BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika

ISSN situasi. diindonesia

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 PENDAHULUAN. kepercayaan, kita dihadapkan lagi dengan sebuah ancaman penyakit dan kesehatan,

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan.terlebih lagi dalam kondisi

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

PARTISIPASI PEMILIK HPR TERHADAP PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI DESA ABIANSEMAL DAN DESA BONGKASA PERTIWI KECAMATAN ABIANSEMAL KABUPATEN BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dan bersifat zoonosis. Flu burung telah menjadi perhatian yang luas

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI NUSA TENGGARA TIMUR

BUPATI SIJUNJUNG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit menular mengutamakan aspek promotif dan preventif dengan membatasi

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT RABIES. Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Campak merupakan penyakit pernafasan yang mudah menular yang

BAB I PENDAHULUAN. suatu tindakan memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) 1. Incidence Rate dan Case Fatality Rate Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya.

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan rabies pemerintah telah mengalokasikan dana mencapai 15 Miliar rupiah untuk tahun 2012. Namun penanggulangan Rabies di lapangan kini masih mengalami kendala dengan keterbatasan dokter hewan yang tersedia. Mengingat akan bahaya Rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya selalu diakhiri kematian, serta dapat mempengaruhi dampak perekonomian khususnya bagi pengembangan daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular Rabies, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan seintensif mungkin bahkan menuju pada program pembebasan (Depkes RI, 2011). Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama Rabies merupakan penyakit infeksi akut (bersifat zoonosa) pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus terutama anjing, kucing dan kera. Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan atau manusia selalu diakhiri dengan kematian, angka kematian Case Fatality Rate (CFR) mencapai 100% dengan menyerang pada semua umur dan jenis kelamin. Kekebalan alamiah pada manusia sampai saat ini belum diketahui (Depkes RI, 2011).

Bilamana ditemukan satu kasus gigitan hewan, maka perlu diadakan pelacakan terhadap hewan yang bersangkutan (melalui Dinas Pertanian cq Kesehatan Hewan setempat), serta waspada adanya kemungkinan kasus-kasus gigitan tambahan yang memerlukan tindakan pengamanan segera. Meskipun telah diketahui bahwa kasus Rabies pada manusia hampir selalu diakhiri dengan kematian, namun sebagai petugas kesehatan harus memberikan perawatan semaksimal mungkin kepada penderita Rabies dengan tujuan untuk meringankan penderitaan yang bersangkutan. Penanganan kasus Rabies ini hendaknya dilakukan secara cermat, berhati-hati serta teliti sesuai dengan petunjuk yang bersumber dari Departemen Kesehatan. Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan suatu penyakit infeksi akut (bersifat zoonosis) pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus Rabies dan ditularkan melalui gigitan hewan peliharaan penular Rabies terutama anjing, kucing dan kera. Serangan penyakit ini dapat mengancam jiwa penderitanya apabila tidak mendapatkan pertolongan yang cepat dan tepat. Salah satu cara penularannya adalah melalui gigitan anjing yang tertular Rabies, karena penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia. Selain anjing, kucing, kera dan kelelawar juga merupakan hewan yang berpotensi menularkan Rabies ke manusia. Maka lebih baik mencegah daripada mengobati penyakit Rabies. Salah satu cara untuk mencegah terjangkitnya Rabies adalah dengan melakukan vaksinasi secara teratur. Dari hal diatas penyakit menular yang potensial menimbulkan wabah di dalam pasal 14 Permenkes Nomor 1501/Menteri/Per/X/2010 disebutkan bahwa upaya penanggulangan wabah dilakukan secara dini kurang dari 24 (dua puluh empat) jam

terhitung sejak terjadinya wabah. Oleh karena itu disusun Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Menular dan Keracunan Pangan sebagai pedoman pelaksanaan baik di pusat maupun di daerah. Diperlukan program yang terarah dan sistematis, yang mengatur secara jelas peran dan tanggung jawab disemua tingkat administrasi, baik di daerah maupun di tingkat nasional dalam penanggulangan wabah di lapangan, sehingga dalam pelaksanannya dapat mencapai hasil yang optimal (Depkes RI, 2011). Adapun landasan hukum yang dipergunakan di Indonesia diantaranya UU No 4 Thn 1984 tentang wabah dan penyakit menular. Keputusan bersama Dirjen P2 dan PL, Dirjen Peternakan dan Dirjen PUOD No KS.00-1.1554, No.99/TN.560/KPTS/DJP/Deptan/1999, No 443.2-270 tentang Pelaksanaan Pembebasan dan Mempertahankan Daerah Bebas Rabies di Wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2011). Kesiapsiagaan petugas Dinas Pertanian cq Kesehatan Hewan adalah menangani dan mengeliminasi anjing liar harus ditingkatkan, dengan tujuan agar tidak saling terkontaminasi anjing yang sehat dengan anjing yang mengidap Rabies. Disamping itu juga kegiatan petugas dari Dinas Pertanian Kesehatan Hewan memberikan penyuluhan kepada masyarakat yg memiliki hewan anjing peliharaan agar selalu mengikat dengan rantai anjing dan memberangus moncong anjing jika membawa keluar rumah, menganjurkan agar anjing tersebut divaksinasi 1 sampai 2 kali dalam setahun.

Kesiapsiagaan dari petugas Dinas Kesehatan juga tidak kalah pentingnya dalam menanggulangi Rabies yakni dengan memberikan Vaksin Anti Rabies (VAR) jika seseorang digigit oleh anjing yang diketahui mati sebelum 2 (dua) minggu, tapi jika tidak mati setelah 2 (dua) minggu maka tidak diperlukan pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan diobati hanya luka yang digigit dengan tekhnik perawatan luka sesuai dengan prosedur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitti Ganefa, 2000 pada masyarakat Cimahi Bandung, dimana didapat hubungan bermakna antara sikap dan ketidakpatuhan pemilik anjing dalam memberikan vaksin dengan nilai p=0,005 dan OR=2,84, anjuran petugas OR=15,76, p=0,000. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Damayanti tahun 2003 di Kecamatan Seputih Mataram, dimana juga hasil yang signifikan antara sikap dan perilaku pemilik anjing dengan upaya pencegahan Rabies dengan nilai p=0,001 dan OR=20,118. Menurut WHO, meskipun saat ini telah tersedia vaksin untuk mencegah penyakit Rabies, tetapi penyakit Rabies tersebut masih menimbulkan masalah kesehatan yang cukup banyak di berbagai negara Asia dan Afrika, dimana tingkat kematiannya mencapai 95 % (Bekti-medicastore). Kasus Rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning tahun 1889 pada seekor anjing dan oleh Eilerls de Zhaan tahun 1894 pada manusia. Semua kasus ini terjadi di Provinsi Jawa Barat dan setelah itu Rabies terus menyebar ke daerah Indonesia lainnya.

Situasi Rabies di Indonesia tahun 2010 dilaporkan 78.288 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), dengan Lyssa (kematian Rabies) sebanyak 206 orang (0,03%) dan telah dilakukan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) 62.920 orang (80,36%). Sampai September 2011 dilaporkan sebanyak kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) sebanyak 52.503, dengan Lyssa (kematian Rabies) sebanyak 104 orang (0,19%) dan telah dilakukan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) 46.051 (87,71%). Rabies pada manusia pada tahun 2010 terbanyak dilaporkan dari provinsi Bali dengan kematian 82 orang (39,80%). Adapun provinsi yang menekan jumlah Lyssa menjadi 0 kasus pada tahun 2010 ada 8 provinsi yaitu NAD, Bengkulu, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Situasi Rabies di Indonesia sampai 19 September 2011 dilaporkan 52.503 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), dengan Lyssa (kematian Rabies) sebanyak 104 orang dan telah dilakukan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) sebanyak 46.051 (87,71%) (Depkes RI, 2011). Di Sumatera Utara kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) tergolong tinggi yakni, pada tahun 2011 sebanyak 4.262 dengan Lyssa (kasus kematian Rabies) sebanyak 31 (0,73%) dan status positip sebanyak 19 (0,45%) kasus. Dan pada akhir Maret 2012 sebanyak 705 kasus gigitan dengan Lyssa sebanyak 4 (0,57%) (Dinas Kesehatan Provinsi, 2012). Kasus Rabies di Pulau Nias terjadi sejak November 2009 mengakibatkan 43 orang terkena Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR). Pada 12 Februari 2010 berdasarkan pemeriksaan terhadap hewan, diketahui positif Rabies pada anjing. Pada

tanggal 21 Februari 2010, Ditjen Peternakan Kementerian Pertanian telah mengirimkan tim dengan membawa 50.000 dosis vaksin untuk hewan ke Medan. Dari jumlah itu, sebanyak 10.000 vaksin telah digunakan untuk vaksinasi hewan di Pulau Nias. Seperti diketahui saat ini, Pulau Nias terdiri 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Nias, Kab. Nias Barat, Kab. Nias Selatan, Kab. Nias Utara dan Kota Gunung Sitoli. Kota Medan termasuk salah satu daerah dengan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) paling tinggi. Berdasarkan data tahun 2011 sebanyak 369 kasus gigitan dengan Lyssa sebanyak 2 (0,54%) kasus, dengan sttus positip 7 (1,89%). Dan pada bulan Maret 2012 sebanyak 89 kasus kejadian gigitan dan tidak ada Lyssa (Dinas Kesehatan Provinsi, 2012). Kecamatan Medan Tuntungan yang mempunyai kasus gigitan anjing yang tertinggi pada tahun 2011 dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 54 kasus (14,63%) gigitan anjing (Dinkes Kota Medan, 2012). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan dan sikap terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana wabah Rabies di Wilayah Kecamatan Medan Tuntungan.

1.2. Permasalahan Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana wabah Rabies di Wilayah Kecamatan Medan Tuntungan. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana wabah Rabies di Wilayah Kecamatan Medan Tuntungan. 1.4. Hipotesis Adanya hubungan pengetahuan dan sikap terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam mengahadapi bencana wabah Rabies di Wilayah Kecamatan Medan Tuntungan. 1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi masyarakat menjadi masukan ilmu pengetahuan tentang penanggulangan dan kewaspadaan terhadap bahaya Rabies. b. Bagi petugas Dinas Pertanian sub bagian hewan, dapat meningkatkan kinerja nya dalam menanggulangi penyebaran Rabies di wilayah yang berpotensial terkena Rabies c. Bagi Petugas Dinas Kesehatan dan Petugas Puskesmas yang ada di wilayah kota Medan, sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk mengembangkan

program peningkatan kesehatan masyarakat yang menjadi sasaran gigitan hewan peliharaan dalam upaya penanggulangan tertularnya bahaya Rabies. d. Bagi peneliti, menambah wawasan dalam aplikasi keilmuan dibidang manajemen bencana non alam; penyakit wabah Rabies. e. Bagi penelitian selanjutnya secara ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi.