BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Hati merupakan salah satu organ yang paling banyak mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama hati menerima 89% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal. Substansi zatzat toksik termasuk tumbuhan, fungi, logam, mineral dan zat-zat kimia lainnya yang diserap ke dalam portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan sebagai biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen yang dieliminasi tubuh. Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi hati ikan mas (Cyprinus carpio L) selama penelitian(lampiran 9) kerusakan hati dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2. Pengamatan Kerusakan Hati Ikan Mas Sampel Preparat Histologi Hati Stasiun 1 2 3 Pembanding (Subang) Ulangan Ikan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Ulangan Preparat Total Nilai Kerusakan 1 13 2 13 1 11 2 9 1 9 2 9 1 8 2 8 1 6 2 10 1 7 2 7 1 5 2 7 1 5 2 6 1 6 2 7 1 4 2 6 1 4 2 4 1 4 2 4 Rata-Rata Nilai Kerusakan Kategori Tingkat Kerusakan 13,0 Berat 10,0 Sedang 9,0 Sedang 8,0 Sedang 8,0 Sedang 7,0 Ringan 6,0 Ringan 6,0 Ringan 7,0 Ringan 5,0 Ringan 4,0 Sedikit 4,0 Sedikit Jumlah Rata-Rata Nilai Kerusakan 32 23 19 13 23
24 4.1.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Di Kertajaya (Stasiun 1) Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 2) tingkat kerusakan hati yang terjadi di Daerah Kertajaya (Stasiun 1) tergolong sedang dengan jumlah rata-rata nilai kerusakan sebesar 32. Kerusakan hati yang terjadi di Kertajaya (Stasiun 1) lebih besar dibandingkan dengan kerusakan hati yang terjadi di Margaluyu (Stasiun 2) dan di Margalaksana (Stasiun 3), hal ini kemungkinan di Daerah Kertajaya (Stasiun 1) mempunyai kualitas air yang buruk dibandingkan dengan di Daerah Margaluyu (Stasiun 2) dan Daerah Margalaksana (Stasiun 3). Hal ini didukung dengan Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Air Waduk Cirata Badan Pengelolaan Waduk Cirata (2012) status mutu kualitas air pada Kertajaya yang merupakan Daerah Muara Sungai Citarum (Stasiun 1) yang paling buruk yang dapat dilihat pada lembar Lampiran 8. Hal ini kemungkinan bahan pencemar dari limbah pabrik dan domestik yang terdapat di Sungai Citarum terbawa dan ikut mencemari perairan di Muara Sungai Citarum. Bahan pencemar tersebut akan mengalami proses pengendapan dan penyebaran zat pencemar sehingga terakumulsi dalam jumlah dan konsentrasi yang cukup besar pada Muara Sungai Citarum yang merupakan Daerah Kertajaya (Stasiun 1). Kerusakan hati yang terjadi pada ikan di Kertajaya (Stasiun 1) terlihat lebih besar dan meningkat dibandingkan dengan ikan mas dari Subang (Tabel 2). Gambaran kerusakan hati ikan dapat dilihat pada Gambar 4a. Karyohexsis Vena Sentralis Piknosis Karyolisis (a) Keterangan : (a) Hati Ikan Mas Mengalami Nekrosis (Piknosis, Karyohexsis dan Karyolisis). (b) Hati Ikan Mas Normal dengan Pembesaran 400x dan Pewarnaan H-E. Gambar 4 a-b. Perbandingan Mikroanatomi Hati yang Mengalami Nekrosis dengan Hati Normal pada Ikan Mas (b)
25 Gambar 4a merupakan salah satu kerusakan hati yang terjadi di Daerah Kertajaya yang berupa Nekrosis dan Gambar 4b merupakan mikroanatomi hati normal. Nekrosis yang terjadi pada perubahan hati ikan mas di Daerah Kertajaya (Stasiun 1) cukup banyak. Nekrosis merupakan kematian lokal jaringan dalam tubuh individu yang masih hidup. Hal ini perlu diamati karena kerusakannya terjadi pada saat hewan tersebut masih hidup, sehingga merupakan bahan pemeriksaan dalam menentukan penyebab kematian hewan tersebut. Nekrosis ditandai dengan adanya piknosis, karyohexis dan karyolisis. Piknosis ditandai dengan pengerutan inti sel, karyohexis ditandai dengan inti hancur dan pecahanpecahan kromatinnya tersebar dalam sel dan karyolisis ditandai dengan inti sel kehilangan kemampuan untuk diwarnai (pucat) atau tampak samar-samar berongga dan menghilang. Adanya nekrosis akan menyebabkan respon peradangan pada jaringan yang masih hidup. Respon peradangan ditunjukkan pada Gambar 5a. Kongesti Vena Sentralis (a) Keterangan : (a) Hati Ikan Mas mengalami Kongesti (b) Hati ikan Mas Normal dengan Pembesaran 400x dan Pewarnaan H-E. Gambar 5 a-b. Perbandingan Mikroanatomi Hati yang Mengalami Kongesti dengan Hati Normal pada Ikan Mas Respon peradangan dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan hati ikan yang mengalami kongesti Gambar 5a dan Mikroanatomi hati ikan mas normal pada Gambar 5b. Kongesti adalah pembendungan darah yang disebabkan karena gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. (b)
26 Terjadinya kongesti didahului dengan pembengkakan sel. Pembengkakan sel (Degenerasi Vakuola) adalah bertambahnya ukuran sel akibat penimbunan air dalam sel, dimana sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat (Ressang 1984). Pembengkakan sel disebabkan peningkatan permeabilitas sel, dimana sel tidak mampu mempertahankan homeostatis ion dan cairan sehingga terjadi perpindahan cairan ekstrasel ke dalam sel. Pembengkakan sel hati ditandai dengan adanya vakuola (ruang-ruang kosong) akibat hepatosit membengkak yang menyebakan sinusoid menyempit, sitoplasma tampak keruh. Pembengkakan sel terjadi karena muatan ion di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak setimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na+ keluar dari sel menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler kedalam sel sehingga sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup. Hal ini akan menyebabkan sel membengkak sehingga sel akan kehilangan integritas membrannya. Sel akan mengeluarkan materi sel keluar kemudian akan terjadi kematian sel (nekrosis). Pembengkakan sel atau degenerasi vakuola bersifat reversibel sehingga apabila paparan zat toksik tidak berlanjut maka sel dapat kembali normal, namun jika pengaruh zat toksik berlangsung lama maka sel tidak dapat mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh zat toksik tersebut. Saleh (1996) dalam Permana (2009) mengatakan pembengkakan dapat terjadi oleh infeksi, demam, keracunan, suhu yang terlalu rendah atau tinggi, gizi buruk dan gangguan sirkulasi. Pembengkakan sel ditunjukkan pada Gambar 6a.
27 Vena Sentralis Deg Hidropis Deg Lemak (a) Keterangan : (a)hati Ikan Mas Mengalami Degenerasi Lemak dan Degenerasi Hidropis. (b) Hati ikan Mas Normal dengan Pembesaran 400x dan Pewarnaan H-E Gambar 6 a-b. Perbandingan Mikroanatomi Hati yang Mengalami Degenarasi Lemak dan Degenerasi Hidropis dengan Hati Normal pada Ikan Mas Pembengkakan sel atau degenerasi sel dapat berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak dapat ditunjukan pada Gambar 6a dan mikroanatomi hati ikan mas normal ditunjukan pada Gambar 6b. Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel berupa pembengkakan sitoplasma yang berisi cairan akibat kerusakan membran sel. Degenerasi hidropis terjadi sebagai respon sekunder akibat hipoksia, toksin, radikal bebas, virus, bakteri, dan terjadi luka bermediasi imun (McGavin et al 2007). Pengamatan histopatologi pada sel yang mengalami degenerasi hidropis akan tampak seperti vakuola berisi cairan dan sitoplasma membengkak (Underwood 1992). Degenerasi lemak terjadi sebagai respon lanjut dari degenerasi hidropis, dimana sel tidak mampu melakukan metabolisme lemak dengan baik sehingga terjadi akumulasi lemak pada sel. Akumulasi lemak dalam sel terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel hati, peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksik yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak (Cheville 1999). Tahapan reaksi peradangan pada mikroanatomi hati ikan mas yang dapat ditunjukan dengan adanya MMC (Melano Makrofag Center). MMC (Melano Makrofag Center) dapat dilihat pada Gambar 7. (b)
28 Gambar 7. MMC (Melano Makrofag Center) dengan Pembesaran 400x dan Pewarnaan H-E Pada Gambar 7 yang merupakan MMC (Melano Makrofag Center) ditemukan disetiap sampel hati ikan mas pada 3 stasiun pengamatan. MMC (Melano Makrofag Center) merupakan tahapan reaksi peradangan. Menurut Robet (1978) poliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada ikan. Ikan memiliki kumpulan-kumpulan dari makrofag, yang lebih dikenal dengan pusat melano-makrofag (MMCs). MMCs melokalisir akumulasi makrofag-makrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMCs banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid pada kebanyakan kelompok teleost. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak jelas, hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari melanin dan kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Ellis (1981) menyatakan bahwa melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas. Pada organisme yang lebih tinggi, melanin memiliki peran yang luas dalam perlindungan melawan invasi parasit tertentu pada jaringan dan juga pertahanan melawan mekanisme yang berpotensi menimbulkan bahaya pada organisme itu sendiri, selama pengaktifan sistim pertahanan dalam tubuh.
29 4.1.2 Kerusakan Hati Ikan Mas Di Margaluyu (Stasiun 2). Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 2) kategori tingkat kerusakan hati yang terjadi di Daerah Margaluyu (Stasiun 2) tergolong sedang dengan jumlah rata-rata kerusakan sebesar 23. Kerusakan hati yang terjadi di Daerah Margaluyu (Stasiun 2) lebih besar dibandingkan dengan Daerah Margalaksana (Stasiun 3), hal ini dikarenakan pada Daerah Margaluyu Stasiun 2 mempunyai kualitas air yang lebih buruk daripada Stasiun 3 dan didukung dengan padatnya keramba jaring apung. Data BPWC 2012 menyebutkan bahwa kepadatan budidaya KJA di Waduk Cirata yang cukup padat terdapat di daerah Margaluyu. Salah satu yang mengakibatkan turunnya kualitas air di Waduk Cirata adalah tingkat kegiatan budidaya yang melebihi batas. Kegiatan tersebut akan berkontribusi terhadap peningkatan pencemaran, yang disebabkan oleh pakan yang diberikan pada ikan yang dibudidayakan mengandung logam berat (Lampiran 1). Maka semakin banyak kegiatan KJA di perairan akan semakin meningkat beban pencemarannya sehingga menurunkan kualitas perairan tersebut. Kerusakan hati yang terjadi pada ikan di Daerah Margaluyu (Stasiun 2) terlihat lebih besar dan meningkat dibandingkan dengan ikan mas dari Subang (Tabel 2). Kerusakan hati yang ditemukan di Daerah Margaluyu (Stasiun 2) antara lain Nekrosis, Kongesti, Degenerasi hidropis, Degenerasi Lemak, dan Melano Makrofag Center (MMC). Jenis-jenis kerusakan yang terjadi di Daerah Margaluyu (Stasiun 2) sama dengan yang terjadi di Daerah Kertajaya (Stasiun 1), namun pada Stasiun 2 jumlah rata-rata nilai kerusakan hati lebih sedikit dibandingkan dengan di Daerah Kertajya (Stasiun 1). 4.1.3 Kerusakan Hati Ikan Mas Di Margalaksana (Stasiun 3) Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 2) kategori tingkat kerusakan hati yang terjadi di Daerah Margalaksana (Stasiun 3) tergolong ringan dengan jumlah rata-rata kerusakan hati sebesar 19. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan hati yang terjadi tidak lebih parah jika dibandingkan dengan kerusakan hati yang terjadi di Daerah Kertajaya (Stasiun 1) dan Daerah Margaluyu (Stasiun 2). Hal ini
30 dikarenakan Daerah Margalaksana (Stasiun 3) berada di daerah batas berbahaya dimana daerah tersebut dekat dengan zona inti, pada zona tersebut tidak diperbolehkan melalukan kegiataan/aktivitas apapun. Sehingga di Daerah Margalaksana mempunyai kualitas air yang lebih baik dibandingkan dengan Daerah Kertajaya (Stasiun 1) dan Daerah Margaluyu (Stasiun 2). Kerusakan organ hati ikan yang terjadi pada di Daerah Margalaksana (Stasiun 3) terlihat lebih besar dan meningkat dibandingkan dengan ikan mas dari Subang (Tabel 2). Kerusakan hati yang ditemukan pada Daerah Margalaksana (Stasiun 3) antara lain Nekrosis, Kongesti, Degenerasi hidropis, Degenerasi Lemak, dan Melano Makrofag Center (MMC). 4.2 Pengamatan Kualitas Air Hasil pengamatan di lapangan tentang pengukuran kualitas fisik dan kimia air Waduk Cirata Jawa Barat disajikan pada Tabel 4. Tempat Tabel 4. Pengamatan Kualitas Air Suhu DO ( 0 ph C ) (mg/l) Amonia (mg/l) Stasiun 1 31,5 7,50 6,1 0,02 Stasiun 2 31,5 7,99 6,0 0,03 Stasiun 3 31,0 7,60 6,5 0,02 Subang 29,0 7,12 7,1 0,006 Kisaran 25-30 1) 6,5-8,5 1) >5 1) <0,02 2) Sumber : SNI (2000) 1) PP No 82 (2001) 2) Hasil pengukuran suhu pada Daerah Kertajaya (Stasiun 1), Daerah Margaluyu (Stasiun 2) dan Daerah Margalaksana (Stasiun 3) menunjukkan suhu masing-masing Stasiun tersebut yaitu 31,5 0 C, 31,5 0 C dan 30 0 C. Suhu tertinggi terdapat pada Daerah Kertajaya (Stasiun 1) dan Daerah Margaluyu (Stasiun 2), hal ini kemungkinan dikarenakan pada Daerah Kertajaya (Stasiun 1) merupakan muara sungai citarum yang banyak terdapat beban pencemaran (dapat dilihat pada lampiran 8) dan pada Daerah Margaluyu (Stasiun 2) yang merupakan lokasi tengah waduk yang jumlah keramba jaring apung (KJA) yang terpadat. Suhu
31 pada kedua Stasiun tersebut melampaui batas optimal untuk budidaya ikan mas, menurut SNI 2000, suhu yang baik untuk ikan mas berkisar antara 25 o C- 30 o C. Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya keramba jaring apung (KJA), karena perubahan suhu dapat berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Suhu air berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap faktor-faktor seperti aktivitas enzim dan tingkat metabolisme. Peningkatan suhu dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap racun seperti logam. Selain itu menurut Kusumastanto (2004) dalam Nur (2011) bahwa konsentrasi logam berat terakumulasi dengan meningkatnya suhu lingkungan. Hasil pengukuran ph pada Daerah Kertajaya (Stasiun 1), Daerah Margaluyu (Stasiun 2) dan Daerah Margalaksana (Stasiun 3) menunjukkan bahwa ph pada masing-masing Stasiun tersebut yaitu 7,5 ; 7,99 dan 7,6. Nilai ph yang terdapat di masing-masing Stasiun menunjukkan dimana kondisi tersebut masih dalam batas kelayakan untuk kehidupan ikan mas, sesuai SNI (2000) nilai ph yang baik untuk budidaya ikan mas adalah 6,5 8,5. Connel dan Miller (1995) menyatakan kenaikan ph diperairan akan diikuti dengan penurunan kelarutan logam berat sehingga logam cenderung mengendap. Hasil pengukuran DO pada Daerah Kertajaya (Stasiun 1), Daerah Margaluyu (Stasiun 2) dan Daerah Margalaksana (Stasiun 3) menunjukkan bahwa DO pada masing-masing Stasiun tersebut yaitu 6,1 ; 6 dan 6,5. Nilai DO tertinggi terdapat di Daerah Margalaksana (Stasiun 3). Nilai DO yang terdapat di masingmasing Stasiun menunjukkan dimana kondisi tersebut masih dalam batas kelayakan untuk kehidupan ikan mas, sesuai SNI (2000) nilai DO yang baik untuk budidaya ikan mas lebih dari 5 mg/l. Connel dan Miller (1995) menyebutkan DO merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kadar logam berat pada organisme air. Rendahnya DO akan meningkatkan laju respirasi ikan tersebut, sehingga dapat meningkatkan racun atau bahan kimia yang masuk kedalam tubuh ikan. Kandungan O 2 terlarut dalam suatu perairan dan dapat mempengaruhi daya tahan organisme akuatik terhadap pengaruh letal suatu kontaminan.
32 Hasil pengukuran amonia pada Daerah Kertajaya (Stasiun 1), Daerah Margaluyu (Stasiun 2) dan Daerah Margalaksana (Stasiun 3) menunjukkan bahwa amonia pada masing-masing Stasiun tersebut yaitu 0,02 ; 0,03 dan 0,02. Nilai amonia tertinggi terjadi di Daerah Margaluyu (Stasiun 2), hal ini terjadi kemungkinan karena kepadatan KJA di Stasiun tersebut cukup tinggi. Menurut data BPWC 2012 Daerah Tengah Waduk merupakan daerah yang paling banyak terdapat keramba jaring apung (KJA). Menurut Lesmana dan Darmawan (2001) dalam Nur (2011), amonia merupakan gas buangan terlarut hasil metabolisme ikan oleh perombakan protein, baik dari kotoran ikan sendiri maupun sisa pakan. Sisa pakan biasanya akan membusuk sehingga kadar amonia meningkat. Kisaran nilai kualitas fisik-kimia air Waduk Cirata yang diperoleh dalam pengukuran selama penelitian yang tersaji pada Tabel 4, apabila dibandingkan dengan nilai Baku Mutu parameter kualitas fisik-kimia perairan untuk kehidupan ikan ternyata kualitas fisik-kimia air uji pada umumnya masih berada dalam kisaran yang layak bagi kehidupan ikan menurut (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air).