BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

ISSN situasi. diindonesia

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Penyakit malaria

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Pencegahan Penyakit Rabies Di Kelurahan Makawidey Kecamatan Aertembaga Kota Bitung

BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

PENYAKIT RABIES DI KALIMANTAN TIMUR

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

KEPADATAN POPULASI ANJING SEBAGAI PENULAR RABIES DI DKI JAKARTA, BEKASI, DAN KARAWANG, Salma Maroef *) '4B STRACT

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

DISTRIBUSI KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DAN KASUS RABIES DI KABUPATEN NGADA, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 17-18%. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

KEBIJAKAN NASIONAL DAN STRATEGI PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

Ekologi dan Demografi Anjing di Kecamatan Denpasar Timur

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J

Kata Kunci: Pengetahuan, Sikap, Tingkat Pendidikan, Dukungan Petugas Kesehatan, Tindakan Pencegahan Rabies

DAFTAR PUSTAKA. Azwar, S.,2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Cetakan VII, Edisi 2,, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

PIDATO PENGANTAR MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IV DPR-RI TANGGAL 1 FEBRUARI 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. 2

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit flu burung atau flu unggas (bird flu, avian influenza) adalah

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan ekonomi (Depkes, 2007). Para penderita kusta akan cenderung

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

Karena itu mereka sudah sejak awalnya berpendapat bahwa penyakit di daerah panas ini ganjil. Penyakit Tropik Di Indonesia

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP PEMILIK ANJING DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN RABIES DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ONGKAW KABUPATEN MINAHASA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab utama kematian anak-anak di dunia. Pada negara berkembang hampir

Kata Kunci : Pengetahuan, Perawatan, Demam Berdarah Dengue

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah sejenis penyakit menular pada manusia. Sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional di Indonesia mempunyai beban ganda karena penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian besar, disamping itu terjadinya peningkatan penyakit tidak menular. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah rabies (Depkes RI, 2003). Salah satu tujuan khusus dari program upaya kesehatan tercantum dalam program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, menurunnya angka kesakitan, angka kematian dan angka kecacatan, untuk itu telah disusun pokok-pokok program pembangunan kesehatan yang mencakup program pemberantasan penyakit menular (P2M) (Depkes RI, 2002). Pelaksanaan program P2M meliputi berbagai kegiatan yang salah satunya adalah program pemberantasan penyakit gigitan hewan, yang ditujukan pada kelompok masyarakat dalam bentuk upaya penanggulangan rabies. Pemilihan kelompok ini sebagai target populasi didasarkan pada kenyataan bahwa angka

morbiditas dan mortalitas penyakit rabies pada masyarakat di Indonesia (Depkes RI, 2002). Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan suatu penyakit infeksi pada hewan yang bersifat akut dan dapat ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia selalu diakhiri dengan kematian dengan (CFR 100%), sehingga menimbulkan rasa cemas dan takut bagi orang yang terkena gigitan serta kekuatiran bagi masyarakat (Departemen Pertanian RI, 2006). Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan penularannya kepada manusia dapat terjadi melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) terutama anjing, kucing dan kera. Timbulnya penyakit ini pada manusia dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) setelah digigit hewan yang menderita rabies (Soeharsono, 2008). Menurut laporan WHO (2005), penyakit rabies dapat timbul akibat kelalaian manusia neglected disease karena penyakit ini sebenarnya dapat dicegah sebelum muncul. Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian per tahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah yang terbanyak dijumpai di Asia (56%) dan Afrika (44%). Diperkirakan 30% 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun (WHO, 2006). Berdasarkan laporan WHO (2005), South East Asia Regional Office (SEARO) mempunyai beban kerja yang besar karena sekitar 25.000 kematian terjadi pada

manusia setiap tahun akibat rabies dengan jumlah terbesar terdapat di India yaitu sekitar 19.000 jiwa dan Banglades sekitar 2000 jiwa. Myanmar, Nepal, Indonesia, Srilanka dan Thailand, melaporkan sedikitnya terjadi 100 kematian manusia akibat rabies setiap tahun. Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties), di negara berkembang penyakit rabies merupakan urutan nomor 2 (dua) yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria ( Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2007 ). Menurut laporan Sub Direktorat Zoonosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), jumlah kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2005 terus mengalami kenaikan, dilaporkan pada tahun 2001 terdapat 11.942 kasus gigitan dengan 68 kasus rabies pada manusia (5,7 per 1000 kasus gigitan), tahun 2002 dilaporkan 13.805 kasus gigitan dengan 84 kasus rabies pada manusia (6,1 per 1000 kasus gigitan), tahun 2003 terdapat 14.875 kasus gigitan dan 84 kasus rabies pada manusia (5,6 per 1000 kasus gigitan), tahun 2004 terdapat 14.996 kasus gigitan dan 109 kasus rabies pada manusia (7,3 per 1000 kasus gigitan), dan tahun 2005 sebanyak 16.619 kasus gigitan dengan 147 kasus rabies pada manusia (8,8 per 1000 kasus gigitan). Pada tahun 2006, Departemen Kesehatan (2007b) melaporkan kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 13.929 kasus dengan 106 kasus rabies pada manusia (7,6 per 1000 kasus gigitan). Kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) dan lyssa cenderung meningkat di Indonesia. Tahun 2009 hingga 2010 terjadi peningkatan kasus GHPR sebesar 42,1%, yaitu dari 45.466

kasus menjadi 78.574 kasus. Jumlah kematian (lyssa) meningkat sebesar 5,3%, yaitu dari 195 kasus menjadi 206 kasus. Pada tahun 2004 Propinsi Kalimantan Barat dan Maluku Utara masih merupakan daerah bebas rabies, tetapi pada awal tahun 2005 terjadi KLB rabies dikedua propinsi tersebut (Depkes RI, 2006). Pada tahun 2005, rabies tersebar di 17 propinsi di Indonesia dimana dilaporkan kasus rabies pada manusia (lyssa) dari Provinsi NAD sebanyak 2 kasus, Propinsi Sumatera Utara sebanyak 5 kasus, Propinsi Sumatera Barat 14 kasus, Propinsi Riau sebanyak 2 kasus, Propinsi Jambi sebanyak 3 kasus, Propinsi Bengkulu 6 kasus Propinsi Lampung sebanyak 9 kasus, Propinsi Kalimantan Barat 1 kasus, Propinsi Kalimantan Selatan 2 kasus, Propinsi Kalimantan Timur 3 kasus, Propinsi Sulawesi Utara sebanyak 30 kasus, Propinsi Gorontalo 3 kasus, Propinsi Sulawesi Selatan 18 kasus, Propinsi Sulawesi Tenggara 10 kasus, Propinsi Nusa Tenggara Timur 21 kasus, Propinsi Maluku sebanyak 15 kasus dan Propinsi Maluku Utara sebanyak 3 kasus (Depkes R.I, 2007). Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, jumlah kasus kematian manusia periode 1997 s/d 2005 di NTT akibat rabies sebanyak 135 orang, dengan kasus gigitan anjing mencapai 1.200 orang (Amalo, 2005). Pemerintah Indonesia secara intensif tetap melakukan program pembebasan rabies secara bertahap. Program ini dimulai pada Pelita V (1989-1993) di Pulau Jawa dan Kalimantan, kemudian pada Pelita VI (1994-1998) diperluas ke semua pulau tertular yaitu Pulau Sumatera dan Sulawesi. Sehubungan dengan target Indonesia bebas rabies pada tahun 2005 tidak tercapai maka program pembebasan rabies ini

menjadi Program Nasional dan diharapkan pada akhir tahun 2012 kasus rabies dapat terkendali sampai nol kasus (Departemen Pertanian R.I, 2006). Kasus GHPR di Propinsis Sumatera Utara tergolong tinggi yakni, pada tahun 2011 sebanyak 4.262 kasus, Lyssa (kasus kematian Rabies) sebanyak 31 (0,73%) dan status positip sebanyak 19 (0,45%) kasus. Dan pada akhir Agustus 2012, sebanyak 2.314 kasus GHPR dan Lyssa sebanyak 4 kasus (0,57%) (Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, 2012). Propinsi Sumatera Utara sangat rawan dengan serangan penyakit rabies, hal ini disebabkan hewan penular rabies (HPR) pada jenis anjing diperkirakan ada berjumlah 190.042 ekor yang menyebar pada 33 kabupaten/kota. Tingginya populasi anjing di Propinsi Sumatera Utara disebabkan umumnya penduduk gemar memelihara anjing karena dapat dijadikan sebagai hewan peliharaan kesayangan, penjaga rumah, kebun/ladang dan ternak. Secara geografis, Propinsi Sumatera Utara letaknya berbatasan dengan beberapa propinsi lainnya secara langsung, sehingga penyebaran penyakit rabies dapat terjadi dalam waktu singkat (Dinas Peternakan Prop. Sumut, 2007). Beberapa etnis di Propinsi Sumatera Utara memiliki kebiasaan memelihara anjing. Suku batak yang akrab dengan anjing bahkan ada sebagian yang memakan daging anjing, besar kemungkinan mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya. Pemeliharaan anjing dilakukan secara bebas, dibiarkan berkeliaran keluar masuk rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan anjing lain sangat besar dan mempunyai kemungkinan tertular virus rabies (Nasution,1995).

Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah endemis rabies dan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara setiap tahun ada laporan kasus rabies baik pada hewan maupun manusia. Pada tahun 2009 dilaporkan jumlah kasus gigitan anjing adalah 2.634 kasus, 2.040 kasus (77,44%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies (VAR) dan 7 kasus lyssa dan spesimen hewan positif 7 ekor. Pada tahun 2010 jumlah kasus gigitan anjing yang dilaporkan ada sebanyak 4.169 kasus, 3.072 kasus (73,68%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), sedangkan jumlah kasus lyssa sebanyak 36 kasus dan spesimen hewan positif 33 ekor. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2011) mencatat kasus gigitan anjing di Propinsi sumatera Utara sepanjang tahun 2010 mencapai 3.935 kasus, 2.774 kasus (70%) mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), lyssa sebanyak 31 kasus dan spesimen hewan positif 19 ekor. Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara, Pada tahun 2009 terdapat jumlah kasus gigitan anjing 132 kasus, 94 kasus (71,21%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, sedangkan jumlah kasus lyssa 1 orang. Tahun 2010 terdapat 260 kasus gigitan anjing tersangka rabies, 192 kasus (73,84%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, jumlah kasus lyssa sebanyak 1 orang dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 33 ekor. Tahun 2011 terdapat 327 kasus gigitan anjing tersangka rabies, 236 kasus (72,17%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat 1 kasus kematian pada manusia, dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 1 ekor. Sampai

dengan akhir tahun 2012, terdapat 225 kasus GHPR dan kasus Lyssa sebanyak 1 orang Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara, dari 15 kecamatan yang ada, Kecamatan Tarutung merupakan kecamatan yang masih sering dijumpai kasus gigitan anjing dan adanya kasus kematian akibat rabies pada manusia. Pada tahun 2009 di Kecamatan Tarutung dilaporkan kasus gigitan anjing tersangka rabies 64 kasus, 55 kasus (85,93%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies. Pada tahun 2010 dilaporkan kasus gigitan anjing 93 kasus baru, 73 kasus (78%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, dan kasus lyssa sebanyak 1 orang. Pada tahun 2011 dilaporkan kasus gigitan anjing 97 kasus baru, 80 kasus (82%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat kasus Lyssa sebanyak 1 orang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima orang pemilik anjing tersangka rabies yang menyebabkan kasus rabies pada manusia di Kecamatan Tarutung, diketahui bahwa kelima ekor anjing peliharaan tersebut tidak pernah mendapat vaksinasi anti rabies dan dibiarkan bebas berkeliaran. Satu kasus rabies pada manusia di gigit oleh anjing yang tidak bertuan atau tidak diketahui pemiliknya. Menurut hasil penelitian Maroef, dkk (1994) di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang serta DKI Jakarta, diketahui perilaku masyarakat di desa memelihara anjingnya lebih banyak melepas anjing peliharaannya secara bebas (65,5%), dibandingkan dengan di kota (24,0%). Kebiasaan keluarga terutama di desa yang lebih banyak memelihara anjing secara bebas atau tidak diikat dan tidak divaksinasi akan merupakan kendala dari program pembebasan rabies. Perilaku masyarakat

pemilik hewan terutama pemilik anjing berperan dalam upaya pencegahan rabies karena salah satu kendala yang dihadapi untuk penanggulangan rabies adalah kurangnya kesadaran masyarakat, baik di pedesaan maupun kota besar untuk memelihara hewan sesuai dengan peraturan yang telah ada. Menurut hasil penelitian Ganefa (2001) di Kota Administratip (Kotip) Cimahi, Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat, dikemukakan bahwa ketidakpatuhan pemilik anjing memberikan vaksinasi rabies pada anjingnya ada hubungannya dengan pendidikan, pengetahuan, sikap, sarana vaksinasi rabies, anjuran petugas, anjuran tokoh formal, dan keterpaparan terhadap media penyuluhan, serta tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin dan pekerjaan pemilik anjing. Dari penelitian yang dilakukan Simanjuntak (1991) di kota Bangkok diperoleh hasil yang menyatakan tidak ada hubungan antara, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan pemilik anjing dengan tindakannya dalam pemberian vaksinasi rabies. Menurut hasil penelitian Gunawardhani (2002) di Kotamadya Jakarta Selatan ada hubungan antara penghasilan, pendidikan, akses terhadap informasi, pengetahuan dan sikap pemilik anjing dengan perilakunya dan tidak ada hubungan antara pekerjaan pemilik anjing dengan perilakunya dalam upaya pengendalian penyakit rabies. Berdasarkan hasil penelitian Sudardjat (2003) di Indonesia, anjing jalanan yang bebas berkeliaran merupakan penular utama rabies kepada manusia. Lebih dari 2,5 juta ekor anjing yang berada di wilayah tertular rabies, hampir keseluruhannya adalah merupakan anjing liar di jalanan (street dog). Lebih dari 90% kasus gigitan

anjing disebabkan oleh gigitan anjing liar. Anjing liar yang terdapat di Indonesia berpotensi sebagai reservoir rabies. Hasil pengamatan peneliti di Kecamatan Tarutung dijumpai banyak anjing berkeliaran secara bebas. Pemilik anjing di Kecamatan Tarutung memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya. Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Pebruari tahun 2012, pada umumnya penduduk yang memelihara anjing rumahnya tidak memiliki pagar, sehingga anjing terbiasa berkeliaran bebas keluar dan masuk ke rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing yang mempunyai penutup moncong (berangus). Menurut Kepala Bidang Peternakan di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara, di Kabupaten Tapanuli Utara tidak dilakukan eliminasi terhadap anjing yang tidak berpemilik dan tidak dilakukan perdaftaran anjing oleh pemiliknya kepada Ketua RT maupun Lurah setempat. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara, pada tahun 2011, jumlah populasi anjing di Kecamatan Tarutung sebanyak 1.552 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara). Penduduk di Kecamatan Tarutung yang mayoritas adalah suku Batak memiliki kegemaran untuk memelihara anjing, sehingga besar kemungkinan untuk mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya atau gigitan dari anjing yang diliarkan dan dibiarkan bebas berkeliaran. Dengan situasi masyarakat yang demikian maka lalu lintas anjing sangat sulit di awasi, sehingga memiliki risiko tertular rabies dari anjing yang menderita rabies.

Menurut Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Utara pelaksanaan sosialisasi rabies di Kecamatan Tarutung dilakukan bersamaan dengan penyuluhan program di bidang pertanian. Sosialisasi mengenai rabies pernah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan melalui media cetak berupa leaflet dan media elektronik melalui siaran radio lokal pada tahun 2011. Poster dan leaflet yang memuat informasi tentang rabies juga dibagikan ke Puskesmas untuk disosialisasikan kepada masyarakat. Pelaksanaan vaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Tarutung dilakukan oleh petugas vaksinasi (vaksinator). Pelaksanaan vaksinasi massal dilakukan setahun sekali, jadwal pelaksanaan vaksinasi massal di desa dikoordinasikan oleh petugas peternakan dengan Kepala Desa/Lurah setempat dan melakukan kunjungan ke rumah pemilik anjing. Bagi anjing yang telah divaksinasi diberikan tanda vaksinasi berupa surat keterangan vaksinasi rabies kepada pemiliknya. Menurut informasi yang di dapat dari Petugas vaksinasi (vaksinator) masyarakat kurang respon terhadap pelaksanaan vaksinasi. Berdasarkan kondisi di Kecamatan Tarutung tersebut dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai tempat di atas, maka penulis merasa tertarik dan ingin mengkaji lebih mendalam tentang faktor predisposing (sikap, pengetahuan), faktor enabling sumber informasi serta faktor reinforcing meliputi dukungan tokoh masyarakat dan dukungan petugas kesehatan terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara.

1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah bagaimana pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi) dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dukungan petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi) dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, dukungan petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. 1.4. Hipotesa Penelitian Ada pengaruh faktor predisposing (sikap, pengetahuan), enabling (sumber informasi), dan reinforcing (anjuran tokoh masyarakat, petugas kesehatan) terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan penyakit rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.

1.5. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan dan pelaksana kegiatan yang mendukung program pembebasan rabies di Kabupaten Tapanuli Utara. 2. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang manajemen kesehatan khususnya kesehatan komunitas/epidemiologi. 3. Sebagai masukan untuk penelitian lanjutan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian berkaitan dengan penyakit rabies.