BAB II TINJAUAN PUSATAKA. STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam. perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

xvii Universitas Sumatera Utara

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

Universitas Sumatera Utara

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

TINJAUAN PUSTAKA. berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan. penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal (Margono, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

2. Strongyloides stercoralis

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kerja. Tenaga kerja yang terpapar dengan potensi bahaya lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

SKRIPSI. Oleh: Dian Kurnia Dewi NIM

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

BAB 1 PENDAHULUAN. diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian bersifat analitik karena akan membandingkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang memerlukan

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Transkripsi:

6 BAB II TINJAUAN PUSATAKA 5 A. Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. Yang termasuk golongan STH yang habitatnya pada usus manusia adalah Ascaris lumbricoides, Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), Strongiloides stercoralis, Trichuris trichiura. Sedangkan yang habitatnya pada usus hewan adalah Toxocara canis, Toxocara Cati, Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, Ancylostoma caninum (Widiyono, 2005). STH yang akan dibahas dalam bab tinjauan pustaka ini meliputi : Ascaris lumbricoides, Hookworm (N. americanus dan A. duodenale), Trichuris Trichiura, Strongiloides stercoralis. 1. Ascaris lumbricoides a. Morfologi A. lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara Nematoda lainya. Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang. Ukuran cacing jantan 10-30 cm dengan diameter 2-4 mm, betina 22-35 cm, kadang-kadang sampai 39 cm dengan diameter 3-6 mm. A. lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai di feses, yaitu telur fertile (telur yang dibuahi), unfertile (telur yang tidak dibuahi),

7 decorticated (telur yang sudah dibuahi tetapi telah kehilangan lapisan albuminnya) dan telur Infektif (telur yang mengandung larva) (Prianto, J., dkk., 2006). Gambar 2.1: Telur A. lumbricoides Fertile Gambar 2.2.: Telur A. lumbricoides unfertile dan fertile Gambar 2.3 :Telur A. lumbricoides fertil dan yg paling kanan decorticated (Purnomo, dkk., 2003). Gambar 2. 4: Telur A. lumbricoides infektif (Purnomo, dkk., 2003).

8 b. Siklus Hidup Gambar 2.4 siklus hidup A. lumbricoides (Agustin, D., 2008). Cacing dewasa didalam usus halus memproduksi telur. Cacing betina setelah kawin dapat memproduksi telur tiap harinya kurang lebih 200.000 butir, kemudian dikeluarkan bersamaan feses waktu buang air besar. Telur yang dikeluarkan merupakan telur yang unfertile (tidak infeksius) dan telur fertile. Pada tanah yang lembab, berlumpur dan teduh memudahkan pertumbuhan telur fertile menjadi telur infektif, biasanya butuh waktu kurang lebih 18 hari. Telur yang berisi larva ini infektife. Jika suatu ketika telur tertelan oleh manusia, akan masuk kelumen usus kemudian dalam usus telur menetas menjadi larva dan larva akan menembus mucosa usus melalui vena porta menuju hepar kemudian melalui arteri hepatika masuk ke sirkulasi sistemik. Dari sirkulasi sistemik melalui venavena balik menuju jantung kanan yaitu atrium kanan kemudian ke ventrikel kanan

9 dan masuk ke paru-paru melalui arteri pulmonalis masuk ke kapiler, karena ukuran larva lebih besar dari kapiler maka terjadi perdarahan di kapiler (Lung Migration). Migrasi berlangsung selama 10-15 hari. sehingga larva dapat migrasi ke alveoli menuju bronchus, trachea, larink, pharynx, dan akhirnya ikut tertelan masuk kedalam usus dan tumbuh jadi bentuk dewasa. Jika cacing dewasa jantan dan betina kawin, betina sudah dapat menghasilkan telur kurang lebih 2 bulan sejak infeksi pertama (Anonim, 2008). c. Patogenesis Patogenesa berkaitan dengan jumlah organisme yang menginvasi, sensitifitas host, bentuk perkembangan cacing, migrasi larva dan status nutrisi host. Migrasi larva dapat menyebabkan eosinophilia dan kadang-kadang reaksi alergi. Bentuk dewasa dapat menyebabkan kerusakan pada organ akibat invasinya dan mengakibatkan patogenesa yang lebih berat (Agustin, D., 2008). d. Manifestasi klinik Gejala klinik yang dapat muncul akibat infeksi A. lumbricoides antara lain rasa tidak enak pada perut (abdominal discomfort), diare, nausea, vomiting, berat badan turun dan malnutrisi. Bolus yang dihasilkan cacing dapat menyebabkan obstruksi intestinal, sedangkan larva yang migrasi dapat menyebabkan pneumonia dan eosinophilia (Anonim, 2008).

10 e. Epidemologi Infeksi yang disebabkan oleh cacing A. lumbricoides disebut Ascariasis. Di Indonesia prevalensi Ascariasis tinggi, frekuensinya antara 60% sampai 90% terutama terjadi pada anak-anak. A. lumbricoides banyak terjadi pada daerah iklim tropis dan subtropis khususnya negara-negara berkembang seperti Amerika Selatan, Afrika dan Asia (Anonim, 2008). f. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya telur pada feses dan kadang dapat dijumpai cacing dewasa keluar bersama feses, muntahan ataupun melalui pemeriksaan radiologi dengan contras barium (Agustin, D., 2008). g. Pencegahan Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih sebelum makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan dengan baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati penderita (Anonim, 2008). 2. Hookworm (N. americanus dan A. duodenale) a. Morfologi Spesies Hookworm yang paling sering menginfeksi manusia adalah A. duodenale dan N. americanus. Keduanya dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran cacing dewasa, buccal cavity (rongga mulut), bursa copulatrix pada

11 jantan. A. duodenale mempunyai ukuran lebih besar dan panjang dari pada N. americanus. N. americanus jantan mempunyai panjang 8-11 mm dengan diameter 0,4-0,5 mm, sedangkan cacing betina mempunyai panjang 10-13 mm dan diameter 0,6 mm 6. Pada buccal cavity (rongga mulut) mempunyai 2 pasang cutting plates yaitu sepasang di ventral dan sepasang di dorsal. Dalam keadaan istirahat tubuhnya menyerupai huruf S. A. Duodenale jantan mempunyai panjang 7-9 mm dan diameter 0,3 mm sedang cacing betinanya mempunyai panjang 9-11 mm dan diameter 0.4 mm. Pada buccal cavity (rongga mulut) mempunyai 2 pasang gigi di anterior dan di posterior. Dalam keadaan istirahat tubuhnya menyerupai huruf C (Agustin, D., 2008). Telur Hookworm sulit dibedakan antara spesies. Bentuk oval dengan ukuran 40-60 mikron dengan dinding tipis transparan dan berisi blastomer (Agustin, D., 2008). Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.5 & 2.6 : gambar telur Hookworm sulit dapat dibedakan antara telur N. americanus dan A. duodenale. (Prianto, J., dkk., 2006 ).

12 b. Siklus Hidup Gambar 2.7 : Siklus hidup Hook worm (Agustin, D., 2008). Telur keluar bersama feses yang merupakan telur tidak infektif, biasanya berisi blastomer. Pada tanah yang teduh, gembur, berpasir dan hangat memudahkan untuk pertumbuhan telur biasanya telur menetas dalam 1-2 hari dalam bentuk rhabditiform larva. Setelah waktu kurang lebih 5-10 hari tubuh menjadi larva filariform yang merupakan bentuk infektife. Bentuk dari larva filariform ini dapat dikenal dari buccal cavity yang menutup. Bila selama periode infektif terjadi kontak dengan kulit manusia, maka filariform larva akan menembus kulit dan masuk ke jaringan kemudian memasuki peredaran darah dan pembuluh lympe, dengan mengikuti peredaran darah vena sampai ke jantung kanan masuk ke paru-paru lewat arteri pulmonalis kemudian masuk kekapiler, karena ukuran larva lebih besar akhirnya kapiler pecah (lung migration) kemudian bermigrasi menuju alveoli, bronchus, larink, pharink dan akhirnya ikut tertelan

13 masuk kedalam usus. Setelah di usus halus larva melepaskan kulitnya lalu melekatkan diri pada mukosa usus, tumbuh sampai menjadi dewasa. Waktu yang dibutuhkan infeksi melalui kulit sampai cacing dewasa betina menghasilkan telur kurang lebih 5 minggu. Infeksi juga bisa melalui mulut apabila manusia tanpa sengaja menelan filariform larva langsung ke usus dan tumbuh menjadi dewasa tanpa melalui lung migration (Tjitra, 1991). c. Patogenesis Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi erythematus. Larva di paru-paru menyebabkan perdarahan, eosinophilia dan pneumonia. Kehilangan banyak darah akibat kerusakan intestinal dapat menyebabkan anemia(gandahusada, dkk., 1998). d. Manifestasi Klinik Gejala klinik yang dapat muncul akibat infeksi Hookworm antara lain pneumonia, batuk terus-menerus, dyspnue dan hemoptysis yang dapat menandai adanya migrasi larva ke paru-paru. Bergantung pada infeksi cacing dewasa, infeksi pencernaan dapat menyebabkan anorexia, panas, diare, berat badan turun dan anemia(gandahusada, dkk., 1998). e. Epidemologi Hookworm menyebabkan infeksi pada lebih dari 900 juta orang dan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 7 liter. Cacing ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Kondisi yang optimal untuk daya tahan larva adalah kelembaban sedang dengan suhu berkisar 23-33 celcius. Prevalensi infeksi cacing ini terjadi pada anak-anak (Ginting, 2003).

14 A. duodenale terbanyak kedua setelah A. lumbricoides, sedangkan N. americanus paling banyak dijumpai di Amerika, Afrika Selatan dan Pusat, Asia Selatan, Indonesia, Australia dan Kepulauan Pasifik (Agustin, D., 2008). F. Diagnosis Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur/cacing dewasa pada feses penderita (Gandahusada,dkk., 1998). g. Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup cacing dengan cara : terhadap sumber infeksi dengan mengobati penderita, memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses dan memakai alas kaki. 3. Trichuris trichiura a. Morfologi Cacing dewasa berbentuk cambuk dengan 2/5 bagian posterior tubuhnya tebal dan 3/5 bagian anterior lebih kecil. Cacing jantan memiliki ukuran lebih pendek (3-4 cm) dari pada betina dengan ujung posterior yang melengkung ke ventral. Cacing betina memiliki ukuran 4-5 cm dengan ujung posterior yang membulat. Memiliki bentuk oesophagus yang khas disebut dengan Schistosoma oesophagus. Telur berukuran 30 54 x 23 mikron dengan bentukan yang khas lonjong seperti tong (barrel shape) dengan dua mucoid plug pada kedua ujung yang berwarna transparan (Agustin, D., 2008).

15 Gambar 2.8 : Telur T. Trichura (Prianto, J., dkk., 2006). b. Siklus Hidup Gambar 2.9 : siklus hidup T. trichiura (Agustin, D., 2008). Telur keluar bersama feses penderita biasanya telur unembryonated. Ditanah yang teduh dan lembab merupakan kondisi yang paling sesuai untuk pertumbuhan telur. Pertumbuhan menjadi telur infektif membutuhkan waktu 15-30 hari, ditemukan telur berisi larva stadium III. Manusia terinfeksi apabila tanpa sengaja menelan telur yang infektif, dan masuk ke dalam usus halus dan dinding telur akan pecah dan larvanya keluar melalui kripte usus halus kemudian menuju

16 ke caecum. Larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan tinggal di caecum dan kolon dengan cara menancapkan mulutnya ke dinding usus, sebagai habitatnya dalam waktu 10-12 minggu tanpa melalui lung migration. Apabila cacing jantan dan betina kawin, betina akan menghasilkan telur 3000-20.000 perhari (Agustin, D., 2008). c. Patogenesis Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di caecum tetapi dapat juga berkoloni di dalam usus besar. Cacing ini dapat menyebabkan inflamasi, infiltrasi eosinophilia, dan kehilangan darah. Pada infeksi yang parah dapat menyebabkan rectal prolapse dan defisiensi nutrisi (Agustin, D., 2008). d. Manifestasi klinik Dapat menyebabkan diare, anemia, penurunan berat badan, nyeri perut, nausea, vomiting, eosinophilia, tenesmus, rectal prolapse, pertumbuhan lambat. e. Epidemologi Infeksi cacing ini disebut Trichuriasis. Trichuriasis paling sering terjadi pada masyarakat yang miskin dengan fasilitas sanitasi yang kurang baik. Prevalensi infeksi berhubungan dengan usia, tertinggi adalah anak-anak usia SD. Transmisi dipercepat dengan sanitasi yang jelek dan tanah yang hangat. f. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur di dalam feses (Gandahusada, dkk., 1998).

17 g. Pencegahan Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanah dengan cara cuci bersih sebelum makan, mencuci dan memasak sayur-sayuran dengan baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati penderita (Agustin, D., 2008). h. Sampel Pemeriksaan Spesimen yang digunakan dalam penentuan diagnosis infeksi kecacingan biasanya berasal dari feses, bilasan lambung dan apusan rektal atau swab anus. Spesimen yang akan diperiksa harus ditampung dalam botol bersih, bermulut lebar, dan mempunyai tutup. Untuk feses yang diminta pada tersangka infeksi biasanya berasal dari hasil defekasi spontan dan biasanya setelah dilakukan pengobatan, cara pengambilan sampel feses juga dapat dilakukan secara rectal touch, untuk pemeriksaan feses rutin dibutuhkan sampel sebanyak 2-3 gram, yang perlu diperhatikan adalah feses harus bebas minyak dan bahan-bahan kimia seperti barium. Feses segar dapat disimpan semalam pada suhu rendah yaitu pada suhu 4 C tanpa mengurangi nilai diagnostiknya, akan tetapi jika feses tersebut dalam bentuk cair, berlendir dan mengandung darah maka harus dilakukan pemeriksaan dengan segera dalam batas waktu 2 jam atau dilakukan fiksasi terlebih dahulu jika hendak dilakukan penyimpanan (Hadidjaja, P., 1994).

18 i. Pengawet Sampel Untuk pemerikaan feses dalam jumlah yang besar maka tidak mungkin dilakukan pada semua spesimen pemeriksaan dalam waktu beberapa jam saja, untuk itu perlu dilakukan pengawetan sampel feses, biasanya reagen yang digunakan dalam fiktatif atau pengawet sampel yang berasal dari feses adalah: Larutan Formalin 50% atau 10% Larutam Schauddin Larutan Polivinil Alkohol yang mengandung Larutan Schauddin\ Larutan Mertiolad-Iodium Formaldehid (MIF) Syarat untuk memperoleh pengawetan yang baik adalah sebagai berikut: Jumlah presentatif yang dipakai harus cukup banyak Presentatif dan spesimen harus dicampur secara homogen (Hadidjaja, P., 1994). j. Metode pemeriksaan Metode yang digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis infeksi kecacingan meliputi : 1. Pemeriksaan Makroskopis Pemeriksaan makroskopis meliputi: Warna Feses : Kuning, putih, hijau atau hitam Bau Feses : Amis seperti bau ikan atau bau busuk Konsistensi : padat, lembek atau cair

19 Adanya lendir, darah, potongan jaringan, sisa makanan yang belum dicerna atau bahan sisa pengobatan seperti lemak, zat besi, magnesium dan barium. 2. Pemeriksaan Mikroskopis Metode pemeriksaan secara mikroskopis yang sering dilakukan adalah: 1. Pemeriksaan feses dengan cara langsung (sediaan basah) Untuk metode ini dibagi dalam beberapa metode lagi yaitu pemeriksaan feses dengan cara langsung dengan kaca penutup dan pemeriksaan feses dengan cara langsung tanpa kaca penutup. 2. Pemeriksaan feses dengan cara konsentrasi untuk telur cacing Dibagi dalam beberapa metode lagi meliputi: a) Pemeriksaan feses dengan cara sedimentasi (Metode Faust & Russell) b) Pemeriksaan dengan cara Flotasi dengan larutan NaCl jenuh (Metode Willis) c) Pemeriksaan feses dengan teknik Kato (Metode Kato & Miura) d) Pemeriksaan feses dengan teknik modifikasi Kato katz e) Pemeriksaan feses dengan teknik formalin-eter f) Teknik AMS III (Acid-sodium sulfat-tritone-eter concentration) g) Teknik hitung telur h) Pemeriksaan feses langsung dengan kaca penutup metode Beaver i) Pemeriksaan feses dengan cara menghitung telur cacing Pada penelitian ini digunakan metode pemeriksaan sedimentasi (Hadidjaja, P., 1994).

20 B. Kerangka Teori Tinja Pengawet formalin Dilakukan pemeriksaan dengan metode sedimentasi Identifikasi jenis STH Pengamatan mikroskopis C. Kerangka Konsep Sampel feses Pemeriksaan dengan metode sedimentasi Telur STH Dalam kondisi segar