BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

STRATEGI KOPING PADA WANITA JAWA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak kekerasan merupakan pelanggaran hak azasi manusia dan kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan berkomunikasi

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

2015 PENGARUH PROGRAM BIMBINGAN INDIVIDUA TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

BAB I PENDAHULUAN. Komnas perempuan tahun 2014 yang dirilis pada 6 Maret Jumlah kasus

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pula dengan individu saat memasuki masa dewasa dini. Menurut Harlock (1980),

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB V PENUTUP. terjadi tiga macam kekerasan, meliputi kekerasan psikis, fisik, dan. penelantaran rumah tangga namun kekerasan psikis lebih dominan.

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. Idealnya suatu keluarga terdiri atas ayah, ibu dan juga anak-anak. Tetapi

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

k. Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, kapasitas perempuan, dan perlindungan anak.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak terselesaikan di dalam rumah dapat memancing perlakuan yang melanggar harkat dan martabat manusia sehingga pada akhirnya muncul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun selama ini selalu dirahasiakan atau ditutup-tutupi oleh keluarga maupun korban. Ada anggapan di sebagian besar masyarakat bahwa kehidupan internal keluarga tidak perlu diketahui orang lain, tidak terkecuali menyangkut kekerasan dalam rumah tangga. KDRT biasanya terjadi pada istri (istri) meskipun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada pihak laki-laki (suami) dan anak-anak. Diskriminasi terhadap istri bukan hanya dijumpai dalam novel atau di negara lain, tetapi juga terjadi pada kenyataannya di Indonesia. Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class citizens, makin terpuruk akhirakhir ini dengan adanya berbagai kekerasan yang menyebabkan munculnya korban-korban baru dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Herkrusnowo, SH, seorang guru besar di Universitas Indonesia dalam bidang hukum pidana (www.djpp.dekumham.go.id, diakses 2 Oktober 2013). 1

2 Rumah tangga sebenarnya adalah tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga termasuk istri. Hal ini berarti rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman, tempat istri melepaskan lelah maupun mendapatkan kehangatan yang penuh kasih sayang dari para anggota keluarga. Selain itu, istri seharusnya memiliki kesetaraan dengan suami di dalam keluarga karena keluarga dibangun oleh suami istri atas dasar ikatan lahir batin di antara keduanya. Namun pada kenyataannya cukup banyak istri yang menderita karena rumah tangga menjadi tempat yang tidak nyaman terhadap mental maupun fisik bagi anggota keluarga. Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan, jumlah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2001 tercatat 3.169 kasus, tahun 2002 meningkat sebanyak 61,3%, yaitu menjadi 5.163 kasus; pada tahun 2011 meningkat lagi sebanyak 119.107 kasus dan pada tahun 2012 meningkat sebanyak 216.156 kasus (www.komnasperempuan.or.id, diakses 2 Oktober 2013). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama terhadap perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Apapun bentuknya, menurut ahli hukum, Saraswati (2006), tindak kekerasan mempunyai dampak yang sangat traumatis bagi istri. Akibat perbuatan kekerasan ini, terkait langsung dengan penyebab atau bentuk kekerasan yang

3 menimpa korban, misalnya penganiayaan secara fisik, luka memar atau patah tulang. Berdasarkan data yang dimiliki Mitra Perempuan dari penelitiannya terhadap 165 kasus KDRT (2002), tampak bahwa kasus terbanyak berdampak pada gangguan kesehatan jiwa (73,94%), yaitu kecemasan, fobia, depresi, kemudian gangguan kesehatan non reproduksi (50,30%), yaitu cedera, gangguan fungsional, keluhan fisik dan cacat permanen, lalu gangguan kesehatan reproduksi (4,85%), yaitu kehamilan tak diinginkan, penyakit menular seksual serta abortus (Kalibonso, 2002). Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang masuk di Rifka Annisa Women s Crisis Center pada tahun 2008, dari 218 kasus KTI mayoritas korban (76%) mengambil keputusan untuk kembali kepada suami untuk terus mencoba bertahan dalam situasi yang penuh kekerasan, baik secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi yang dilakukan oleh suaminya sendiri dan menjalani perkawinannya yang penuh dengan kekerasan karena pertimbangan adanya anak, 13% mengambil jalan keluar dengan cara melaporkan suami ke polisi, ke atasannya atau mengajak untuk melakukan konseling dan 11% lainnya mengakhiri perkawinannya dengan perceraian. Selain adanya rasa tanggung jawab sebagai ibu dan istri pada istri korban KDRT terhadap keluarga, khususnya anak, terdapat pula faktor lain yang membuat para istri korban KDRT mempertahankan perkawinannya, yaitu adanya beberapa budaya yang menganggap perceraian sebagai suatu aib, sehingga para istri korban KDRT tersebut tetap bertahan meskipun mengalami kekerasan. Hal ini menjadi dilema bagi para istri korban KDRT karena di satu sisi mereka ingin terlepas dari situasi kekerasan yang

4 dihadapinya, namun di sisi lain rasa tanggung jawab tersebut membuat mereka tidak bisa meninggalkan keluarganya. Situasi kekerasan yang dialami para istri korban KDRT yang bertahan dalam perkawinannya adalah sebagai situasi yang menekan dan keadaan menekan ini dapat mengganggu kesehatan jiwa. Karena dapat mengganggu kesehatan jiwa, di Bandung terdapat yayasan sosial yang membentuk tujuan konseling untuk para wanita maupun istri korban KDRT. Tujuan konselingnya terutama memberikan dukungan untuk para istri korban KDRT agar memiliki pandangan positif mengenai diri mereka. Bagi mereka, penanganan awal ini merupakan cara yang tepat untuk bisa membantu mensejahterakan para istri korban KDRT. Yayasan sosial tersebut adalah Yayasan JaRI (Jaringan Relawan Independen), yaitu suatu yayasan yang berdiri sejak tahun 1998, lahir di tengah era reformasi dan pergerakan kampus dengan berbagai klien mahasiswa dan perempuan korban tindak kekerasan dan pemerkosaan. Mulanya Yayasan JaRI merupakan Women Crisis Center yang membantu para korban tindak kekerasan yang mengalami trauma akibat beberapa peristiwa kekerasan. Tujuan dasar yang ingin dicapai lembaga JaRI sebagai Women Crisis Center, yaitu dapat melindungi korban tindak kekerasan, khususnya perempuan atas pelanggaran hak-haknya dan pemberdayaan keluarga serta masyarakat dalam upaya pencegahan segala bentuk kekerasan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Sejak tahun 2000, fokus pelayanan pada penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kemudian, pada tahun 2006 menjadi laboraturium bagi mahasiswa STKS, Hukum dan Psikologi dari beberapa universitas. Menurut Kepala Yayasan JaRI, yayasan ini menerima berbagai

5 macam keluhan dan pengaduan dari istri korban tindak kekerasan. Individu yang mengalami KDRT di Yayasan JaRI memiliki tingkat ekonomi yang bervariasi, yaitu terdapat istri korban KDRT yang memiliki tingkat ekonomi menengah atas, menengah serta menengah bawah, dan perbandingan setiap tingkat ekonomi tersebut hampir merata. Selain memberikan konseling dan pendampingan hukum bagi para korban kekerasan, yayasan ini juga secara rutin memberikan pelatihan keterampilan bagi para istri korban kekerasan agar dapat lebih mandiri, yaitu pelatihan tata busana, tata boga, pelatihan daur ulang sampah, pelatihan manajemen rumah tangga, pelatihan pembuatan handycraft dan pelatihan menjahit. Dengan mengajarkan beberapa keterampilan tersebut diharapkan para korban KDRT tidak bergantung sepenuhnya terhadap suami, sehingga istri korban KDRT dapat memenuhi kebutuhannya secara lebih mandiri tanpa harus bergantung kepada suami yang kurang dapat berperan baik di dalam rumah tangganya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Yayasan JaRI Kota Bandung, tercatat bahwa kekerasan terhadap istri di dalam rumah tangga dari beberapa tahun ke tahun meningkat. Hasil survei yang telah dilakukan dari tahun 2006 hingga 2013 menunjukkan bahwa KRDT merupakan bentuk kekerasan yang persentasenya tertinggi, jumlah korbannya berada di atas 38 orang dibandingkan dengan kekerasan lainnya, seperti kekerasan terhadap anak. Pada tahun 2006 dilaporkan sebanyak 42 (24,4%) yang mengalami KDRT dari 58 orang, tahun 2007 tercatat 55 (41,2%) yang mengalami KDRT dari 75 orang, tahun 2008 tercatat 59(62,5%) yang mengalami KDRT dari 106 orang, tahun 2009 tercatat 73

6 (78,8%) yang mengalami KDRT dari 108 orang, tahun 2010 tercatat 72 (73,4%) yang mengalami KDRT dari 102 orang, tahun 2011 tercatat 72 (69,8%) yang mengalami KDRT dari 97 orang, tahun 2012 tercatat 54 (37,8%) yang mengalami KDRT dari 70 orang dan data terakhir yang diperoleh pada tahun 2013 tercatat 39 (33,5%) yang mengalami KDRT dari 86 orang. Bentuk kekerasan yang terbanyak didapatkan oleh istri adalah kekerasan psikis (merasa direndahkan, kehilangan rasa percaya diri, perselingkuhan suami yang membuat istri merasa ketakutan ditinggalkan oleh suaminya, kehilangan kemampuan untuk bertindak dan merasa tidak berdaya), yaitu sebanyak 32,8%, lalu kekerasan fisik (pemukulan, pelemparan barang ketika sedang marah) sebanyak 31,2%, disusul dengan penelantaran ekonomi (suami tidak membiayai istri dan anaknya) sebanyak 18,6% dan kekerasan seksual (melakukan hubungan dengan kekerasan terhadap istri) sebanyak 17,4%. Menurut Kepala Bagian Pelayanan Yayasan JaRI Kota Bandung, kebanyakan suami yang melakukan tindakan kekerasan tersebut beranggapan bahwa tindakan kekerasan merupakan cara yang ampuh bagi mereka untuk menunjukkan kepada istri bahwa mereka memiliki kekuasaan sebagai kepala rumah tangga, sehingga istri harus menuruti semua perkataan suami. Anggapan tersebut seringkali disalahgunakan oleh suami sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap istri walaupun istri mereka tidak melakukan kesalahan, seperti ketika istri menanyakan kegiatan di tempat pekerjaan sepulang suaminya bekerja, suami melakukan kekerasan kepada istri seperti membentak istri dan memukulnya. Hal ini dilakukan suami karena suami menganggap pertanyaan itu

7 tidak penting dan istri terlalu ikut campur. Selain itu, terjadinya miss-komunikasi yang pada akhirnya dapat memunculkan kekerasan terhadap istri, seperti istri yang tidak sengaja tidak mendengar suaminya berbicara sesuatu, kemudian suami pun marah dan langsung memukul istri. Para istri yang menjadi korban KDRT tersebut merasakan tekanan emosional yang terus-menerus bertambah dari hari ke hari. Seorang istri korban KDRT yang diwawancarai mengakui merasa cemas setiap kali bertemu dengan suaminya, apalagi ketika suaminya terlihat lelah. Suami hampir selalu marah dengan mengucapkan kata-kata kasar dan melempar barang-barang. Suasana seperti itu membuat mereka tidak berani mengekspresikan emosi dan pikirannya serta merasa tidak bebas untuk bertindak. Para istri korban KDRT tidak menerima keadaan kekerasan tersebut, namun berusaha untuk tetap bertahan di tengah kekerasan yang mereka alami. Mereka bertahan karena memikirkan keadaan anak dan stigma sosial yang negatif apabila mereka tidak mempertahankan rumah tangganya atau bercerai. Dalam situasi yang menekan tersebut, para istri korban KDRT membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan diri agar tetap dapat menjalankan peran sebagai istri. Selain itu juga mereka membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan diri agar tetap dapat menjalankan perannya sebagai ibu dari anak-anaknya, yaitu merawat anak, mengarahkan, mendukung, memotivasi, menasehati dan memberikan contoh yang baik kepada anak. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan peran semestinya di dalam rumah tangga, istri korban KDRT harus tetap dapat well-being meskipun memiliki pengalaman kekerasan yang tidak menyenangkan. Pengalaman hidup yang

8 dimiliki dapat dinilai berbeda pada setiap orang, termasuk istri korban KDRT. Evaluasi istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung mengenai pengalaman hidupnya yang diperlakukan dengan kekerasan oleh suaminya menggambarkan bagaimana psychological well-being-nya. Psychological wellbeing tersebut terdiri dari enam dimensi, yaitu self-acceptance, positive relationships with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life dan personal growth. Self-acceptance merupakan kemampuan individu untuk melakukan penerimaan diri, positive relations with others merupakan dimensi yang menggambarkan kemampuan dalam menjalin relasi positif dengan orang lain. Kemudian autonomy merupakan dimensi yang menjelaskan kemampuan individu untuk bersikap mandiri. Environmental mastery merupakan kemampuan individu dalam menguasai lingkungannya. Selanjutnya, purpose in life merupakan kemampuan seseorang untuk menemukan makna dan arah serta menentukan tujuan hidupnya. Kemudian yang terakhir adalah personal growth, yang merupakan kemampuan individu dalam melakukan pengembangan diri serta secara sukses mengatasi segala tantangan dan kesulitan yang ada dalam hidup mereka (Ryff and Singer, 2003). Berdasarkan survei yang dilakukan kepada empat istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung, satu (25%) dari empat istri korban KDRT dapat memahami keadaan diri yang mendapatkan perlakuan tidak semestinya dari suaminya dan menganggap bahwa kekerasan yang dialaminya sebagai suatu pelajaran yang berarti untuk dirinya serta tetap berusaha menilai positif mengenai

9 dirinya sendiri (self-acceptance). Tiga (75%) dari empat istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung, merasa puas dalam menjalin hubungan yang hangat dengan relasi di sekitarnya, termasuk anggota keluarga maupun teman-temannya, memberikan kepercayaan kepada orang lain meskipun suami sudah tidak dapat dipercaya karena kekerasan yang telah dilakukan, perduli terhadap apa yang terjadi dan bersedia untuk membantu orang lain yang membutuhkan seperti yang orang lain lakukan pada saat mereka mendapatkan kesulitan dan bantuan dari orang lain dalam menangani masalah kekerasan yang dialaminya (positive relation with others). Dua (50%) dari empat istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung, mampu bersikap independent, melawan tekanan sosial dan bertindak dengan melakukan penilaian tingkah laku dari penilaian internal mereka, seperti mengutarakan pendapatnya langsung kepada suami mengenai kekerasan yang tidak diinginkan karena mereka merasa percaya diri dengan pendapatnya bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan suami bertentangan dengan norma. Kemudian, juga mampu mencari solusi dengan mandiri agar mereka tetap dapat bisa menjalankan kewajibannya sebagai ibu dan istri di dalam rumah tangga meskipun mereka telah menjadi korban kekerasan dari suaminya serta akhirnya mampu mengevaluasi usaha yang telah dilakukannya tersebut untuk kesejahteraan keluarganya (autonomy). Satu (25%) dari empat istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung, mampu memegang kendali situasi dalam kehidupannya, seperti tetap berusaha menjalankan tugas maupun tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri di dalam rumah tangga sebagaimana mestinya meskipun suaminya telah

10 memperlakukannya dengan kekerasan. Kemudian, ketika wanita korban KDRT merasa tidak puas dengan usahanya dalam memperbaiki rumah tangganya yang penuh dengan ketidaknyamanan karena kekerasan, mereka berusaha untuk mencari langkah yang tepat guna untuk mengubah keadaan tersebut, seperti mengikuti seminar maupun kegiatan penyuluhan yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga (environmental mastery). Sebanyak tiga (75%) dari empat istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung, mampu menetapkan sesuatu yang menjadi keinginan mereka dan memiliki keyakinan untuk bisa mencapainya, meskipun mereka memiliki masa lalu dan masa sekarang yang tidak menyenangkan karena perlakuan kekerasan dari suaminya. Tujuan hidup tersebut seperti membentuk keluarga yang harmonis dan membimbing anaknya dengan sebaik mungkin. (purpose in life). Dua (50%) dari empat istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung, tetap berusaha mencari informasi atau mengikuti kegiatan di luar rumah yang dapat memberikan manfaat bagi dirinya, sehingga apa yang diharapkan terjadi di dalam keluarganya akan tercapai, seperti ketika ada informasi ataupun pengetahuan yang dapat membantu untuk perkembangan positif rumah tangganya, maka mereka akan mengambil kesempatan untuk memperluas wawasannya agar tidak diperlakukan dengan kekerasan lagi. (personal growth). Berdasarkan uraian diatas, istri korban KDRT memiliki gambaran yang bervariasi untuk setiap dimensi yang akan memengaruhi psychological well-being mereka. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut

11 mengenai gambaran dimensi-dimensi psychological well-being pada istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran derajat psychological well-being pada istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai derajat dimensi-dimensi Psychological Well-Being pada istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological well-being istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung yang dikaitkan dengan faktor-faktor yang memengaruhinya berdasarkan dimensi-dimensi psychological well-being.

12 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1. Memberikan informasi bagi perkembangan ilmu Psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Positif dan Psikologi Klinis mengenai psychological well-being pada istri korban KDRT. 2. Memberikan tambahan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai psychological well-being pada istri korban KDRT. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan masukan kepada Yayasan JaRI (psikolog) mengenai derajat dimensi-dimensi psychological well-being pada istri korban KDRT. Informasi ini dapat digunakan untuk mengetahui gambaran secara umum mengenai kesejahteraan psikologis istri korban KDRT dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pihak yayasan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan psikologis. 2. Memberikan informasi kepada para istri korban KDRT yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga mengenai derajat dimensidimensi psychological well-being yang ada dalam diri mereka dan dimensi mana yang memiliki derajat yang rendah, maka menjadi penting bagi istri korban KDRT untuk mengetahuinya agar mereka dapat merencanakan langkah-langkah untuk meningkatkannya.

13 1.5 Kerangka Pemikiran Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang- Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, memiliki arti bahwa setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Istri yang mengalami KDRT tersebut memiliki pengalaman yang berbeda dengan istri lain yang bukan korban KDRT, mereka diperlakukan secara kasar oleh suami mereka di dalam rumah tangga yang mereka bangun. Istri korban KDRT merasa bahwa dirinya diperlakukan secara tidak wajar oleh orang yang semestinya menjadi sosok pelindung baginya dan memungkinkan timbulnya rasa tertekan dari istri korban KDRT. Kondisi ini yang membuat istri korban KDRT memiliki suatu penghayatan dan persepsi tertentu tentang dirinya serta mengevaluasi dari kejadian yang dialami. Adapun kemampuan individu mengevaluasi hidupnya dapat digambarkan dengan cara individu memersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff, 2002). Pengalaman istri yang mengalami KDRT akan memengaruhi psychological well-being mereka. Psychological well-being adalah evaluasi hidup seseorang yang menggambarkan bagaimana cara individu memersepsi dirinya dalam menghadapi tantangan hidupnya (Ryff, 2002). Psychological well-being terdiri dari enam dimensi seperti yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu self-

14 acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life dan personal growth. Self-acceptance adalah penerimaan diri. Penerimaan diri dalam istilah kehidupan individu dapat disamakan dalam istilah coming out. Coming out merupakan proses yang dijalani seseorang untuk mengakui dirinya, tidak hanya kepada diri sendiri, tetapi juga kepada lingkungan di sekitarnya. Individu yang memiliki self-acceptance yang tinggi akan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, baik yang positif maupun yang negatif serta memandang positif kejadian di masa lalu dalam hidupnya. Individu yang memiliki self-acceptance rendah akan merasa tidak puas dengan diri sendiri, kecewa dengan apa yang terjadi di masa lalu. Istri korban KDRT yang memiliki self-acceptance yang tinggi, akan memahami keadaan diri mereka yang mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari orang terdekatnya, yaitu suaminya, menganggap bahwa kekerasan yang dialaminya bukanlah sebuah pilihan yang diinginkan dan berusaha memandang kekerasan itu sebagai pelajaran yang berarti untuk dirinya serta menilai positif mengenai dirinya sendiri. Sedangkan istri korban KDRT yang memiliki self-acceptance rendah, pada umumnya memiliki perasaan tidak puas dan benci dengan keadaan dirinya, menolak bahwa dirinya adalah istri korban KDRT (denial), kecewa dan selalu menyalahkan masa lalunya, yaitu diperlakukan dengan kekerasan, berharap untuk bisa menjadi orang lain, bahkan pada titik ekstrim dapat berujung pada keinginan untuk bunuh diri.

15 Personal growth adalah perkembangan individu. Individu yang memiliki personal growth yang tinggi akan dapat merasakan perkembangan yang berkesinambungan, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, menyadari potensi dirinya, melihat perbaikan di dalam diri sendiri dan perilaku dari waktu ke waktu, berubah dalam berbagai cara yang mencerminkan lebih banyak pengetahuan diri dan keberhasilan. Individu yang memiliki personal growth yang rendah tidak mengalami kemajuan dari dalam diri, kurang berkembang seiring dengan berjalannya waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan hidup, merasa tidak mampu mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baru. Istri korban KDRT yang memiliki personal growth yang tinggi, akan berusaha mencari informasi atau mengikuti kegiatan di luar rumah yang dapat memberikan manfaat bagi dirinya, belajar keterampilan memasak agar bisa menjadi istri dan ibu yang lebih baik maupun berusaha meningkatkan tingkat spiritualitas, sehingga apa yang diharapkan terjadi di dalam keluarganya akan tercapai. Sedangkan istri korban KDRT yang memiliki personal growth yang rendah, merasa tidak bersemangat mencari informasi, pengetahuan maupun pengalaman baru mengenai kondisi kekerasan yang dialami serta penanganannya, sehingga ia merasa tidak mengalami kemajuan dan perbaikan dari kondisi kekerasan yang dirasakan. Positive relationships with others yaitu memiliki hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang memiliki positive relationships with others yang tinggi akan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan, percaya terhadap orang lain, dapat memperhatikan kesejahteraan orang lain, memiliki kasih sayang dan empati yang kuat, bahkan mampu menyalurkan keakraban serta mampu

16 memahami istilah memberi dan menerima dalam hubungan antar manusia. Individu yang memiliki positive relationships with others yang rendah, hanya memiliki sedikit hubungan yang dekat dan penuh kepercayaan terhadap orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka dan peduli terhadap orang lain, terisolasi dan frustrasi di dalam hubungan antar pribadi, tidak berkeinginan membuat kompromi untuk mendukung ikatan-ikatan penting dengan orang lain. Istri korban KDRT yang memiliki positive relationships with others yang tinggi, akan menjalin hubungan yang hangat dengan relasi di sekitarnya, ramah, memberikan kepercayaan kepada orang lain meskipun suami sudah tidak dapat dipercaya karena kekerasan yang telah dilakukan, peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan bersedia untuk membantu orang lain yang membutuhkan seperti yang orang lain lakukan pada saat mereka mendapatkan kesulitan dan bantuan dari orang lain dalam menangani masalah kekerasan yang dialaminya. Sedangkan istri korban KDRT yang memiliki positive relationships with others yang rendah, hanya memiliki sedikit hubungan yang dekat dengan relasi sekitarnya, cenderung tertutup terhadap masalah kekerasan yang dihadapinya karena mereka memiliki sedikit kepercayaan kepada orang lain, merasa bahwa mereka merupakan seseorang yang tidak seberuntung orang lain yang tidak mengalami kekerasan yang dapat menimbulkan penderitaan seperti yang mereka alami dan merasa dirinya kecil di hadapan orang lain, sehingga sulit baginya untuk memiliki hubungan hangat dengan orang lain. Autonomy adalah dimensi yang berkaitan dengan kemandirian individu dalam menjalani kehidupannya. Individu yang memiliki autonomy yang tinggi

17 akan mampu mandiri, membuat keputusan sendiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam cara-cara tertentu, mengatur tingkah laku dari dalam diri serta mengevaluasi diri dengan menggunakan standar pribadi. Individu yang memiliki autonomy yang rendah akan membuat dirinya lebih peduli terhadap harapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, menyesuaikan diri dengan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dalam cara-cara tertentu. Istri korban KDRT yang memiliki autonomy yang tinggi, akan mampu bersikap mandiri, melawan tekanan sosial dan bertindak dengan melakukan penilaian tingkah laku dari penilaian internal mereka, seperti berusaha mengutarakan pendapatnya langsung kepada suami mengenai kekerasan yang tidak diinginkan. Kemudian, juga mampu mencari solusi dengan mandiri agar mereka tetap bisa menjalankan kewajibannya sebagai ibu dan istri di dalam rumah tangga meskipun mereka telah menjadi korban kekerasan dari suaminya serta akhirnya mampu mengevaluasi usaha yang telah dilakukannya tersebut untuk kesejahteraan keluarganya. Sedangkan istri korban KDRT yang memiliki autonomy yang rendah, selalu tergantung kepada orang lain ketika ingin mengambil keputusan yang terkait dengan masalah yang terjadi di dalam rumah tangganya atau bergantung pada orang lain mengenai tindakan yang harus dilakukan ketika suaminya memperlakukannya dengan kekerasan. Environmental mastery adalah tantangan yang dihadapi seseorang dalam menguasai lingkungan sekitarnya. Individu yang memiliki environmental mastery yang tinggi akan menguasai aktivitas eksternal yang kompleks, efektif dalam

18 menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada di sekitarnya, mampu memilih atau menciptakan keadaan-keadaan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Individu yang memiliki environmental mastery yang rendah akan sulit untuk mengatur masalah sehari-hari, merasa tidak mampu untuk berubah atau memperbaiki keadaan-keadaan di sekelilingnya, tidak menyadari kesempatan yang ada di sekelilingnya dan kurang memiliki kemampuan untuk menguasai aktivitas eksternal. Istri korban KDRT yang memiliki environmental mastery yang tinggi, berusaha untuk tetap menyesuaikan diri terhadap kewajibannya di tengah KDRT yang dialami, seperti tetap berusaha menjalankan tugas maupun tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri di dalam rumah tangga sebagaimana mestinya meskipun suaminya telah memperlakukannya dengan kekerasan. Kemudian, ketika istri korban KDRT merasa tidak puas dengan usahanya dalam memperbaiki rumah tangganya yang penuh dengan ketidaknyamanan karena kekerasan, maka mereka berusaha untuk mencari langkah yang tepat guna untuk mengubah keadaan tersebut, seperti mengikuti seminar maupun kegiatan penyuluhan yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan istri korban KDRT yang memiliki environmental mastery yang rendah, merasa tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai ibu dan istri di dalam rumah tangga akibat kekerasan yang telah dialaminya, merasa kesulitan menyelesaikan masalah kekerasan yang mereka dapatkan dari suami serta tidak menggunakan kesempatan perbaikan dari lingkungan luarnya agar perlakuan keras suami tidak lagi mereka dapatkan.

19 Purpose in life adalah tujuan hidup dan arah hidup, merasakan ada makna di kehidupan saat ini dan masa lalu. Individu yang memiliki purpose in life yang tinggi akan memiliki tujuan dalam hidup yang terarah, merasakan makna dalam kehidupan, masa lalu maupun masa kini, memiliki keyakinan-keyakinan yang memberikan perasaan bahwa terdapat tujuan di dalam kehidupan. Individu yang memiliki purpose in life yang rendah akan kurang memiliki pemahaman tentang kehidupannya, kurang memiliki sasaran dan tujuan, perasaan yang kurang terarah, tidak melihat tujuan hidup di masa lalu, tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberikan arti hidup. Istri korban KDRT yang memiliki purpose in life yang tinggi, akan mampu menetapkan sesuatu yang menjadi keinginan mereka dan memiliki keyakinan untuk bisa mencapainya, meskipun mereka memiliki masa lalu dan masa sekarang yang tidak menyenangkan karena perlakuan kekerasan dari suaminya. Tujuan hidup tersebut seperti membentuk keluarga yang harmonis dan membimbing anaknya dengan sebaik mungkin. Sedangkan istri korban KDRT yang memiliki purpose in life yang rendah, kurang memiliki pemahaman tentang kehidupannya di tengah kekerasan yang dialami, bahkan tidak mengetahui keinginan ataupun harapan terhadap hidup mereka ke depan, pasrah dengan kondisi yang terjadi di masa kini dan masa depan, serta merasa bahwa dirinya kehilangan tujuan maupun arah hidup setelah diperlakukan dengan kekerasan. Selain itu pula ke enam dimensi di atas memiliki hubungan yang signifikan dengan faktor-faktor yang memengaruhi proses pencapaian kesejahteraan. Faktor-faktor tersebut adalah usia, status sosial ekonomi,

20 pendidikan dan perubahan status marital. Faktor usia memengaruhi dimensi Autonomy, Environmental Mastery, Purpose in Life dan Personal Growth (Ryff, 1989). Pada umumnya, pertambahan usia membuat diri lebih matang, mandiri dan terampil dalam mengendalikan lingkungannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap penilaian istri korban KDRT tersebut mengenai kemampuannya dalam mengatur lingkungannya (Environmental Mastery) maupun dalam kemandirian individu (Autonomy) dan berujung pada kepemilikan tujuan hidup yang jelas (Purpose in Life). Pada dimensi pertumbuhan pribadi (Personal Growth), seseorang yang berada pada usia dewasa muda akan mengalami peningkatan, namun akan menurun ketika berada pada masa optimal ketika seseorang menginjak dewasa muda. Selain usia, status sosial ekonomi juga memengaruhi kondisi psychological well-being istri korban KDRT. Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa madya. Istri korban KDRT yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup mereka dibandingkan dengan istri korban KDRT yang berada di kelas sosial yang lebih rendah. Pendidikan juga memengaruhi kedudukan istri korban KDRT dalam status ekonomi dan sosial. Perbedaan pendidikan memberikan akses yang berbeda pada sumber daya dan kesempatan pada kehidupan yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan wellbeing. Pendidikan sangat erat dengan psychological well-being, terutama personal growth dan purpose in life.

21 Status sosiodemografik lain seperti perubahan status marital juga dapat memengaruhi psychological well-being istri korban KDRT. Menurut Barchrach, 1975, Bloom, Asher dan White, 1978; Kitson dan Raschke, 1981; Segraves, 1985 (dalam Neysa, 2011), perubahan tersebut dapat berupa pernikahan ataupun perceraian. Menurut Doherty, dkk, 1989 (dalam Neysa, 2011), pasangan menikah yang kemudian bercerai memiliki psychological well-being yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pasangan yang pernikahannya bertahan.

22 Faktor Sosiodemografi - usia - status sosial ekonomi - pendidikan - perubahan status marital Istri korban KDRT di Yayasan JaRI Psychological Well-Being Dimension of Psychological Well-Being 1. Self-acceptance 2. Positive relations with others 3. Autonomy 4. Environmental mastery 5. Purpose in life 6. Personal growth Tinggi Rendah Bagan 1.5 Bagan Kerangka Pemikiran

23 1.6 Asumsi a. Psychological well-being pada istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung berbeda-beda, dapat menunjukkan psychological well-being yang tinggi atau rendah. b. Psychological well-being pada istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung dapat ditentukan berdasarkan dimensi self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery dan purpose in life dan personal growth. c. Derajat dimensi-dimensi psychological well-being, yaitu self-acceptance, positive relation with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life dan personal growth pada setiap istri korban KDRT dapat bervariasi. d. Dimensi-dimensi psychological well-being pada istri korban KDRT di Yayasan JaRI Kota Bandung dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor sosiodemografi yang terdiri dari usia, status sosial ekonomi, pendidikan dan perubahan status marital.