BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan di alam bebas (Out Door s Activity), berupa mendaki gunung,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, keadaan dunia pendidikan di Indonesia mengalami. perkembangan. Salah satu perkembangan terbaru yang terjadi adalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi atau Universitas merupakan lembaga pendidikan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang dididik secara formal dan diberikan wewenang untuk menerapkan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menambah

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini, pertumbuhan di bidang pendidikan kian

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya ( Oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya,

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang undang Pemerintahan Negara Republik Indonesia tahun 2003 pasal

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan aspek-aspek dalam dunia pendidikan

BAB I PENDAHULUAN menjadi kurikulum KKNI (kerangka kualifikasi nasional Indonesia) (Dinas

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman sekarang ini kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. semua kebutuhan dalam kehidupannya. Tidak ada seorangpun yang. menginginkan hidup berkekurangan. Oleh karena itu, setiap individu

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. terutama perguruan tinggi mulai sungguh-sungguh dan berkelanjutan mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tergolong tinggi, sehingga para petugas kesehatan seperti dokter,

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin maju, maka perubahan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. Dari anak kecil sampai orang dewasa mempunyai kegiatan atau aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan orang terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menyiasati persaingan global, Indonesia berusaha membenahi

BAB I PENDAHULUAN. sumbangsih bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut maka terjadi banyak perubahan di segala bidang termasuk di bidang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini perguruan tinggi di Bandung sudah sangat banyak, sehingga

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini kehidupan manusia, termasuk Indonesia telah memasuki era

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam rangka menyongsong era persaingan bebas antar bangsa yang semakin

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak yang lahir merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang penting bagi individu, masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persaingan global saat ini menuntut individu agar mampu mencapai

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan dalam pekerjaan. Perubahan gaya hidup tersebut diantaranya adalah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki tahun 2007 ini, negara Indonesia dihadapkan pada tantangan dunia

BAB II LANDASAN TEORI

LAMPIRAN I KUESIONER DATA PENUNJANG KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. berbagai jenis institusi, salah satunya adalah institusi rumah sakit. Rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN. impian masa depan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional Pengertian Kecemasan Menghadapi Ujian

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan yang cukup, bahkan bercita-cita untuk lebih dari cukup untuk memenuhi semua

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis. matematis merupakan sebuah cara dalam berbagi ide-ide dan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) siswa dengan kelompok heterogen. Sedangkan, Sunal dan Hans

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Perubahan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Hurlock (1999), masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan di alam bebas (Out Door s Activity), berupa mendaki gunung, menyusuri pantai, memanjat tebing, dapat dikategorikan sebagai kegiatan berolahraga. Namun, banyak orang juga menyebutnya sebagai kegiatan bertualang. Meski resiko kecelakaan yang dapat diakibatkan daripadanya dapat berupa cedera ringan hingga memungkinkan adanya kematian, namun kegiatan alam bebas, khususnya pendakian gunung, semakin hari semakin diminati banyak orang. Seorang Out Door s Educationalist terkemuka Inggris dalam bukunya Adventure Education dan Adventure Alternative bahwa yang mendorong manusia untuk mendaki gunung, menempuh rimba, menyusuri pantai dan sejenisnya dikarenakan adanya insting beradventure (bertualang). Insting ini secara alami dimiliki oleh setiap manusia dengan kualitas dorongan impuls yang berbeda. Oleh karena itu, bila makin kuat dorongan impuls tersebut, maka makin besar resiko yang diambilnya; dan jika hal ini tidak tersalurkan dengan baik dapat menimbulkan ketidakseimbangan jiwa. Jadi pada umumnya yang mendorong seseorang untuk mendaki gunung adalah faktor psikologis, kepuasan batin di saat mencapai puncak bersama timnya, setelah menghadapi berbagai rintangan, dan merasakan lebih mendalam ciptaan Tuhan atas alam ini (Harry dan Christian Wijaya, 2005: 1).

2 Perhimpunan Penjelajah Alam muncul untuk mengakomodir ketertarikan para penggiat (sebutan bagi pelaku Out Door s Activity) atas alam. Terdapat banyak Perhimpunan Penjelajah Alam yang ada di Indonesia. Di kota Bandung, jumlahnya ± 140 Perhimpunan yang terbagi menjadi tiga golongan yakni: Perhimpunan Penjelajah Alam tingkat SMA, Universitas, dan Umum yang sebagian besar tergabung dalam sebuah forum bernama Keluarga Besar Pecinta Alam (KBPA). Salah satu Perhimpunan Penjelajah Alam tingkat SMA di kota Bandung adalah Perhimpunan Penjelajah Alam Jamadagni. Jamadagni (JMD) merupakan Perhimpunan Penjelajah Alam (PPA) yang berawal dari salah satu kegiatan ekstrakurikuler di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bandung yang didirikan berdasarkan minat besar para anggotanya terhadap aktivitas di alam bebas. Berdiri pada tanggal 19 Juli 1978 dan hingga sekarang telah beranggotakan > 325 orang anggota dengan anggota aktif sekitar ± 50 orang. Meskipun PPA JMD secara struktural dalam OSIS SMAN 3 Bandung berada di bawah koordinasi seksi 3 (Bela Negara), namun operasional PPA JMD bersifat mandiri, non-profit dan non politik, artinya pembiayaan, pelaksanaan seluruh kegiatan keseharian serta aktivitas dilakukan dengan usaha mandiri. JMD memiliki tujuan organisasi yakni Terwujudnya insan pencinta alam dan insan terdidik yang bertanggung jawab atas tercapainya masyarakat yang sejahtera, serta sebuah motto: we are proud of ourselves..

3 Dalam berkegiatan, JMD memiliki azas cinta alam, kemasyarakatan, dan pendidikan. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan utama yang dilakukan secara rutin oleh PPA Jamadagni yakni kegiatan gunung hutan (GH), kegiatan tebing terjal / rock climbing (RC), dan kegiatan arung jeram (ORAD). Selain itu, PPA JMD juga melakukan kegiatan lainnya seperti observasi suku-suku pedalaman, kegiatan Save and Rescue (SAR), diskusi lingkungan hidup, temu muka sesama penggiat bebas, mengikuti lomba arung jeram, dan eksplorasi gunung pada pulau pulau di Indonesia. Untuk menjadi anggota JMD diperlukan beberapa tahap pendidikan, yakni: Tahap pengenalan (Pra pendidikan dasar), Tahap seleksi (Pendidikan dasar), Tahap masa bimbingan (Pendidikan lanjutan), dan Tahap masa bakti. Pra pendidikan dasar merupakan masa persiapan siswa dalam menghadapi kegiatan pendidikan dasar sekaligus sarana para peserta untuk saling mengenal dan pembiasaan peserta terhadap aturan-aturan umum. Persiapan tersebut dilakukan selama satu bulan meliputi kesiapan fisik, pengenalan materi, dan kelengkapan alat. Pendidikan dasar merupakan salah satu tahap kaderisasi berupa simulasi dan latihan berkegiatan di alam bebas yang wajib dijalani yang dilakukan selama satu minggu penuh dengan melakukan pendakian gunung dan penelusuran hutan dengan tujuan mempersiapkan fisik dan mental calon anggota, serta memberikan gambaran mengenai bagaimana sebenarnya kegiatan di alam bebas yang dikondisikan dalam sebuah perjalanan bersama sehingga diharapkan setelah mengikutinya, fisik dan mental mereka telah siap dan terbentuk untuk menjadi penjelajah alam yang tangguh dalam menghadapi tantangan alam. Kegiatan ini wajib diikuti oleh siswa (merupakan

4 sebutan untuk calon anggota yang menjalani pendidikan kepenjelajahalaman) yang telah mengikuti tahapan pra pendidikan dasar untuk mendapatkan status anggota muda (AM). Berdasarkan hasil survei, dari sejumlah pendaftar dari tahun ke tahun yang mengikuti tahap ini, ada saja yang tidak dapat menyelesaikannya. Hal tersebut berkaitan syarat kelulusan pendidikan dasar yakni mengikuti seluruh kegiatan selama seminggu penuh tanpa ada yang terlewatkan, tidak mengundurkan diri, serta tidak pingsan selama kegiatan. Setelah berstatus anggota muda (AM), para siswa masih harus menempuh tahapan berikutnya yakni pendidikan lanjutan. Pendidikan lanjutan adalah tahapan yang harus diikuti setiap anggota muda untuk menjadi anggota penuh PPA Jamadagni Bandung dan memiliki Nomor Registrasi Permanen (NRP). Tahapan ini dilaksanakan untuk mempersiapkan anggota muda siap mengemban tanggung jawabnya sebagai anggota nantinya. Tahapan ini dilaksanakan selama delapan bulan, meliputi masa perkenalan antara anggota muda dengan anggota penuh selama satu bulan, masa pendidikan lanjutan dan pengorganisasian ekspedisi (membuat proposal ekspedisi, memresentasikannya dan menjalankan ekspedisi) dalam kurun waktu enam bulan, serta satu bulan terakhir digunakan untuk menyelesaikan syarat-syarat pelantikan yakni pengajuan nama angkatan, dan ujian. Selain itu, anggota muda diberi kesempatan selama masa pendidikan lanjutan untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan semua bidang spesialisasi (GH, RC, dan ORAD) dengan syarat pencapaian tertentu (yang telah ditentukan oleh

5 bagian diklat) sekaligus memberi kesempatan kepada anggota muda untuk menentukan bidang spesialisasi apa yang akan dipilihnya nanti disamping mengikuti kegiatan rutin PPA Jamadagni sehingga menuntut kemampuan siswa untuk membagi waktu. Kegiatan rutin di Jamadagni tersebut termasuk kegiatan praktek kepenjelajahalaman, pemahaman teori, dan pengembangan kemampuan organisasi. Pada satu bulan pertama dalam masa anggota muda (AM) ini, para anggota dihadapkan pada beberapa masalah yang mungkin timbul pada saat mereka melakukan kegiatan kepenjelajahalaman yakni para anggota muda harus menyelenggarakan malam perkenalan dan melaksanakan perjalanan pertama dimana mereka harus menyusun jadwal kegiatan untuk memperkenalkan diri pada anggota sekaligus menyusun jadwal perjalanan. Masa selanjutnya disebut masa pra ekspedisi. Pada tahap ini, tidak sedikit AM JMD yang gugur. Berdasarkan data, sejumlah siswa yakni rata-rata 52,67% AM per tahun (dari tahun 2000-2008) dengan jumlah keseluruhan 75 siswa yang telah menjalani serangkaian kegiatan selama paling tidak satu bulan, mengundurkan diri. Sejumlah AM mengeluhkan terlalu padatnya kegiatan dan banyaknya tuntutan baik dari orang tua, sekolah, maupun JMD sendiri sehingga anggota muda tidak yakin mampu mengikuti seluruh kegiatan yang ada dan menyelesaikan tahapan yang ada hingga akhir proses pendidikan lanjutan. Kegiatan-kegiatan JMD meliputi latihan praktek yang sering dilakukan pada hari Sabtu-Minggu atau pada hari libur lainnya, penyusunan proposal ekspedisi, dan presentasi ekspedisi yang biasanya dilakukan

6 pada malam hari dan biasanya berakhir pada dini atau pagi hari. Selain itu, pada tahap pendidikan lanjutan ini pun AM dituntut untuk menyesuaikan jadwal yang telah mereka terima dari anggota yang mensimulasikan keadaan darurat dengan jadwal yang terkadang pada prakteknya berbeda pada anggota penuh sehingga diperlukan penjadwalan ulang untuk kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam masa ini, pemberitahuan tentang kegiatan biasanya dilakukan beberapa jam sebelum kegiatan dimulai dan AM harus sudah siap untuk mengikutinya. Terdapat beberapa jadwal kegiatan yang dimajukan dan beberapa jadwal yang ditunda untuk mensimulasikan keadaan darurat yang tidak menentu. Disamping pada masalah jadwal, terdapat pula masa penyusunan proposal nama angkatan yang akan dipresentasikan. Pada umumnya proposal ini sengaja dibuat tidak diterima hingga menjelang saat ekspedisi untuk menambah tekanan bagi AM. Setelah itu, terdapat masa ekspedisi yaitu AM diharuskan membuat sebuah perjalanan dengan syarat tertentu yang diminta bagian diklat. Syarat ini beragam, mulai dari tempat, syarat teknis, tujuan, ketinggian, atau syarat lain yang dirasa penting oleh diklatnya. Pada masa ekspedisi ini, AM diharuskan memimpin dan mengatur perjalanannya sendiri. Sedangkan anggota penuh yang mendampingi hanya bertindak sebagai pengawas dan akan mengambil alih ketika terjadi keadaan darurat. Tahap selanjutnya adalah masa pasca ekspedisi, yaitu AM diharuskan untuk membuat laporan ekspedisi dan nama angkatan. Kegiatan rutin juga dilakukan pada masa ini, hanya saja tidak terjadwal secara rutin. AM diharapkan siap berkegiatan kapan saja, baik berupa kegiatan di luar ruangan, maupun kegiatan keorganisasian.

7 Banyak di antara AM yang merasa tahap ini sebagai tahap yang membingungkan. Di satu sisi AM tersebut merasa lelah dengan ketidakmenentuan jadwal, namun jika berpikir untuk ke luar atau mengundurkan diri dari keanggotaan JMD, AM merasa keberatan mengingat telah banyaknya melaksanakan kegiatan, termasuk ekspedisi. Tekanan paling berat terjadi pada masa pertanggungjawabaan ekspedisi dan pencarian nama angkatan. Pada masa ini, AM diharuskan mempertanggungjawabkan kegiatan ekspedisinya kepada anggota penuh dan menentukan nama sebagai identitas dari angkatannya. Kedua hal ini sering menjadi tekanan tersendiri bagi AM karena setiap detil kegiatan yang telah dilakukan diminta pertanggunganjawabannya (termasuk filosofi dalam pemilihan nama angkatan). Adanya kesalahan prosedur atau teknik kegiatan dapat membuat AM harus mengulang masa pra ekspedisinya, atau bahkan dibatalkan menjadi anggota penuh. Setelah berhasil melewati kedua tahap sebelumnya, para AM dilantik menjadi anggota penuh dan memerlukan dua tahun masa bakti agar secara de jure resmi menjadi anggota penuh JMD. Pada masa bakti ini, anggota diwajibkan membuat kegiatan bagi adik-adiknya, meliputi penyusunan proses kaderisasi, yaitu tahap pendidikan dasar hingga menjadi anggota. Selain itu, anggota juga diwajibkan menjadi pengurus komisariat dan sekretariat. Setelah masa ini maka anggota dapat bebas berkegiatan dan menggunakan fasilitas Jamadagni. Mencermati panjangnya tahap pendidikan dan beratnya beban baik fisik dan mental selama menjalani tahap-tahap pendidikan kepenjelajahalaman (terutama dalam menjalani pendidikan lanjutan), tentu dibutuhkan minat yang besar maupun

8 keyakinan akan kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan ini. Dalam menjalaninya sebagian anggota muda mampu menyelesaikan tahap pendidikan hingga menjadi anggota penuh, namun ada pula yang mengundurkan diri sebelum selesai menjalaninya. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal tersebut menjadi perhatian peneliti untuk mengetahui bagaimana keyakinan para anggota muda atas kemampuan dalam menjalani dan menghadapi keadaan tersebut sehingga dapat bertahan hingga menjadi anggota penuh; yang disebut sebagai self-efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan diri akan kemampuan orang yang bersangkutan untuk dapat melakukan suatu tugas tertentu. Self-efficacy merupakan kemampuan yang tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan berdasarkan pemaknaan dan penghayatan seseorang akan sumber-sumber informasi pembentuk self-efficacy (Bandura, 2002). Sumber self-efficacy terdiri atas empat: sumber pertama yaitu enactive mastery experience, merujuk pada pengalaman yang dialami dan dimaknakan oleh masing-masing AM (sebagai keberhasilan atau kegagalan) yang berfungsi sebagai indikator dari kemampuan seseorang. Sebagai contoh: AM yang memaknakan pengalaman dapat mendaki gunung hingga puncak sebagai suatu keberhasilan, pada umumnya menjadi lebih yakin akan kemampuan dirinya. Enactive mastery experience anggota JMD didapat dari pengalamannya selama berkegiatan ataupun selama berorganisasi. Sumber kedua yaitu vicarious experience, merujuk pada sumber yang dapat mempengaruhi keyakinan akan kemampuan diri melalui pengamatan dan perbandingan dengan keberhasilan dan kegagalan orang lain (yang

9 memiliki karakteristik yang serupa dengan dirinya), seperti: AM melihat temannya berhasil mendaki hingga puncak gunung tertinggi di pulau Jawa, hal tersebut dapat membuat diri AM lebih yakin untuk dapat mencapai hal yang sama dengan karakteristik teman yang serupa dengan dirinya. Sumber ketiga yaitu verbal persuasion yakni pengaruh sosial dari orang yang signifikan bahwa ia memiliki kemampuan tertentu yang disampaikan melalui umpan balik (feedback), pujian atau pun kritik, seperti penggiat senior memberikan pujian ketika AM bimbingannya berhasil melewati jeram yang sulit dan penghayatan AM terhadap pujian tersebut dapat mempengaruhi keyakinan akan kemampuan yang dimiliki AM. Sumber terakhir adalah physiological and affective state yaitu penilaian seseorang mengenai ketergugahan fisik dan emosional yang dialami sebagai indikator dari kemampuan, seperti: ketika seorang AM selalu mengalami kecemasan tatkala mempelajari materi tertentu sehingga AM tersebut merasa tidak yakin diri akan kemampuannya. Keempat sumber di atas melalui proses kognitif pada masing-masing diri AM, berperan dalam pembentukan self-efficacy belief yang dimiliki anggota muda. Selfefficacy yang dimiliki anggota muda berpengaruh pada tingkah laku anggota muda dalam menjalani rangkaian tahap pendidikannya, yaitu rangkaian tindakan yang dipilih untuk diteruskan berkaitan dengan target pencapaian dan dalam kemajuan materinya, besarnya usaha untuk maju yang dikerahkan dalam menghadapi tahapan pembelajaran, lama bertahan dalam berhadapan dengan hambatan dan kegagalan, banyaknya tekanan yang dialami dalam upaya mengatasi tuntutan-tuntutan lingkungan, serta taraf pencapaian yang disadari. Banyaknya hambatan dan tekanan

10 yang dialami oleh anggota muda dalam menjalani tahap pendidikan kepenjelajahalaman, membuat seorang anggota muda harus memiliki beberapa sumber self efficacy yang kuat dalam dirinya. Hal ini membuat self-efficacy menjadi penting untuk dapat bertahan hingga menjadi anggota penuh. Berdasarkan hasil survei awal yang dilaksanakan dengan melakukan wawancara kepada 3 anggota Perhimpunan Penjelajah Alam Jamadagni, diperoleh sejumlah gejala mengenai pengaruh masing-masing sumber self-efficacy terhadap keyakinan akan kemampuan diri pada anggota muda PPA JMD dalam menjalani pendidikan kepenjalajah-alaman. Hasil survei awal tersebut adalah sebagai berikut: Pengalaman yang dialami sendiri oleh anggota muda (Mastery Experience) yakni saat mampu mendaki gunung hingga puncak dimaknakan oleh ketiga anggota sebagai pengalaman keberhasilan. Hal itu membuat dua AM menjadi bersemangat untuk mendaki hingga puncak gunung lainnya, sedangkan satu AM ingin rehat untuk beberpa waktu sebelum bersedia mendaki kembali. Sedangkan salah satu pengalaman yang dimaknakan sebagai kegagalan yakni saat proposal ekspedisi belum diterima. Hal tersebut membuat dua AM menjadi cenderung malas untuk melakukan revisi, sedangkan satu AM menjadi lebih bersemangat untuk cepat merevisi. Vicarious experience tergambar saat teman yang memiliki karakteristik diri yang serupa dengan diri anggota menyelesaikan suatu tugas kepenjelajahalaman, dua AM mengaku mengamati dan belajar dari pengalaman teman yang bersangkutan, sedangkan satu AM tidak peduli dengan pengalaman teman yang bersangkutan.

11 Salah satu contoh gejala mengenai umpan balik yang diberikan oleh figur yang signifikan (Verbal Persuation) yakni saat evaluasi diberikan oleh para senior, satu orang AM merasakan meski inti feedback serupa, namun akan memiliki pengaruh yang berbeda dari senior yang berbeda. Sedangkan dua orang AM lebih menekankan jika isi feedback tersebut memang masuk akal maka siapa pun yang memberikannya tidak memiliki perbedaan pengaruh terhadap dirinya. Physiological & affective state (kondisi fisik dan kondisi emosi) terlihat saat anggota melakukan kegiatan kepenjelajahalaman, ketiga anggota pernah merasa mual, pusing, ataupun malas seketika yang mereka kaitkan dengan kegiatan yang sedang dilakukan. Gejala dan fakta yang diperoleh dari survei awal tersebut, menggambarkan bahwa setiap sumber memiliki nilai dan pengaruh berbeda pada sejumlah anggota muda. Berdasarkan hal tersebut membuat peneliti ingin melakukan penelitian yang lebih memfokuskan pada kontribusi sumber-sumber self-efficacy terhadap selfefficacy belief anggota muda Perhimpunan Penjelajah Alam Jamadagni di kota Bandung.

12 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana kontribusi sumber-sumber selfefficacy terhadap self-efficacy belief pada anggota muda Perhimpunan Penjelajah Alam Jamadagni di kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk memperoleh gambaran mengenai derajat self-efficacy dan kekuatan sumber-sumber self-efficacy pada anggota muda Perhimpunan Penjelajah Alam Jamadagni di kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kekuatan kontribusi sumber-sumber self-efficacy terhadap self-efficacy belief anggota muda Perhimpunan Penjelajah Alam Jamadagni di kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi Pendidikan mengenai kontribusi sumber-sumber self-efficacy terhadap self-efficacy belief.

13 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai sumber-sumber self-efficacy belief. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada siswa-siswa di PPA JMD mengenai sumbersumber self-efficacy dan self-efficacy belief mereka; sehingga mereka dapat mempertahankan atau meningkatkan self-efficacy mereka dalam kegiatan penjelajahalaman-nya. Memberi informasi kepada orang tua siswa mengenai self-efficacy anaknya agar dapat turut mendukung dan mengarahkan anaknya dalam menghadapi tantangan dalam kegiatan penjelajahanalaman yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi self-efficacy pada kehidupan sehari-hari. Memberikan informasi kepada PPA JMD (Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA), ketua dan anggota pengurus harian) mengenai kontribusi sumbersumber self-efficacy terhadap self-efficacy belief. Informasi ini dapat digunakan untuk membimbing siswa PPA JMD dalam menghadapi tantangan penjelajahan dan mengembangkan self-efficacy siswa agar dapat menyelesaikan tahapan-tahapan pendidikan di PPA JMD secara optimal.

14 1.5 Kerangka Pemikiran Anggota Muda Perhimpunan Penjelajah Alam berusia antara 15-17 tahun. Menurut Santrock (2002), usia 10-22 tahun dikategorikan sebagai masa remaja. Dalam masa ini, minat remaja yang dibawa dari masa kanak-kanak cenderung berkurang dan diganti oleh minat yang lebih matang. Hal tersebut berkaitan dengan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan saat masa anak-anak hingga berkurangnya waktu yang dapat dipergunakan sesuka hati, maka remaja harus membatasi minat-minatnya. Terdapat beragam minat pada remaja, salah satunya adalah minat pada simbol status. Simbol status merupakan simbol prestise yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya lebih tinggi atau status yang lebih tinggi dalam kelompok. Menurut Hurlock (2002), salah satu cara mendapatkan simbol status adalah remaja bergabung dengan kelompok dan merupakan anggota yang diterima kelompok karena penampilan dan perbuatannya sama dengan penampilan dan perbuatan anggota kelompok yang lain. Hal tersebut sejalan dengan kondisi anggota muda yang bergabung dengan PPA JMD untuk mendapatkan simbol status. Berdasarkan referensi lain (James Coleman, 1961; Eitzen dalam Santrock, 1975), remaja yang tergabung dalam tim olahraga sekolah, menyatakan bahwa dirinya termasuk orang yang penting dalam kelompok sekolah. Jamadagni (JMD) merupakan salah satu ekstrakurikuler olahraga yang tergolong outdoor activities yang berada di lingkungan SMA Negeri 3 Bandung. Untuk menjadi anggota JMD, diperlukan sejumlah tahapan pendidikan kepenjelajahalaman. Satu tahap terpenting

15 dalam pendidikan tersebut yakni pada saat siswa menyandang gelar anggota muda dan harus menjalani tahap pendidikan lanjutan hingga statusnya dapat berubah menjadi anggota penuh. Tahap pendidikan tersebut dilakukan selama delapan bulan, dengan rincian yakni: masa perkenalan antara anggota muda dengan anggota penuh selama satu bulan, masa pendidikan lanjutan dan pengorganisasian ekspedisi (membuat proposal ekspedisi, memresentasikannya dan menjalankan ekspedisi) dalam kurun waktu enam bulan, serta satu bulan terakhir digunakan untuk menyelesaikan syarat-syarat pelantikan yakni pengajuan nama angkatan, dan ujian. Setelah melalui tahap pendidikan lanjutan tersebut, para anggota muda yang statusnya telah menjadi anggota penuh diharapkan dapat menjadi anggota penjelajah alam yang tidak hanya menyalurkan minat yang mereka miliki atas alam namun juga merupakan individu dengan mental yang tangguh serta bertanggung jawab. Meski demikian, untuk melalui tahap pendidikan lanjutan hingga menjadi anggota penuh tidaklah mudah, karena mmebutuhkan usaha untuk mencapainya, terdapat hambatan dan mungkin kegagalan di dalamnya, disertai tuntutan-tuntutan lingkungan yang ada. Proses tersebut merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh para anggota muda. Untuk menghadapinya, maka dibutuhkan tidak hanya sekedar kemauan, minat dan kesiapan teknis melainkan juga membutuhkan keyakinan terhadap kemampuan diri pada masing-masing individu. Bandura (2001) mengembangkan model determinisme resiprokal yang terdiri atas tiga faktor utama yakni perilaku, person / kognitif, dan lingkungan. Faktor-faktor

16 tersebut dapat saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran pada anggota muda penjelajah alam Jamadagni. Istilah person (kognitif) didalamnya, mencakup ekspektansi, keyakinan, strategi, pemikiran dan kecerdasan para anggota muda dalam menjalani tahap-tahap pembelajaran kepenjelajahalaman. Dalam pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (1997, 2001) kemudian pada akhirnya disebut self-efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang bahwa ia dapat menguasai situasi dan menghasilkan hal positif (Bandura, 2002). Terdapat empat sumber pembentuk self-efficacy pada masing-masing diri anggota muda, yakni enactive mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion, dan physiological and affective states. Berdasarkan pengaruh salah satu sumber atau kombinasi dari beberapa sumber dalam pembentukannya, keyakinan terhadap kemampuan diri (self-efficacy) seseorang dapat terbentuk, meningkat atau menurun. Keempat sumber self efficacy tersebut adalah kumpulan informasi bagi anggota muda yang kemudian akan diolah secara kognitif dalam pembentukan keyakinan akan kemampuan diri anggota muda. Anggota muda menyeleksi, mengintegrasi, dan menginterpretasikan kumpulan informasi sebagai sesuatu yang dapat mempengaruhi keyakinan diri mereka dalam mengatasi rintangan dan mencapai tujuannya. Sumber yang pertama yakni enactive mastery experience merupakan sumber yang menciptakan penghayatan yang kuat pada self-efficacy anggota muda karena memberikan bukti apakah seorang anggota muda mampu menguasai keterampilan

17 tertentu hingga dapat mencapai keberhasilan dalam pembelajaran kepenjelajahalamannya atau tidak. Enactive Mastery experience dapat berupa pengalaman keberhasilan maupun kegagalan yang dialami. Pengalaman tersebut dihayati anggota muda sebagai tolok ukur akan kemampuannya yang kemudian akan berpengaruh pada pembentukan keyakinan dirinya. Keberhasilan dalam mengikuti pendidikan dasar atau latihan mendaki gunung dapat membangun self-efficacy anggota muda bahwa ia mampu berhasil ketika menghadapi tantangan alam. Selain itu, pengalaman kegagalan juga dapat mempengaruhi seberapa besar self-efficacy anggota muda, pengalaman tersebut dapat menggoyahkan atau menurunkan selfefficacy anggota muda. Sumber pembentuk self-efficacy yang kedua adalah vicarious experience, yakni siswa mengamati dan membandingkan diri dengan orang lain (senior, teman, keluarga, orang yang signifikan). Pemaknaan terhadap hasil pengamatan dan perbandingan terhadap orang lain akan berbeda-beda. Hal tersebut tergantung ada atau tidaknya kesamaan karakteristik diri dengan orang yang diamati dan dijadikan perbandingan. Semakin banyak kesamaan dengan orang yang dijadikan model, semakin mempengaruhi self-efficacy anggota muda. Sedangkan jika hanya terdapat sedikit kesamaan dengan orang yang dijadikan model, maka semakin kecil pengaruhnya terhadap self-efficacy anggota muda. Seorang anggota muda yang melihat teman atau anggota lainnya yang berhasil melalui tahap-tahap pembelajaran dan menjadi anggota penuh akan menimbulkan keyakinan pada kemampuan dirinya untuk dapat melakukan hal yang sama. Sedangkan jika seorang anggota muda

18 mengamati teman atau anggota lain mengalami kegagalan dan menyerah di tengah jalan dalam proses pembelajaran, hal itu dapat menurunkan penilaian terhadap efficacy mereka. Karena itu, modeling berpengaruh kuat terhadap self-efficacy, tergantung pada banyak-sedikitnya kesamaan karakteristik diri anggota muda dengan obyek (model) yang diamati. Sumber yang ketiga adalah verbal persuasion, yang merupakan dukungan dari orang lain (teman, senior) berupa nasehat, anjuran, pujian atau bahkan teguran. Ungkapan verbal dari orang lain mengenai kemampuan siswa menghadapi tantangan tertentu diolah secara kognitif untuk pembentukan self-efficacy. Pemaknaan terhadap ungkapan-ungkapan yang diterima anggota muda akan berbeda-beda, tergantung dari bentuk ungkapan yang diberikan (positif atau negatif) dan siapa yang memberikan persuasi verbal tersebut (orangtua, teman, senior). Seorang anggota muda yang dipersuasi secara verbal bahwa mereka memiliki atau tidak memiliki hal-hal yang dibutuhkan untuk berhasil dan melewati tahap-tahap pembelajaran, akan membentuk keyakinan diri mereka mengenai kemampuan mereka. Seorang anggota muda yang dipersuasi bahwa dirinya memiliki kemampuan yang memadai dan dapat menjadi anggota penuh, maka anggota muda akan memiliki keyakinan yang lebih kuat terhadap kemampuannya dan akan mengoptimalkan usahanya. Sebaliknya, seorang anggota muda yang dipersuasi bahwa anggota muda tidak memiliki kemampuan untuk menjadi anggota penuh, cenderung akan mudah menyerah dan meragukan kemampuannya.

19 Sumber terakhir yang juga merupakan sumber pembentuk self-efficacy anggota muda adalah physiological and affective states, yang merupakan penghayatan terhadap kondisi / reaksi fisiologis dan emosional yang dirasakan anggota muda menyenangkan ataupun membebani sewaktu menghadapi tugas akademis. Keadaan fisik dan emosional saat menghadapi atau mengerjakan tugas akan dijadikan informasi mengenai kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas. Terkadang, anggota muda menginterpretasikan ketergugahan fisiknya sebagai indikator dari kompetensi diri. Reaksi emosional terhadap tugas-tugas pembelajaran seringkali menjadi petujuk bagi kesuksesan atau kegagalan anggota muda. Secara umum, meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional seseorang dan mengurangi keadaan emosional yang negatif dapat menguatkan self-efficacy (Usher & Pajares, 2005). Setiap anggota muda dihadapkan pada sejumlah informasi dari ke-empat sumber self-efficacy tersebut setiap saat. Adanya pemahaman kognitif mengenai sumber-sumber self-efficacy tersebut kemudian mempengaruhi penghayatan siswa terhadap self-efficacy yang ada dalam diri mereka. Jadi, self-efficacy tidak terbentuk dengan sendirinya berdasarkan empat sumber yang tersedia, namun harus diolah secara kognitif terlebih dahulu oleh siswa hingga pengolahan dari empat sumber selfefficacy disimpan dan dapat diterapkan pada situasi serupa di masa yang akan datang. Kontribusi keempat sumber self-efficacy tersebut akan mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy anggota muda penjelajah alam JMD Bandung yang terlihat dalam beberapa hal, yang pertama keyakinan anggota muda akan rangkaian tindakan

20 yang dipilih untuk diteruskan berkaitan dengan taget pencapaian dan dalam kemajuan materinya. Semakin kuat perceived self-efficacy yang dimiliki oleh anggota muda, semakin tinggi tantangan yang ditetapkan bagi dirinya dalam menjalani pendidikan lanjutan kepenjelajahalaman dan semakin teguh komitmennya untuk melaksanakannya. Anggota muda yang memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuannya, membayangkan skenario sukses yang menyediakan petunjuk positif dan dukungan bagi kinerjanya. Sedangkan anggota muda yang meragukan kemampuannya, membayangkan skenario-skenario gagal dan hal-hal lain yang tidak baik. Kedua, tergambar dalam keyakinan anggota muda akan besar usaha untuk maju yang dikerahkan dalam menghadapi tahapan-tahapan pembelajaran. Saat anggota muda dihadapkan pada tugas untuk mengatur tuntutan-tuntutan lingkungan yang sulit dibawah keadaan yang membebani, mereka yang dilandasi keraguan akan kemampuan diri menjadi semakin tidak teratur dalam pemikiran analitisnya, menurunkan aspirasi dan kualitas kinerjanya. Sebaliknya, anggota muda yang memelihara keyakinan akan kemampuannya menetapkan tujuan-tujuan yang menantang bagi dirinya dan menggunakan pemikiran analisa yang baik yang mempercepat pencapaian tujuannya. Ketiga tergambar pada keyakinan anggota muda akan kemampuan diri untuk bertahan selama berhadapan dengan hambatan dan kegagalan. Anggota muda yang menganggap dirinya sebagai orang yang memiliki atribut efficacy yang tinggi, kegagalan mereka dimaknakan terutama disebabkan oleh kurangnya usaha, dan

21 anggota muda yang menganggap dirinya kurang dalam atribut efficacy kegagalannya terutama karena kurangnya kemampuan. Keempat, terlihat pada keyakinan anggota muda akan kemampuan menanggulangi tekanan yang mungkin dialami dalam mengatasi tuntutan lingkungan, serta yang terakhir pada keyakinan akan taraf pencapaian yang telah diraih. Anggota muda yang percaya mereka dapat melatih pengendalian terhadap ancaman-ancaman, tidak akan memunculkan pola pemikiran yang mengganggu dalam pikiran mereka. Sedangkan anggota muda yang percaya bahwa mereka tidak dapat mengendalikan ancaman-ancaman mengalami kecemasan, mereka terpaku pada kekurangan mereka dalam mengatasi tekanan. Mereka juga menemukan sejumlah aspek dari lingkungan mereka sebagai ketakutan terhadap bahaya dan memperbesar kemungkinan adanya ancaman-nacaman dan khawatir terhadap hal-hal yang jarang terjadi. Secara singkat, siswa dengan self efficacy rendah diprediksi menghindari banyak tugas belajar, khususnya yang menantang dan sulit, sedangkan siswa dengan self-efficacy tinggi bersedia mengerjakan tugas-tugas seperti itu, siswa dengan selfefficacy tinggi lebih mungkin untuk tekun berusaha menguasai tugas pembelajaran ketimbang siswa yang berlevel rendah (Santrock, 2007).

22 Indikator self-efficacy belief: Enactive mastery experience - Keyakinan akan rangkaian tindakan yang dipilih - Keyakinan akan besar usaha yang dikerahkan Anggota Muda Penjelajah Alam PPA JMD di kota Bandung Vicarious experience Verbal persuasion Pengolahan kognitif Self-Efficacy Belief - Keyakinan untuk bertahan selama berhadapan dengan hambatan dan kegagalan - Keyakinan akan kemampuan penangulangan tekanan dalam mengatasi tuntutan lingkungan Physiological and affective state - Keyakinan akan taraf pencapaian yang telah diraih Indikator lain: Pemaknaan terhadap kesulitan dan kegagalan, serta jenis kegiatan yang lebih disukai Bagan 1.1 Kerangka Pikir

23 1.6 Asumsi Anggota muda perhimpunan penjelajah alam JMD menghadapi tantangan yang berat untuk dapat melalui serangkaian tahap pendidikan hingga menjadi anggota penuh, dan untuk menghadapinya anggota muda perlu memiliki penilaian akan kemampuan dan keyakinan bahwa dirinya dapat menghadapi tantangan tersebut. Selain minat akan kepenjelajahalaman, anggota muda perhimpunan penjelajah alam JMD memerlukan keyakinan akan kemampuan diri (self-efficacy) untuk menghadapi tantangan dalam menjalani tahap pendidikan. Anggota muda perhimpunan penjelajah alam JMD yang memiliki keyakinan akan kemampuan diri (self-efficacy) akan mampu mengatasi tantangan tersebut. Anggota muda perhimpunan penjelajah alam JMD yang tidak atau kurang memiliki keyakinan akan kemampuan diri (self-efficacy), akan mengalami kesulitan dalam menghadapi tantangan. 1.7 Hipotesis Penelitian - Terdapat kontribusi Enactive mastery experience terhadap self-efficacy anggota muda penjelajah alam JMD. - Terdapat kontribusi Vicarious experience terhadap self-efficacy anggota muda penjelajah alam JMD.

24 - Terdapat kontribusi Verbal persuasion terhadap self-efficacy anggota muda penjelajah alam JMD. - Terdapat kontribusi Physiological and affective states terhadap self-efficacy anggota muda penjelajah alam JMD.