik tidak steril secara bersama di kalangan pengguna napza suntik. Yang perlu diperhatikan bahwa kelompok berisiko yang satu ternyata berhubungan dengan kelompok lainnya, melalui kegiatan seksual yang berisiko yang merupakan jalur penularan antar kelompok tersebut (lihat gambar 6.2). Fenomena tersebut penting bagi perluasan epidemi HIV, karena tingkat penularan yang tinggi pada kelompok napza suntik dapat pindah ke kelompok penjaja seks, lalu ke kelompok pelanggan penjaja seks, dan juga ke pasangan seksualnya (baik istri atau suaminya). Kelompok-kelompok yang rawan tertular HIV bukan kelompok yang terisolasi! Mereka saling berinteraksi, juga dengan masyarakat umum. Jelas sekali bahwa jalur penularan HIV tidak lagi hanya terbatas di dalam kelompok perilaku risiko tinggi saja, tetapi meluas ke kelompok lainnya serta pada perilaku risiko rendah. 17

Epidemi HIV di Indonesia sudah lepas landas, lalu akan semakin meluaskah penularan HIV? Menyadari kenyataan sudah semakin tingginya tingkat penularan HIV dan adanya fenomena jalur penularan HIV yang meluas, maka ada potensi perluasan epidemi HIV di Indonesia yang semakin besar bila tidak ada upaya penanggulangan HIV yang lebih serius. 6.3 Manfaat kondom dalam mencegah perluasan epidemi HIV Persen pakai kondom pada seks komersial 100 80 60 40 20 Penggunaan Kondom Infeksi Menular Seksual 250 200 150 100 50 Kasus Infeksi Menular Seksual (ribu) 0 1988 1989 1990 1991 1992 1993 Tahun 1994 0 Gambar 6.3: Semakin tinggi pemakaian kondom pada seks komersial, semakin rendah kejadian kasus infeksi menular seksual, pengalaman negara Muangthai; Sumber: Departemen Kesehatan Masyarakat - Muangthai Salah satu kegiatan penanggulangan HIV adalah mengupayakan peningkatan penggunaan kondom pada setiap kegiatan seks berisiko. Pengalaman di banyak negara menunjukkan dengan semakin tinggi penggunaan kondom pada kegiatan seks berisiko mampu mencegah penularan HIV, terlihat dengan semakin rendah 18

kasus penularan infeksi yang ditularkan secara seksual,termasuk HIV (lihat gambar 6.3). Di Indonesia, fenomena penularan antar kelompok berisiko tinggi dan juga ke kelompok risiko rendah melalui hubungan seks, maka penggunaan kondom tidak hanya mencegah penularan antara kelompok-kelompok berisiko (misalnya dari kelompok napza suntik ke kelompok seks berisiko), tetapi juga mencegah penularan selanjutnya pada kelompok risiko rendah, yaitu pasangan atau istri serta anak-anak yang akan dilahirkannya. Ribuan kasus infeksi HIV 1400 1200 1000 800 500 0 Jika pemakaian kondom dari 85 % menurun 60% pada 1998 Kasus HIV meningkat akibat penurunan pakai kondom bila dipertahankan 85% pakai kondom 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 Gambar 6.4: Simulasi komputer mengindikasikan program kampanye kondom perlu dijaga kontinuitasnya; Sumber: Departemen Kesehatan Masyarakat - Muangthai Pengalaman negara Muangthai (dan juga Kambodia) menunjukkan bahwa keberhasilan program kondom 100% perlu dilakukan dengan dukungan semua pihak. Program kampanye kondom juga tidak boleh terhenti. Bila saja peningkatan penggunaan kondom tidak dapat dipertahankan bahwa akan terjadi kembali peningkatan laju penularan HIV (lihat gambar 6.4). 1 Agar kampanye kondom berhasil menurunkan tingkat penularan HIV di Indonesia, maka perlu kampanye kondom yang dapat dijaga kelangsungannya dan menjangkau kelompok sasaran yang rawan tertular HIV. 1 Projections for HIV/AIDS in Thailand: 2000-2020, Ministry of Public Health, Thailand, 2001 19

7 Peningkatan intensitas upaya penanggulangan epidemi HIV di Indonesia Agar penanggulangan HIV dapat menurunkan tingkat penularan HIV, diperlukan upaya perubahan perilaku yang dapat menjangkau sebagian besar kelompok berisiko. Kenyataan kita belum mampu menjangkau sebagian besar kelompok rawan tersebut, serta yang telah dijangkau program ternyata belum termotivasi untuk merubah perilakunya. Diharapkan agar upaya-upaya penanggulangan di masa datang dapat secara serius didukung oleh semua komponen bangsa agar dampak buruk epidemi HIV dapat dicegah. 7.1 Upaya yang ada belum memadai dan belum menjangkau sebagian besar kelompok berisiko Dampak upaya penanggulangan yang maksimal diharapkan melalui upaya-upaya yang lebih terfokus pada kelompok-kelompok dengan tingkat penularan yang tinggi, seperti penjaja seks, lelaki suka seks dengan lelaki, serta pengguna napza suntik. Upaya yang ada selama ini masih terbatas pada kelompok tertentu dengan cakupan yang terbatas pula. Dengan kerjasama dengan berbagai pihak, baik organisasi donor, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta pihak-pihak yang peduli dengan masalah epidemi HIV/AIDS di Indonesia, telah dilakukan kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, antara lain: 20

Kegiatan pemasaran pesan pencegahan melalui media massa elektronik dan cetak. Selama dua bulan telah ditayangkan pesan-pesan tersebut pada berbagai stasiun TV (TVRI, TPI, TransTV dan Indosiar). Tayangan pesan tersebut diperkirakan menjangkau lebih dari 15 juta pemirsa TV di seluruh Indonesia. Selain itu pesan pencegahan disampaikan melalui 40 stasiun radio serta 11 media cetak, sehingga pesan tersebut dapat lebih tersebar ke masyarakat. Serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas LSM peduli AIDS di beberapa propinsi telah dilakukan dan akan terus dilakukan dalam masa mendatang. Peningkatan kapasitas tersebut antara lain dalam penjangkauan kelompok berisiko, melakukan intervensi untuk perubahan perilaku, serta manajemen program dan manajemen administratif lainnya. Dalam upaya mengurangi tingkat penularan pada kelompok napza suntik, juga telah dilakukan pelatihan penjangkauan kelompok napza suntik pada beberapa LSM yang peduli tentang masalah penularan HIV pada kelompok napza suntik. Selain itu dilakukan kerjasama dan advokasi untuk mengurangi penularan HIV pada kelompok napza suntik, antara lain promosi penggunaan alat suntik steril dan mengurangi penggunaan bersama alat suntik yang tidak steril. Pihak Departemen Hankam, TNI dan Polri telah melakukan langkah-langkah awal yang strategis dalam meningkatkan upaya pencegahan penularan HIV di kalangan anggota TNI dan Polri. Pengguatan klinik-klinik yang melayani pengobatan infeksi menular seksual, baik untuk kelompok penjaja seks dan pelanggannya, serta kelompok lelaki suka seks lelaki. Pengamanan darah donor terus ditingkatkan untuk menjamin setiap darah donor ditapis untuk pencegahan penularan melalui transfusi. Penjangkauan kelompok remaja baik yang sedang sekolah atau di luar sekolah telah dilakukan bersama LSM di kabupaten Merauke. Dengan melibatkan kelompok swasta agar berperan aktif dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS diharapkan kegiatan penanggulangan HIV semakin luas. Selain itu juga telah dilakukan beberapa program rintisan untuk 21

penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dengan kerjasama LSM setempat. Telah tersusun rencana strategi bidang kesehatan dalam penanggulangan HIV/AIDS, yang kemudian menjadi bahan dasar untuk penyusunan rencana strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS. Kegiatan-kegiatan yang tersusun dalam rencana strategis bidang kesehatan tersebut, antara lain promosi gaya hidup sehat, perilaku seksual aman, promosi kondom, pengobatan IMS, penggunaan alat suntik yang aman, serta dukungan terhadap ODHA. Peningkatan peran Komisi Penanggulangan HIV/AIDS terus diupayakan dan perlu didukung dengan anggaran dalam menjalankan fungsi koordinasi upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Forum Parlemen Indonesia untuk Pendudukan dan Pembangunan dengan Komisi VII DPR telah memberikan perhatian khusus pada masalah epidemi HIV/AIDS di Indonesia dengan melakukan acara dengar pendapat dan pertemuan dengan para pakar. Kegiatan advokasi kepada media, baik kepada wartawan maupun pemimpin redaksi, telah dilakukan Lokakarya pada Wartawan untuk meliput masalah AIDS oleh Lembaga Pers Dr.Sutomo. 7.2 Peningkatan upaya dukungan pada ODHA Orang dengan HIV/AIDS tidak perlu diperlakukan secara diskriminatif. ODHA bukan saja dapat bekerja secara produktif, tetapi juga terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV/AIDS. Upaya dukungan ODHA telah dipersiapkan, antara lain peningkatan akses terhadap obat anti retroviral dan obat untuk infeksi oportunistik. Beberapa dokter telah mengikuti pelatihan penanganan manajemen klinik HIV/AIDS di Bangkok (WHO - HIV/AIDS Clinical Management Training). Selain memperkuat jaringan kelompok ODHA di Indonesia, juga telah dijalin kerjasama ASEAN untuk tukar pengalaman dalam upaya dukungan pada ODHA dan peningkatan akses terhadap pengobatan. 22

7.3 Perlu perluasan program untuk penanggulangan HIV/AIDS yang efektif Berdasarkan kenyataan epidemi yang ada maka perlu dirumuskan upaya penanggulangan yang lebih terfokus dan menjangkau secara luas sehingga berdampak cukup besar dalam mencegah kejadian infeksi-infeksi HIV baru, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dinamika epidemi HIV di Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya hubungan antara berbagai kelompok-kelompok berisiko. Perlu dilakukan penjangkauan pada kelompok risiko tinggi seperti pengguna napza, maka diharapkan tidak saja mengurangi jumlah penyuntik napza baru, tetapi juga mencegah penularan HIV dan virus hepatitis C dengan mempromosikan penggunaan jarum yang steril dan kondom yang berskala lebih luas, tidak terbatas pada daerah rintisan saja (pilot project). Mengingat risiko penularan HIV juga terjadi di institusi rumah-tahanan dan lembaga pemasyarakatan, maka perlu dilakukan upaya peningkatan pemahaman tentang cara penularan HIV serta cara pencegahannya pada narapidana. Kaum muda perlu memperoleh informasi yang luas tentang cara penularan dan cara pencegahan HIV, serta mempunyai ketrampilan untuk menghindari perilaku berisiko. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut perlu diberikan sedini mungkin, baik melalui jalur sekolah atau di luar sekolah. Diharapkan sebagian besar generasi muda Indonesia mampu menghindari perilaku berisiko. Mengingat bahwa lelaki pelanggan seks sangat berperan untuk melakukan perubahan perilaku, dengan selalu menggunakan kondom pada seks berisiko, maka perlu prioritas tinggi untuk memperoleh informasi yang mendorong perubahan perilaku kaum lelaki tersebut. Kampanye penggunaan kondom adalah salah satu penyebaran informasi yang penting dilaksanakan mengingat sulitnya menentukan secara tegas para pelanggan penjaja seks dan tidak mudah penjangkauannya. Selain itu perlu ada program-program yang berbasiskan tempat kerja, misalnya pada industri pertambangan, industri angkutan darat dan laut, industri penangkapan ikan, industri perkayuan, serta industri yang sebagian besar 23

tenaga kerja adalah kaum lelaki. Lelaki yang berisiko, umumnya mempunyai mobilitas tinggi dan atau jauh dari pasangan tetapnya. Mengingat keterbatasan dana penanggulangan HIV/AIDS, perlu dilakukan mobilisasi dana dari swasta dan masyarakat, selain alokasi dana dari pemerintah dan bantuan dari lembaga donor. Perlu ditingkatkan fasilitas tes HIV yang bersifat sukarela dengan dukungan pelayanan konseling serta akses terhadap pengobatan. 24

8 Penutup Tekad saja tidak cukup, yang kita butuhkan adalah upaya-upaya nyata yang perlu dilakukan sekarang juga. Perlu peningkatan dan perluasan upayaupaya penanggulangan HIV, yang didukung oleh semua pihak dan dilakukan secara bersama, tidak terbatas hanya pada satu sektor pemerintah atau masyarakat saja. Hanya dengan cara tersebut perluasan epidemi HIV di Indonesia dapat dicegah. 25

AksiSt paid S Dukungan finansial untuk rancangan dan pencetakan laporan ini disediakan oleh Program Aksi AIDS (ASA), didanai oleh United States Agency for International Development di bawah kesepakatan kerjasama nomor 497-A-00-00-0038-00.