PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh : Listyo Budi Santoso Dosen Fakultas Hukum - Universitas Pekalongan ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

PANCASILA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA. NAMA : Danang Wilantoro NIM : KELOMPOK : E PROGRAM STUDI : S1 JURUSAN : TI

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan salah satu tempat pembentukan kepribadian seseorang. Dalam

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

Jurnal Pengabdian pada Masyarakat Volume 29, Nomor 4 Agustus Desember 2014

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENELITIAN KAJIAN WANITA

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia, tujuan

BAB I PENDAHULUAN. dasar dari susunan masyarakat, untuk itulah lahir Undang-undang Nomor 1

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kekerasan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. berpendidikan menengah ke atas dengan penghasilan tinggi sekalipun sering

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Majalah Hukum Forum Akademika

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan pada bab IV maka ada beberapa hal yang dapat

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

KEKERASAN PADA ISTRI DALAM RUMAH TANGGA BERDAMPAK TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI OLEH : KEUMALAHAYATI

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme dan ideologi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi dalam ruang domestik (rumah tangga). 1. kekerasan yang menimpa kaum perempuan (istri) 3

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

k. Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, kapasitas perempuan, dan perlindungan anak.

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, baik di lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik.

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai

I. PENDAHULUAN. lain hal. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pengertian pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. 351 KUHP), perkosaan (Pasal 285 KUHP) dan seterusnya. dipakai, masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Perbuatan tersebut

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

MEWASDAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh : Mursudarinah Stikes Aisyiyah Surakarta

ANALISIS KEBIJAKAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEK PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PADA PEMBANGUNAN NASIONAL DI KAB.

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

1 Universitas Kristen Maranatha

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diibaratkan seperti gunung

Transkripsi:

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh : Listyo Budi Santoso Dosen Fakultas Hukum - Universitas Pekalongan ABSTRAK Akar kekerasan terhadap perempuan karena adanya budaya dominasi lakilaki terhadap perempuan atau budaya patriarki. Dalam struktur dominasi laki-laki ini kekerasan seringkali digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas dan kadangkala untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Kekerasan terhadap perempuan sering tidak dinggap sebagai masalah besar atau masalah sosial. Dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam rumah tangga diatur dalam Bab II, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004. ketentuan pidananya diatur pada Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50 Kata Kunci : kekerasan, perempuan PENDAHULUAN Kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga dewasa ini, merupakan suatu hal yang menarik karena banyak diperpincangkan oleh kalangan praktisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi dan masyarakat luas. Hal itu dilatar belakangi adanya tuntutan peren isteri dalam rumah tanggayang semakin komplek seiring dengan perkembangan jaman yang cenderung lebih memperhatikan Hak- Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa melihat atau membedakan jenis kelamin. Kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga dewasa ini tidak saja merupakan masalah individu, melainkan juga merukapan masalah nasional dan bahkan sudah merupakan masalah global. Dalam hal-hal tertentu kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga dapat dikatakan sebagai masalah transnasional. Dikatakan masalah global dapat dilihat dari ditetapkan hukum internasional yang menyangkut fenomena. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, menyandang predikat buruk dalam masalah pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang salah satu diantaranya pelanggaran HAM perempuan. Pelanggaran HAM permpuan tersebut dapat digolongkan sebagai tindak kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga. Pada tahun 1994, sepuluh tahun setelah Konvensi Wanita diratifikasi Indonesia, sejumlah wanita yang terdiri dari para pengajar dan aktivis sejumlah LSM isteri dalam rumah tanggamembentuk kelompok kerja Convention Watch. Mereka adalah para pengajar pada Program Studi Kajian Wanita, Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Pada saat itu Pusat Lembaga terkini yang dibentuk melaui Keppres No.181 tahun 1998 adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Isteri dalam rumah tangga(komnas Perempuan), terakhir terbitnya UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang- Undang PKDRT ini bukan hanya perlu diperhatikan oleh perempuan, tetapi juga 18

oleh semua unsur dalam masyarakat yaitu keluarga, para penegak hokum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pengacara), para pekerja sosial, Lembaga Bantuan Hukum maupun pembimbing rohani. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan (Hasbianto, 1996). Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri. Terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga. Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik. Dengan lahirnya berbagai peraturan yang berkenaan dengan perempuan, baik secara nasional maupun internasional, tentu harapan kita adalah kekerasan terhadap perempuan bisa diminimalisir. Namun ternyata das sein tidak sesuai dengan da sollen, artinya terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Yang nampak ke permukaan justru kekerasan terhadap perempuan khususnya 19

dalam rumah tangga dari tahun ke tahun terus meningkat. Disinilah masalahnya. Akhirnya perlu dikaji lebih lanjut faktor apa saja yang menjadi pencetus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Cara apa yang ditempuh oleh korban sebagai alternatif pemecahan persoalan kekerasan dalam rumah tangganya. Sejauh mana peran pemerintah maupun non pemerintah dalam menangani PEMBAHASAN Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 bukan hanya suami, isteri dan anak tetapi termasuk juga orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan arah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perkawinan yang menetap dalam rumah tangga yang bersangkutan. Termasuk juga orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tersebut (Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2004). Kekerasan dapat terjadi di dalam lingkup anggota rumah tangga secara keseluruhan, bukan hanya kekerasan suami terhadap isteri. Namun dari data yang diperoleh baik hasil penelitian maupun laporan kasus dari berbagai lembaga yang peduli terhadap perempuan, menunjukkan bahwa mayoritas kasus dalam rumah tangga adalah kekerasan suami terhadap isteri. Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2004 menyatakan bahwa : kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lebih ekplisit lagi, Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa : setiap orang di larang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangga dengan cara (a) kekeraan fisik, (b) kekerasan psikis, (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran rumah tangga. Dari definisi tersebut di atas terlihat UU ini tidak semata-mata untuk kepentingan perempuan tetapi juga untuk mereka yang tersubordinasi. Jadi bukan hanya perempuan dewasa maupun anak-anak, tapi juga laki-laki baik dewasa maupun anak-anak. Hanya selama ini fakta menunjukkan bahwa korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Hal ini penting untuk dipahami bersama, karena masih ada anggapan dari sebagian besar masyarakat yang memandang sinis terhadap peraturan di atas, seolah-olah tuntutan tersebut terlalu dibuat-buat oleh perempuan. Menghapus lingkaran kekerasan merupakan masalah yang kompleks, bukan hanya melihat efektif tidaknya suatu peraturan perundangan yang sudah ada, namun budaya yang telah tertanamkuat di masyarakat dapat menjadi landasan perilaku seseorang. Kesetaraan gender belum muncul secara optimal di masyarakat, ditambah lagi dengan budaya patriarki yang terus langgeng membuat perempuan berada di dalam kelompok yang tersubordinasi menjadi rentan terhadap kekerasan. Di sini laki-laki dalam posisi dominan atau superior dibandingkan dengan perempuan. Anggapan isteri milik suami dan seorang suami memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain, menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga akan berpengaruh pada anak karena sifat anak yang suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang terdekatnya, dalam hal ini ayah dan ibunya. Anak akan menganggap wajar kekerasan yang dilakukan ayahnya, sehingga anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan seperti itu cenderung akan meniru pola yang sama ketika ia bersiteri kelak. 20

Latar budaya patriarki dan ideologi gender berpengaruh pula terhadap produk perundang-undangan. Misalnya pasal 31 ayat (3) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa : Suami adalah kepala keluarga & istri ibu rumah tangga. Hal ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya termasuk melakukan kekerasan. Ada kecenderungan dari masyarakat yang selalu menyalahkan korbannya, hal ini karena dipengaruhi oleh nilai masyarakat yang selalu ingin harmonis. Walaupun kejadiannya dilaporkan usaha untuk melindungi korban dan menghukum pelakunya, sering mengalami kegagalan karena KDRT khususnya terhadap perempuan tak pernah dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus kekerasan didasarkan pada pendidikan istri yang rendah, masalah seksual dan ekonomi. Ada suami yang malu mempunyai istri yang pendidikannya rendah, lalu melakukan perselingkuhan. Ketika diketahui oleh istrinya, malah si istri mendapat perlakuan kekerasan dari suami (Pikiran Rakyat, 21 April 2007, Laporan P2TP2 Kota Bandung). Ada anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan intern suami istri yang hubungan hukumnya terikat di dalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum keperdataan. Dengan demikian tatkala terjadi pelanggaran dalam hubungan antar individu tersebut penegakkan hukumnya diselesaikan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan, Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan konsep baru, yang diangkat pada Konferensi Dunia Wanita III di Nairobi, yang berhasil menggalang konsesus internasional atas pentingnya mencegah berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari di seluruh masyarakat dan bantuan terhadap perempuan koban kekerasan. Oleh karena kekerasan terhadap perempuan merupakan konsep baru, maka mengenai definisi atau batasan kekerasan terhadap perempau (baca:istri) dalam rumah tangga anampaknya belum ada definisi tunggal dan jelas dari para ahli atau pemerhati maslah-masalah perempuan. Walaupun demikian kirannya perlu dikemukakan beberapa pendapat mengenai hal tersebut. Tindak kekerasan adalah melakukan kontrol, kekerasan dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik danekonomi yang dilakukan individu terhadap individu yang lain dalam hubungan rumah tangga atau hubungan intim (karib). Kemala Candrakirana mengemukakan kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran Termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup rumah tangga (Kemala Candrakirana,2005: 4). Carwoto (2000: 85) mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau juga dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri disebut juga kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga juga disebut kekerasan keluarga. Sebenarnya kedua istilah tersebut mengandung arti yang tidak sama. Pengertian keluarga adalah adanya hubungan darah antara orang-orang dalam dalam rumah tangga sedangkan dalam pengertian rumah tangga adalah di dalam rumah tangga yang bersangkutan di samping antara anggota rumah tangga adanya hubungan darah ada juga orang lain di rumah tangga itu karena hubungan ekonomi. Oleh karena demikian rumah tangga mengandung lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan lingkup keluarga. 21

Dari beberapa pengertian kekerasan terhadap perempuan yang telah dikutif di atas, pendapat Kemala Candrakirana yang paling luas karena lingkup kekerasan yang dikemukakannya mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran, termasuk ancaman yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan dalam lingkup rumah tangga. Mengenai pasangan intim seperti tersebut di atas dapat diasumsikan sebagai teman hidup yang mana pasangan seperti ini tidak lasim di Indonesia. Pasangan intim yang tidak terikat perkawinan tidak diakui secara hukum baik hukum pemerintah maupun hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat) dan juga hukum agama. walaupun demikian tidak berarti di Indonesia tidak ada pasangan intim yang hidup serumah tidak terikat perkawinan. Pengertian kekerasan terhadap perempuan di samping seperti telah dikemukakan di atas, juga diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, pada Pasal 1 menegaskan mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan yaitu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelami yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan yang termuat pada Pasal 1 Deklarasi tersebut tidak secara tegas disebutkan mengenai kekerasan dalam rumah tangga tetapi pada bagian akhir kalimat disebutkan... atau dalam kehidupan pribadi. Kehidupan pribadi dapat dimaksudkan sebagai kehidupan dalam rumah tangga. UU No. 23 Tahun 2004, secara tegas mengatur pengertian kekerasan dalam rumah tangga pada Pasal 1 butir 1. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulmya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam dalam lingkup rumah tangga. Pengertian kekerasan dalam Pasal 1 butir1 tersebut di atas sudah jelas menekankan pada perempuan dalam rumah tangga. Dari beberapa pengertian kekerasan terhadap perempuan seperti telah dikemukakan di atas, pengertian yang terdapat pada Pasal 1 butir 1 U U No. 23 Tahun 2004 yang dijadikan dasar pijakan dalam membahas permasalahan dalam tulisan ini. Karena pengertian yang diatur dalam pasal tersebut paling tepat dipakai sebagai pisau analisis mengingat lingkupnya paling lengkap. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga tidak mestinya terjadinya di dalam rumah tangga, bisa saja kejadiannya di luar rumah tangga. Yang terpenting baik pelaku maupun korbannya adalah berada dalam ikatan rumah tangga atau anggota rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam : 22

1. Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya. 2. Kekerasan psikologis / emosional Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak. 3. Kekerasan seksual Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. 4. Kekerasan ekonomi Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006). Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam Rumah tangga Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-rakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut: 1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. 2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. 3. Beban pengasuhan anak Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. 4. Wanita sebagai anak-anak Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib. 23

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Akar kekerasan terhadap perempuan karena adanya budaya dominasi lakilaki terhadap perempuan atau budaya patriarki. Dalam struktur dominasi laki-laki ini kekerasan seringkali digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas dan kadangkala untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Kekerasan terhadap perempuan sering tidak dinggap sebagai masalah besar atau masalah sosial karena hal itu merupakan urusan rumah tangga yang bersangkutan dan orang lain tidak perlu ikut campur tangan. Walaupun adanya pandangan seperti tersebut di atas tidak berarti menjadikan alasan untuk tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan hukum adalah setiap usaha yang dilakukan oleh pihak-pihak untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, seksual dan kekerasan ekonomi. Pihak-pihak yang dapat melakukan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, bisa siapa saja misalnya dapat dilakukan oleh keluarga korban, tetangga korban, tokoh masyarakat, aparat penegak hokum (polisi, jaksa, hakim), lembaga sosial dan lain sebagainya. Yang jelas pihak-pihak dimaksud dapat memberikan rasa aman terhadap istri korban kekerasan suami. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sering tidak dapat berbuat banyak atau dalam keadaan binggung, karena tidak tahu harus mengadu ke mana, ke rumah asal belum tentu diterima. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya di mana perempuan yang sudah kawin menjadi tanggung jawab suaminya. Sehingga apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sering tidak terungkap kepermukaan karena masih dianggap membuka aib keluarga. Dengan sulit terungkapnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, ini berarti perempuan korban kekerasan ikut melindungi kejahatan dalam rumah tangga. Sebelum keluarnya UU No. 23 Tahun 2004, perlindungan hokum terhadap perempuan korban kekerasan suami diatur dalam Pasal 356 ayat 1, KUHP. Pasal 1365 KUHPerdata., Pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita/Perempuan, Pasal 17 UU NO. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Setelah berlakunya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam rumah tangga diatur dalam Bab II, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004. ketentuan pidananya diatur pada Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50. 24

KESIMPULAN Akar kekerasan terhadap perempuan karena adanya budaya dominasi lakilaki terhadap perempuan atau budaya patriarki. Dalam struktur dominasi laki-laki ini kekerasan seringkali digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas dan kadangkala untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Kekerasan terhadap perempuan sering tidak dinggap sebagai masalah besar atau masalah sosial. Sebelum keluarnya UU No. 23 Tahun 2004, perlindungan hokum terhadap perempuan korban kekerasan suami diatur dalam Pasal 356 ayat 1, KUHP. Pasal 1365 KUHPerdata., Pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita/Perempuan, Pasal 17 UU NO. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam rumah tangga diatur dalam Bab II, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004. ketentuan pidananya diatur pada Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 5 DAFTAR PUSTAKA Candrakirana, Kemala, 2005, Hentikan Kekerasan Dalam Keluarga, Carwoto, 2000, Mengungkap Dan Mengeliminasi Kekerasan Terhadap Istri, dalam Menggugat Harmoni, Rifka Anisa, Yogyakarta. Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi. Diambil pada tanggal 26 oktober 2006.. (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id. 25