PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

dokumen-dokumen yang mirip
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

PENYIDIKAN TAMBAHAN DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PRAPENUNTUTAN

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SIKAP KEJAKSAAN ATAS PELIMPAHAN BERKAS PERKARA OLEH PENYIDIK

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BLOCK BOOK HUKUM ACARA PIDANA Kode Mata Kuliah : WUI 5342

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

PENYITAAN DALAM PERKARA PIDANA DI POLRESTA DENPASAR

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJAMIN APABILA TERSANGKA ATAU TERDAKWA MELARIKAN DIRI DALAM MASA PENANGGUHAN PENAHANAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PERANAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DILIHAT DARI UU NO.8 TAHUN 1981

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Oleh: I Made Adi Estu Nugrahan I Gusti Ketut Ariawan I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PENGADILAN NEGERI KLAS I A PADANG

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

LEMBAR PERSETUJUAN JIWA PADA SAAT MELAKUKAN TINDAK PIDANA. (Studi di Kepolisian Resort Malang Kota).

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

Wewenang Penahanan Berujung OTT

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

KEDUDUKAN PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI UNTUK PENCARIAN KEBENARAN MATERIAL DALAM PERKARA PIDANA Oleh: Daud Jonathan Selang 1

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

Transkripsi:

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN Oleh I Gusti Ayu Aditya Wati Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Makalah ini berjudul Pemecahan Perkara (Splitsing) dalam Pra Penuntutan. Makalah ini menggunakan metode pendekatan masalah secara yuridis empiris. Mengadakan pra penuntutan yang berarti sebelum Penuntut Umum bertndak melimpahkan berkas perkara ke sidang pengadilan, berhak untuk memeriksa dan menilai berkas hasil pemeriksaan Penyidik telah cukup dan sempurna. Pemecahan Perkara atau Splitsing adalah pemecahan satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa terdakwa tersebut dipecah menjadi dua atau lebih. Pra Penuntutan meliputi pelaksanaan tugas-tugas pemantauan perkembangan penyidikan, penelitian berkas perkara tahap pertama, pemberian petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penelitian ulang berkas perkara, penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti serta pemeriksaan tambahan. Kata Kunci : Pemecahan Perkara, Pra Penuntutan, Penyidik ABSTRACT The title of this paper is"solving Case (Splitsing) in Pre Prosecution". This paper using empirical juridical approach. Conducting pre prosecution which means before the Public Prosecutor bestow the case file to the court, it has the right to inspect and assess the results of the investigator examination file already good enough and perfect. Solving Case or Splitsing is solving the case file containing some criminal offenses committed by some defendants were split into two or more. Pre prosecution include the tasks of monitoring the development of the investigation, the first phase of the case files research, giving instructions in order to complete the investigation results, restudy the case file, the suspect research and evidence at the stage of handover of responsibility for suspects and evidence as well as the additional checks. Keywords: Solving Case, Pre Prosecution, Investigator 1

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasar hukum bukan berdasar atas kekuasaan belaka. Hukum akan menjadi aturan-aturan yang baku bila tidak ada manusia yang melaksanakannya. Manusia yang melaksanakan hukum inilah yang disebut pelaksana hukum, meliputi jaksa, polisi, hakim, pembela dan petugas permasyarakatan. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. Sejak adanya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan maka antara Penyidik dan Penuntut Umum telah terjalin hubungan kerjasama. Pasal 109 KUHP merupakan dasar hubungan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam melakukan proses peradilan. Sebagai proses awal dari proses peradilan ini adalah penyelidikan dan/atau penyidikan. Pemecahan perkara dapat dilakukan oleh Penuntut Umum pada saat Penyidik menyerahkan berkas perkara tersebut secara resmi kepada Penuntut Umum. Berdasarkan latar belakang diatas maka dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah proses pemecahan perkara pidana yang dilakukan dalam pra penuntutan serta atas dasar pertimbangan apakah Jaksa Penuntut Umum melakukan pemecahan perkara pidana. 1.2 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum penelitian ini untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis, untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam kehidupan masyarakat. 2. Tujuan Khusus penelitian ini untuk mengetahui proses pemecahan perkara dalam pra penuntutan serta agar mengetahui dasar pertimbangan dilakukannya pemecahan perkara oleh Jaksa Penuntut Umum. 2

II. ISI MAKALAH 2.1 METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris artinya pendekatan yang mengkaji permasalahan dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku terhadap masalah yang diteliti dengan mengkaji hukum yang berlaku dan juga melihat bagaimana penerapannya dalam praktek yang berkaitan dengan permasalahan. 2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1 Proses Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing) yang dilakukan dalam Pra Penuntutan. Pemecahan perkara menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH yang dimaksud dengan pemecahan perkara adalah apabila ada suatu berkas perkara pidana yang mengenai beberapa perbuatan melanggar hukum pidana yang dilakukan lebih dari seorang dan yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut mengenai keharusan menggabungkan beberapa berkas perkara menjadi satu maka hukum harus memecahkan berkas perkara itu menjadi beberapa berkas perkara, dan juga harus bikin surat tuduhan bagi masing-masing berkas perkara (Splitsing). 1 Mengenai pemecahan perkara ini diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang merupakan wewenang dari Penuntut Umum. Pemecahan perkara pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 142 KUHAP, dilakukan dengan membuat berkas-berkas baru. Dengan sendirinya dilakukan pemeriksaan kembali terhadap terdakwa maupun saksi dan masingmasing terdakwa dibuatkan surat tuntutan. Dengan pemecahan perkara yang berdiri sendiri antar terdakwa yang satu dengan yang lain, maka di antara para terdakwa tersebut dapat dijadikan saksi secara timbal balik, dalam suatu persidangan yang berbeda. Pada penyerahan tahap pertama, penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum, dan penuntut umum pun secara nyata dan fisik menerimanya dari tangan penyidik. 2 1 Djoko Prakoso, Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing), Liberty Yogyakarta, 1988, hal. 3. 2 M. Yahya Harahap, Pemecahan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Pustaka Kartini, Jakarta, 1998, hal. 375 3

Dalam hal penyidik mengirim satu berkas yang memuat tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang kepada penuntut umum yang setelah diteliti dan diperiksa oleh penuntut umum ternyata dinyatakan kurang lengkap, penuntut umum dapat menempuh kebijaksanaan sesuai dengan Pasal 142 KUHAP untuk memecahkan berkas perkara menjadi dua atau lebih sesuai dengan kebutuhan. Bila dilakukan pemecahan berkas perkara dengan sendiri dilakukan pemeriksaan kembali baik terhadap tersangka maupun saksi. 2.2.2 Dasar Pertimbangan Dilakukannya Pemecahan Perkara Dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum melakukan pemecahan perkara (splitsing) adalah faktor-faktor apa yang menjadikan bahan pertimbangan bagi Jaksa Penuntut Umum, agar berkas perkara dipecah oleh penyidik. Adapun faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan dapat dirinci sebagai berikut : 1. Perbuatan yang dilakukan tanpa saksi dan kurang didukung alat bukti sah lainnya yaitu keterangan kesaksian dari penderita sendiri serta tidak didukung oleh alat bukti sah lainnya akan dapat berakibat dibebaskannya terdakwa oleh Hakim. Jadi keterangan seorang saksi saja tidak akan cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, karena berdasarkan pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya diperoleh dua alat bukti yang sah dan hakim juga memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 3 2. Pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang. Salah satu faktor yang menjadi alasan perlunya sebuah perkara displit adalah pelaku tindak pidana tersebut terdiri dari beberapa orang. 3. Meringankan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun tuntutan.dengan dipecahnya suatu perkara, maka akan dapat diperoleh berkas perkara yang sempurna, berkas perkara harus mempunyai kelengkapan formal (Pasal 75 KUHAP) dan kelengkapan meterial. Kelengkapan material harus memuat setidaktidaknya dua alat bukti yang sah, untuk memperoleh keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa dan agar terdakwa tidak diputus bebas atau tidak lepas dari 3 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 136 4

tuntutan hukum. 4 Pemecahan perkara tersebut dimaksudkan untuk meringankan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun tuntutan, untuk membuktikan tentang kebenaran surat dakwaannya atau tentang kesalahan terdakwa. III. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya adalah sebagai berikut : 1. Pemecahan perkara adalah merupakan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum. Pemecahan perkara dilakukan atas petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum yang mana petunjuk tersebut dapat diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum pada saat penyerahan berkas pada tahap pertama ataupun sebelum berks tersebut diserahkan secara resmi kepada Jaksa Penuntut Umum. 2. Dalam melakukan pemecahan perkara, Jaksa Penuntut Umum mempunyai pertimbangan yaitu perbuatan yang dilakukan tanpa saksi dan kurang didukung alat bukti sah lainnya, pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang dan memudahkan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun tuntutan. IV. DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Achmad S.Soema Dipradja, Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, Djambatan, Jakarta. Djoko Prakoso, 1998, Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing), Cet.1, Liberty Yogyakarta. Hendrastanto Yudowidagdo dan Anang Suryanata, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia, Bina Aksana, Jakarta. M. Yahya Harahap, 1998, Pemecahan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Pustaka Kartini, Jakarta. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 4 Hendrastanto Yudowidagdo dan Anang Suryanata, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Indonesia, Bina Aksana, Jakarta, 1987, hal. 159. 5