PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING

dokumen-dokumen yang mirip
Terdapat berbagai jenis Program OPD tahun Dinas Pertanian perkebunan dan kehutanan. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PENGANTAR AGRIBISNIS

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi, keseimbangan bidang pertanian dengan industri Pembangunan ekonomi berbasiskan kerakyatan; Pembangunan ekono

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KONSOLIDASI USAHATANI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI (RDK) DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI (RDKK)

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

BUPATI PASURUAN PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM INTENSIFIKASI PERTANIAN KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang artinya sektor pertanian

Penilaian Kepuasan Penggunaan Alat dan Mesin Dalam Pengembangan Padi (Studi Kasus Kabupaten Ngawi dan Sragen) Sugiyono 1, Rahmat Yanuar 2, Sutrisno 3

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

POLA PENGEMBANGAN KOMODITI JAGUNG HIBRIDA. di KAB. SUMBA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

PENETAPAN KINERJA ( PK ) TAHUN 2013 (REVISI) DINAS PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR

TUGAS POKOK DAN FUNGSI SATUAN KERJA DINAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PENGANTAR. Ir. Suprapti

STRATEGI DAN PROGRAM PRIORITAS PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT KABUPATEN PASER BIDANG INDUSTRI TANAMAN PANGAN TAHUN 2018

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 25/Permentan/PL.130/5/2008 TENTANG PEDOMAN PENUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN USAHA PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN

Sustainabilitas Pembangunan Sektor Pertanian: Inovasi Teknologi atau Inovasi Sosial Kelembagaan BAB VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN AGENDA KE DEPAN

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN. 1. Baik pada daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, rendahnya

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERAN KOMPONEN TEKNOLOGI DALAM PERCEPATAN SWASEMBADA PANGAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

Hermanto (1993 ; 4), menyebutkan bahwa pembangunan pertanian termasuk didalamnya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

Introduction to Agribusiness. Wisynu Ari Gutama

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

PROSPEK AGRIBISNIS INDONESIA DAN PELUANG PERBANKAN 1 )

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Gerakan Rumah Pintar Petani Jawa Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

ACARA 3. KELEMBAGAAN !! Instruksi Kerja : A. Aspek Kelembagaan

A. Definisi dan Tujuan Usaha Tani

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB VI INDIKATOR KINERJA OPD YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Ir. Bambang Santosa, M.Sc NIP

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

INDEKS. biofuel 63, ceteris paribus 164 constant return to scale 156, 166

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari

MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP)

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. bermata pencaharian sebagai petani. Tercatat bahwa dari 38,29 juta orang

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Sasaran Pengertian dan Definisi...

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

PROVINSI SUMATERA SELATAN WALIKOTA PAGAR ALAM PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAGAR ALAM NOMOR TAHUN 2016

Transkripsi:

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING Sri Nuryanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A Yani 70, Bogor 16161 PENDAHULUAN Jalur distribusi produk dari produsen ke konsumen akhir yang terdiri dari satu atau lebih rantai pemasaran, umumnya harus melalui beberapa pedagang perantara. Seperti jalur distribusi komoditas pada umumnya, padi dan palawija sebelum diterima konsumen akhir harus melalui banyak pedagang pada setiap mata rantai pemasaran, yang masing-masing mengutip keuntungan, sehingga memperbesar marjin harga komoditas dari tingkat petani ke tingkat eceran. Marjin harga antara produsen dan konsumen pada kualitas yang ekuivalen merupakan indikator efektivitas dan efisiensi kegiatan pemasaran komoditas. Banyaknya pedagang perantara dalam rantai pemasaran komoditas menyebabkan inefisiensi pemasaran. Hal ini berdampak pada kerugian, baik bagi produsen yang memperoleh harga jual rendah dan juga konsumen yang membayar harga beli tinggi. Sementara itu, keuntungan jatuh di tangan para pedagang perantara. Fenomena seperti ini tidak memungkinkan petani untuk meningkatkan pendapatannya karena selalu mendapat tekanan harga dari para pedagang, sehingga posisi tawar-menawarnya menjadi rendah. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk memperpendek jalur distribusi komoditas, dengan memperkecil jumlah pelaku pemasaran yang terdapat dalam rantai pemasaran. Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah membangun suatu pola kemitraan petani dengan institusi pemasaran yang difasilitasi oleh pemerintah. KONSEP PEMBERDAYAAN Pemberdayaan adalah terjemahan dari kata empowerment, yang berasal dari kata empower yang mengandung dua pengertian 1 : (i) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pada pihak lain); dan (ii) to give ability, enable (usaha untuk memberi kemampuan). Makna pemberdayaan merupakan sebuah konsep model pembangunan dan model industri yang kurang memihak pada rakyat mayoritas 2. Seperti telah banyak 1 2 Oxford English Dictionary Sandra (2002), Memberdayakan Industri Kecil Berbasis Agroindustri di Pedesaan. http://www.rudyct.trypod.com/ (on line). 10 Januari 2003. 152

dikenal, sampai saat ini cukup banyak program pemerintah yang bertujuan memberdayakan petani namun kurang berhasil, karena hanya terkonsentrasi pada aktivitas budidaya dan kurang memperhatikan aspek pascapanen dan pemasarannya. Contohnya program KUAT (kelompok usaha agribisnis terpadu) dan corporate farming yang belum terbukti mampu secara optimal mengatasi permasalahan di tingkat petani. Permasalahan yang dihadapi petani pada umumnya adalah lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah, inefisien skala usaha karena umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar-menawar ketika panen lemah. Selain itu produk yang dihasilkan petani relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya petani di pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi pasar. Selain masalah internal petani tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur, lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan kebijakan pemerintah sangat diperlukan, guna mendorong usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar. Meskipun tidak bisa berbasis teknologi tinggi, tetapi landasan sektor pertanian yang kokoh diperlukan dalam memacu pertumbuhan perekonomian pedesaan. Pemacuan perekonomian pedesaan lambat laun bisa menyelesaikan persoalan-persoalan di desa 3. Berdasarkan permasalahan dan pemahaman kondisi eksternal petani yang demikian, maka dari beberapa model usahatani, cooperative farming dapat digunakan sebagai alternatif untuk meminimasi kelemahan yang dihadapi petani padi dan palawija. Model cooperative farming merupakan model pemberdayaan petani melalui kelompok, dengan melakukan rekayasa sosial, ekonomi, teknologi, dan nilai tambah. Rekayasa sosial dapat dilakukan dengan penguatan kelembagaan tani, penyuluhan, dan pengembangan SDM. Rekayasa ekonomi dilakukan dengan pengembangan akses permodalan untuk pengadaan saprodi dan akses pasar. Rekayasa teknologi dapat dilakukan dengan pencapaian kesepakatan teknologi anjuran dengan kebiasan petani. Terakhir, rekayasa nilai tambah dilakukan melalui pengembangan usaha off farm yang terkoordinasi secara vertikal dan horisontal. Koordinasi secara vertikal dan horizontal akan melibatkan banyak stakeholder yang diwadahi suatu kemitraan dalam penerapan model cooperative farming (Gambar 1). Stakeholder yang dapat dilibatkan dalam cooperative farming antara lain adalah petani, swasta, dan pemerintah. Petani akan bertindak sebagai anggota sekaligus pengelola. Sebagai anggota, petani harus berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan usaha on-farm dan off-farm, serta menyepakati teknologi yang akan dilaksanakan dan menerapkan teknologi tersebut. Pihak swasta sebagai penanam modal/investor melalui jalinan kemitraan cooperative farming dari sub-sistem hulu sampai ke hilir. Sebagai mitra sub-sistem hulu, pihak 3 Bungaran Saragih (2002), Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad Ke-21. http://www.202.159.18.43/jsi.htm (on line). 10 Oktober 2002. PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING Sri Nuryanti 153

swasta menanamkan modal dengan menyediakan sarana produksi pertanian, yaitu benih, pupuk, dan obat-obatan untuk berusahatani. Sebagai mitra sub-sistem hilir, pihak swasta bertanggung jawab sebagai penampung produksi dan mitra pemasaran. Sementara pemerintah akan bertindak sebagai fasilitator sekaligus katalisator dalam kegiatan perencanaan, penyusunan strategi usaha, introduksi teknologi terapan spesifik lokasi yang efisien, pengadaan modal, saprodi, dan alsintan, serta fasilitator dalam proses pemasaran hasil. Swasta Manajemen Cooperative Farming Pemerintah Manajemen Korporasi - Permodalan - Saprodi - Sarana mekanisasi Manajemen Parsial Berdasarkan Kesepakatan On-Farm Off-Farm (50 100 Ha) Manajemen Korporasi - Pengolahan hasil - Pemasaran Dukungan Saprodi dan Pelayanan Petani Pengumpulan dan Penjualan Hasil Gambar 1. Rancang Bangun Model Cooperative Farming Berbasis Padi-Palawija 4 ALASAN MEMILIH COOPERATIVE FARMING Dibandingkan dengan model lain yang pernah diterapkan pemerintah (Corporate Farming dan KUAT), cooperative farming mempunyai beberapa kriteria yang lebih sesuai dengan karakteristik pertanian Indonesia yang memiliki keragaman biofisik-sosek antar ruang yang memerlukan pengelolaan secara desentralisasi dan bottom-up. Program sebelumnya, misalnya corporate farming, lebih bersifat top-down 5. Petani pemilik lahan masih dilibatkan langsung sebagai pengelola usahatani pada setiap lahannya. Tidak ada konsolidasi lahan dan 4 5 Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (2004). Model Cooperative Farming (Berbasis Padi- Palawija) di Jawa Timur. Tungkot Sipayung (2000), Corporate Farming dan Masalah Peningkatan Produktivitas Pertanian serta Kesejahteraan Petanian. PSP IPB. 154

konsolidasi manajemen usahatani secara mutlak. Bersifat bottom-up dan diharapkan dapat berfungsi sebagai motor inovasi dan peningkatan standar kehidupan petani (Gambar 2). Kapasitas Inovasi dan Kepemimpinan Produktivitas Kesejahteraan Gambar 2. Inovasi dan Peningkatan Standar Kehidupan 6 Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) merupakan lembaga bisnis usahatani mandiri yang mewadahi kegiatan usaha agribisnis berbasis padi dengan kegiatan utama: Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT); Sistem Integrasi Padi Ternak (SIPT); Kredit Usaha Mandiri (KUM); dan Pengembangan Padi Varietas Baru (Hibrida). Meskipun KUAT tidak menerapkan konsolidasi lahan, namun dalam pengelolaan lahan dan air irigasi petani masih terdapat pola korporasi, sehingga partisipasi dan kreativitas individu petani masih kurang optimal akibat konsolidasi manajemen tersebut. Meskipun tidak terdapat konsolidasi lahan, petani penggarap tidak dapat berpartisipasi aktif mengelola dan mengairi lahannya sendiri. Sementara itu pola corporate farming dikembangkan dengan gagasan dasar konsolidasi lahan dan konsolidasi manajemen yang demikian kuat, sehingga secara nyata mengandung berbagai kelemahan konseptual maupun operasional 7. Konsep corporate farming sama sekali tidak mencerminkan pemberdayaan petani, namun lebih mencerminkan top-down policy. Konsep cooperative farming diintroduksikan dengan konsep bottom-up policy, sehingga mencerminkan partisipasi aktif petani anggotanya. Berdasarkan karakteristik model usahatani KUAT, corporate farming, dan cooperate farming tersebut, dapat dirangkum kesamaan dan perbedaan diantaranya (Tabel 1). TAHAPAN IMPLEMENTASI Mengingat penerapan model cooperative farming membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit, maka dalam mengimplementasikannya harus 6 7 Michael Porter (2003) dalam Rhenald Kasali (2004), Mengembangkan Agrobisnis Berbasis Cluster. Seminar Prospek dan Percepatan Investasi Agribisnis Perkebunan. Pantjar Simatupang (2000), Program Corporate Farming: Kelemahan Konseptual dan Bahanyanya. PSP IPB. PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING Sri Nuryanti 155

memperhatikan tahap-tahap sebagai berikut: (1) identifikasi potensi wilayah; (2) pengorganisasian petani anggota kelompok wilayah; (3) penentuan paket teknologi spesifik lokasi; (4) konsolidasi pengadaan saprodi; (5) konsolidasi pelaksanaan usaha on-farm; (6) konsolidasi kegiatan pascapanen; dan (7) konsolidasi kegiatan pemasaran. Setiap tahap implementasi merupakan faktor kritis dan menentukan keberhasilan kegiatan cooperative farming. Tabel 1. Perbedaan Model Usahatani No Kriteria KUAT Corporate Cooperative Farming Farming 1 Konsolidasi lahan Tidak ada Ada Tidak ada 2 Pengelolaan lahan dan air Korporasi Korporasi Semi korporasi irigasi 3 Pengelolaan tenaga kerja Semi korporasi Korporasi Semi korporasi 4 Pengelolaan tanam dan Semi korporasi Korporasi Semi korporasi teknologi budidaya 5 Pengelolaan saprodi dan Semi korporasi Korporasi Semi korporasi alsintan 6 Pengelolaan modal Korporasi Korporasi Korporasi kelompok 7 Pengelolaan panen Semi korporasi Korporasi Semi korporasi 8 Pengelolaan pascapanen dan pemasaran Parsial Korporasi Korporasi Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur, (2004). Wilayah yang ditentukan sebagai lokasi yang potensial untuk kegiatan cooperative farming harus memenuhi beberapa persyaratan dasar. Persyaratan dasar wilayah untuk cooperative farming adalah: (1) merupakan satu hamparan minimal 50 ha dan terdapat dalam satu jaringan irigasi tersier; (2) kelompok CF merupakan penyempurnaan kelompok tani sebelumnya; (3) kelompok CF dapat dibagi dalam beberapa sub kelompok CF pada satu jaringan irigasi tersier; dan (4) memiliki sarana/prasarana CF, antara lain kantor kelompok, kios saprodi dan modal usaha pertanian, alat mesin pertanian (pompa air, hand tractor, paddy reapper, power threser, rice milling unit, dan dryer, serta lantai jemur dan gudang). Selain harus terpenuhi persyaratan wilayah, cooperative farming harus mempunyai struktur organisasi yang mantap, dilengkapi dengan pengurus, dan terdiri dari beberapa seksi yang diperlukan dalam mendukung program usaha. Struktur organisasi dari posisi teratas terdiri dari musyawarah anggota, forum komunikasi kelompok, pengelola (manajer, sekretaris, dan bendahara), seksi-seksi, dan sub kelompok. Seksi dibentuk dengan jumlah sesuai kebutuhan (pengelolaan air, alsintan, permodalan dan saprodi, on-farm, dan off-farm). 156

MEKANISME PEMBERDAYAAN PETANI Kolaborasi antara petani, pihak swasta, dan pemerintah dalam membangun pertanian tanaman pangan khususnya padi dan palawija merupakan suatu proses integrasi aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya masyarakat. Kolaborasi tersebut telah membangun social capital dengan suatu lingkaran sinergi antar stakeholder cooperative farming dalam mencapai tujuan usaha (Gambar 3). 2 1 Lembaga Keuangan Produsen Benih Produsen Pupuk 12 Pemerintah 11 4 3 Penggilingan Padi (Kantor) 9 Mitra 10 Perbankan Pemasaran 5 8 Kelompok Tani 6 7 Cooperative Farming Petani Gambar 3. Mekanisme Kerja Cooperative Farming Lembaga keuangan dari pihak swasta akan menginvestasikan modal kepada produsen saprodi, yaitu pupuk (1) dan benih (2). Selanjutnya produsen saprodi akan menyediakan pupuk (3) dan benih (4) bagi petani yang dikoordinasikan pengelola dengan kantor/pusat kegiatan di penggilingan padi milik kelompok (5), digunakan anggota untuk berusahatani (6). Ketika panen, para anggota melakukan pascapanen terpadu (7) di penggilingan padi (8). Apabila pascapanen sudah tuntas, produk dipasarkan oleh swasta mitra pemasaran (9). Mitra pemasaran permodalannya ditunjang oleh perbankan (10). Secara periodik cooperative farming diawasi dan dievaluasi kelayakan usahanya oleh investor (11). Pemerintah secara aktif berperan sebagai fasilitator kemitraan, sekaligus katalisator komunikasi antara petani dengan pihak swasta (12). PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING Sri Nuryanti 157

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa model cooperative farming dalam penerapannya dapat secara efektif memberdayakan petani melalui kelompok tani. Kendala keterbatasan modal dapat diatasi melalui kemitraan kerja. Pencapaian target efisiensi usahatani dapat dilakukan melalui keterpaduan kegiatan penyediaan saprodi, pola tanam yang serentak, keseragaman teknologi, pascapanen terpadu, dan pemasaran yang terorganisasi. Hak pribadi masingmasing petani atas kepemilikan lahan tidak terusik tanpa adanya konsolidasi lahan. Cooperative farming secara langsung telah memberdayakan lembaga tani yang ada, yaitu kelompok tani, mengembangkan kualitas SDM melalui penyuluhan tentang pentingnya kemitraan, kesepakatan, dan kebersamaan. Selain itu, jalinan kerjasama yang terintegrasi secara vertikal dan horinsontal dengan pihak swasta, dengan fasilitator pemerintah telah mampu mengurangi cara-cara koordinasi yang bersifat top-down dan sentralistik. Pola top-down dan sentralistik masih tercermin dalam model corporate farming. Sementara dengan corporate farming pemerintah memfasilitasi petani dengan pemberdayaan secara bottom-up dan terdesentralisasi, sehingga lebih mengenai sasaran utama, yaitu mengembangkan kualitas SDM petani. Petani akan secara aktif terlibat di setiap kegiatan dan mempunyai sense of belonging yang tinggi akan keberhasilan usaha kelompoknya karena organisasi tersebut berasal/beranggotakan mereka sendiri, dikelola oleh mereka sendiri, dan keberhasilannya akan diambil manfaatnya untuk mereka sendiri. Tujuan akhirnya, rantai pemasaran menjadi pendek dan lebih efisien, sehingga petani dapat memperoleh harga yang sesuai dan meningkat pendapatannya. PENUTUP Penerapan konsep model cooperative farming diharapkan menjadi salah satu strategi pemerintah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat petani di pedesaan. Terciptanya keterkaitan sub sektor hulu (usahatani) dan sub sektor hilir (pascapanen dan pemasaran) diharapkan dapat meningkatkan efisiensi rantai pemasaran produk tanaman pangan, khususnya padi dan palawija serta produk pertanian pada umumnya. Hal terpenting adalah adanya konsistensi kebijakan pemerintah dalam setiap program yang dimplementasikan, dan tetap mendorong tercapainya kolaborasi antara pihak pemerintah dengan pihak swasta dan masyarakat, dalam rangka memberdayakan dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani. 158