Kepuasan Huni dan Perubahan Hunian pada Rumah Paska Bencana Erupsi Merapi

dokumen-dokumen yang mirip
PERENCANAAN HUNTAP PAGERJURANG

IDENTIFIKASI KONFIRGURASI PERUBAHAN RUANG RSS GRIYA HARAPAN A PALEMBANG

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

DENAH LT. 2 DENAH TOP FLOOR DENAH LT. 1

PROPOSAL : PEMBANGUNAN RUMAH SAHABAT SALIMAH PW SALIMAH DIYOGYAKARTA 2010

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

Sabua Vol.7, No.2: Oktober 2015 ISSN HASIL PENELITIAN

KEADAAN UMUM WILAYAH. koorditat 07 º 40 42,7 LS 07 º 28 51,4 LS dan 110º 27 59,9 BT - 110º 28

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Tipologi Rumah di Lahan Ilegal Studi Kasus : Kampung Beting Remaja - Jakarta Utara

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

BAB II LANDASAN TEORI

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI

Tabel VIII. 1 Aturan Bersama Desa Kemasan KONDISI FAKTUAL KONDISI IDEAL ATURAN BERSAMA YANG DISEPAKATI

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ACUAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERUMAHAN TAPAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II ATURAN BERSAMA A. ATURAN BERSAMA DALAM MEMBANGUN DAN MENATA (RENOVASI) RUMAH

FORM INSPEKSI. f. Issue Lingkungan : Air/ Udara/ Bunyi/ Keterangan : g. Analisis Resiko : Banjir/ Kebakaran/ Longsor/ Keamanan/

BAB 1 PENDAHULUAN. juta jiwa. Sedangkan luasnya mencapai 662,33 km 2. Sehingga kepadatan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV Analisis Data

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan berasal dari kata laksana yang berarti kegiatan 5. Pelaksanaan

RUMAH SUSUN PENJARINGAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DINAS PERUMAHAN DAN GEDUNG PEMDA

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT

BAB V. KONSEP PERANCANGAN

Adaptasi Perilaku dan Modifikasi sebagai Proses Menciptakan Hunian Ideal Bagi Penghuni Perumahan Massal

PROGRAM PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS (PLPBK) DOKUMEN ATURAN BERSAMA

BAB VI KLASIFIKASI KONSEP DAN APLIKASI RANCANGAN. dirancang berangkat dari permasalahan kualitas ruang pendidikan yang semakin

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB IV PANDUAN KONSEP

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. perumahan di Kota Sleman dan lahan pertanian masih tetap. penggunaan tanah sebagai pertimbangan utama, juga harus

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang

Hubungan Karakteristik Penduduk dengan Pemilihan Ruang Publik di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI BAWAH JEMBATAN LAYANG PASUPATI SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANANKAN RUANG PUBLIK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

b. Kebutuhan ruang Rumah Pengrajin Alat Tenun

Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal

: MEMBANGUN BARU, MENAMBAH, RENOVASI, BALIK NAMA

BAB III TINJAUAN KASUS. b. Usia : 51 tahun. d. Pekerjaan KK : Buruh lepas (sablonan) e. Alamat : Sambiroto 11 RT 05 RW 07

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan

JUDUL TESIS KONSEP PERANCANGAN RUMAH SUSUN BAGI PEDAGANG PASAR STUDI KASUS : PASAR OEBA, KELURAHN FATUBESI, KOTA KUPANG

BAB 2 PRODUK. Anugerah adalah penduduk asli dan pendatang baru yang ada di kota

Perkuatan Struktur pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta

Dasar-Dasar Rumah Sehat KATA PENGANTAR

Nomor : 5/PER/BP-BRR/I/2007 TENTANG

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEWA DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR EKOLOGIS

Salah satunya di Kampung Lebaksari. Lokasi Permukiman Tidak Layak

PRINSIP PENATAAN RUANG PADA HUNIAN MUSLIM ARAB DI KAMPUNG ARAB MALANG

Rumah Baca sebagai Representasi Pemikiran Arsitektur Achmad Tardiyana

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain

BAB IV PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DI KELURAHAN KALIGAWE

BAB V1 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERANCANGAN TAPAK II DESTI RAHMIATI, ST, MT

BAB IV TINJAUAN KHUSUS

BAGIAN 3 HASIL RANCANGAN DAN PEMBUKTIANNYA

Bentuk dan Konstruksi Bangunan Rumah Nelayan Rumput Laut, Kabupaten Bantaeng

BAB IV PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGGUNA TERHADAP PENATAAN PASAR TRADISIONAL

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

ATURAN BERSAMA KONDISI FAKTUAL I. TATA RUANG DAN LINGKUNGAN

PERSYARATAN UMUM DAN PERSYARATAN TEKNIS GUDANG TERTUTUP DALAM SISTEM RESI GUDANG

Sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.

Perubahan Konsep Dapur Hunian Akibat Kebutuhan Pengguna pada Perumahan (Studi Kasus: Perumahan Vila Bukit Tidar Malang)

BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 22 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBANGUNAN RUMAH LAYAK HUNI

BAB V KONSEP PERANCANGAN PASAR. event FESTIVAL. dll. seni pertunjukan

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

BAB 6 HASIL RANCANGAN. Perubahan Konsep Tapak pada Hasil Rancangan. bab sebelumnya didasarkan pada sebuah tema arsitektur organik yang menerapkan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa

BAB I LATAR BELAKANG KELUARGA DAMPINGAN

BAB 4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

ruang praktis ANDA INGIN JADI ARSITEK Dony Pasaribu

EVALUASI BENTUK LAY OUT UNIT HUNIAN PADA RUSUN HARUM TEBET JAKARTA

DAFTAR ISI. PROYEK AKHIR SARJANA... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR GAMBAR... ix. DAFTAR TABEL... xiii PENDAHULUAN Data Ukuran Lahan...

Perencanaan rumah maisonet

Bab I Pendahuluan. 1 Subandono Diposaptono, Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan, Kompas 20

PERUBAHAN POLA RUANG DALAM PADA HOME INDUSTRY SARUNG TENUN SAMARINDA DI KECAMATAN SAMARINDA SEBERANG

METODOLOGI PENILAIAN KUALITAS HUNIAN PASKA BENCANA SEBAGAI EVALUASI STRATEGI REKONSTRUKSI: ANALISIS FAKTUAL DAN PERSEPTUAL

BAB III METODOLOGI 3.1 UMUM 3.2 METODOLOGI PENELITIAN

penelitian 2010

METODE PENELITIAN. deskriptif. Metode penelitian ini akan menggambarkan secara menyeluruh

Rusun Rancacili: Rumah Produksi Kolektif

BAB III METODE PENELITIAN

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Transkripsi:

TEMU ILMIAH IPLBI 2014 Kepuasan Huni dan Perubahan Hunian pada Rumah Paska Bencana Erupsi Merapi Kasus: Hunian tetap Pagerjurang, Cangkringan, Sleman, D.I. Yogyakarta Program Studi Magister Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Dalam rekonstruksi paska erupsi Merapi, pemerintah telah memenuhi kebutuhan hunian bagi korban yang kehilangan tempat tinggalnya. Pada makalah ini, dipaparkan hasil dari pengamatan awal terhadap komunitas hunian tetap paska erupsi Merapi, secara khusus pada warga Huntap Pagerjurang, Cangkringan, Sleman, D.I. Yogyakarta. Pengamatan dilakukan dengan menilai kepuasan huni secara perseptual pengguna, serta mengeksplorasi fenomena perubahan hunian sebagai pengembangan mandiri yang telah dilakukan oleh pengguna. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur terhadap 60 warga huntap, lalu diolah dengan statistik sederhana. Dari pengamatan yang dilakukan, warga Huntap Pagerjurang cukup puas dengan lingkungan huntap, tetapi masih tidak puas dengan kondisi unit huniannya. Ketidakpuasan ini menimbulkan adanya pengembangan mandiri hunian sebagai bentuk adaptasi pengguna. Dari paparan responden, perubahan yang mereka lakukan disebabkan oleh penyesuaian terhadap kebutuhan ruang masingmasing keluarga, serta keinginan untuk memperbaiki material atau finishing bangunan yang ada. Kata-kunci : hunian tetap, paska bencana, kepuasan huni, perubahan hunian, penilaian perseptual. Latar Belakang Keberadaan hunian paska bencana sangat mempengaruhi semua aspek rumah tangga dan pemulihan korban bencana (Bachelor, 2011). Adanya dukungan dalam bentuk hunian yang memadai, dengan kelengkapan pelayanan dasar, dapat menjamin keamanan masyarakat dan mempercepat pemulihan ekonomi. Sayangnya, proses pengadaan hunian paska bencana kerap dihadapkan pada dilema antara keharusan pembangunan yang cepat. Proses desain massal yang terjadi sering kurang memperhatikan kebutuhan pengguna. Setelah dua tahun penghunian pada hunian paska erupsi Merapi di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, terlihat banyak rumah yang sudah berubah dari bentuk awalnya. Dengan demikian, sangat menarik untuk mengamati kepuasan huni pada hunian paska bencana dan reaksi penggunanya yang diwujudkan dalam bentuk fenomena perubahan hunian. Kepuasan Huni pada Rumah Tinggal Galster (1987) dalam Amole (2008) menyampaikan bahwa kepuasan terhadap hunian merupakan suatu ukuran psikologikal terhadap perbedaan yang terjadi antara kebutuhan dan aspirasi penghuni dengan realitas kondisi huniannya saat ini. Dengan kata lain, ketidakpuasan terhadap hunian timbul ketika suatu hunian dinilai oleh penghuninya menggunakan aturan hunian idealnya (Struyk, R.J. dkk, 1989). Masalah ini menjadi kompleks, karena setiap keluarga dapat memiliki tingkat kepuasan yang berbeda walaupun berada dalam situasi perumahan yang sama. Savasdisara (1987) mengkategorikan kepuasan terhadap perumahan berdasarkan aspek-aspek berikut ini: a. Kepuasan terhadap lingkungan sekitar, meliputi penilaian tingkat kepuasan terhadap ikatan persahabatan antar penghuni, tingkat keper- Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 A_27

Kepuasan Huni Dan Perubahan Hunian Pada Rumah Paska Bencana Erupsi Merapi cayaan terhadap sesama penghuni, hingga kesamaan dalam status sosial ekonomi. b. Kepuasan terhadap fasilitas publik, meliputi kepuasan terhadap fasilitas rekreasi, taman bermain anak, sistem pemadam kebakaran, dan fasilitas lainnya yang tersedia dalam lingkungan hunian maupun unit hunian itu sendiri. c. Kepuasan terhadap unit hunian, meliputi kepuasan terhadap kualitas hunian, ukuran ruang, jumlah ruang, termasuk kepuasan terhadap pencahayaan dan penghawaan udara dalam hunian. d. Kepuasan terhadap kondisi sekitar, meliputi kepuasan terhadap tingkat kebisingan, kondisi udara, jalan, sistem drainase, dan jaringan air bersih. e. Kepuasan terhadap lokasi hunian, meliputi kepuasan yang berhubungan dengan kedekatan lokasi hunian dengan tempat kerja, sekolah, pusat perbelanjaan atau pasar, dan kemudahan transportasi umum. Perubahan Hunian pada Rumah Tinggal Adanya housing defisit, yaitu kesenjangan antara kondisi aktual hunian dengan hunian ideal menurut pengguna, menimbulkan respon penghuni yang dikenal dengan housing adjustment dan housing adaptation. Morris (1970) menjelaskan bahwa housing adjustment ialah suatu proses penyesuaian yang terjadi saat penghuni mengalami housing defisit yang mengurangi tingkat kepuasan mereka. Penyesuaian ini dapat berbentuk pindah rumah atau perbaikan dan penambahan komponen rumah. Sedangkan housing adaptation ialah perubahan respon penghuni terhadap tekanan sebagai akibat ketidakpuasan terhadap rumahnya, dengan kata lain penghuni bersikap pasif terhadap rumahnya. Metode Penelitian Pengumpulan data dalam analisis perseptual ini dilakukan dengan studi literatur serta survey dan wawancara terstruktur. Responden yang dituju merupakan 60 penghuni huntap (hunian tetap) Pagerjurang, yang terbagi dalam 3 dusun, yaitu dusun Petung, Kaliadem, dan Manggong. Survey dilakukan oleh penulis pada bulan Maret 2014 yang lalu. Data kemudian diolah melalui statistik sederhana, untuk mendapatkan gambaran awal dari kondisi hunian paska erupsi Merapi saat ini. Kondisi Rumah Paska Erupsi Merapi Sejak tahun 2012, korban bencana erupsi Merapi telah menempati rumah permanen paska bencana yang didirikan dengan rekonstruksi partisipatif. Pada rekonstruksi ini, pemerintah melakukan relokasi terhadap korban bencana dan memberi bantuan berupa lahan seluas 100 m 2 serta dana pembangunan sebesar 30 juta rupiah untuk membangun rumah sederhana dengan struktur tahan gempa seluas 36 m 2. Gambar 1. Bentuk Asli Rumah Paska Erupsi Rumah permanen ini diserahterimakan pada pengguna dalam bentuk rumah dengan struktur beton bertulang, dinding pengisi menggunakan batako tanpa plesteran, lantai semen kasar, atap genting tanpa plafon (gambar 1). Rumah ini pada dasarnya terdiri dari 1 ruang umum, 2 ruang tidur, dan kamar mandi (gambar 2). Dapat kita pahami bersama bahwa adanya ketidakpuasan dalam berhuni akan mendorong adanya reaksi pengguna yang dapat berupa pindah rumah, perbaikan dan penambahan rumah, adaptasi normatif keluarga, maupun adaptasi struktur keluarga. Dalam makalah ini, kita akan mengamati bentuk reaksi masyarakat yang berupa perbaikan dan penambahan dalam rumah. A_28 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 Gambar 2. Ilustrasi Variasi Denah Rumah Disampaikan oleh Batchelor (2011), dengan dipenuhinya kebutuhan dasar perumahan, pemulihan ekonomi masyarakat pun mulai

bangkit kembali. Maka tidak mengherankan jika setelah 2 tahun penghunian, rumah paska erupsi ini sudah sangat banyak berkembang (gambar 3). Gambar 3. Pengembangan Rumah Paska Erupsi Penilaian Perseptual Kepuasan Huni pada Rumah Paska Erupsi Merapi Kepuasan terhadap Unit Rumah a. Kepuasan terhadap Kondisi Fisik Rumah Struktur bangunan tahan gempa merupakan hal yang baru bagi masyarakat korban Merapi, yang harus dipenuhi berdasarkan arahan rekonstruksi oleh pemerintah. Lebih dari 90% responden menyatakan puas dengan kekokohan rumah dan penggunaan material struktur tahan gempa dalam rumahnya. Hanya aspek atap bangunan yang dikeluhkan oleh sebagian responden, karena kualitas genting yang beragam dan pemasangan yang kurang rapi, sehingga sering terjadi kebocoran. Luasan lahan sebesar 100 m2 awalnya cukup sulit diterima warga yang biasa tinggal di lahan permukiman pedesaan yang cenderung luas. Ketidakpuasan masyarakat yang cukup tinggi diperoleh pada penilaian terhadap kondisi finishing dinding dan lantai. Demikian juga dengan bentuk bangunan yang hanya memiliki tritisan yang sempit. Tritisan yang sempit menyebabkan terpaparnya jendela dan pintu oleh sinar matahari maupun air hujan. Karena material jendela dan pintu menggunakan bahan kayu, responden mengeluhkan cepatnya kayu tersebut mengalami pelapukan. b. Kepuasan terhadap Ketersediaan Ruangan Keterbatasan ruang dalam hunian menyebabkan adanya multifungsi dalam penggunaan ruang. Misalnya saja, ruang tamu merangkap ruang keluarga. Beberapa responden melakukan pemisahan dengan partisi sehingga ruang umum menjadi dua ruang kecil yang dapat digunakan sebagai ruang tamu dan ruang keluarga. Demikian juga dengan tidak tersedianya ruang makan, responden beradaptasi dengan melakukan kegiatan makan di ruang keluarga atau di dapur. Hanya tersedianya dua ruang tidur juga menimbulkan masalah tersendiri, terutama untuk keluarga dengan dua anak atau lebih. Keluarga dengan anak-anak yang masih kecil cende-rung menggunakan satu kamar untuk digunakan bersama oleh anak-anaknya. Sementara keluarga dengan anak usia remaja ke atas cenderung memilih untuk menambah ruang kamar di lahan yang masih tersisa. Grafik 2. Kondisi Penggunaan Ruang pada Responden Grafik 1. Kepuasan terhadap Kondisi Fisik Rumah c. Kepuasan terhadap Fungsi Ekonomi Rumah Seluruh unit rumah dan lahan sudah memiliki sertifikat atas nama masing-masing pengguna rumah. Hanya saja, terdapat perjanjian bahwa rumah paska erupsi ini tidak boleh dijualbelikan. Dengan demikian, nilai ekonomi rumah hanya bisa dicapai oleh warga yang membuka usaha di rumahnya. Dari 60 responden, hanya 31% yang membuka usaha di rumah. Jenis usaha yang dilakukan terbagi antara warung kelontong dan UKM bersama. Sebagian besar Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 A_ 29

Kepuasan Huni Dan Perubahan Hunian Pada Rumah Paska Bencana Erupsi Merapi merupakan usaha kecil dengan intensitas kunjungan berkisar antara 1-15 pengunjung per hari. Meski demikian, sebagian besar responden merasa usaha yang dibuka di rumah cukup berhasil dan dapat membantu kondisi ekonomi mereka. Adanya fasilitas ibadah di dalam lingkungan huntap juga memudahkan warga. Fasilitas pendidikan, kesehatan, lapangan olahraga, dan kantor pemerintahan pun dapat ditempuh kurang dari 15 menit dari lingkungan huntap Pagerjurang. b. Fasilitas Umum Pada proses relokasi, dilakukan pula penataan kawasan secara terpadu, seperti adanya penataan jalan lingkungan, sistem drainase, suplai air bersih, sistem pengangkutan sampah, dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan sistem permukiman pedesaan yang dialami responden sebelum bencana. Gambar 4. Rumah yang Digunakan untuk Usaha Kepuasan terhadap Lingkungan Hunian a. Keterjangkauan Lokasi Huntap Pagerjurang berada tepat di sisi jalan yang menghubungkan kelurahan Kepuharjo dengan jalan Kaliurang. Meski demikian, seperti layaknya kondisi pedesaan di Indonesia, transportasi umum cukup sulit di dapat. Responden menyatakan bahwa terdapat kendaraan umum berupa mobil colt yang biasa masuk ke jalan lingkungan dalam huntap, tetapi hanya pada hari pasaran saja. Meski terbatas, keberadaan angkutan umum ini memudahkan ibu-ibu yang hendak berbelanja ke pasar. Pada hari pasaran yang jatuh pada hari Pon dan Legi penanggalan Jawa, mereka cukup berjalan dari rumah masing-masing ke persimpangan terdekat untuk menunggu datangnya angkutan umum. Grafik 3. Keterjangkauan Fasilitas Publik dari Huntap Responden menyatakan sangat puas terhadap sistem jalan lingkungan dengan perkerasan beton yang diberikan. Drainase yang berada di seluruh sisi jalan juga dirasakan membantu agar jalan dan halaman rumah tidak tergenang air. Sistem listrik prabayar dengan pulsa yang diterapkan juga dirasa cocok oleh responden. Sistem air bersih dengan sumur kolektif juga dirasa tidak memuaskan, hampir semua responden mengeluhkan tidak lancarnya pasokan air bersih. Grafik 4. Kepuasan terhadap Fasilitas Umum Kebersihan lingkungan dirasa cukup baik, dengan adanya kegiatan bersih desa setiap hari Jumat, tetapi sebagian warga merasa masih belum puas. Saat ini, terdapat layanan pengangkutan sampah setiap hari Selasa dan Jumat, yang diserahkan oleh masyarakat kepada pihak ketiga dengan iuran bulanan. Dengan demikian warga sangat terbantu dalam menjaga kebersihan lingkungan huntap Pagerjurang. A_30 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014

c. Kondisi Sosial Masyarakat Pada dasarnya responden cukup percaya dengan keamanan lingkungan hunian, terbukti dengan adanya 46% responden yang menyatakan tidak mengunci pintu ketika meninggalkan rumah selama beberapa saat. Hal ini merupakan kebiasan hidup bertetangga yang dilakukan sejak masih di dusun asal. Sepanjang dua tahun penghunian, hanya sekali terjadi pencurian, yakni terhadap aset gamelan milik dusun Petung yang disimpan di salah satu rumah warga. Grafik 5. Kondisi Sosial Masyarakat Huntap Pada relokasi, warga memutuskan untuk menata zonasi dan pembagian jatah lokasi hunian sesuai dengan tatanan di dusun asal, dalam artian pembagian RT disesuaikan dengan kondisi sebelum bencana, demikian juga yang tadinya tinggal berdekatan pun diusahakan kini juga menempati kavling yang berdekatan. Hal ini ditujukan untuk menjaga kebersamaan dan pola hidup bertetangga yang telah dibina. Dengan demikian semua warga menyatakan saling mengenal baik, termasuk mengenal ketua RT dan RW setempat, serta masih mengadakan pertemuan-pertemuan warga secara rutin, seperti arisan, pengajian, dan sebagainya. Sayangnya, hubungan antara warga di area relokasi dengan warga yang tinggal di perkampungan di sekitar area relokasi kurang begitu baik. Tidak ada kegiatan bersama dengan warga di perkampungan sekitar, hanya 33% yang menyatakan pernah melakukan kegiatan sosial seperti melayat atau membantu jika ada persiapan acara (Jawa: rewang). Perubahan Hunian pada Rumah Paska Erupsi Merapi Dari 60 rumah yang diamati, 90% sudah melakukan pengembangan mandiri. Sebanyak 44 responden menyatakan jika dengan pengembangan mandiri yang mereka lakukan, kini luasan rumah mereka sudah lebih dari 86 m 2. Menurut penuturan responden, setelah serah terima hunian, mereka diminta untuk mempertahankan kondisi bangunan asli selama sebulan untuk keperluan pendataan, setelah itu diijinkan untuk adanya pengembangan mandiri. Maka itu, sebagian besar mulai melakukan pengembangan setelah satu bulan penghunian, hanya sedikit yang menunggu hingga 6-12 bulan untuk mengembangkan huniannya. Pengembangan ini dilakukan bertahap sesuai dengan kemampuan masyarakat, karena fase pengembangan mandiri ini dilakukan dengan dana pribadi seluruhnya, tanpa bantuan dana dari manapun. Umumnya pengembangan dimulai dari pembuatan dapur. Rumah bantuan asli tidak menyediakan ruang khusus untuk dapur, maka masyarakat cenderung memperluas area belakang rumah untuk digunakan sebagai dapur. Setelah itu, umumnya masyarakat membuat teras, karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tritisan yang pendek menyebabkan tampias ketika hujan, sehingga kusen dan daun pintu yang terbuat dari kayu cenderung terancam sambil secara bertahap melakukan upgrade terhadap material finishing bangunan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 A_ 31

Kepuasan Huni Dan Perubahan Hunian Pada Rumah Paska Bencana Erupsi Merapi Alasan Perubahan Hunian Collins dkk (2010) menyatakan bahwa hunian bantuan paska bencana harus memiliki sifat upgradeable, harus memungkinkan adanya peningkatan secara mandiri oleh penggunanya, baik dari kemudahan pengubahan material atau adanya lahan untuk pengembangan horisontal. Grafik 7. Kemudahan Pengembangan Hunian Grafik 6. Alasan Perubahan Hunian (sumber: analisis penulis) Ada beberapa macam perubahan yang dilakukan oleh responden. Pertama, perubahan fungsi ruang, yang dilakukan mayoritas karena adanya ketidaksesuaian fungsi ruang. Kedua, penambahan ruang, yang dilakukan karena terbatasnya ruang yang ada sehingga untuk melakukan pemisahan fungsi ruang harus dilakukan penambahan ruang pada sisa lahan yang tersedia. Ketiga, perluasan ruang, hal ini dilakukan karena luasan ruang yang ada dinilai terlalu sempit. Keempat, perubahan tampak bangunan, mayoritas perlakuan ini didasari keinginan responden untuk meningkatkan kualitas material bangunan. Dari analisis terhadap pengaruh latar belakang responden (pendidikan, penghasilan keluarga, pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga), tidak ditemukan pengaruh yang cukup signifikan. Dalam artian responden bisa dibilang sangat terganggu dengan ketidakpuasan yang dirasakan terhadap huniannya, sehingga hampir semua responden memutuskan untuk melakukan perubahan terhadap huniannya, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kemudahan Pengembangan Hunian A_32 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 Dari pengalaman responden, sebagian besar menyatakan mengalami kesulitan ketika ingin memperluas ke area depan dan belakang ruah, hal ini disebabkan oleh perbedaan level tanah yang cukup tinggi, sehingga sebelum pekerjaan perluasan dilakukan masyarakat harus mengurug lahan terlebih dulu. Untuk mengubah dan menambah fungsi juga cukup sulit, karena keterbatasan ukuran ruang yang ada. Dalam pengubahan warna bangunan pun tidak mudah, karena responden harus menambah plesteran terlebih dahulu pada dinding batako. Kesimpulan Pada masyarakat di Huntap Pagerjurang, kondisi kawasan huntap dinilai cukup memuaskan, tetapi kepuasan dalam unit hunian yang ditinggali masih belum baik. Ketidakpuasan yang cukup tinggi diperoleh akibat ketidaksesuaian ketersediaan ruangan yang ada dengan kebutuhan dan kebiasaan huni responden. Ketidakpuasan ini mengarah pada terjadinya fenomena pengembangan mandiri yang dilakukan oleh masyarakat. Pengembangan yang dilakukan sebagian besar berupa penambahan ruang serta peningkatan kualitas material dan finishing bangunan. Dengan adanya hasil pengamatan yang menunjukkan besarnya fenomena perubahan hunian pada masyarakat di huntap paska erupsi Merapi, akan dilanjutkan penelitian tesis oleh penulis untuk menilai aspek konsistensi penerapan prinsip tahan gempa dan kemudahan evakuasi pada hunian paska erupsi Merapi yang didirikan dengan rekonstruksi partisipatif ini.

Daftar Pustaka Batchelor, Victoria. (2011). Tarpaulins, Transitional Shelter or Permanent Houses. Oxford Brookes University Amole, Dolapo. (2008). Residential Satisfaction in Students Housing. Journal of Environmental Psychology. Struyk, R. J., Hoffman, M. L., Katsura, H. M. (1989). The Market for Shelter in Indonesian Cities. The Urban Institute Press. Savasdisara, T., et al. (1989). Residential Satisfaction In Private Estate In Bangkok. Habitat International factors. Habitat International. Turner, John F.C. (1977). Housing by People: Toward Autonomy in Building Environments. Pantheon Books. Morris, N. Earl, Winter, Mary. (1978). Housing, Family, and Society. John Willey and Son, Inc. Collins, S. Corsellis, T. Vitale, A. (2010). Transitional Shelter: Understanding Shelter from The Emergency Through Reconstruction and Beyond. ALNAP. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 A_ 33