Bab I Pendahuluan. 1 Subandono Diposaptono, Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan, Kompas 20

dokumen-dokumen yang mirip
Alur penelitian secara rinci adalah sebagai berikut: Himpunan fungsifungsi. ditegakkan KEMBANGKAN KRITERIA DAN STRATEGI PEMILIHAN STRUKTUR

PENGEMBANGAN MODEL PROSES PRODUKSI PEMBANGUNAN RUMAH PASCA BENCANA BERBASIS KEMAMPUAN LOKAL DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Bencana alam menjadi salah satu permasalahan kompleks yang saat ini

Pengembangan Kerangka Model

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. seluruhnya akibat pengaruh bencana tsunami. Pembangunan permukiman kembali

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI KABUPATEN SITUBONDO

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

BAB I PENDAHULUAN. 1

Penataan Kota dan Permukiman

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam

KERENTANAN (VULNERABILITY)

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) berdasarkan Undang-Undang Republik

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Cincin Api Pasifik/ Ring of Fire. Sumber:

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

- 1 PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

PENDAHULUAN Latar Belakang

penelitian 2010

KAJIAN KONSEP RESILIENT CITY DI INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. respon terhadap penanggulangan bencana sangat berperan penting.

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I PENDAHULUAN. Modul tinjauan umum manajemen bencana, UNDRO

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

BUKU SISWA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

penanggulangan bencana penanggulangan bencana penanggulangan bencana 1. Mengidentifikasi strategi perencanaan bencana lokal yang ada

BAB I PENDAHULUAN. maju di dukung dengan aplikasi-aplikasi berbasis multimedia untuk mempercantik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

Siaran Pers BNPB: BNPB Menginisiasi Pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana Selasa, 25 April 2017

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun demi tahun negeri ini tidak lepas dari bencana. Indonesia sangat

PENDAHULUAN BAB I A. LATAR BELAKANG

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

TSUNAMI MEMORIAL PARK BANDA ACEH - NAD BAB I PENDAHULUAN

Catatan Untuk Pengetahuan MDF - JRF Pelajaran dari Rekonstruksi Pasca Bencana di Indonesia

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KUPANG

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

GULANG BENCANA BENCAN DAERAH KABUPATEN KABUPATE MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS,

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tersedia (Pemerintah Republik Indonesia, 2007).

Powered by TCPDF (

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Definisi dan Jenis Bencana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Metodologi Penilaian Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana. Penilaian Kerusakan dan Kerugian Pasca Bencana

BAB I PENDAHULUAN. Proses perencanaan pembangunan yang bersifat top-down sering dipandang

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR: 10 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.7 Latar Belakang

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 2 TAHUN : 2010 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Transkripsi:

Bab I Pendahuluan Posisi Indonesia secara geografis merupakan daerah rawan bencana. Selain bencana yang disebabkan oleh kondisi alam, juga terjadi bencana-bencana akibat ulah manusia. Gempa bumi, tsunami, gunung meletus, angin puting beliung, tanah longsor, banjir, dan kebakaran, kerap kali terjadi di berbagai daerah. Bencanabencana tersebut berpotensi menimbulkan korban jiwa, pengungsi, kerugian harta benda, dan kerugian lain dalam bentuk yang tidak ternilai. Kerugian yang paling jelas terlihat dari bencana yang menimpa adalah hancurnya rumah-rumah tinggal milik masyarakat. Selain dari segi fisik, kehilangan rumah juga merusak kehidupan para korban sehari-hari, privasi, dan rasa aman. Pengadaan hunian kembali bagi para korban bencana (rekonstruksi hunian) merupakan tahap rehabilitasi dari manajemen penanggulangan bencana. 1 Pengadaan hunian ini diharapkan dapat mengembalikan identitas masyarakat, disamping untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Rekonstruksi bidang perumahan ini pun penting untuk mengembalikan kebanggaan komunitas, lingkungan, ekonomi, dan identitas budaya. Namun dalam pelaksanaannya, rekonstruksi hunian pasca bencana sering kali dihadapkan pada beragam pertanyaan. Apakah bangunan yang disediakan harus bangunan temporer, semi permanen, atau bangunan permanen? Apakah bantuan yang diberikan harus berupa bantuan keuangan, material, dan atau bantuan teknis? Haruskah masyarakat langsung diberi bangunan yang siap huni, atau haruskah masyarakat dilibatkan dalam pekerjaan konstruksi? Teknologi seperti apa yang harus diperkenalkan atau digunakan? Haruskah material serta teknologi baru diperkenalkan, atau proyek cukup dilaksanakan dengan memanfaatkan pengetahuan dan sumber daya lokal yang tersedia? Haruskah ada bantuan untuk 1 Subandono Diposaptono, Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan, Kompas 20 Januari 2005 1

membangun rumah sendiri, merekrut pekerja lokal, mengajak partisipasi pemilik rumah, atau justru menggunakan perusahaan konstruksi profesional? 2 I.1 Latar Belakang Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada saat dibutuhkan rekonstruksi hunian pasca bencana tersebut, idealnya perlu dilakukan analisis kontekstual yang meliputi hal-hal yang sifatnya fisik dan terlihat maupun hal-hal yang bersifat psikis dan tidak terlihat. Analisis ini akan sangat bergantung pada kondisi setempat. Hal ini mengakibatkan penanganan rekonstruksi pasca-bencana pun akan berbeda-beda, tergantung pada potensi daerah setempat tempat bencana terjadi. Pada umumnya, kriteria dasar pembangunan rumah bagi korban bencana biasanya spesifik, diantaranya adalah: jumlah kebutuhan yang relatif banyak. waktu yang tersedia singkat karena kebutuhan yang mendesak Kriteria kebutuhan hunian dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat tersebut seringkali menyebabkan pembangunan tidak direncanakan dengan matang. Di sisi lain, rekonstruksi yang dilaksanakan oleh pemerintah seringkali terhambat oleh birokrasi yang berbelit dan belum adanya mekanisme yang jelas untuk penanganan korban bencana. Karena terdesak oleh kebutuhan dalam waktu yang singkat, maka rekonstruksi pun dijalankan secara top down, dengan mendatangkan kontraktor dari luar daerah tanpa melibatkan masyarakat. Pendekatan ini seringkali kurang memperhatikan kebutuhan dan karakter masyarakat setempat. Hal ini dapat terlihat pada pelaksanaan rekonstruksi di Aceh, yang saat ini telah berlangsung lebih dari 3 tahun. Sebagian masyarakat di Aceh, yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, tidak betah dan menolak untuk tinggal di rumah bantuan pasca bencana dengan alasan rumah 2 Barenstein, J., D.,Housing Reconstruction in Post-Earthquake Gujarat: A Comparative Analysis, Network Paper no.54, Humanitarian Practice Network at Overseas Development Institute, London, Maret 2006 2

yang diberikan tidak layak huni. Di lain pihak, rumah yang telah direncanakan sesuai dengan standar kesehatan ternyata tidak sesuai dengan kehidupan sosial dan karakter masyarakat setempat. 3 Hasil survey awal di pesisir pantai Jawa Barat bagian selatan yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi dan tsunami tanggal 17 Juli 2006 pun menunjukan indikasi yang sama. Di desa Cikembulan, Kecamatan Sidamulih, Pangandaran, masyarakat penerima bantuan mengeluhkan hunian yang tidak layak, padahal rumah tersebut telah dirancang sedemikian rupa agar aman dari gempa bumi dan tsunami. Sedangkan di D.I. Yogyakarta, masyarakat dilibatkan dalam mengusahakan pembangunan rumahnya sendiri dengan bantuan dana dari pemerintah dan bantuan teknis dari tenaga ahli. Hasilnya, pelaksanaan rekonstruksi di sana relatif lebih cepat. Akan tetapi, metoda membangun yang masih konvensional dinilai kurang efisien. Pelaksanaan rekonstruksi yang berhasil dapat dipelajari melalui penelitian yang membandingkan metode-metode rekonstruksi pasca gempa bumi di Gujarat. Studi di Gujarat tersebut memberikan bukti empiris bahwa perkembangan tren bantuan pembiayaan untuk rekonstruksi rumah swakelola sangatlah mungkin untuk diterapkan baik dari segi sosial, pembiayaan, maupun segi teknis. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan potensi lokal, dengan pemberian bantuan pembiayaan dan teknis saja, masyarakat memiliki kapasitas dalam membangun rumah yang dapat merespon kebutuhan mereka. Respon yang terjadi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rumah yang diberikan langsung oleh agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah). Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hal yang penting dalam rekonstruksi pasca bencana adalah metode membangun hunian itu sendiri. Pembangunan hunian oleh kontraktor dengan metode konstruksi massal sebetulnya efektif untuk membangun rumah dengan jumlah banyak dalam waktu 3 Vebry, M., Kamal, N., & Lubis, R., Kajian 12 Bulan Pertama Kegiatan Rekonstruksi Dan Rehabilitasi Perumahan Di Aceh Pasca Gempa Bumi Dan Tsunami, Ringkasan Penelitian, Perencanaan Wilayah Dan Lingkungan, The Aceh Institute, http://www.acehinstitute.org/, 2006 3

yang singkat. Akan tetapi, tanpa pelibatan masyarakat dan pemberdayaan potensi lokal, rasa kepemilikan masyarakat menjadi rendah sehingga memicu timbulnya fenomena rumah kosong. Untuk menumbuhkan rasa kepemilikan pada penghuni dan pemilik mau menghuni rumahnya, diperlukan pelibatan masyarakat sebagai strategi membangun. Selain itu, budaya bermukim dan potensi lokal pun harus diperhatikan agar hunian sesuai dengan kebutuhan dan karakter masyarakat setempat. POLA GABUNGAN SISTEM PRODUKSI MASSAL DALAM PEMBANGUNAN RUMAH DENGAN PELIBATAN MASYARAKAT + + + + Fenomena rumah kosong (kurang sesuai keinginan masyarakat dan kualitas rendah) Sulit dikembangkan lebih lanjut oleh masyarakat Kontraktor lokal, metode konvensional, tidak melibatkan masy, Perlu kontrol tinggi agar tidak terjadi kecurangan Metode baru, Perencanaan tidak melibatkan masyarakat, Teknologi asing bagi masyarakat Metode konvensional Pengetahuan & keterampilan masyarakat yang tebatas Pendampingan kurang memadai POLA KONTRAKTOR 1D POLA KONTRAKTOR 2D POLA MASYARAKAT STUDI KASUS KEBUTUHAN MENDESAK RUMAH LAYAK HUNI jumlah yang relatif banyak waktu yang singkat Perencanaan pembangunan yang kurang matang BENCANA Gambar I.1 Latar Belakang Penelitian I.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang kondisi pembangunan pasca bencana di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 4

Pola kontraktor sebenarnya dinilai cukup efektif karena dapat memproduksi rumah sederhana relatif banyak dalam waktu yang relatif singkat, serta efisien dalam penggunaan sumber daya (terutama material) karena penggunaan teknologi yang benar. Akan tetapi perencanaan di segala bidang yang tidak melibatkan masyarakat menyebabkan rumah yang dihasilkan tidak sesuai dengan karakter dan keinginan masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan menghuni rumahnya, rasa kepemilikan rendah, sehingga timbul fenomena rumah kosong. Teknologi yang digunakan kontraktor pun kebanyakan masih asing bagi masyarakat, sehingga rumah yang terbangun sulit untuk dikembangkan lebih lanjut oleh pemiliknya. Pola masyarakat terbukti berhasil mempercepat pembangunan rumah pasca bencana. Kepuasan serta rasa kepemilikan masyarakat pun rata-rata lebih tinggi terhadap rumah yang dibangun dengan pola ini. Akan tetapi, pengetahuan dan keterampilan masyarakat akan metode membangun masih terbatas, sehingga masyarakat hanya bisa membangun dengan metode konvensional. Hal ini menyebabkan produktifitas menjadi rendah, tidak efisien dalam pemakaian sumber daya (terutama material), serta kualitas yang seringkali tidak sesuai dengan standar keamanan, kenyamanan, maupun kesehatan. Perlu perbaikan metode pembangunan rumah pasca bencana yang melibatkan masyarakat, dengan mengadaptasi pola kontraktor (industrialisasi) dalam membangun rumah masal yang lebih efisien. Perbaikan tersebut dirumuskan melalui pengembangan Model Proses Produksi Rumah Sederhana Untuk Mempercepat Masa Kostruksi Rumah Pasca Bencana. Model ini diharapkan dapat menemukan metode yang paling efisien, sesuai dengan kebutuhan serta potensi yang ada, dengan masa konstruksi yang relatif paling cepat. 5

I.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan model yang dapat memperbaiki proses membangun rumah sederhana pasca bencana, melalui adaptasi sistem produksi industrialisasi pada sistem yang melibatkan masyarakat. I.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang utama adalah: Prinsip prinsip desain apa yang sebaiknya diterapkan pada proses membangun rumah sederhana pasca bencana yang dapat diterima masyarakat sekaligus produktif dan efisien? Adapun uraian dari pertanyaan penelitian secara spesifik adalah sebagai berikut: Perbaikan (intervensi) apa saja yang perlu dilakukan agar kinerja proses membangun yang berlangsung di masyarakat akan menjadi lebih baik? Kriteria apa yang harus diterapkan agar metode membangun dengan sistem produksi massal (industrialisasi) dapat diterapkan pada pembangunan dengan pola masyarakat? Bagaimana metode membangun non-konvensional dengan sistem produksi massal (industrialisasi) dapat diadaptasi pada pembangunan oleh masyarakat dengan kondisi pasca bencana? I.5 Manfaat Penelitian Secara praktik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai arahan bagi pelaksana rekonstruksi dalam proses pengadaan perumahan yang sesuai dengan kebutuhan, karakter masyarakat, serta potensi yang tersedia. Yang dimaksud dengan pelaksana rekonstruksi disini adalah pemilik, pemerintah, serta pihak lain yang memiliki peran strategis dalam pelaksanaan rekonstruksi pasca bencana (pihak pemberi bantuan, LSM, pendamping masyarakat) 6

Diharapkan model yang dihasilkan dari penelitian ini aplikatif dan dapat dimanfaatkan untuk mempercepat masa rekonstruksi pasca bencana, sehingga produknya dapat diterima oleh masyarakat penerima bantuan. Dalam bidang akademik, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam bidang kajian metode pembangunan rumah masal dalam pembangunan rumah sederhana yang melibatkan masyarakat. I.6 Pendekatan Penelitian Dalam arena teknologi, pokok persoalan penelitian terarah pada upaya untuk menjawab pertanyaan tentang sistem yang bagaimanakah yang perlu diciptakan agar suatu fenomena yang diinginkan dapat terwujud. Inti persoalan yang terungkap dari pertanyaan tersebut adalah persoalan untuk menggagaskan dan merumuskan struktur dari sistemnya. Dengan demikian, langkah pertama adalah merumuskan dengan jelas dan spesifik apa fenomena yang dikehendaki untuk terjadi. Dalam hal tersebut, terdapat dua kategori persoalan. Yang pertama adalah persoalan yang berkaitan dengan upaya untuk mengubah suatu sistem yang telah ada menjadi sistem yang, berdasarkan pertimbangan tertentu, dipandang lebih unggul. Yang kedua tertuju kepada upaya mengintroduksi suatu sistem baru yang merupakan hasil ciptaan dalam berteknologi, ke dalam tatanan sistem yang telah ada, baik sistem fisik maupun sistem sosial. (Sasmojo, 2004) Pokok penelitian ini terarah pada upaya untuk mengubah dan memperbaiki sistem yang telah ada di masyarakat, sehingga fenomena pembangunan rumah pascabencana, yang dinilai lambat dan tidak memuaskan, menjadi lebih cepat dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan dengan pola pendekatan sebagai berikut: 7

Mengenali fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan pembangunan rumah sederhana pada konteks pasca bencana. Untuk itu dilakukan kajian / elaborasi untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur proses-proses dan sistem-sistem yang berkait dengan masalah tersebut, sehingga diketahui sebab-sebab terjadinya pengadaan perumahan pasca bencana yang lambat dan hasilnya tidak memuaskan. Kajian ini meliputi: - elaborasi mengenai rumah sederhana (komponen, modul, dimensi) dan konsep pembangunan massal, komponenisasi, dan prefabrikasi pada sistem produksi (industrialisasi) bangunan melalui kajian literatur. - studi mengenai pengadaan rumah dan organisasi membangun dalam situasi pasca bencana melalui melalui pengamatan langsung di daerah-daerah yang mengalami bencana di Indonesia (metode wawancara, diskusi), dan studi literatur (jurnal) penanganan rekonstruksi di negara-negara lain Kajian-kajian tersebut digunakan untuk menggagaskan kerangka model, serta menyusun basis data yang diperlukan untuk melengkapi model yang diusulkan. Melakukan analisis untuk mencari pola intervensi yang tepat untuk merubah sistem yang ada, sehingga fenomena yang dikehendaki terbentuk. Tahap ini dilakukan dengan cara mengidentifkasi fungsi-fungsi yang perlu ditegakkan serta menggagaskan struktur (kerangka model) untuk memungkinkan terlaksananya pola intervensi tersebut. Pembentukan model untuk menggambarkan interaksi sistem dengan fenomena yang hendak diintervensi. Menggagaskan dan merumuskan cara untuk membentuk struktur yang telah dirumuskan berupa prinsip-prinsip desain. Diagram yang mengilustrasikan alur penelitian dapat dilihat pada gambar I.2. 8

Fenomena Bencana & Pelaksanaan Rekonstruksi Keseluruhan proses Rekonstruksi dinilai lambat Pernyataan tentang pola-laku sistem yang tak diinginkan OBSERVASI & ANALISIS TERHADAP FENOMENA BENCANA & PELAKSANAAN REKONSTRUKSI (mengungkapkan faktor-faktor yang melandasi timbulnya persoalan yang dirasakan) 1. Kontraktor yang menggunakan sistem produksi (industrialisasi), tanpa melibatkan masyarakat, efisien dan sesuai standar, namun kurang sesuai dengan karakter masyarakat. Menimbulkan fenomena rumah kosong 2. Masyarakat membangun sendiri dengan metode konvensional (rumah tunggal), lebih berhasil merumahkan masyarakat, namun tidak sesuai standar dan tidak efisien. Specific problem definition & deskripsi struktur sistem pelaksanaan rekonstruksi yang ada: 1.Kualitas hasil produksi yang sangat rendah sehinga menimbulkan rendahnya tingkat kepuasan dan rasa kepemilikan. 2.Efisiensi yang rendah, hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat dalam desain, perencanaan maupun pelaksanaan konstruksi. 3.Produktifitas rendah, sistem & teknologi konvensional dengan pola pembangunan single building sehingga pengadaan perumahan secara keseluruhan menjadi lambat. Himpunan fungsifungsi yang perlu ditegakkan RUMUSKAN FUNGSI-FUNGSI YANG PERLU DITEGAKKAN (agar pola-laku yang tak dikehendaki tersingkirkan dan yang dikehendaki terwujudkan), meliputi: 1. fungsi kualitas 2. fungsi efisiensi 3. fungsi produktifitas KEMBANGKAN HIMPUNAN PILIHAN STRUKTUR YANG LAYAK UNTUK PENEGAKKAN FUNGSI YANG DIKEHENDAKI KEMBANGKAN KRITERIA DAN STRATEGI PEMILIHAN STRUKTUR Perlu penelitian pendukung untuk menyediakan komponen struktur (BASIS DATA) PILIH STRUKTUR YANG UNGGUL & SUSUN MODEL DENGAN STRUKTUR YANG TERPILIH Kriteria & strategi seleksi struktur yang unggul UBAH STRUKTUR FENOMENA SEMULA DENGAN STRUKTUR TERPILIH ya PENGEMBANGAN MODEL PROSES PRODUKSI RUMAH SEDERHANA MASSAL UNTUK REKONSTRUKSI PASCA BENCANA DI INDONESIA Pola-laku yang terungkap dari simulasi SESUAI KEINGINAN tidak Gambar I.2 Alur penelitian untuk memperbaiki sistem I.7 Sistematika Pembahasan Bab I membahas mengenai pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, kerangka penelitian, lingkup dan batasan penelitian, sistematika pembahasan, serta definisi operasional. Bab II merupakan kajian teori mengenai rumah sederhana, konsep pembangunan massal pada sistem produksi (industrialisasi) bangunan, konsep metode membangun pada konteks pasca bencana, dan studi kasus pembangunan rumah 9

sederhana pasca bencana, disertai hasil temuan penelitian dari studi literatur dan studi kasus tersebut. Bab III memaparkan mengenai metodologi yang digunakan dalam melaksanakan penelitian. Bab IV memaparkan analisis terhadap fenomena yang ada dan perumusan perbaikan sistem melalui pembentukan kerangka model. Bab V merupakan pengembangan model proses membangun rumah sederhana dengan industrialisasi bangunan pada pelaksanaan rekonstruksi pasca bencana yang melibatkan masyarakat. Bab VI merupakan kesimpulan dan rekomendasi. 10