BAB I PENDAHULUAN. Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Negara (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003) informal dapat melalui keluarga dan lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

Tujuan pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-Undang. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal (3)

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu. komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu

BAB IV ANALISIS PERAN GURU BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PEMBINAAN KEDISIPLINAN SISWA DI SMP NEGERI 3 WARUNGASEM KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

keberhasilan belajar yang semakin tinggi dan tanggung jawab terhadap perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

I. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR

1. PENDAHULUAN. Peningkatan kemajuan teknologi merupakan suatu proses yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Tujuan pendidikan adalah membentuk seorang yang berkualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

BAB 1. Pendahuluan. Adolescent atau remaja, merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gejolak dalam dirinya untuk dapat menentukan tindakanya.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. kenakalan remaja? Harapan remaja sebagai penerus bangsa yang menentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan peradaban dan kebudayaan suatu bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga, di asuh dengan sebaik-baiknya. Kiranya semua setuju dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bertujuan untuk membentuk karakter dan kecakapan hidup

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang perlu mendapatkan perhatian semua orang. Salah satu masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sekolah didirikan untuk mengembang tugas mewujudkan inspirasiinspirasi

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

I. PENDAHULUAN. Manfaat dari pendidikan di sekolah, antara lain adalah menambah wawasan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. biologis dan ditutup dengan aspek kultural. Transisi dari masa kanak-kanak ke remaja

PENINGKATAN PERILAKU DISIPLIN BELAJAR SISWAMELALUI TEKNIK REINFORCEMENT POSITIF DALAM PEMBELAJARAN IPS

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara logis anak memiliki dua nilai fungsi, yakni fungsi sebagai

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. mampu bersaing dengan negara lain. Namun, dunia pendidikan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mencerdasan kehidupan bangsa, serta membentuk generasi yang berpengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, IKLIMSEKOLAH, DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

2015 UPAYA GURU PENJASORKES DALAM MENANGGULANGI KENAKALAN SISWA SMA/SMK SE- KECAMATAN MARGAHAYU KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin mengedepankan pendidikan sebagai salah satu tolak ukur dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003). Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik buruknya pribadi manusia dalam ukuran normatif. Sementara ini kualitas pendidikan di Indonesia sangat memrihatinkan. Ini dibuktikan dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Di dunia internasional, kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat ke- 64 dari 120 negara di seluruh dunia berdasarkan laporan tahunan UNESCO Education For All Global Monitoring Report 2012. Sedangkan berdasarkan Indeks Perkembangan Pendidikan (Education Development Index), Indonesia berada pada 1

2 peringkat ke-69 dari 127 negara pada 2011 (www. prestasi-iief.org). Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Menyadari akan hal itu, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan merupakan penopang dalam meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa agar dapat bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain, khususnya dalam memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan kehidupan di negara lain. Maka dari itu, sekolah merupakan lokasi penting dimana Nation Builders

3 diharapkan dapat berjuang membawa negara Indonesia bersaing di kancah global (www.prestasi-iief.org). Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang didalamnya terdiri atas berbagai komponen yaitu siswa, guru, kepala sekolah, staf tata usaha, benda-benda dan lain sebagainya. Secara umum dapat dikatakan bahwa siswa, guru dan kepala sekolah secara bersama sama berada dalam satu lembaga, dan bersama-sama pula mengatur dan membina serta menyelenggarakan program-program yang ditentukan dan diatur oleh Dinas Pendidikan yang dilaksanakan secara terus-menerus. Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan lanjutan dari jenjang pendidikan dasar (www.kemdiknas.go.id). Dalam jenjang pendidikan SMA, siswa dipersiapkan untuk memasuki dunia perguruan tinggi. Mengingat hal tersebut tidaklah mudah karena masa yang dilalui anak SMA merupakan masa remaja, yaitu masa peralihan atau transisi dari masa kanak kanak menuju masa dewasa, dan dalam periode ini remaja mengalami masa transisi biologis, kognitif, dan sosial (Steinberg, 2002). Masa transisi pada tingkat sekolah menengah dapat menjadi sulit dan penuh tekanan karena pada masa ini seorang remaja mengalami banyak perubahan yang terjadi secara bersamaan dalam dirinya, dalam keluarga, dan sekolah. Perubahan ini meliputi masalah pubertas yang terkait dengan kondisi biologis, kognitif, dan sosial, muncul setidaknya beberapa aspek pemikiran operasional formal, termasuk disertai perubahan kognisi sosial, peningkatan tanggung jawab dan berkurangnya ketergantungan pada orang tua, berubah pada struktur sekolah yang lebih besar dan

4 impersonal, perubahan dari satu guru menjadi banyak guru, dan dari kelompok teman sebaya yang kecil dan homogen menjadi kelompok teman sebaya yang lebih besar dan heterogen, serta meningkatkan fokus pada prestasi, kinerja dan penilaian mereka (Santrock, 2012). Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan remaja menampilkan perilaku menyimpang atau perilaku yang tidak diharapkan (Steinberg, 2002), seperti pelanggaran yang terjadi di sekolah. Dalam upaya mengantisipasi pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh siswa di sekolah, maka dibuatlah peraturan dan tata tertib sekolah. Untuk mencapai situasi kegiatan pembelajaran yang kondusif, kedisiplinan tata tertib sangat menentukan dalam pembentukan perilaku agar siswa disiplin melaksanakan tata tertib yang diharapkan oleh sekolah. Tata tertib memunyai hubungan yang sangat erat dengan kedisiplinan, karena kedisiplinan merupakan salah satu faktor penting dalam penegakan tata tertib sekolah. Tingkat kesadaran akan kedisiplinan yang dimiliki oleh remaja akan berimplikasi terhadap tingkat pelanggaran tata tertib sekolah. Tata tertib yaitu seperangkat aturan atau ketentuan yang secara organisatoris mengikat setiap komponen sekolah, baik murid, guru, kepala sekolah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memunyai fungsi dan tugas edukatif yang meliputi tiga dimensi, yaitu mendidik yang menghasilkan etika dalam pergaulan, pembelajaran yang menghasilkan kecerdasan dan melatih menghasilkan keterampilan (Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Tata tertib sekolah dibuat dengan tujuan

5 agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan tenang, lancar dan berhasil mencapai tujuan pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan di sekolah membuat seluruh komponen sekolah menyadari arti pentingnya tata tertib sekolah. Tata tertib ini sangat bermanfaat untuk mengajarkan kedisiplinan kepada siswa. Meskipun tidaklah mudah untuk mewujudkannya menjadi suatu kenyataan, bahwa dalam pelaksanaannya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap tata tertib sekolah oleh para siswa. Pelanggaran tata tertib merupakan perbuatan yang dilakukan oleh siswa yang bertentangan dengan peraturan-peraturan tata tertib sekolah yang bisa mengakibatkan kerugian pada semua pihak yaitu pada diri siswa, orangtua dan guru (sekolah) dan masyarakat lingkungan sekitar (Slameto, 1986). Menurutnya, pelanggaranpelanggaran peraturan - peraturan tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa yang dapat diidentifikasikan atau dikelompokkan sebagai pelanggaran tata tertib, yaitu pelanggaran dalam hal waktu, pelanggaran dalam beretika (sopan santun), pelanggaran dalam hal menggunakan fasilitas sekolah yang ada, pelanggaran dalam hal menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah, pelanggaran dalam hal kriminal, pelanggaran dalam hal berpakaian dan berhias (bagi perempuan). Berikut fenomena pelanggaran yang terjadi di SMA X kota Bandung, terdapat berbagai macam pelanggaran yang terjadi di SMA X, misalnya saja terlambat, tidak membawa buku pelajaran, tidak memakai atribut sekolah, rambut dan cara berpakaian tidak sesuai dengan ketentuan sekolah, tidak mengerjakan tugas, membolos, berkelahi, merokok, dan berjudi. Berdasarkan wawancara terhadap salah

6 seorang guru BK di salah satu SMA favorit di kota Bandung, sekolah tersebut telah mengalami banyak perubahan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, mulai dari bangunan sekolah, seragam sekolah, jam belajar di sekolah, serta peraturan sekolah dan penerapannya. Diakuinya bahwa sekarang sekolah tersebut telah berkembang menjadi lebih baik. Siswa siswi yang melakukan pelanggaran berat sudah jauh berkurang dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Menurutnya, hal tersebut mungkin dikarenakan jam pulang sekolah yang semakin sore dan tugas yang semakin banyak, sehingga saat waktu pulang sekolah, kebanyakan siswa siswi langsung pulang ke rumahnya. Berbeda dengan 10 tahun lalu, waktu pulang sekolah kebanyakan digunakan siswa untuk merokok bersama teman bahkan sampai ada yang berkelahi. Menurut pengakuan beliau di sekolah masih saja ada siswa yang melakukan pelanggaran walaupun pelanggaran tersebut sifatnya ringan, seperti membolos, terlambat, tidak mengerjakan tugas, dan sebagainya. Dari fenomena fenomena di atas dapat terlihat perilaku siswa sekolah menengah yang melanggar peraturan, dan dari berbagai macam perilaku melanggar peraturan tersebut tentu ada faktor-faktor yang dapat menjadi penyebabnya. Faktor internal yaitu dari dalam diri siswa yaitu kepribadian siswa itu sendiri dan faktor eksternal yang salah satunya adalah keluarga. Keluarga adalah kelompok primer yang terpenting dan bersifat fundamental dalam masyarakat, yang pada umumnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak (Hetherington, 2002). Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama yang berpengaruh terhadap perkembangan anak, fisik, mental, dan spiritual yang akan diwujudkan dalam tingkah laku. Keluarga memunyai peran

7 yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian seseorang sejak kecil sampai dewasa. Oleh karena itu, segala bentuk interaksi, komunikasi, karakteristik, dan situasi di dalam keluarga akan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian seluruh anggota keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak belajar mengenai norma norma, agama, maupun proses sosial sehingga komunikasi yang efektif perlu diciptakan agar dapat membangun hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak. Selanjutnya, dari lingkungan keluarga inilah anak dipersiapkan untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain dan berbagai kelompok sosial di lingkungan masyarakatnya, sehingga keluarga juga berfungsi sebagai lembaga penyeleksi segenap budaya dari luar dan sebagai mediasi hubungan anak dengan lingkungannya. Orangtua memiliki peran yang sangat penting terhadap kesuksesan remaja di sekolah (Santrock, 2012). Salah satu cara orangtua yang dapat berkontribusi secara positif pada keberhasilan remaja di sekolah adalah melalui praktik manajemen keluarga yang efektif dan keterlibatan orangtua dalam urusan sekolah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa praktik manajemen keluarga memiliki kaitan yang positif terhadap nilai dan tanggung jawab serta memiliki kaitan yang negatif terhadap masalah masalah di sekolah (Taylor, 1996). Dalam mengasuh anaknya, orangtua cenderung menggunakan gaya pengasuhan tertentu yang dalam pelaksanaannya, gaya pengasuhan tersebut memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk bentuk

8 perilaku pada remaja. Dengan kata lain, gaya pengasuhan yang dilakukan orangtua akan memengaruhi perilaku yang ditampilkan oleh remaja. Menurut Diana Baumrind (Steinberg, 2002), terdapat dua dimensi dari perilaku orangtua, yaitu Parental responsiveness dan Parental demandingness. Parental responsiveness merujuk pada sejauh mana orangtua dalam memberikan respon terhadap kebutuhan anak akan penerimaan dan dukungan. Sedangkan parental demandingness merujuk pada apa yang orangtua harapkan dari anak untuk berperilaku secara matang dan bertanggung jawab. Dari dua dimensi diatas, dihasilkan empat macam gaya pengasuhan orangtua, yaitu authoritative, authoritarian, indulgent, dan indifferent. Gaya pengasuhan authoritative memiliki tingkat parental responsiveness dan parental demandingness yang tinggi. Mereka hangat namun tegas. Mereka menetapkan standard dan nilai yang tinggi dalam perkembangan otonomi dan kemandirian, namun mereka juga menganggap tanggung jawab utama untuk tingkah laku anak mereka. Remaja yang dibesarkan di lingkungan keluarga authoritative cenderung lebih bertanggung jawab, lebih memiliki keyakinan diri, lebih adaptif, lebih kreatif, memiliki rasa ingin tahu, lebih terampil dalam bersosialisasi, dan cenderung lebih sukses di sekolah. Gaya pengasuhan authoritarian memiliki tingkat parental responsiveness yang rendah dan parental demandingness yang tinggi. Orangtua menetapkan nilai yang tinggi tentang kepatuhan. Mereka cenderung untuk menghukum dan menerapkan disiplin yang kuat. Remaja yang tumbuh dalam keluarga authoritarian

9 cenderung lebih bergantung, lebih pasif, kurang mampu dalam bersosialisasi, kurang memiliki keyakinan diri, dan kurang memiliki rasa ingin tahu. Gaya pengasuhan indulgent memiliki tingkat parental responsiveness yang tinggi dan parental responsiveness yang tinggi dan parental demandingness yang rendah. Orangtua bersikap lebih lunak dan pasif dalam hal disiplin. Mereka relatif sedikit menuntut, memberi kebebasan kepada anak untuk bertingkah laku. Orangtua indulgent berpendapat bahwa kontrol merupakan pelanggaran terhadap kebebasan anak yang dapat mengganggu perkembangan anak. Remaja yang tumbuh dalam keluarga indulgent kurang memiliki kematangan, kurang bertanggung jawab, lebih penurut pada teman temannya, dan kurang mampu untuk mengambil posisi dalam kepemimpinan. Gaya pengasuhan indifferent memiliki tingkat parental responsiveness dan parental demandingness yang rendah. Orangtua indifferent mencoba melakukan pelbagai cara meminimalkan waktu dan tenaga dalam berinteraksi dengan anaknya. Dalam kasus yang ekstrim, orangtua yang indifferent adalah orangtua yang mengabaikan. Orangtua hanya tahu sedikit tentang kegiatan dan keberadaan anakanaknya, memerlihatkan perhatian yang sedikit/kecil terhadap pengalaman atau apa yang dialami oleh anak-anaknya di sekolah, dan jarang memerhitungkan pendapat anak-anaknya manakala akan mengambil suatu keputusan. Remaja yang tumbuh dengan gaya pengasuhan indifferent akan lebih impulsif dan terlibat dalam perilaku delinquent. Orangtua indifferent, lalai, atau kasar telah terbukti secara konsisten memiliki efek berbahaya bagi kesehatan mental dan perkembangan remaja,

1 0 menyebabkan depresi dan berbagai masalah perilaku, termasuk kekerasan fisik dan agresi. Kekerasan psikis yang serius memiliki efek yang paling merusak. Dari survei awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap 20 responden, terdapat 17 responden yang mengaku pernah melanggar peraturan sekolah. Dari 17 responden, 9 responden diantaranya laki laki dan 8 responden diantaranya perempuan. Dari 17 responden yang pernah melanggar peraturan, 13 responden hanyak mendapat teguran lisan dari guru, 1 responden pernah menerima surat peringatan, 1 responden pernah dipanggil orangtuanya, dan 1 responden pernah mendapatkan hukuman membersihkan halaman sekolah. Berbagai macam pelanggaran yang pernah dilakukan oleh responden, diantaranya 14 responden mengaku pernah terlambat, 2 responden mengaku pernah membolos, 5 responden mengaku pernah tidak memakai atribut sekolah, 4 responden mengaku pernah memakai seragam yang tidak sesuai dengan ketentuan sekolah, 6 responden mengaku potongan rambut tidak sesuai dengan ketentuan sekolah, 12 responden mengaku pernah tidak membawa buku pelajaran, 12 responden mengaku pernah tidak mengerjakan pekerjaan rumah, 8 responden mengaku pernah mencontek, 1 responden mengaku pernah merokok, 1 responden mengaku pernah berkelahi, dan 1 responden mengaku pernah berjudi. Dari 17 responden yang pernah melakukan pelanggaran, 14 responden tinggal bersama orangtua, 2 responden tinggal bersama om dan tante, dan 1 responden tinggal bersama nenek. Salah satu responden tinggal bersama om dan tante karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya sibuk bekerja sebagai wiraswasta. Namun

1 1 walaupun demikian responden tersebut mengaku masih sering berkomunikasi dengan ibunya. Responden yang pernah mendapatkan surat peringatan tinggal dengan kedua orangtuanya. Kegiatan yang biasanya dilakukan dengan kedua orangtuanya antara lain pergi bersama, bersenda gurau, menonton TV bersama. Namun, tak jarang juga ia memainkan HP-nya saat bersama kedua orangtuanya. Walaupun responden tersebut sering berkomunikasi dengan kedua orangtuanya, ia pun mengaku sering berbeda pendapat dengan kedua orangtuanya. Responden yang orangtuanya pernah dipanggil oleh pihak sekolah mengaku sering tidak memakai atribut sekolah, tidak membawa buku pelajaran, dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Responden ini mengaku pernah terlambat dan mencontek namun intensitasnya jarang. Responden yang berjenis kelamin perempuan ini tinggal bersama kedua orangtuanya, dan selama ini sangat sering berbeda pendapat dengan ibunya. Ayah dan ibunya bekerja sebagai wiraswasta. Menurut responden, orangtuanya sangat ketat dalam menetapkan aturan yang berhubungan dengan akademiknya, seperti mengharuskan responden belajar setiap hari, mendiskusikan mengenai nilai yang harus diperoleh dan menanyakan tentang nilai setiap kali ada ulangan. Namun dalam pelaksanaan aturan tersebut, orangtua jarang mengawasi responden dalam belajar dan jarang memberikan semangat dalam belajar. Responden yang pernah menerima skorsing oleh pihak sekolah, mengaku pernah melakukan pelanggaran, yaitu: terlambat, membolos, tidak memakai atribut sekolah, seragam tidak sesuai dengan ketentuan sekolah, potongan rambut tidak

1 2 sesuai dengan ketentuan sekolah, tidak membawa buku pelajaran, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, menyontek, merokok, berkelahi, dan berjudi. Responden ini tinggal bersama kedua orangtuanya. Ia mengaku sering berkomunikasi dengan orangtua, dan sering pergi bersama dengan orangtuanya. Namun hal yang biasa ia lakukan saat berkumpul bersama orangtuanya adalah memainkai HP-nya. Disamping itu ia juga mengaku sangat sering berbeda pendapat dengan kedua orangtuanya. Berdasarkan pemaparan di atas dan fenomena fenomena yang telah disebutkan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penghayatan gaya pengasuhan orangtua pada siswa yang melakukan pelanggaran peraturan sekolah di SMA X kota Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Bagaimana penghayatan gaya pengasuhan orangtua pada siswa yang melakukan pelanggaran peraturan sekolah di SMA X Kota Bandung. 1.3. Maksud dan Tujuan a) Maksud Penelitian Untuk mengetahui gambaran tentang penghayatan gaya pengasuhan orangtua pada siswa yang melakukan pelanggaran peraturan sekolah di SMA X Kota Bandung.

1 3 b) Tujuan penelitian Untuk memperoleh informasi yang mendalam dan rinci mengenai penghayatan gaya pengasuhan orangtua pada siswa yang pernah melanggar peraturan sekolah di SMA X Kota Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian a) Kegunaan Praktis Menghimbau pihak sekolah untuk meminimalisasikan pelanggaran peraturan sekolah. Memberikan informasi kepada orangtua mengenai gaya pengasuhan yang dapat dilakukan dan diterapkan kepada anak-anak mereka. Memberikan informasi mengenai tata tertib kepada siswa untuk dapat mengantisipasi pelanggaran di sekolah. b) Kegunaan Teoretis Sebagai informasi tambahan bagi ilmu Psikologi mengenai penghayatan gaya pengasuhan orangtua. Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya, khususnya yang berhubungan dengan penghayatan gaya pengasuhan orangtua.

1 4 1.5. Kerangka Pemikiran Menurut Diana Baumrind, parenting style terbentuk dari dua dimensi perilaku orangtua, yaitu parental responsiveness dan parental demandingness. Parental responsiveness merujuk bagaimana orangtua dalam memberikan respon kebutuhan remaja sehingga menumbuhkan penghayatan akan penerimaan dan dukungan dari orangtuanya. Sedangkan parental demandingness merujuk pada bagaiamna orangtua menuntut dan mengharapkan remaja dalam berperilaku. Berdasarkan kombinasi dari tinggi-rendahnya ke dua dimensi ini, akan menghasilkan empat macam gaya pengasuhan. Pertama adalah gaya pengasuhan authoritative. Gaya pengasuhan authoritative ini memiliki ciri ciri orangtua yang hangat namun tegas. Gaya pengasuhan authoritative memiliki keseimbangan dalam parental responsiveness dan parental demandingness. Kedua adalah gaya pengasuhan authoritarian. Gaya pengasuhan authoritarian memiliki ciri - ciri orangtua yang menetapkan nilai nilai kepatuhan dan kedisiplinan. Orangtua dengan gaya pengasuhan authoritarian cenderung menetapkan banyak peraturan peraturan serta tuntutan tuntutan terhadap remaja. Ketiga adalah gaya pengasuhan indulgent. Gaya pengasuhan indulgent memiliki ciri ciri orangtua yang menetapkan sedikit peraturan, lebih memberikan banyak toleransi kepada remaja. Keempat adalah gaya pengasuhan indifferent. Gaya pengasuhan indifferent memiliki ciri ciri orangtua yang meluangkan sedikit waktu untuk remaja, kurang tegas dalam menetapkan norma norma bahkan dalam kasus yang ekstrim orangtua cenderung bersikap acuh tak

1 5 acuh terhadap remaja. Orangrua dengan gaya pengasuhan ini kurang memahami kebutuhan remaja. Orangtua memiliki peran yang penting dalam keberhasilan remaja di sekolah. Salah satu cara orangtua yang dapat berkontribusi secara positif pada keberhasilan remaja di sekolah adalah melalui praktik manajemen keluarga yang efektif dan keterlibatan orangtua dalam urusan sekolah. Remaja yang dalam tahap ini sedang mengalami masa transisi pada tingkat sekolah menengah dapat menjadi sulit dan penuh tekanan karena pada masa ini seorang remaja mengalami banyak perubahan yang terjadi secara bersamaan dalam dirinya, dalam keluarga, dan sekolah. Perubahan ini meliputi masalah pubertas yang terkait dengan kondisi biologis, kognitif, dan sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan remaja menampilkan perilaku menyimpang atau perilaku yang tidak diharapkan (Steinberg, 2002), seperti pelanggaran peraturan sekolah. Dalam upaya mengantisipasi pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh siswa di sekolah, maka dibuatlah peraturan dan tata tertib sekolah. Untuk mencapai situasi kegiatan belajar mengajar yang kondusif, kedisiplinan tata tertib sangat menentukan dalam pembentukan perilaku agar siswa disiplin melaksanakan tata tertib yang diharapkan oleh sekolah. Tata tertib yaitu seperangkat aturan atau ketentuan yang secara organisatoris mengikat setiap komponen sekolah, baik murid, guru, kepala sekolah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar

1 6 dapat berjalan dengan tenang, lancar dan berhasil mencapai tujuan pendidikan nasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Meskipun tidaklah mudah untuk mewujudkannya menjadi suatu kenyataan, bahwa dalam pelaksanaannya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap tata tertib sekolah oleh para siswa. Pelanggaran tata tertib merupakan perbuatan yang dilakukan oleh siswa yang bertentangan dengan peraturan-peraturan tata tertib sekolah yang bisa mengakibatkan kerugian pada semua pihak yaitu pada diri siswa, orangtua dan guru (sekolah) dan masyarakat lingkungan sekitar. Menurut Slameto, (1986) pelanggaran-pelanggaran peraturan - peraturan tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa yang dapat diidentifikasikan atau dikelompokkan sebagai pelanggaran tata tertib, yaitu pelanggaran dalam hal waktu, pelanggaran dalam beretika (sopan santun), pelanggaran dalam hal menggunakan fasilitas sekolah yang ada, pelanggaran dalam hal menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah, pelanggaran dalam hal kriminal, pelanggaran dalam hal berpakaian dan berhias (bagi perempuan). Pelanggaran juga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pelanggaran ringan dan pelanggaran berat. Hal ini tidak terlepas dari frekuensi pelanggaran itu sendiri. Pelanggaran walaupun sifatnya ringan namun jika dilakukan berulang ulang akan menjadi pelanggaran berat.

1 7 Dimensi Demandingness Dimensi Responsiveness Gaya pengasuhan orangtua: Authoritative Authoritarian Indulgent Indifferent Siswa SMA X yang melanggar peraturan Pelanggaran berat Pelanggaran ringan Peer Group Data Sosio Demographic: jenis kelamin urutan dalam keluarga tinggal bersama siapa status pekerjaan orangtua Gambar 1.1. Skema Kerangka Pemikiran

1 8 1.6. Asumsi a) Gaya pengasuhan orangtua berangkat dari dua dimensi, yaitu dimensi demandingness dan dimensi responsiveness. Dimensi demandingness merujuk pada apa yang orangtua harapkan dari anak untuk berperilaku secara matang dan bertanggung jawab. Sedangkan dimensi responsiveness merujuk pada sejauh mana orangtua memberikan respon terhadap kebutuhan anak akan penerimaan dan dukungan. b) Kombinasi dari dimensi demandingess dan dimensi responsiveness akan menghasilkan 4 variasi gaya pengasuhan orangtua, yaitu authoritative, authoritarian, indulgent, dan indifferent. c) Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan authoritative akan cenderung bertanggung jawab, memiliki keyakinan diri, lebih mampu beradaptasi, lebih kreatif, memiliki rasa ingin tahu, dan lebih terampil dalam bersosialisasi. d) Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan authoritarian akan cenderung bergantung pada orang lain, lebih pasif, kurang memiliki keyakinan diri, dan kurang memiliki rasa ingin tahu. e) Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan indulgent akan cenderung kurang memiliki kematangan, kurang bertanggung jawab, lebih penurut kepada teman- temannya, dan kurang mampu mengambil posisi sebagai pemimpin.

1 9 f) Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan indifferent akan cenderung terlibat dalam perilaku delinkuen dan lebih impulsif. Karena kurang mendapatkan pengarahan dari orangtua, maka remaja ini memiliki faktor resiko untuk terlibat dalam berbagai pelanggaran di sekolah.