Bab II Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PENGUKURAN TINGKAT KESIAPAN IMPLEMENTASI E-LEARNING (E-LEARNING READINESS) STUDI KASUS : UPN VETERAN JAKARTA

Bab III Pengukuran Kesiapan E-Learning

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I BAB 1 PENDAHULUAN

Mengapa menggunakan ICT. Bagaimana level kompetensi ICT bagi seorang guru? Pemanfaatan ICT untuk Pembelajaran 5/24/12. Learning: dahulu vs sekarang

Analisis Faktor Kesiapan Penerapan E-learning di Perguruan Tinggi Pertanian (Studi Kasus di Institut Pertanian Stiper Yogyakarta)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan E-Learning sebagai Media Pembelajaran

TINGKAT KESIAPAN (READINESS) IMPLEMENTASI E-LEARNING DI SEKOLAH MENENGAH ATAS KOTA YOGYAKARTA

WORKSHOP Pelatihan Pembelajaran Online Dosen

Bab IV Rekomendasi IV.1. Analisis Lanjutan

JAUH PA D A P E R G U R UAN

Disampaikan oleh: Awan Sundiawan. pada BIMTEK Transformasi Nilai Kepahlawanan dalam Membagun Nasionalisme 9:26 PM

1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah

untuk mengembangkan kualifikasi tenaga kesehatan

Sistem Informasi untuk Pendidikan (3) Pengembangan Kurikulum S2 KRK640 3 SKS

Analisis Kualitas Blended Learning Menggunakan Rubric Quality Matters (RQM) (Studi Kasus Telkom-PJJ) Merlina Dewi S ( )

S Pembelajaran berbasis komputer (CBL) S CD pembelajaran S Multimedia pembelajaran S Aplikasi tutorial S Games, dll. S Pembelajaran berbasis web (WBL)

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi (TI) yang semakin

Pengembangan Perangkat Lunak Untuk Model Pengelolaan Kuliah Bersama pada Karakteristik Lembaga Penyelenggara Berbeda

Pemanfaatan ICT untuk meningkatkan kualitas pembelajaran

E-LEARNING MANAGEMEN SYSTEM

II. KELAS MAYA. A. Tujuan Pembelajaran. B. Uraian Materi

Yusnaeni A & Udin SS, Faktor-faktor Terpenting dalam Pembangunan E-Learning System

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fuja Siti Fujiawati, 2013

APLIKASI KOMPUTER. Pokok Bahasan : PENGENALAN E-LEARNING. Anggun Puspita Dewi, S.Kom., MM. Modul ke: Fakultas MKCU

PEMANFAATAN E-LEARNING SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DI UNIVERSITAS BINA DARMA PALEMBANG

Aplikasi Komputer. Pengenalan E-learning. Miftahul Fikri, M.Si. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Manajemen.

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

D i s a m p a i k a n pada W o r k s o p A A

UPI Bandung. Tugas Kuliah Komputer Masyarakat

Pengembangan Sistem Aplikasi dan Konten INHERENT

BAB V KESIMPULAN. sebelumnya. Pada bab ini juga terdapat implikasi penelitian secara manajerial, serta

Transformasi Nilai Kepahlawanan dalam Membagun Nasionalisme

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. course pada perangkat mobile dengan teori usability. Untuk mencapai tujuan

Evaluasi Kurikulum Prodi Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia FTI UII Yogyakarta

PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management. Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak bisa dihindari lagi pengaruhnya terhadap dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, salah satunya dalam bidang teknologi yang merupakan alat bantu

PENERAPAN BLENDED LEARNING DALAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DI BALAI DIKLAT KEAGAMAAN MANADO

UNIVERSITAS INDONESIA PENGUKURAN KESIAPAN IMPLEMENTASI E-LEARNING: STUDI KASUS PUSDIKLAT XYZ KARYA AKHIR WAHYU SULISTIO

Tugas dari p3 Selain E-Bussiness dan E-Commerce, E-Learning

BAB I PENDAHULUAN. Proses penguasaan suatu konsep di dalam upaya memperkaya informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. UKM, pengangguran akibat angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja

Tatyana Dumova Point Park University, USA. Kegunaan Kuis Online : Mengevaluasi Persepsi Mahasiswa

Perjalanan Panjang Menuju Cyber University

e-learning: Belajar Kapan Saja, Dimana Saja

Digital Library & Distance Learning Lab. Petunjuk Teknis Penggunaan Sistem E-Learning untuk Peserta Ajar

TINGKAT KESIAPAN (READINESS) IMPLEMENTASI E-LEARNING DI SEKOLAH MENENGAH ATAS KOTA YOGYAKARTA

Software User Manual E-Learning Panduan Bagi Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan, baik metode pembelajaran secara personal, media pembelajaran

BAB I. PENDAHULUAN. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada era global sangat

SAINS & TEKNOLOGI INFORMASI DALAM KONTEKS PENDIDIKAN SEJARAH. Hansiswany Kamarga

PENGGUNAAN METODE E-LEARNING DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH PADA MATA PELAJARAN TIK TINGKAT SMP

Pengembangan Model Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Web pada Perkuliahan

Pembelajaran Jarak Jauh: Masalah dan Keuntungan

Studi Kasus SMAN 2 Tanjungpinang BAB I

Variasi Proses Pembelajaran melalui Penerapan E-learning

Peran Strategis e-library dalam Pembangunan Infrastruktur Intelektual. Sri Andayani Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

e-learning: Konsep dan Pemanfaatan Outline Definisi E-learning Konsep e-learning

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang, seperti: militer, ekonomi-bisnis, sosial, politik, budaya,

MEMBANGUN DIMENSI MANUSIA-TUGAS DALAM PENGEMBANGAN E-LEARNING

MEMBANGUN LITERASI DIGITAL DALAM PEMBELAJARAN OLEH : Nunuk Suryani. Page 1

DAFTAR ISI. Pemanfaatan Model Blended Learning Berbasis Online Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Pada Mata Kuliah Kurikulum Dan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. terhadap transfer of tacit knowledge dalam pembentukan non-financial business

IMPLEMENTASI REFORMASI BIROKRASI DI DAERAH

2.1 Dasar Teori E-Learning

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK MENENTUKAN MODEL PENGEMBANGAN SISTEM PEMBELAJARAN BERBASIS INTERNET

Kegiatan Belajar-3 Belajar Berbasis Aneka Sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sangat kompetitif dan dinamis. Hal ini memaksa Bank untuk memaksimalkan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia yang. terpenting adalah mengenai : peningkatan mutu, pemerataan kesempatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. E-Learning adalah pembelajaran jarak jauh (distance Learning) yang memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam 30 tahun terakhir ini perkembangan teknologi berjalan dengan sangat

Analisa Penggunaan E-Learning Untuk Meningkatkan Kemudahan Mahasiswa Dalam Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and

PERANAN GURU DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

KONSEP E-BUSINESS. Ari Setiawan S1-TI-10

BAB I PENDAHULUAN. hanya bisa dilakukan dalam ruang dan waktu yang terbatas kini dapat dilakukan

Sistem Informasi. .:: SI dan Proses Pembelajaran ::.

PANDANGAN TEKNOLOGI INFORMASI KOMUNIKASI TERHADAP PEMBANGUNAN LINGKUNGAN BELAJAR SISWA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN SAINS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERANCANGAN ARSITEKTUR BISNIS PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA BERBASIS ORGANIZATIONAL LEARNING DENGAN PENDEKATAN TOGAF ADM

PENGEMBANGAN SISTEM PENILAIAN PEMBELAJARAN ELEKTRONIK (E-LEARNING) BERBASIS WEB

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Chapter 01. UNTAD Webinar

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) hadir sebagai bentuk

Perpustakaan adalah diklat pertama yang saat ini sedang disiapkan untuk dijadikan e-learning. Banyaknya perpustakaan yang tersebar di seluruh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Aplikasi Komputer. Pengantar E-Learning : Definisi E-Learning, Software E- Learning. Safitri Juanita, S.Kom, M.T.I. Modul ke: Fakultas Ekonomi

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIOLOGI

ID No EQUIS Input Proses Output Predecessors. Membuat Visi. 3 N/A Membuat Misi 2

Literatur Review tingkat kematangan E-Learning di Perguruan Tinggi Indonesia

Transkripsi:

5 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Definisi E-Learning Terdapat berbagai definisi mengenai e-learning. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut : 1. E-learning adalah proses belajar yang difasilitasi dan didukung melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (Martin Jenkins dan Janet Hanson, Generic Center, 2003). 2. E-learning didefinisikan sebagai konten instruksional atau pengalaman pembelajaran yang diberikan atau dimungkinkan oleh teknologi elektronik (The Commision on Technology and Adult Learning, 2001). 3. E-learning merupakan pemberian pembelajaran, pelatihan, maupun program edukasi menggunakan sarana elektronik. E-learning melibatkan penggunaan komputer atau alat elektronik (misalnya mobile phone) dalam cara-cara tertentu untuk menyediakan materi pelatihan, edukasional, maupun pembelajaran (Derek Stockley, 2003). 4. E-learning adalah proses pembelajaran yang efektif yang diciptakan dengan mengkombinasikan konten yang diberikan secara digital dengan layanan dan dukungan untuk pembelajaran. Dalam definisi ini terkandung beberapa kata penting yaitu : Efektif terdapat berbagai tipe pembelajaran, tetapi beberapa di antaranya tidak efektif. Dalam hal ini, tidak berguna membuat atau mengaplikasikan definisi pada sesuai yang gagal. Mengkombinasikan kombinasilah yang membuat perbedaan, bukan masing-masing bagian, meskipun tiap bagian sendiri sangat valid. Konten yang diberikan secara digital material berbasis kertas tidak termasuk e-learning, meskipun merupakan medium yang valid untuk pembelajaran. Dukungan program berbasis CD-ROM, walaupun secara teoritis dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, tetapi seringkali tidak didukung oleh tutor (meskipun sebenarnya dapat).

6 (Vaughan Waller dan Jim Wilson, ODLQC (Open and Distance Learning Quality Council), 2001) 5. E-learning adalah segala bentuk pelatihan korporat yang menggunakan teknologi berbasis Internet dalam penyampaian, manajemen, dan pengukuran (Josh Bersin, 2005). 6. E-learning merupakan berbagai situasi edukasional yang dengan signifikan menggunakan sarana TIK. E-learning menyajikan pengalaman pengajaran dan pembelajaran yang terencana, yang diorganisasikan oleh suatu institusi pendidikan tinggi, yang mendukung proses pembelajaran dalam urutan yang sekuensial dan tersistematisasi, yang harus dicapai oleh pelajar dengan kecepatannya sendiri. Penyampaian dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi baru, terutama melalui Internet (pembelajaran/edukasi online), yang merepresentasikan media distribusi dan cara komunikasi dari aktor-aktor yang terlibat. Sistem edukasi online meniru dan mengadaptasi komponen edukasi tradisional (tatap muka) : perencanaan, konten dan metodologi yang spesifik, interaksi, dukungan, dan evaluasi (Olimpius Istrate, 2004). Jika dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, khususnya melalui Departemen Pendidikan Nasional, definisi mengenai e-learning sendiri tidak dinyatakan secara langsung. Hal yang mempunyai hubungan dengan e-learning diatur dalam Keputusan Menteri yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan jarak jauh. Dua Keputusan Menteri tersebut di antaranya adalah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2564/U/1991 tentang Pendidikan Tinggi Jarak Jauh dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh. Walaupun demikian, jika dikaitkan dengan beberapa definisi e-learning yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam Keputusan Menteri tersebut dapat diambil beberapa poin yang dapat mendukung gambaran definisi e-learning di Indonesia, yaitu :

7 1. Adanya proses pembelajaran dengan metode pembelajaran interaktif dengan bentuk interaksi seperti tatap muka, telekonferensi, surat menyurat elektronik, maupun bentuk-bentuk interaksi jarak jauh yang sinkronus dan asinkronus lainnya. 2. Adanya penggunaan berbagai media komunikasi dalam pembelajaran. 3. Adanya penekanan pada konsep belajar mandiri dengan dukungan bantuan belajar dan fasilitasi pembelajaran. 4. Adanya sumber daya operasional dan manajerial yang mendukung keseluruhan proses yang terkait dengan pembelajaran. Dalam hal ini, gambaran yang diberikan dalam Keputusan Menteri sejalan dengan beberapa definisi mengenai e-learning yang telah dituliskan sebelumnya. Terkait dengan definisi e-learning, Rautenbach (2007), mengutip dari World Wide Learn, Inc. (2006), membagi e-learning dalam 10 tipe yaitu : (1)purely online (no face-to-face meetings), (2)blended learning (online combined with face-to-face meetings), (3)synchronous, (4)asynchronous, (5)instructor led groups, (6)self study, (7)self-study with a subject matter expert, (8)web-based, (9)computer-based (CD-ROM) dan (10)video/audio learning. Di samping itu, Rautenbach (2007) juga mengutip dari Siemens (2004) mengenai kategori e- learning seperti digambarkan pada Gambar II.1. Dalam penelitian ini, e-learning didefinisikan sebagai proses penyampaian materi kuliah yang meliputi penempatan materi dan interaksi antara dosen dan mahasiswa melalui Internet, yang difasilitasi oleh suatu learning management system (LMS) yang berbasis Web.

8 Gambar II.1. Kategori E-Learning (Rautenbach (2007)) II.2. Penilaian Kesiapan E-Learning Dalam hal penilaian kesiapan untuk e-learning (e-learning readiness assessment), terdapat berbagai literatur yang menyediakan berbagai pertanyaan, tuntunan, strategi, model dan instrumen penilaian. Pada tinjauan pustaka ini akan dijelaskan secara singkat mengenai penilaian kesiapan e-learning dari Chapnick, Rosenberg, Rautenbach, dan Sadik. Chapnick (2000) memberikan sebuah model kesiapan e-learning (e-learning readiness model) yang ditujukan untuk menjawab 3 buah pertanyaan, yaitu (1) Dapatkah kita melakukan ini?, (2) Jika dapat, bagaimana kita akan melakukannya?, dan (3) Apakah hasilnya (outcome) dan bagaimana kita dapat mengukur hasil tersebut?. Untuk itu, Chapnick mengelompokkan berbagai jenis faktor yang dianggap mempengaruhi kesiapan e-learning dalam 8 kategori, yang diharapkan memungkinkan praktisi untuk menggunakan proses yang sama untuk menilai berbagai stakeholder di dalam sistem.

9 Kategori-kategori tersebut adalah : 1. Kesiapan Psikologis (Psychological Readiness) : Keadaan pikiran (state of mind) seseorang yang berdampak pada hasil (outcome) inisiatif e- learning. 2. Kesiapan Sosiologis (Sociological Readiness) : Aspek interpersonal lingkungan tempat kita mengimplementasikan program e-learning. 3. Kesiapan Kemampuan Teknologi (Technological Skill Readiness) : Kompetensi teknis yang dapat diobservasi dan diukur. 4. Kesiapan Peralatan (Equipment Readiness) : Pertanyaan mengenai kepemilikan peralatan yang memadai. 5. Kesiapan Konten (Content Readiness) : Materi dan tujuan instruksi. 6. Kesiapan Finansial (Financial Readiness) : Besar anggaran dan proses alokasi. 7. Kesiapan Sumber Daya Manusia (Human Resource Readiness) : Ketersediaan dan disain sistem pendukung manusia (human support system). 8. Kesiapan Lingkungan (Environmental Readiness) : Kekuatan-kekuatan skala besar (misalkan hukum dan peraturan, kondisi politis organisasi) yang beroperasi pada stakeholders, baik di dalam maupun di luar organisasi. Untuk mengimplementasikan modelnya, Chapnick memberikan tuntunan mengenai proses-proses yang harus dilalui dalam menilai organisasi yang mengimplementasikan e-learning. Dengan dijalankannya proses-proses tersebut, diharapkan organisasi akan bisa mendapatkan dokumen kebutuhan tingkat tinggi (high-level requirements document) yang meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Sasaran (sasaran makro organisasi dan sasaran mikro populasi pembelajar yang dituju (target learner)). 2. Sebuah daftar keuntungan dan tantangan potensial dalam adopsi e- learning. 3. Sebuah daftar konfigurasi e-learning yang memungkinkan. 4. Sebuah skor kesiapan e-learning.

10 Khusus dalam menghasilkan skor kesiapan e-learning, Chapnick menyiapkan sebuah instrumen berisi 8 kategori kesiapan yang dijabarkan dalam 66 pertanyaan dengan pilihan jawaban yang sudah ditetapkan. Tiap pilihan jawaban untuk setiap pertanyaan memiliki skor yang kemudian dijumlahkan untuk mengetahui nilai kesiapan. Untuk menjawab tiap pertanyaan, pengguna instrumen sudah harus melakukan terlebih dahulu proses-proses yang dijelaskan dalam tuntunan dari Chapnick. Dengan kata lain, pengguna instrumen harus melakukan penelitian lain terkait kategori-kategori yang dijelaskan Chapnick sehingga dapat memilih respon yang paling tepat sesuai keadaan di organisasinya. Sementara Chapnick berusaha menyoroti kesiapan e-learning dari berbagai sisi sesuai jenis stakeholders yang ada, Rosenberg (2000) juga membuat sebuah instrumen yang berisi 20 pertanyaan strategis kunci yang harus dijawab untuk mengetahui kesiapan organisasi untuk e-learning. Pertanyaan-pertanyaan pada instrumen Rosenberg dikelompokkan dalam 7 area pemahaman yaitu : 1. Kesiapan bisnis. 2. Sifat pembelajaran dan e-learning yang berubah. 3. Nilai disain informasi dan instruksional. 4. Manajemen perubahan. 5. Menciptakan kembali (reinventing) organisasi training. 6. Industri e-learning. 7. Komitmen personal. Dalam penjelasannya mengenai penggunaan instrumen, Rosenberg menyatakan bahwa walaupun pertanyaan yang terdapat dalam survei merepresentasikan isu-isu strategis terpenting yang dihadapi organisasi saat bertransisi ke e-learning, sangatlah mungkin terdapat pertanyaan-pertanyaan maupun isu-isu yang spesifik pada organisasi yang layak untuk mendapat perhatian. Oleh karena itu Rosenberg memperbolehkan pengguna instrumennya untuk menambahkan pertanyaanpertanyaan yang diperlukan.

11 Pada instrumen surveinya, Rosenberg meminta respon untuk tiap pertanyaan dalam skala 6 poin (0 sampai 5). Untuk membantu responden memberikan respon, pada tiap pertanyaan diberikan 3 buah pernyataan interpretasi sehingga responden diharapkan dapat memilih poin dengan benar. Untuk menginterpretasikan hasil, Rosenberg membagi respon dalam 3 kategori, yaitu respon 0 atau 1, respon 2 atau 3, dan respon 4 atau 5. Pertanyaan-pertanyaan yang menghasilkan respon 0 atau 1 menunjukkan adanya penghenti pertunjukan (show-stopper). Respon ini dianggap mengindikasikan penolakan atas perubahan dan/atau kurangnya kesiapan atau kapabilitas organisasi dalam hal orang, infrastruktur atau organisasi secara keseluruhan. Untuk itu penekanan harus dilakukan pada manajemen perubahan, karena strategi e-learning tidak akan berhasil apabila poin masih tetap pada kisaran 0 atau 1. Selanjutnya, pertanyaanpertanyaan yang menghasilkan respon 2 atau 3 mengindikasikan bahwa ada kemajuan yang sedang terjadi, tetapi diperlukan usaha lebih lagi pada area-area tersebut untuk menghindari adanya gangguan pada momentum yang ada. Yang terakhir, pertanyaan-pertanyaan yang menghasilkan respon 4 atau 5, mengindikasikan adanya kemajuan yang tinggi. Area-area yang menghasilkan respon ini harus digunakan untuk meningkatkan area lain dalam strategi. Dalam Rautenbach (2007), untuk menentukan kesiapan organisasi akan e-learning dibuat sebuah model yang terdiri dari 4 dimensi. Dimensi-dimensi tersebut adalah sumber daya manusia (human resources), teknologi (technology), pedagogis (pedagogical), dan organisasi (organizational). Di dalam tiap dimensi terdapat kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh program e-learning di suatu organisasi. Untuk tiap kriteria, disusun bukti-bukti yang harus didapatkan untuk mendukung kriteria yang bersangkutan, serta pertanyaan-pertanyaan yang harus ditanyakan untuk tiap pihak yang berkepentingan. Rautenbach membagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam 3 kelompok, yaitu learner, educator/facilitator, dan manager. Dalam tiap kriterianya, Rautenbach juga memasukkan unsur akuntabilitas, sehingga dengan model yang disampaikannya, organisasi dapat menemukan siapa yang harus bertanggung jawab atas kriteria tersebut, siapa yang

12 menjadi target kriteria, siapa yang harus mengimplementasikan kriteria tersebut, dan siapa yang menjadi spesialis atau dimana sumber pengetahuan (knowledge) dari kriteria tersebut. Yang menarik dari model Rautenbach adalah, ia mengklaim bahwa modelnya dapat digunakan dalam 3 tahap implementasi e-learning, yaitu (1) sebelum e-learning dimulai sebagai bagian dari fase perencanaan, (2) selama eksekusi program e-learning untuk mendiagnosis masalah yang ada, dan (3) setelah program e-learning dijalankan sebagai evaluasi. Untuk menilai kesiapan, Rautenbach menyarankan untuk menggabungkan hasil dari survei untuk tiap pihak yang berkepentingan dengan bukti yang didapat. Hal ini diperlukan untuk memverifikasi hasil survei. Jika hasil survei tidak sejalan dengan bukti yang didapat, berarti kemungkinan besar responden survei mengisi survei secara kurang tepat. Semakin tinggi persentase-persentase yang didapat pada tiap dimensi, berarti organisasi semakin siap untuk e-learning. Dalam kaitan dengan kesiapan staf akademik untuk e-learning, Sadik (2007) mengembangkan sebuah instrumen pengukuran. Instrumen tersebut ditujukan untuk menentukan seberapa siap staf akademik untuk mendayagunakan strategi dan teknologi e-learning dalam pengajaran, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi e-learning oleh staf pada saat ini dan di masa mendatang. Pada instrumen yang berupa survei, pertanyaan dibagi dalam 3 kategori yaitu kompetensi, pengalaman, dan sikap (attitude). Kategori Kompetensi dibagi dalam 2 faktor penentu yaitu kompetensi teknis dan kompetensi pedagogis. Kategori Pengalaman dibagi dalam 3 faktor yaitu frekuensi penggunaan, training yang diterima, dan pengalaman sebelumnya. Sedangkan kategori Sikap terbagi dalam 4 faktor yaitu kecemasan, kepercayaan diri, kesukaan (liking), dan tingkat pentingnya (importance) e-learning. Hasil dari survei kemudian dianalisis secara statistik untuk melihat kesiapan staf akademik dalam mendayagunakan e-learning.