BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya masyarakat yang sehat maka akan terwujud pula kecamatan, menjangkau dan dimanfaatkan oleh setiap warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

Kuesioner Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

BAB I PENDAHULUAN. 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang). 2 Hasil Riset

BAB 1 : PENDAHULUAN. merupakan hak bagi setiap orang. Untuk mewujudkannya pemerintah bertanggung

BAB I PENDAHULUAN. Mengkonsumsi rokok dan produk tembakau lainnya menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. darah. Kejadian hipertensi secara terus-menerus dapat menyebabkan. dapat menyebabkan gagal ginjal (Triyanto, 2014).

1. PENDAHULUAN. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. Rokok merupakan benda kecil yang paling banyak digemari dan tingkat

HUBUNGAN ANTARA KEANGGOTAAN ASURANSI KESEHATAN DAN KEBIASAAN MEROKOK

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica

BAB 1 PENDAHULUAN. Indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad

BAB I PENDAHULUAN. kematian yang terjadi pada tahun 2012 (WHO, 2014). Salah satu PTM

BAB 1 : PENDAHULUAN. Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah. tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memprediksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

BAB 1 : PENDAHULUAN. tempat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe, kendaraan

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian baik bagi perokok dan orang yang ada

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif)

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-Undang (UU) No.

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok. Rokok mengandung

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan silent disease yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010 prevalensi merokok

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang hak asasi manusia. Berdasarkan. kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage).

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia yang sebenarnya bisa dicegah. Sepanjang abad ke-20, telah terdapat 100

BAB I PENDAHULUAN. adalah jaminan kesehatan. Asuransi kesehatan memberi jaminan berupa

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam rangka mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengodentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 1998).

BAB I PENDAHULUAN. Bahaya merokok terhadap remaja yang utama adalah terhadap fisiknya.

BAB I. PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. WHO memperkirakan tiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia pada undang-undang Nomor 36

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

tinggi tingkat kesehatan, maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula. Berdasarkan Undang- Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 yang memuat

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak menular salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi tembakau yaitu. dan adanya kecenderungan meningkat penggunaanya.

BAB 1 : PENDAHULUAN. kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. (1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Jaminan Kesehatan Nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh warga Negara termasuk fakir miskin dan orang tidak mampu.

BAB I PENDAHULUAN. sampai saat ini telah dikenal lebih dari 25 penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok.

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. Rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, dihasilkan dari tanaman Nicotiana

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak fundamental setiap warga Negara (UUD 1945 pasal 28

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dari setiap negara. Salah satu indikatornya adalah meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tembakau pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda

BAB 1 PENDAHULUAN. Evaluasi pelaksanaan..., Arivanda Jaya, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan derajat hidup masyarakat, sehingga semua negara berupaya

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

PERAN DPR DALAM INOVASI PROGRAM DAN ANGGARAN UNTUK UPAYA PROMOTIF DAN PREVENTIF

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Isu tentang permasalahan kesehatan merupakan dua dari 17 Tujuan

DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH. mutupelayanankesehatan.

PROFIL KESEHATAN KABUPATEN BLORA 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut World Health Organization tahun 2011 stroke merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA SISWA SLTP DI KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. harus menerapkan sistem jemput bola, dan bukan hanya menunggu bola. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. degeneratif seperti kanker, memperlambat pertumbuhan anak, kanker rahim dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. beberapa indikator dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development. sosial ekonomi masyarakat (Koentjoro, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah rokok pada hakekatnya sekarang sudah menjadi masalah nasional,

BAB 1 : PENDAHULUAN. negara yang perlu dididik untuk menjadi manusia yang berkualitas. Remaja nantinya diharapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. umum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dilakukan upaya kesehatan yang. masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat.

hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok (Palutturi, 2010).

I. PENDAHULUAN. mencapai kesejahteraan. Akan tetapi, masih banyak masyarakat dunia khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Primary Health Care (PHC) di Jakarta pada Agustus 2008 menghasilkan rumusan

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN BUPATI DHARMASRAYA NOMOR : 7 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di negara-negara berkembang. Direktorat Pengawasan Narkotika,

BAB 1 PENDAHULUAN. sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kemungkinan sebelas kali mengidap penyakit paru-paru yang akan menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara bertanggung jawab mengatur masyarakat agar terpenuhi

BAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar masyarakat terpenuhi hak hidup sehatnya termasuk bagi masyarakat miskin dan tak mampu. Hal ini sesuai dengan falsafah dasar negara Pancasila terutama sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan juga ditegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Kesadaran tentang pentingnya kesehatan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat, membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang jaminan perlindungan sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Selain itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 ini juga mengamanatkan bahwa program jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk dan program jaminan kesehatan tersebut akan diatur oleh suatu badan penyelenggara jaminan sosial. Badan penyelenggara jaminan sosial kemudian diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS

Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan badan hukum publik yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. BPJS Kesehatan diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013 dan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014. Peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terdiri atas 2 kelompok yaitu: Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran. Berdasarkan situs resmi BPJS Kesehatan pada Bulan Februari 2015 jumlah peserta JKN ada sebanyak 138.524.669 jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa. Penduduk miskin Indonesia pada tahun 2014 ada sebanyak 27.727.780 jiwa. Dan provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia yaitu Jawa Timur (4.748.420), Jawa Tengah (4.561.830), Jawa Barat (4.238.960), Sumatera Utara (1.360.600), dan Lampung (1.143.930) (Website Resmi Badan Pusat Statistik, bps.go.id). Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan kesehatan. Untuk pembayaran iurannya, peserta PBI jaminan kesehatan dibayar oleh pemerintah. Iuran jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan tidak mampu akan dibayarkan pemerintah sebesar Rp 19.225 per orang per bulan. Dengan jumlah yang demikian banyak, maka diperlukan biaya yang sangat besar untuk membiayai pelayanan kesehatan peserta PBI jaminan kesehatan. Orang yang sudah memiliki asuransi kesehatan akan merasa terjamin untuk mengakses layanan kesehatan sesuka hati mereka. Kepemilikan asuransi

dan biaya premi yang sangat terjangkau atau gratis memang baik di satu sisi untuk menjamin ekuitas, namun menyimpan efek buruk di sisi lain. Hal ini membuat orang menjadi merasa terjamin mengenai masa depan layanan kesehatannya dan menyebabkan orang menjadi tidak peduli akan perilaku beresiko terhadap kesehatannya. Hal tersebut dikenal sebagai moral hazard. Oleh karena iuran kepesertaan telah dibayarkan oleh pemerintah, maka tidak jarang peserta PBI jaminan kesehatan menjadi tidak peduli terhadap resiko yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Hal inilah yang menimbulkan persepsi yang salah pada pola pikir masyarakat. Persepsi yang buruk terhadap resiko adalah perilaku seseorang yang tidak peduli terhadap resiko, bahkan cenderung ugal- ugalan atau urakan. Nyman dalam Widiyanto (2014) menyebut persepsi yang buruk terhadap resiko ini sebagai bahaya moral atau moral hazard, yang secara sederhana dideskripsikan sebagai carelessness or indifference to a loss (kecerobohan atau ketidakpedulian terhadap kerugian). Selain itu merujuk kepada defenisi moral hazard yang dikemukakan oleh Manning yang dikutip Dreher (2004) disebutkan bahwa moral hazard dibedakan atas moral hazard langsung dan moral hazard tidak langsung. Moral hazard langsung terjadi pada kasus dimana peserta asuransi menjadi tidak berhatihati setelah mengikuti program asuransi, sedangkan moral hazard tidak langsung terjadi ketika sistem dari asuransi yang menyebabkan timbulnya moral hazard secara langsung. Menurut Cutler (1998) terdapat dua tipe moral hazard di asuransi pelayanan kesehatan. Pertama, moral hazard yang diakibatkan dari perbuatan dan

tingkah laku peserta asuransi. Hal ini diakibatkan karena pihak asuransi mungkin saja tidak mendorong sepenuhnya peserta asuransi melakukan pencegahan sehingga peserta asuransi memiliki sedikit motivasi untuk menjaga dirinya untuk berperilaku hidup sehat, pada kasus ini telah terjadi moral hazard karena pelayanan kesehatan diberikan pada peserta asuransi yang tidak melakukan tindakan preventif untuk menghindari pengobatan. Kedua, moral hazard yang diakibatkan oleh pihak asuransi. Pihak asuransi mungkin saja mendorong peserta asuransi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan atau tidak krusial (mendesak) seperti meminta tambahan hari untuk berobat atau meminta tambahan tindakan yang seharusnya tidak diperlukan. Dari kedua kasus di atas, pihak asuransi baik pemerintah ataupun swasta mengalami kerugian karena mereka harus membayar lebih banyak dari pada premi yang mereka terima. Salah satu perilaku beresiko terhadap kesehatan adalah merokok. Tidak jarang beberapa jenis asuransi kesehatan swasta mencamtumkan beberapa syarat yang terkait dengan perilaku kesehatan dalam pendaftaran asuransinya, seperti perilaku merokok. Hal ini dilakukan guna mengurangi terjadinya moral hazard dalam penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan oleh peserta asuransi yang disebabkan perilaku beresiko kesehatan tersebut. Tidak jarang pula beberapa asuransi swasta membedakan premi asuransi antara peserta yang merokok dengan peserta yang tidak merokok. Menurut Notoadmojo (2003), perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta

lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu perilaku pemeliharaan kesehatan, periaku pencarian pengobatan, dan perilaku kesehatan lingkungan. Selain itu perlu diketahui bahwa sumber dana yang digunakan oleh pemerintah untuk membayar iuran peserta PBI berasal dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sumber pendapatan APBN salah satunya berasal dari pajak masyarakat. Bayangkan jika seorang yang peduli terhadap kesehatannya membiayai orang yang tidak peduli akan perilaku beresiko kesehatannya seperti orang yang merokok. Hal ini sangat bertentangan dengan etika. Oleh sebab itu dibutuhkan kesadaran masyarakat terhadap pelanggaran etika tersebut. Merokok merupakan salah satu perilaku beresiko yang dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Hal ini dikarenakan adanya berbagai zat berbahaya yang terkandung dalam rokok, seperti nikotin, tar, karbon monoksida, dll. Merokok tidak hanya mengganggu kesehatan orang yang merokok namun juga orang yang berada di sekitarnya atau sering disebut sebagai perokok pasif. Penyakit yang dapat ditimbulkan akibat perilaku merokok antara lain kanker mulut, kanker kandung kemih, penyakit jantung, dan bahaya terhadap kehamilan. Selain itu penyakit yang juga dapat ditimbulkan pada perokok pasif yaitu kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, asma, alergi, dan gangguan pada wanita hamil. Bahkan ada penelitian yang mengatakan bahwa perokok pasif jauh lebih rentan terhadap bahaya rokok dikarenakan paparan asap rokok yang dihirupnya.

Data World Health Organization (WHO) tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan prevalensi merokok dewasa di atas 15 tahun yang paling tinggi. Prevalensi laki-laki yang merokok di Indonesia ada sebanyak 61 persen dan prevalensi perempuan yang merokok sebanyak 5 persen. Di peringkat pertama dan kedua negara dengan prevalensi merokok yang paling tinggi yaitu Kiribati dan Yunani. Perilaku merokok di Indonesia sendiri berdasarkan hasil Riskesdas 2013 cenderung meningkat. Pada tahun 2007 jumlah perokok penduduk 15 tahun keatas sebanyak 34,2 persen dan meningkat menjadi 36,3 persen pada tahun 2013. Sebanyak 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok pada tahun 2013. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari berada pada kelompok umur 30-34 tahun sebesar 33,4 persen. Rerata jumlah batang rokok yang dihisap setiap harinya adalah 12,3 batang (setara satu bungkus), bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18 batang). Penduduk Sumatera Utara sendiri menghisap sebanyak 14,9 batang rokok setiap harinya. Berdasarkan jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (44,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Dari hasil data tersebut tampak bahwa kelompok keluarga termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi dari pada kelompok terkaya. Berdasarkan website resmi Badan Pusat Statistik ditemukan bahwa komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan yaitu beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, mie instan, dll. Rokok kretek filter

merupakan salah satu komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar kedua terhadap Garis Kemiskinan. Menurut hasil BPS tersebut banyak penduduk miskin yang membelanjakan pendapatannya untuk hal-hal yang berdampak buruk bagi kesehatan diantaranya pengeluaran untuk rokok. Porsi belanja rokok yang semakin besar tersebut tentunya akan mengurangi kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan lain, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak- anak dan keluarga. Hal inilah yang dapat mengakibatkan kemiskinan dan secara signifikan dapat menurunkan standar hidup keluarga miskin. Selain itu menurut Kosen yang dikutip Surjono,dkk (2013) dalam Jurnal Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (BPPK), pengeluaran tembakau di Indonesia secara makro pada tahun 2010 menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu sebesar 231,27 trilyun rupiah, yang terdiri dari 138 trilyun rupiah untuk pembelian rokok, 2,11 trilyun rupiah untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, dan 91,16 trilyun rupiah kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematian premature dan morbiditas-disabilitas. Sementara realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2010 hanya sebesar 63 trilyun rupiah. Provinsi Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk sebanyak 12.937.868 jiwa dan dari total tersebut proporsi penduduk umur lebih dari 10 tahun yang merupakan perokok setiap hari sebanyak 24,2 persen dan perokok kadang-kadang sebanyak 4,2 persen (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Dari total jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara, yang termasuk ke dalam kategori peserta Penerima

Bantuan Iuran (PBI) ada sebanyak 4.192.297 orang. Selain itu terdapat 571 puskesmas yang tersebar di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi fasilitas kesehatan tingkat pertama dari program JKN. Penelitian- penelitian terdahulu yang juga membahas tentang hubungan karakteristik peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan perilaku merokok seperti penelitian Aisyah (2014) tentang hubungan karakteristik peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan perilaku merokok di wilayah kerja Puskesmas Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan persepsi peserta PBI terhadap perilaku merokok, namun ada hubungan antara umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan pengetahuan peserta PBI terhadap perilaku merokok. Pada karakteristik pengeluaran (K1) peserta PBI, kebutuhan rokok merupakan kedua terpenting dibandingkan dengan pendidikan. Penelitian kedua adalah penelitian Siyoto (2013) tentang perilaku merokok penerima Jamkesmas/ Penerima Bantuan Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (PBI BPJS) di Kota Kediri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden penerima jamkesmas/ PBI diragukan untuk masuk kriteria miskin/ PBI, dikarenakan masyarakat memiliki pengeluaran (pendapatan di atas UMR), kemampuan belanja tembakau rata-rata Rp 268.948,-, sebanyak 21,7 persen peserta PBI di Kota Kediri berpendidikan SMU/sederajat, dan sebanyak 94,1 persen memiliki rumah sendiri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar (63%) penerima jamkesmas/pbi BPJS adalah perokok dan pengeluaran untuk tembakau menempati urutan kedua terbesar dalam pengeluaran

keluarga penerima jamkesmas/ PBI BPJS setelah pengeluaran untuk kebutuhan makan sehari-hari. Berdasarkan Profil Kesehatan Sumatera Utara tahun 2013, Kota Medan memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.097.610 jiwa dan memiliki 39 Puskesmas yang tersebar di setiap kecamatan. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan terhadap pegawai Dinas Kesehatan Kota Medan didapatkan bahwa sebanyak 253.483 warga miskin Kota Medan masuk ke dalam kategori PBI yang sumber iurannya berasal dari Pemerintah Kota Medan, kurang lebih 74.000 warga miskin Kota Medan masuk ke dalam kategori PBI yang sumber iurannya berasal dari APBD Provinsi, dan kurang lebih 400.000 warga miskin Kota Medan masuk ke dalam kategori PBI yang sumber iurannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah pinggir Kota Medan yang secara administrasi memiliki 6 kelurahan. Jumlah penduduk di Kecamatan Medan Belawan ada sebanyak 123.399 jiwa. Selain itu Kecamatan Medan Belawan merupakan kecamatan yang memiliki jumlah keluarga miskin paling banyak di Kota Medan, yaitu sebanyak 8.222 Kepala Keluarga. Puskesmas Belawan merupakan salah satu puskesmas yang bertanggungjawab menangani wilayah Kecamatan Medan Belawan dan berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan. Puskesmas Belawan menangani sebanyak 6 kelurahan dengan jumlah penduduk 123.399 jiwa. Pekerjaan mayoritas penduduk di daerah ini adalah nelayan. Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) merupakan urutan pertama dari sepuluh penyakit terbesar di Puskesmas Belawan. Survei awal yang dilakukan di Puskesmas Belawan didapatkan bahwa sebagian besar dari peserta yang datang berobat ke puskesmas memiliki kebiasaan merokok. Dan sebagian besar perilaku merokok itu dilakukan oleh kepala keluarga (laki-laki). Selain itu dari penuturan beberapa warga yang merupakan peserta PBI, ditemukan bahwa mereka sudah lama merokok dan mampu menghabiskan rokok sebanyak satu bungkus (9 sampai 15 batang) per hari. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan karakteristik peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan perilaku merokok di wilayah kerja Puskesmas Belawan tahun 2015. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan karateristik peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan perilaku merokok di wilayah kerja Puskesmas Belawan tahun 2015 1.3 Tujuan Penelitian Mengetahui hubungan karateristik peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan perilaku merokok di wilayah kerja Puskesmas Belawan tahun 2015

1.4 Hipotesis Penelitian Ada hubungan karakteristik peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan perilaku merokok di wilayah kerja Puskesmas Belawan tahun 2015 1.5 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah selaku pembuat kebijakan publik dan beberapa instansi kesehatan, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan selaku penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional dan Dinas Kesehatan Kota Medan terhadap perbaikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) 2. Sebagai bahan masukan kepada Puskesmas Belawan terhadap gambaran hubungan karakteristik peserta JKN PBI dengan perilaku merokok di wilayah kerjanya. 3. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat khususnya bidang ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan