TINJAUAN PUSTAKA Penyebaran dan Morfologi Pasak Bumi (E. longifolia) Tanaman ini bisa dijumpai di sekitar Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Di Indonesia hanya terdapat di Sumatera dan Kalimantan, itu pun dalam jumlah sedikit (Sinar Harapan, 2003). Pasak bumi sudah sejak lama digunakan oleh suku-suku di Indonesia. Ini dapat dilihat dari nama daerahnya yang begitu banyak dan beragam. Sumatera: kayu kebel (Lampung), bidara putih (Palembang), bidara laut, bidara putih (Sumatera Utara), pule, bidara laut, kayu lawang (Bangka), bedara puti (Belitung), kayu petimah (Aceh), besan peku gancang, begu gajan (Batak), Sulawesi: bidara mapai (Bugis), bidara pai, kayu pai (Makassar), Jawa: babi kurus (Jakarta), widara putih (Jawa), Kalimantan: pasak bumi (Banjar), bidara pahit, dara pahit (Kalimantan Timur), tanyu ulat (Kalimantan Tengah), sahalai, tunglirit (Kalimantan Tengah) (Republika Online, 2006). Dalam dunia tumbuhan tanaman pasak bumi tersusun dalam sistematika sebagai berikut: Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Sapindales : Simaroubaceae : Eurycoma : Eurycoma longifolia (Wikipedia, 2007).
Umumnya tanaman pasak bumi berbentuk semak atau pohon kecil yang tingginya mencapai 10 m, berdaun majemuk, menyirip ganjil, ibu tangkainya mencapai 1 m, mengelompok di ujung ranting. Masing-masing penggabungan daun terdiri dari 30-40 kumpulan daun. Masing-masing sekelompok daun kirakira 5-20 cm panjangnya dan 1,5-6 cm luasnya. Anak daun berhadapan, berbentuk lanset atau agak berbentuk bundar telur dengan ujung agak meruncing. Akar utama, berbentuk silinder biasanya tidak bercabang, berwarna putih kekuningkuningan di dalamnya dan sangat pahit (Ismail et al 1999). Tanaman ini merupakan tanaman dioecious, yaitu mempunyai dua jenis kelamin bunga. Bunga yang berwarna merah kejinggaan keluar dari ketiak daun dan seluruh bagiannya berbulu-bulu halus dengan benjolan kelenjar di ujungnya. Bunga jantan tumbuh dengan putik steril. Sementara bunga betina juga dilengkapi dengan benang sari steril. Buahnya berbentuk elips, berwarna hijau dan berubah menjadi hitam kemerahan saat masak (Sinar Harapan, 2003). Biji pasak bumi terdiri dari dua kotiledon diliputi dengan lapisan membran yang tipis, diikuti dengan endokap yang keras dan eksokap yang tipis di bagian luar (Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Bunga dan buah pasak bumi selalu tumbuh sepanjang tahun. Biasanya bunga mekar sekitar bulan Juni sampai Juli. Sementara buahnya masak pada bulan September (Sinar Harapan, 2003). Persyaratan Tumbuh Pasak Bumi (E. longifolia) Tanaman pasak bumi tumbuh dengan baik di hutan tropika yang bertanah pasir (Nooteboom, 1972 dalam Siregar, 2000). Biasanya pasak bumi hidup di hutan dekat pantai, baik itu hutan primer atau sekunder. Temperatur area yang
dimiliki rata-rata 25 0 C dengan kelembaban udara 86 %. Tanaman ini juga suka tumbuh di tanah masam dan berpasir, 700 meter di atas permukaan laut. Setelah melalui masa muda, tanaman ini membutuhkan lebih banyak sinar matahari untuk membantu perkembangan vegetatif dan sistem reproduksinya (Sinar Harapan, 2003). Perkecambahan Benih Perkecambahan adalah permulaan munculnya pertumbuhan aktif yang menghasilkan pecahnya kulit biji dan munculnya semai. Perkecambahan meliputi peristiwa-peristiwa fisiologis dan morfologis sebagai berikut: (1) imbibisi dan absorpsi air, (2) hidrasi jaringan, (3) absorpsi oksigen, (4) pengaktifan enzim dan pencernaan, (5) transpor molekul yang terhidrolisis ke sumbu embrio, (6) peningkatan respirasi dan asimilasi, (7) inisiasi pembelahan dan pembesaran sel, dan (8) munculnya embrio (Gardner et al 1991). Proses awal perkecambahan adalah proses imbibisi, yaitu masuknya air ke dalam benih sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai persentase tertentu (antara 50-60%). Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeabel terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu. Bersamaan dengan proses imbibisi akan terjadi peningkatan laju respirasi yang akan mengaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya sehingga terjadi proses perombakan cadangan makanan (katabolisme) yang akan menghasilkan energi ATP dan unsur hara yang diikuti oleh pembentukan senyawa protein (anabolisme / sintesis protein) untuk pembentukan sel-sel baru pada embrio. Kedua proses ini terjadi secara berurutan dan pada tempat yang berbeda. Akibat terjadinya proses
imbibisi kulit benih akan menjadi lunak dan retak-retak. Pembentukan sel-sel baru pada embrio akan diikuti proses difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Kedua bagian ini akan bertambah besar sehingga akhirnya benih akan berkecambah (emergence) (Kuswanto, 1996). Menurut Sutopo (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih terdiri dari faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam yang mempengaruhi perkecambahan benih antara lain adalah: 1. Tingkat kemasakan benih. Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai tidak mempunyai viabilitas tinggi. Bahkan pada beberapa jenis tanaman, benih yang demikian tidak akan dapat berkecambah. Diduga pada tingkatan tersebut benih belum memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio belum sempurna. 2. Ukuran benih Di dalam jaringan penyimpanannya benih memiliki karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Dimana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku dan energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dibandingkan dengan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar. 3. Dormansi Periode dormansi ini dapat berlangsung musiman atau dapat juga selama beberapa tahun, tergantung pada jenis benih dan tipe dormansinya.
4. Penghambat perkecambahan Banyak zat-zat yang diketahui dapat menghambat perkecambahan benih, diantaranya larutan dengan tingkat osmotik tinggi seperti larutan mannitol dan larutan NaCl; bahan-bahan yang mengganggu lintasan metabolisme, umumnya menghambat respirasi seperti sianida dan fluorida; Herbisida; Coumarin; Auxin; dan bahan-bahan yang terkandung dalam buah. Menurut Kuswanto (1996), faktor luar (lingkungan) yang mempengaruhi perkecambahan antara lain adalah: 1. Air. Air merupakan salah satu faktor yang mutlak diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh faktor lain, seperti pemberian rangsangan atau perlakuan untuk memacu agar benih dapat berkecambah. Benih hanya akan berkecambah jika kadar airnya mencapai 50 60 %. 2. Komposisi gas Benih yang telah berimbibisi akan meningkatkan laju respirasi karena kenaikan aktivitas enzim pernafasan akan mengakibatkan kebutuhan oksigen (O 2 ) juga meningkat. Seringkali dijumpai benih dengan kulit benih yang impermeabel terhadap gas-gas, sehingga menghambat proses pernafasan yang akan mengakibatkan tidak terjadinya proses perkecambahan. Untuk mengatasinya perlu diberi perlakuan secara fisik, mekanis, kimiawi atau biologis sehingga kulit benih menjadi permeabel terhadap berbagai gas. 3. Suhu. Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses perkecambahan benih karena suhu berkaitan erat dengan laju pernafasan dan
aktivitas enzim-enzim yang terdapat di dalam benih tersebut. Suhu juga mempengaruhi sintesis dan kepekaan benih terhadap cahaya. Suhu yang dibutuhkan selama proses perkecambahan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Suhu minimum, yaitu suhu terendah di mana benih masih dapat berkecambah secara normal, dan di bawah suhu tersebut benih tidak dapat berkecambah secara normal atau bahkan tidak berkecambah sama sekali. b. Suhu optimum, yaitu suhu yang paling sesuai untuk perkecambahan benih. c. Suhu maksimum, yaitu suhu tertinggi di mana benih masih dapat berkecambah secara normal dan bila perkecambahan terjadi di atas suhu maksimum ini maka benih akan berkecambah secara tidak normal atau bahkan tidak dapat berkecambah. 4. Cahaya. Selama proses perkecambahan ada benih yang membutuhkan cahaya, terutama benih yang memiliki pigmen pada kulitnya yang berfungsi sebagai fotosel yang dapat mengubah cahaya matahari menjadi energi yang dapat membantu meningkatkan laju respirasi dan sebagai energi untuk reaksi kimiawi yang bersifat endodermis. Menurut Sutopo (2002), kebutuhan benih terhadap cahaya untuk perkecambahannya berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman. Berdasarkan pengaruh cahaya terhadap perkecambahan benih diklasifikasikan atas 4 golongan, yaitu golongan yang memerlukan cahaya secara mutlak untuk perkecambahan, golongan yang memerlukan cahaya untuk perkecambahan, golongan dimana benih dapat menghambat perkecambahan dan golongan dimana benih dapat berkecambah sama baik ditempat gelap atau ada cahaya.
5. Medium. Medium yang baik untuk perkecambahan benih haruslah mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyimpan air serta bebas dari organisme penyakit terutama cendawan. Menurut Kartasapoetra (2003), tipe perkecambahan benih mungkin saja hipogeal atau mungkin pula epigeal. Pada kecambah hipogeal kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah karena hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah. Tetapi pada kecambah epigeal kotiledon terangkat ke atas karena hipokotil bertambah panjang lebih cepat dari epikotil. Dormansi Benih Menurut Gardner et al (1991), dormansi yaitu suatu keadaan pertumbuhan yang tertunda atau dalam keadaan istirahat, yang merupakan kondisi yang berlangsung selama periode yang tidak terbatas walaupun berada dalam keadaan yang menguntungkan untuk perkecambahan. Dormansi merupakan keadaan biji tetap viable (hidup), tapi tak mampu berkecambah atau tumbuh karena alasan kondisi luar atau kondisi dalam benih. Kondisi dalam yang dimaksud adalah embrio belum mencapai kematangan morfologis dan kondisi luar yang dimaksud adalah kondisi biji seperti biji terlalu kering atau terlalu dingin (Salisbury dan Ross, 1995). Ditambahkan oleh Mugnisjah (1994), dormansi juga dapat sebagai salah satu strategi benih-benih tumbuhan agar dapat mengatasi lingkungan sub optimum guna mempertahankan kelanjutan spesiesnya. Menurut Sutopo (2002), dormansi benih terbagi atas dua tipe, yaitu dormansi fisik dan dormansi fisiologis.
a. Dormansi Fisik Dormansi fisik: yang menyebabkan pembatasan struktural terhadap perkecambahan, seperti: kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada beberapa jenis benih tanaman. Penyebab dormansi fisik ini antara lain: - Impermeabilitas kulit biji terhadap air - Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio - Permeabilitas yang rendah dari kulit terhadap gas-gas b. Dormansi Fisiologis Dormansi fisiologis: dapat disebabkan oleh sejumlah mekanisme, umumnya dapat disebabkan pengatur tumbuh baik penghambat atau perangsang tumbuh, dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor dalam seperti immaturity atau ketidakmasakan embrio, dan sebab-sebab fisiologis lainnya. Menurut Kuswanto (1996), peristiwa dormansi ini terjadi karena faktorfaktor sebagai berikut: 1. Ketidakdewasaan embrio. Hal ini terjadi karena benih sudah dipanen sebelum mencapai masak fisiologis atau karena adanya hambatan perkembangan embrio. 2. Kebutuhan faktor khusus. Artinya, untuk mengecambahkan benih tersebut diperlukan perlakuan khusus agar benih dapat berkecambah. 3. Kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas sehingga tidak terjadi imbibisi dan oksigen tidak dapat masuk ke dalam benih sehingga proses perkecambahan tidak berlangsung.
4. Halangan perkembangan embrio atau hambatan mekanis. Hal ini disebabkan kulit benih yang terlalu keras sehingga pada waktu benih berimbibisi kulit benih tidak melunak atau retak-retak sehingga embrio tidak dapat keluar akibatnya benih tidak berkecambah. 5. Adanya zat penghambat di dalam benih atau permukaan benih dengan konsentrasi yang masih cukup tinggi setelah benih berimbibisi sehingga mengakibatkan proses perkecambahan benih jadi terhambat. Perlakuan Pematahan Dormansi Menurut Sutopo (2002), dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan perlakuan agar dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansinya dapat dipersingkat. 1. Perlakuan Mekanis Perlakuan mekanis umum dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas, resistensi mekanis yang terdapat pada kulit biji. Perlakuan mekanis yang dilakukan yaitu dengan mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas ampelas yang bertujuan untuk melemahkan kulit biji yang keras, sehingga lebih permeabel terhadap air atau gas. 2. Perlakuan Kimia Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sering pula dilakukan untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Menurut
Kartasapoetra (2003), penggunaan zat kimia KNO 3 sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan O 2. 3. Perlakuan Perendaman dengan Air Beberapa jenis benih terkadang diberi perlakuan perendaman di dalam air dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. 4. Perlakuan Pemberian Temperatur Tertentu Banyak benih yang perlu dikenai temperatur tertentu sebelum dapat diletakkan pada temperatur yang cocok untuk perkecambahannya. Pada saat pemberiaan perlakuan temperatur terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang berakibat menghilangnya bahan-bahan penghambat pertumbuhan atau terjadinya pembentukan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan.
Pembahasan Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan pematahan dormansi terhadap benih pasak bumi (E. longifolia) memberi pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu umur berkecambah, persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan perkecambahan dan laju perkecambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan dapat lebih meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Pada perlakuan pengampelasan proses perkecambahan menjadi lebih cepat dan persentase perkecambahan yang diperoleh lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari hasil nilai rataan yang diperoleh pada beberapa parameter pengamatan yang menghasilkan nilai terbaik. Perlakuan pengampelasan menghasilkan umur berkecambah tercepat yaitu 14,00 hari setelah tanam, dan menghasilkan nilai rataan tertinggi pada parameter persentase perkecambahan (66,67 %) dan kecepatan perkecambahan (0,57). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengampelasan lebih baik jika dibandingkan perlakuan yang lainnya untuk menghasilkan perkecambahan. Dengan perlakuan pengampelasan, kulit biji menjadi semakin tipis yang akan mempermudah masuknya air dan gas sehingga terjadi proses imbibisi dan semakin cepat pula benih dapat menembus kulit biji dalam melakukan proses perkecambahan. Menurut Sutopo (2002), dengan pengikisan menggunakan kertas ampelas luas permukaan kulit yang menjadi tipis lebih luas sehingga air dan udara yang berperan dalam proses perkecambahan menjadi lebih mudah masuk, sehingga terjadi proses imbibisi yang merupakan proses awal dari suatu perkecambahan.
Perlakuan perendaman dengan KNO 3 0,9 % selama 15 menit juga menghasilkan nilai rataan yang cukup baik bagi perkecambahan benih, dimana perlakuan perendaman dengan KNO 3 ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengampelasan pada seluruh parameter yang diamati, yang dapat terlihat pada Lampiran 18. Dengan demikian perlakuan perendaman dengan KNO 3 juga dapat meningkatkan perkecambahan. Hal ini dikarenakan pada perlakuan perendaman dengan KNO 3 selain dapat mempercepat melunakkan kulit benih yang keras, KNO 3 juga berfungsi sebagai pengganti fungsi suhu dan mempercepat penerimaan oksigen pada benih, sehingga terjadi proses imbibisi dan benih dapat lebih mudah berkembang dan berkecambah. Sutopo (2002), mengatakan bahwa dengan menggunakan bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Ditambahkan oleh Kartasapoetra (2003), bahwa penggunaan zat kimia KNO 3 sebagai pengganti fungsi cahaya dan suhu serta untuk mempercepat penerimaan benih akan oksigen. Tahap awal dari suatu perkecambahan yaitu terjadinya imbibisi, dimana air dan gas masuk ke dalam benih sehingga mengaktifkan enzim-enzim yang akan melakukan perombakan cadangan makanan untuk menghasilkan energi yang akhirnya akan terjadi pembentukan sel-sel baru pada embrio dan diikuti proses difrensiasi sel-sel sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun serta radikula yang merupakan bakal akar. Pada Lampiran 17 dapat terlihat beberapa tahapan setelah benih berkecambah. Dari hasil yang diperoleh pada perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia) terdapat perkecambahan yang normal dan perkecambahan yang tidak normal (abnormal), dimana pada
perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer yang dapat dilihat pada Lampiran 19. Kartasapoetra (2003), menyatakan bahwa salah satu ciri perkecambahan abnormal adalah gundul tidak terdapat tunas ujung dan tidak ada daun primer. Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat pada Tabel 3 bahwa perlakuan perendaman dengan KNO 3 memiliki nilai tertinggi pada parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan perlakuan pengampelasan yang memiliki nilai persentase perkecambahan tertinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada saat pengampelasan kulit biji terjadi pelukaan pada bagian embrio benih terutama bagian titik tumbuh sehingga menghasilkan perkecambahan yang abnormal. Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan berbanding lurus dengan umur berkecambah dan persentase perkecambahan. Semakin cepat umur berkecambah dan semakin tinggi persentase perkecambahan maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, hal ini dapat terlihat dari hasil pengamatan yang diperoleh pada setiap perlakuan. Menurut Sutopo (2002), bahwa ada hubungan antara kecepatan perkecambahan dengan tinggi rendahnya produksi tanam. Laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan air (23,00 hari), dimana hasil ini cukup jauh berbeda jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (39,05 hari). Dari hasil ini dapat terlihat bahwa perlakuan perendaman dengan air selama 24 jam telah mampu mempercepat laju perkecambahan dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Namun pada perlakuan perendaman dengan air ini hasil yang diperoleh pada parameter
pengamatan yang lainnya merupakan nilai yang cukup rendah terutama pada persentase perkecambahan (6,67 %) jika dibandingkan dengan perlakuan lain yang memiliki perkecambahan. Hal ini terjadi karena pada perlakuan perendaman dengan air hanya sedikit benih yang berkecambah, sehingga waktu atau hari yang dibutuhkan oleh benih yang berkecambah juga semakin sedikit atau lebih singkat dari perlakuan lainnya yang memiliki hasil perkecambahan yang lebih banyak. Dengan sedikitnya jumlah benih yang berkecambah dapat diduga bahwa perendaman dengan air selama 24 jam masih kurang optimal untuk melemahkan kulit benih yang impermeabel terhadap air dan gas, sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan perendaman dengan air masih kurang baik untuk meningkatkan perkecambahan benih pasak bumi (E. longifolia). Perlakuan pengovenan selama 30 menit dengan suhu 120 0 C memberikan pengaruh yang buruk terhadap perkecambahan, dimana pada perlakuan pengovenan ini benih tidak ada yang berkecambah. Hal ini diduga karena terlalu lamanya waktu dan tingginya suhu yang digunakan pada saat pengovenan yang menyebabkan rusaknya jaringan-jaringan di dalam benih sehingga menyebabkan kematian pada embrio benih yang menyebabkan benih tidak dapat berkecambah. Menurut Sutopo (2002), suhu adalah salah satu faktor yang berperan dalam proses perkecambahan, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya proses perkecambahan bahkan dapat mengakibatkan kematian dan kecambah tidak normal (abnormal).