BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang layak sesuai kebutuhan dan potensinya.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

A. Perspektif Historis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

Educational Psychology Journal

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

BAB I PENDAHULUAN. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB V PEMBAHASAN. berkebutuhan khusus di SMK Negeri 8 Surabaya. Surabaya semakin di percaya oleh mayarakat.

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

Landasan Pendidikan Inklusif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, terencana dan terukur sesuai amanat Undang-undang Nomor 20

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa membedakan asalusul,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang pada umumnya wajib dilaksanakan. globalisasi, maka pendidikan juga harus mampu menjawab kebutuhan

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PROGRAM AKSELERASI DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (Studi Kasus di SMP Negeri 9 Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-iv yaitu. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu komponen penting dari

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas, sehingga dapat memfungsikan diri sesuai dengan kebutuhan

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. Pada Bab ini akan dibahas hal-hal yang berhubungan dengan penyusunan RKS

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah, masyarakat dan orang tua sebagai penanggung jawab dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mohammad Effendi. Pengantar Pdikopedagogik Anak Berkelainan.(Jakarta: Bumi Aksara. 2006). hlm 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

MODEL MANAJEMEN PELATIHAN IPA TERPADU

BAB I PENDAHULUAN BAB I

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan oleh anak-anak normal (siswa reguler), akan

ARTIKEL OPTIMALISASI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BANJARBARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Para kepala sekolah, guru, warga sekolah, stakeholder sekolah atau yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Paradigma terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus kian hari kian berubah dan mengalami perkembangan yang menggembirakan, perubahan ini ditunjukkan terutama dengan sikap yang positif baik dari pemerintah, sekolah, orang tua, siswa bukan berkebutuhan khusus, serta masyarakat luas. Hal ini ditunjukkan pemerintah dengan mengupayakan berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, serta penerimaan oleh sekolah dan masyarakat sehingga anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai kebutuhan dan potensinya. Perubahan dari pendidikan segresi, integrasi hingga pendidikan inklusif merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan masyarakat dalam mencerdaskan bangsa. Pendidikan inklusif merupakan solusi sekaligus pembaharuan pendidikan yang cukup strategis dalam upaya mencerdaskan bangsa, pendidikan inklusif membantu mengentaskan program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah, menekan angka tidak naik dan tidak lulus, lebih-lebih pendidikan inklusif sebagai pelopor penghapusan diskriminasi terhadap perbedaan dan keragaman yang dimiliki oleh setiap peserta didik tanpa melihat perbedaan fisik, sosial, emosi, maupun kecerdasan dalam setting 1

2 sekolah ramah. Pendidikan inklusif memungkinkan anak dapat belajar di tempat yang dekat dengan lingkungan di mana mereka berada, anak dapat belajar bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya sehingga saling mengisi dan memberi arti, semua anak dapat terakomodasi tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, emosional, sosial, maupun kondisi lainnya, kebutuhan belajar anak dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan inklusif adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua anak didik termasuk anak yang berkebutuhan khusus di sekolah atau lembaga pendidikan atau tempat lain (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak didik) bersama teman-teman sebayanya dengan memperhatikan perbedaannya. (Tim Pendidikan Inklusif Jawa Barat, 2003 4) Pendidikan inklusif juga sebagai implementasi pemerataan hak warga negara atas perolehan pendidikan dan pengajaran yang layak Sebagaimana yang tertuang dalam UUD RI Tahun 1945 dengan jelas dan tegas menjamin bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan, kemudian UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dipertegas juga dengan Peraturan Mendiknas No. 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

3 Banyak sekolah yang sudah menyelenggarakan pendidikan inkusif baik yang ditunjuk oleh pemerintah maupun dengan mengajukan sendiri. Dalam penyelenggaraannya, sekolah mengacu pada standar sekolah umum yang dikeluarkan oleh pemerintah di mulai dari standar kelulusan, standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, maupun standar penialaian, ditambah dengan pedoman-pedoman khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif, namun dalam penyelenggaraannya masih dapat menemui kendala-kendala di lapangan. Pasal 1 Peraturan Menteri No. 70 Tahun 2009 berbunyi: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Bunyi pasal di atas sering diartikan mengikut sertakan siswa dengan berkebutuhan khusus (kelainan) belajar bersama-sama siswa bukan kebutuhan khusus dalam sekolah reguler, pendidikan inklusif dipersepsikan sama dengan integrasi, sehingga anak yang menyesuiakan dengan sistem sekolah pada akhirnya anak berkebutuhan khusus diperlakukan sama seperti peserta didik lainnya

4 di sekolah tersebut, tanpa mendapat pelayanan yang khusus sesuai kebutuhannya. Akibat dari pemahaman seperti yang diuraikan di atas timbullah permasalahan-permasalahan berkaitan dengan implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah karena dipengaruhi berbagai faktor, baik faktor kebijakan, politik maupun sosial budaya. Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya ditemukan permasalahan-permasalahan itu di antaranya: Ada kekhawatiran sekolah (kepala sekolah dan guru) apabila menerima ABK akan menurunkan reputasi sekolah mereka, tidak semua warga sekolah memiliki sikap positif terhadap anak-anak berkebutuhan khusus sehingga anak-anak berkebutuhan sering menjadi bahan olok-olok teman-teman lainnya, bahkan gurunya sendiri, sehingga terjadi bullying, masih ada sekolah yang masih pilih-pilih siswa dalam menerima siswa terutama siswa dengan kebutuhan khusus, masih ada juga sekolah inklusi yang belum menyediakan tenaga khusus di sekolah untuk menangani ABK sehingga siswa ABK harus mengikuti kurikulum yang digunakan untuk anak reguler pada umumnya, pembinaan terhadap tenaga pendidik dan kependidikan belum mengarah pada pendidikan inklusif, kalau pun ada jumlahnya sangat terbatas, guru belum menyusun program pembelajaran individual berdasarkan identifikasi dan asesmen, selain itu belum jelasnya sistem penilaian yang cocok untuk menilai kemajuan hasil belajar siswa

5 ABK, pelaksanaan pembelajaran yang belum menggunakan dan memanfaatkan media, metode, dan lingkungan sebagai sumber belajar yang variatif untuk memenuhi perbedaan dan kebutuhan siswa yang berbeda-beda, guru belum melakukan koordinasi dan belum membentuk team teaching dalam proses pembelajaran, sekolah belum berkolaborasi dengan pihak lain atau tenaga ahli khusus dalam menangani anak berkebutuhan khusus yang berfungsi juga sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah, sarasa prasarana atau fasilitas sekolah belum mengakomodir seluruh siswa dengan keberagaman siswa yang ada di sekolah sehingga asesibilitas kurang mendukung keberhasilan pembelajaran, perencanaan dan pengaturan pembiayaan sekolah yang belum berani memberi peluang dan anggaran lebih pada pemenuhan kebutuhan pendidikan inklusif, hubungan sekolah dengan pihak-pihak lain belum seluruhnya dijalin oleh sekolah terutama berkaitan dengan pendidikan inklusif, padahal hal ini sangat penting untuk bersama-sama meningkatkan pendidikan dan sosialisasi penerimaan ABK di masyarakat, hubungan yang bisa dijalin dengan pemerintah, orang tua, atau dokter, psikolog, dan pihakpihak lain yang dapat bertanggung jawab terhadap pendidkan dan perkembangan anak berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Permasalahan-permasalahan yang muncul seperti yang dikemukakan di atas bila dikelompokkan menjadi permasalahan-

6 permasalahan sekolah dalam mengelola komponen manajemen sekolah dalam pengelolaan kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, kesiswaan, sarana prasarana, pembiayaan, dan hubungan sekolah dengan masyarakat. Permasalahan itu timbul akibat sekolah belum optimal dalam mengatur atau mengelola komponen-komponen tadi, sekolah belum merencanakan dengan matang apa, siapa, kapan, di mana, berapa, dan bagaimana setiap komponen itu dijalankan. Misalnya dalam mengelola kesiswaan, berapa siswa yang mau diterima, kriteria penerimaannya seperti apa, bagaimana penempatannya, siapa pengajar dan tenaga-tenaga lain yang ikut serta dalam mengajar, membimbing dan membina siswa, apa saja kegiatan yang akan diikuti siswa, kapan mereka belajar, kapan mereka mendapat bimbingan, bagaimana bimbingan konselingnya, fasilitas apa saja yang dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan belajar mereka, bagaimana penilaiannya, bagaimana pelaksanaannya, dan sebagainya. Begitu juga dengan komponen-komponen lainnya. Hal ini perlu dijalankan sekolah sesuai dengan fungsi manajemen sekolah yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan karena segala sesuatu akan direncanakan sebelum dilaksanakan agar dapat mencapai tujuan, diorganisasikan tentang apa, siapa, kapan, dan bagaimana tujuan itu dapat dicapai, diarahkan oleh pimpinan dengan pengaturan sumber daya yang ada, dan

7 keberhasilannya akan diawasi atau dikontrol sehingga meminimalisir penyimpangan. Permasalahana-permasalahan di atas berkaitan dengan bagaiamana sekolah penyelenggara pendidikan inklusif memenej atau mengatur kurikulum sekolah pendidikan inklusif, pengaturan tenaga pendidik dan kependidikannya, pengaturan kesiswaan mulai dari penerimaan siswa, penempatan, dan aktivitas siswa, pengaturan sarana prasarana yang menunjang pendidkan inklusif mulai dari merencanaka fasilitas apa yang dibutuhkan oleh sekolah, hingga pada pencatatan dan pelaporannya, perencanaan keuangan, penggunaan keuangan, dan pengawasannya, serta bagaimana sekolah menjalin hubungan dengan masyarakat dalam menunjang pendidikan unklusif. Stakes dan Hornby dalam Weishaar dan Borsa (2001:15) mengutip tujuh isu yang menjadi factor pengontrol kemajuan pendidikan inklusif, factor yang ketujuh The last factor deals with management. Management has had difficulty in coordinating planning for regular education and special education. This lack of coordination continues to creat issuses dealing with funding, curriculum, and staff develppment. Weishar dan Borsa (2001:15) masih dalam buku yang sama mengutip yang dikemukakan Stainback dan Bray merangkum tujuh factor penting yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan inklusif, factor-factor tersebut adalah: 1. Visionary leadership,

8 2. Collaboration, 3. Refocused use of assessment, 4. Support for staff and students, 5. Funding, 6. Effective parental involvement, 7. Curricula adaptation and adopting of effective instructional practice. Oleh karena permasalahan-permasalahan berkaitan dengan bagaimana sekolah mengelola komponen-komponen manajemen tadi, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, karena masih banyak sekolah yang tidak merencanakan kegiatan dan anggaran sekolah sehingga belum terarah dalam mencapai tujuan yang optimal, apa lagi berhubungan dengan memanusiakan manusia, hal ini sangat esensi. Penelitian ini akan berkaitan dengan manajemen sekolah terhadap fungsi-fungsi manajemen yang menyangkut perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling) pada garapan manajemen 1) Manajemen Kurikulum, 2) Manajemen Tenaga Pendididk dan Kependidikan, 3) Manajemen Kesiswaan, 4) Manajemen Keuangan, 5) Manajemen Sarana Prasarana, dan 6) Manajemen Hubungan Sekolah dan

9 Masyarakat, berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan seperti yang dikemukakan di atas. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 Pasal 51 ayat 1 menyatakan pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Standar pengelolaan menurut PP No. 19 tahun 2005 adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi manajemen sekolah memegang peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efsien. Meskipun banyak sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang belum menjalankan sesuai dengan standar pengelolaan dan pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif, namun ada di antaranya yang sudah menjalankannya, di antaranya sekolah yang menjadi tempat penelitian penulis, dilakukan di Sekolah X di kota Bandung, yang sudah menyelenggarakan pendidikan inklusif sejak awal didirikannya mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA, namun penelitian ini dilakukan hanya pada jenjang SMP saja. Sejak berdirinya Sekolah X sudah menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan menerima siswa dengan kebutuhan khusus sebanyak 21 orang dalam

10 tiga tingkatkan dengan berbagai kekhususannya, sekolah juga memiliki tenaga khusus yang menangani anak berkebutuhan khusus, oleh karena itu penulis ingin lebih memperoleh informasi, gambaran, sekaligus menganalisis bagaimana manajemen sekolah dijalankan di Sekolah X sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. B. Rumusan Masalah Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa sekolah merupakan organisasi yang dikelola dan dilaksanakan oleh berbagai komponen yang saling terkait dan menunjang satu sama lain dalam mencapai tujuan organisasi. Komponen-komponen tersebut bekerja dalam satu sistem sesuai dengan perannya masing-masing, dipimpin dan diarahkan oleh seorang menejer. Demikian juga dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, untuk meningkatkan mutu pendidikan inklusif perlu adanya sistem pengelolaan yang sistematis, terencana, terkoordinasi, terorganisir, terarah, terukur, dan terkontrol, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu sistem manajemen yang dapat mendukung terhadap peningkatan mutu pendidikan inklusif dengan memberdayakan semua komponen manajemen sebagai strategi dalam peningkatan mutu pendidikan inklusif dengan garapan manajemen kurikulum, kesiswaan, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, pembiayaan, dan hubungan masyarakat.

11 Berdasarkan paparan di atas manajemen yang bagaiamanakah yang sekiranya dapat mendukung kegiatan pendidikan inklusif yang akhirnya penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai harapan dan mencapai hasil yang optimal di suatu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan rumusan: Bagaimanakah manajemen sekolah X dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif? Oleh karena begitu banyaknya masalah manajeman sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, maka dalam penelitian ini diperinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana manajemen kurikulum sekolah X sebagai penyelenggara pendidikan inklusif? a. Bagaimana kurikulum dirancang dalam mencapai tujuan pendidikan? b. Bagaimana kurikulum dilaksanakan agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan? c. Bagaimana Pengelolaan proses pembelajaran? d. Bagaimana evaluasi kurikulum dilaksanakan dalam mengukur tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan? 2. Bagaimana manajemen tenaga pendidik dan kependidikan sekolah? a. Bagaimana perencanaan dan pengadaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah X?

12 b. Bagaimana pembinaan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah X? c. Bagaimana pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah X? d. Bagaimana evaluasi tenaga pendidik dan kependidikan Sekolah X? 3. Bagaimana manajemenen kesiswaan di sekolah X? a. Bagaimana sistem penerimaan siswa baru, penetuan jumlah siswa, dan orientasi siswa baru? b. Bagaimana pengelolaan bimbingan dan konseling siswa? c. Bagaimana pengelolaan aktivitas siswa? 4. Bagaimana manajemen keuangan di sekolah X? a. Dari sumber mana saja dana itu diperoleh? b. Bagaimana perencanaan penggunaan dana? c. Bagaimana evaluasi penggunaan dana tersebut? 5. Bagaimana manajemen sarana dan prasarana sekolah X sebagai penyelenggara pendidikan inklusif? a. Bagaimana perencanaan sarana dan prasarana dalam menunjang pendidikan inklusif? b. Bagaimana pengadaan sarana prasarana yang menunjang pendidikan inklusif? c. Bagaimana inventarisir / pencatatan sarana prasarana di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif?

13 d. Bagaimana penataan dan pemeliharaan sarana dan prasarana di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif? 6. Bagaimana manajemen hubungan sekolah X dengan masyarakat? a. Pihak-pihak mana saja yang dapat bekerjasama dengan sekolah? b. Bagaimana sekolah X menciptakan, membina dan memelihara hubungan dengan masyarakat? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menggali, menghimpun, dan menganalisis informasi empirik penyelenggaraan pendidikan inklusif sekolah X sebagai dasar dalam menentukan manajemen yang sesuai dengan kebutuhan sekolah pada umumnya dalam melaksanakan pendidikan inklusif dilihat dari tantangan yang dihadapi dan peluang yang dimiliki sekolah. Secara khusus penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang: 1. Manajemen kurikulum sekolah X sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. 2. Manajemen Tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah X 3. Manajemen kesiswaan sekolah X. 4. Manajemen keuangan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif

14 5. Manajemen sarana prasarana sekolah X sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. 6. Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat sekolah X sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan menambah keilmuan tetang bagaimana implementasi pendidikan inklusif dijalankan dalam manjemen sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat bagi: a. Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam menentukan strategi pendidikan inklusif, khususnya pemerintah daerah kabupaten, atau dinas pendidikan. b. Bagi sekolah termasuk kepala sekolah dan guru, sebagai acuan dalam mengelola sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan

15 inklusif dalam memberikan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut. c. Bagi orang tua dalam menentukan pilihan pendidikan yang tepat bagi anaknya disesuaikan dengan kebutuhannya. d. Bagi peneliti, menambah ilmu dan wawasan sebagai bekal dalam ikut serta menjalankan pendidikan inklusif di sekolah. E. Definisi Konsep Penelitian ini dilandasi tinjauan teoritis dengan berbagai kajian teori yang digunakan sebagai landasan analisis dan pedoman dalam membahas hasil penelitian. Yaitu: 1. Pendidikan inklusi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di dalamnya mengamanatkan tujuan dan fungasi pendidikan, termasuk sistem pendidikan untuk peserta didik dengan kebutuhan khusus. Dari undang-undang ini kemudian hadir berbagai peraturan tentang pendidikan, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mencakup delapan (8) standar. Inti kebijakan ini adanya sistem pendidikan yang bersifat umum sebagai tolok ukur minimal kulaitas layanan pendidikan. Implementasi dari kebijakan tersebut diharapakan setiap layanan pendidikan dapat mencapai standar pelayanan minimal.

16 Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang cacat anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anakanak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994). Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar bagi semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara spesifik kepada mereka yang rawan dan rapuh, terpinggirkan dan terabaikan. Prinsip pendidikan inklusif di adopsi dari Konferensi Salamanca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 1994) Pendidikan inklusif merupakan model pendidikan yang memberi kesempatan bagi siswa yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama siswa-siswa lain seusianya yang tidak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, cultural, maupun bahasa, (Florian, 2008). Atas dasar pengertian dan dasar pendidikan inklusi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang berusaha mengakomodasi segala jenis perbedaan dari peserta didik tanpa diskriminasi baik secara konseptual maupun paradigmatic.

17 Stainback dan stainback (1990) dalam Wasliman, 2007 mengemukakan bahwa sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa dikelas yang sama. Sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi. Pendidikan inklusif memiliki karakteristik bahwa pendidikan diperuntukan bagi semua dengan menggunakan kurikulum yangdisesuaikan dengan kebutuhan siswa secara individu, dengan menciptakan lingkungan belajar yang ramah bagi peserta didik, pembelajaran dititik beratkan pada proses pembelajaran dengan berpusat pada anak dengan pendekatan komprehensif sehingga memberi kesempatan kepada setiap siswa, sehingga siswa memperoleh hak yang sama. 2. Manajemen Sekolah Manajemen sering diartikan sebagai administrasi. Manajemen merupakan pengelolaan sumber daya yang dimiliki baik berupa manusia, mesin, uang, metoda material, dan pemasaran yang dimiliki sekolah dalam proses yang bekerja secara sistematis. Ada banyak pengertian dan konsep yang disampaikan para ahli terkait dengan sistem manajemen pendidikan. George R. Terry, 1964 dalam Wasliman, 2007 menyebutkan bahwa: management is distinct procees of planning, organizing, actuating, controling, perfomed to determine and

18 accomplish stated objektive the use of human beings and other resources. Longenecker dan Pringgle (1981) masih dalam Wasliman, 2007 mendefinisikan bahwa: Manajemen sebagai proses pengadaan dan pengkombinasian sumber daya manusia, finansial, dan fisik untuk mencapai tujuan pokok organisasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan suatu proses pengaturan atau penataan dan cara kerja sumber daya manusia, material, dana, alat, dan metode dengan mengintegrasikan sumber-sumber yang semula tidak berhubungan satu dengan lainnya menjadi suatu sistem yang komprehensif dan integratif untuk mencapai tujuan usaha suatu organisasi, yaitu dengan menjalankan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian menjadi suatu rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam proses pendayagunaan semua sumber daya secara efektif dan efesien disertai penetapan cara pelaksanaannya oleh seluruh jajaran dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen sekolah merupakan suatu kegiatan yang memiliki nilai filosofi tinggi. Ia harus dapat mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efesien. Pada hakikatnya upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan performansi (kinerja) sekolah dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan, baik tujuan nasional maupun lokal institusional, (Ruhiat, 2010: 31). 3. Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusif Manajemen pendidikan inklusif merupakan proses pengaturan dan pengelolaan sumber daya yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif meliputi proses perencanaan,

19 pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta tindak lanjut hasil evaluasi pada sistem pendidikan inklusif yang menyangkut kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, kesiswaan, pendanaan, sarana prasarana, dan hubungan sekolah dengan masyarakat. Stainback dan stainback (1990) dalam wasliman, 2007 mengemukakan bahwa: Sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa dikelas yang sama. Sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi. Oleh karena itu keterkaitan manajemen yang menyangkut kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana prasarana, pembiayaan, serta hubungan masyarakat mutlak diperlukan dalam implementasi manajemen sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. F. Metode Penelitian Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Penelitian kualitatif adalah Penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran, orang secara individual maupun kelompok ( Syaodih, 2010:60). Metode deskriptif ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada dengan kondisi apa adanya, yang

20 berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau baik kondisi individual maupun kelompok. Metoda pengumpulan data penelitian ini dengan menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi, serta penggabungan dari ketiga teknik (triangulasi). Untuk memperoleh data yang komfrehensif maka dilakukan penelitian pada subyek penelitian yang merupakan komponen sekolah yaitu: 1. Kepala sekolah 2. Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum 3. Wakil Kepala Sekolah Urusan kesiswaan 4. Wakil kepala Sekolah Urusan Sarana prasarana 5. Humas 6. Guru mata pelajaran 7. Psikolog 8. Tenaga Administrasi 9. Petugas perpustakaan 10. Koordinator Inklusi 11. Guru Khusus/HBT 12. Komite sekolah/orang tua