PENYERAGAMAN STANDAR TARIF PERJALANAN DINAS ANTARA APBN DENGAN APBD

dokumen-dokumen yang mirip
Sumber: Harian Fajar, selasa 11 Agustus 2015, hlm. 13 dan hlm 19 PERJALANAN DINAS. Dasar Hukum

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 45/PMK.05/2007 TENTANG

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2015

BUPATI MUSI BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI MUSI BANYUASIN NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Alokasi. Anggaran Pendidikan. APBN.

BUPATI PACITAN RANCANGAN PERATURAN BUPATI PACITAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS PEMERINTAH KABUPATEN PACITAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Menimbang : a. bahwa Perjalanan Dinas di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah ditetapkan dalam

PERJALANAN DINAS DASAR HUKUM UMUM. 1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2012 Tentang Standar Perjalanan Dinas Jabatan

PROVINSI ACEH PERATURAN BUPATI BIREUEN NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PERJALANAN DINAS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BIREUEN TAHUN ANGGARAN 2016

2015, No b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indone

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEPALA DESA NITA KABUPATEN SIKKA PERATURAN KEPALA DESA NITA NOMOR 5 TAHUN 2015

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 9 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 2 TAHUN 2015

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PERJALANAN DINAS PADA KEMENTERIAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 41 TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI PANGANDARAN NOMOR 7 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

PROVINSI JAMBI PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2016

PECAPP. Revenue & Expenditure. Pengenalan tentang Keuangan Daerah. Syukriy Abdullah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

Peran BPK Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Dana Desa z. Pekanbaru, 16 Nopember 2017

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

Revenue & Expenditure

BERITA NEGARA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 02 TAHUN 2016 TENTANG PERJALANAN DINAS PEMERINTAH KOTA BENGKULU

SELINTAS TENTANG PEMBAYARAN BIAYA PERJALANAN DINAS BAGI PEJABAT/PEGAWAI NEGERI YANG MENGIKUTI DIKLAT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal sekaligus kemauan politik untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TATA CARA PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA SEWA DAN PINJAM PAKAI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

B U P A T I B U N G O

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

GUBERNUR MALUKU. PERATURAN GUBERNUR MALUKU NOMOR 10.a TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 17 TAHUN 2013 TAHUN 2013 TENTANG

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 910/Kep.711-Org/2015 TENTANG STANDAR BIAYA BELANJA DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BUPATI SUMBAWA PERATURAN BUPATI SUMBAWA NOMOR 2 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 31 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERJALANAN DINAS BAGI PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEGAWAI TIDAK TETAP

BAB I PENDAHULUAN. reformasi yang semakin luas dan menguat dalam satu dekade terakhir. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GRAFIK DAN TABEL

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal. daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

B U P A T I T A N A H L A U T PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memasuki era otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

Transkripsi:

PENYERAGAMAN STANDAR TARIF PERJALANAN DINAS ANTARA APBN DENGAN APBD Oleh : 1. Sudarmono 2. Ahmad Baihaki 1. Latar Belakang Perjalanan dinas merupakan kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara negara baik pusat maupun daerah dengan sumber dana APBN maupun APBD, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk akan membebani APBN maupun APBD. Perjalanan dinas sebagai suatu kegiatan yang pasti ada dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (biro krasi) menjadi salah satu pemicu (trigger) komponen biaya penyelenggaraan negara/daerah dan memiliki peran penting dalam mencapai tujuan bernegara. Ketidakseragaman prinsip dan tarif perjalanan dinas antara APBN dengan APBD merupakan hal yang terjadi di seluruh entitas sebagai efek dari otonomi daerah dimana masing-masing pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) menetapkan sendiri-sendiri prinsip dan tarif yang diberlakukannya, sehingga memicu berbagai kepentingan yang negatif di dalamnya. Kesenjangan prinsip dan tarif juga mengarah pada perbedaan perlakuan dan gaya hidup pelaksana perjalanan dinas, serta menimbulkan kecemburuan antar pelaksana perjalanan dinas pada saat para pelaksana perjalanan dinas dari berbagai entitas (Pemda maupun Pemerintah Pusat) pada tujuan dan lokasi yang sama tetapi fasilitas dan perlakuan yang diterima dari pemberi tugas (sama-sama birokrat dengan tugas dan fungsi yang sama) berbeda-beda. Sistem pelaksanaan kegiatan pelaksanaannya mengingat ketidakseragaman dalam prinsip dan tarifnya menimbulkan kesenjangan antar pemerintah daerah maupun antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hal ini juga berkaitan dengan sumber dana APBD yang sebenarnya juga berasal dari APBN melalui DAU, DAK, Dana Bagi Hasil, dan Dana Penyesuaian. Perjalanan dinas merupakan salah satu current issue dalam pengelolaan keuangan negara/daerah karena dalam banyak entitas pemerintah daerah, jumlah belanja perjalanan dinas cenderung tidak wajar dan masih banyaknya

kecurangan dan ketidakefisienan serta ketidakhematan dalam pelaksanaan perjalanan dinas. 2. Permasalahan Permasalahan atas pelaksanaan perjalanan dinas PNS baik yang bersumber dari APBD dan APBN yang sering terjadi dalam pelaksanaannya adalah sebagai berikut : a. Pengeluaran untuk belanja perjalanan dinas tidak berdasarkan pengeluaran riil/nyata (at cost); b. Belanja perjalanan dinas ditetapkan at cost tetapi tidak ada kewajiban melampirkan bukti-bukti pengeluaran yang sah pada saat pertanggungjawaban; c. Pengeluaran anggaran belanja perjalanan dinas direalisasikan/dibayarkan tetapi perjalanan dinas yang dimaksud tidak pernah terjadi atau fiktif; d. Pengeluaran anggaran belanja perjalanan dinas direalisasikan/dibayarkan tetapi digunakan untuk kegiatan yang bukan perjalanan dinas; e. Perjalanan dinas tidak didukung dengan bukti-bukti pertanggungjawaban yang lengkap; f. Tarif biaya perjalanan dinas APBD lebih tinggi dari tarif perjalanan dinas APBN. Pokok-pokok permasalahan pelaksanaan perjalanan dinas, mengindikasikan bahwa pengeluaran belanja perjalanan dinas tidak sejalan dengan prinsipprinsip efisien dan ekonomis, sehingga mengakibatkan anggaran belanja perjalanan dinas tidak mencerminkan kebutuhan dan kenyataan yang sebenarnya serta menjadi tidak efektif. Selain itu berdasarkan hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa anggaran untuk belanja perjalanan dinas dari APBD cenderung tidak logis dari sisi persentase dan besaran tarif apabila dibandingkan perjalanan dinas yang bersumber dari APBN, serta masih ada kecenderungan belanja perjalanan dinas menjadi sumber dana taktis non budgeter di tingkat Pemda. Terlebih lagi sumber penerimaan daerah sampai dengan saat ini masih sangat didominasi oleh pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat baik dalam bentuk Dana Bagi BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 2-2

Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Al okasi Khusus (DAK), dan Dana Penyesuaian, sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat minim. Hal ini mengingat tidak ada perbedaan antara pejabat/pegawai negeri pada lingkup pusat dengan lingkup daerah, karena pejabat/pegawai negeri lingkup pusat juga ada yang berada di tingkat daerah. Pengertian Pejabat/Pegawai Negeri mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999. Setiap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pe rjalanan dinas yang mengatur perjalanan dinas Pejabat/Pegawai Negeri mengacu pada pengertian Pejabat/Pegawai Negeri yang dimuat dalam UU Nomor 8 tahun 1974 dan UU Nomor 43 Tahun 1999 tersebut, namun selanjutnya selalu dikatakan bahwa PMK hanya berlaku untuk perjalanan dinas yang bersumber dana APBN, sedangkan APBD tidak termasuk. Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu dilakukan penyeragaman antara pengelolaan perjalanan dinas yang bersumber dana APBN maupun APBD baik dari sisi prinsip maupun tarif yang diberlakukan, karena APBN juga mencakup standar biaya di masing-masing daerah. Penyeragaman tersebut ditujukan agar pengendalian anggaran belanja perjalanan dinas menjadi lebih efektif, sehingga pemenuhan kebutuhan/urusan wajib Pemerintah Daerah bisa dimaksimalkan terutama di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan hal-hal di atas, maka pokok masalah dalam belanja perjalanan dinas adalah: Perlunya penyeragaman dalam pengelolaan belanja perjalanan dinas antara APBD dengan APBN baik dalam hal prinsip, pelaksanaan, pertangungjawaban, maupun tarif komponen biaya perjalanan dinas untuk hal, tujuan, dan lokasi yang sama? 3. Pembahasan a. Definisi Perjalanan Dinas Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas jabatan Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap Pasal 1 disebutkan bahwa Perjalanan dinas dalam negeri yang selanjutnya disebut perjalanan dinas BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 3-3

adalah perjalanan ke luar tempat kedudukan baik perseorangan maupun secara bersama yang jaraknya sekurang-kurangnya 5 (lima) kilometer dari batas kota, yang dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan negara atas perintah pejabat yang berwenang, termasuk perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat meninggalkan Indonesia untuk bertolak ke luar negeri dan dari tempat tiba di Indonesia dari luar negeri ke tempat yang dituju di dalam negeri. Pengertian di atas dimuat dalam PMK yang mengikat/mengatur perjalanan dinas dengan sumber dana APBN. Sementara untuk APBD, tidak ada yang mendefinisikan atau mengatur secara spesifik, karena seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, semua hal yang mengatur lebih lanjut (detil) penerimaan dan pengeluaran APBD menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Terkait perjalanan dinas, hanya dimuat dalam pedoman penganggarannya dalam Permendagri yang diterbitkan setiap tahun yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan APBD setiap tahun anggaran, yaitu menyatakan bahwa: Penganggaran belanja perjalanan dinas dalam rangka kunjungan kerja dan studi banding, baik perjalanan dinas dalam negeri maupun perjalanan dinas luar negeri, dilakukan secara selektif, frekuensi dan jumlah harinya dibatasi serta memperhatikan target kinerja dari perjalanan dinas dimaksud sehingga relevan dengan substansi kebijakan pemerintah daerah. Hasil kunjungan kerja dan studi banding dilaporkan sesuai peraturan perundangundangan. Khusus penganggaran perjalanan dinas luar negeri berpedoman pada Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perjalanan Dinas ke Luar Negeri dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pedoman Perjalanan Dinas Ke Luar Negeri Bagi Pejabat/Pegawai di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan Pimpinan serta Anggota DPRD. Belanja perjalanan dinas merupakan belanja langsung dalam APBD yang artinya ada target kinerja khusus yang ingin dicapai oleh Pemda dalam melaksanakan perjalanan dinas tersebut. b. Permasalahan Belanja Perjalanan Dinas BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 4-4

Permasalahan utama belanja perjalanan dinas terletak pada regulasi, pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya. Peraturan yang mengatur perjalanan dinas antara APBN dengan APBD berbeda, yaitu APBN oleh Menteri keuangan melalui PMK, sedangkan APBD oleh Kepala Daerah melalui Peraturan Kepala Daerah. Dilepasnya regulasi mengenai belanja perjalanan dinas APBD bukan lagi oleh Menteri Keuangan adalah efek dari pelaksanaan otonomi daerah. Prinsip yang ditekankan dalam perjalanan dinas APBD adalah sebagaimana dimuat dalam setiap Permendagri mengenai Pedoman Penyusunan APBD yaitu selektif, frekuensi dan jumlah harinya dibatasi. Sementara untuk APBN, prinsip yang digunakan sesuai dengan PMK Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas dalam Negeri Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap adalah: a. Selektif, yaitu hanya untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan; b. Ketersediaan anggaran dan kesesuaian dengan pencapaian kinerja Kementerian Negara/Lembaga; c. Efisiensi penggunaan belanja negara; dan d. Akuntabilitas pemberian perintah pelaksanaan Perjalanan Dinas dan pembebanan biaya Perjalanan Dinas. Prinsip dalam PMK tersebut dilaksanakan dengan pemberlakuan pertanggungjawaban sebagai berikut: a. Uang harian dan uang representasi diberikan secara lumpsum dan merupakan batas tertinggi; b. Sewa kendaraan dalam kota, biaya transport, dan biaya penginapan dibayarkan secara riil (at cost); c. Khusus biaya penginapan, dalam hal pelaksana perjalanan dinas tidak menginap di hotel atau penginapan lainnya, kepada yang bersangkutan diberikan biaya penginapan sebesar 30% dari tarif hotel di tempat tujuan perjalanan dinas sesuai tingkatan pelaksana perjalanan dinas dan dibayarkan secara lumpsum. BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 5-5

Penggunaan prinsip at cost ini pada APBD kemudian diimplementasikan pada TA 2013 berdasarkan pada Permendagri Nomor 16 tahun 2013 tentang Perubahan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2013 yang kemudian ditegaskan lebih lanjut melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.32/910/SJ tanggal 22 Februari 2013 tentang penjelasan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 yang menguraikan latar belakang diterbitkannya Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 tersebut yaitu: a. Sesuai dengan Keppres Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Pasal 33 ayat (9) menyatakan bahwa Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut pedoman dan ketentuan pelaksanaan perjalanan dinas; b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7/KMK.02/2007 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap menggunakan sistem lumpsum yaitu uang dibayarkan sekaligus untuk seluruh biaya; c. PMK Nomor 45/KMK.05/2007 tanggal 25 April 2007 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap sebagaimana diubah terakhir dengan PMK Nomor 7/PMK.05/2008 menggunakan sistem biaya riil ( at cost) yaitu uang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah; d. Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tanggal 10 Mei 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2013; e. PMK Nomor 113/PMK.05/2012 tanggal 3 Juli 2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap menggunakan sistem biaya riil (at cost) yaitu uang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah; f. Surat Menteri Keuangan kepada Gubernur/Bupat/Walikota seluruh Indonesia dengan tembusan a.l. kepada Menteri Dalam Negeri Nomor S-529/MK.05/2012 tanggal 23 Juli 2012 hal Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap menyatakan prinsip dan pemberlakuan perjalanan dinas ditetapkan BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 6-6

secara seragam di seluruh Indonesia, baik atas beban APBN maupun APBD; g. Surat Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri Nomor S- 889/MK.05/2012 tanggal 11 Desember 2012 hal Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap menyatakan prinsip dan pemberlakuan perjalanan dinas ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia, baik atas beban APBN maupun APBD; h. Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang Perubahan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tanggal 10 Mei 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2013 menyatakan pemberlakuan sistem biaya riil ( at cost) pada uang transport dan uang penginapan perjalanan dinas, jika tidak menginap di hotel hanya dibayarkan 30% lumpsum dari uang penginapan, sedangkan uang harian dan uang representasi tetap lumpsum; i. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.32/910/SJ tanggal 22 Februari 2013 hal Penjelasan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 menjelaskan latar belakang, substansi, dan pemberlakuan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013. Dengan demikian pada pelaksanaan APBD TA 2013 seluruh Pemda harus menerapkan sistem sebagaimana dinyatakan pada Peremendagri Nomor 16 Tahun 2013 tersebut di atas. Namun demikian seiring dengan pemberlakuan sistem at cost yang sama dengan APBN tersebut, masih terdapat celah bagi timbulnya pemborosan keuangan daerah, karena tarif yang ditetapkan tidak diatur secara seragam tetapi diserahlan kepada masing-masing Pemda sebagaimana dinyatakan dalam setiap Permendagri yang menjadi Pedoman Penyusunan APBD. Padahal, masalah pada regulasi ini menjadi salah satu penyebab masalah di tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran belanja perjalanan dinas, seperti perjalanan dinas fiktif ataupun pemalsuan bukti pertanggungjawaban sehingga tidak sesuai dengan riilnya. Permasalahan yang timbul dalam regulasi adalah (i) pemberlakuan penyeragaman prinsip dan pelaksanaan perjalanan dinas antara APBN BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 7-7

dengan APBD disikapi oleh sebagian Pemda dengan menaikkan tarif komponen biaya perjalanan dinas yang tidak diberlakukan dengan sistem biaya riil ( at cost) diantaranya pada uang harian dan uang representasi (ii) tidak terdapat pembatasan besarnya tarif komponen biaya perjalanan dinas. Hal ini setidaknya dapat terlihat pada beberapa standar biaya uang harian dan uang representasi pada peraturan perjalanan dinas. Karena tidak ada keseragaman sikap dan batasan besarnya tarif komponen biaya perjalanan dinas, maka penentuan dilakukan penyeragaman ataupun penetapan batas maksimal besaran komponen biaya perjalanan dinas yang sama diberlakukan untuk APBN maupun APBD. Hal tersebut mengakibatkan realisasi belanja perjalanan dinas tidak memiliki persentase yang relatif masuk akal dibanding jenis belanja lainnya dalam APBD. Selain itu, masih ditemui kecenderungan penggunaan belanja perjalanan dinas untuk pengumpulan dana taktis penggunaan lainnya diantaranya melalui perjalanan dinas fiktif, diantaranya dengan alasan tidak terakomodirnya belanja lainnya dalam APBD atau tidak disetujui DPRD. Berdasarkan analisis masalah tersebut diatas diperlukan aturan yang memuat pemberlakuan secara seragam antara APBN dengan APBD dalam hal (i) prinsip, penganggaran, dan pelaksanaan perjalanan dinas, dan (ii) besarnya komponen biaya perjalanan dinas khususnya uang harian dan uang representasi yang sama atau maksimal sebesar tarif komponen perjalanan dinas sebesar yang ditetapkan dalam PMK. Sejauh ini, pembatasan besaran komponen biaya perjalanan dinas tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya terkait APBD karena sesuai dengan Permendagri yang diterbitkan setiap tahun untuk Pedoman Penyusunan APBD selalu menyebutkan bahwa Standar satuan harga perjalanan dinas ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Sehingga Pemda menerbitkan sendiri standar satuan harga perjalanan dinas yang besarnya tidak pernah sama dengan PMK tetapi justru sering lebih tinggi dari PMK yang besarannya juga bisa kurang masuk akal mengingat sumber dana APBD sebagian besar berasal dari APBN melalui Dana Perimbangan dan Dana Penyesuaian, sedangkan persentase PAD tidak signifikan atau bahkan sangat tidak signifikan. BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 8-8

4. Kesimpulamn Penyeragaman prinsip dan tarif biaya perjalanan dinas antara APBN dengan APBD menjadi hal yang sangat relevan dan masuk akal untuk menghemat pengeluaran negara serta mengalihkannya untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan sarana dan prasarana umum. Hal ini karena pada dasarnya Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan penduduknya melalui pembangunan yang efisien, ekonomis, dan efektif, bukan untuk kepentingan kekuasaan semata. Dengan demikian perlu dilakukan penyeragaman regulasi perjalanan dinas antara yang dibiayai dengan APBD dengan yang dibiayai dengan APBN, karena: a. Tugas dan fungsi perjalanan dinas baik oleh pelaksana di tingkat APBN maupun APBD tidak ada perbedaan yang signifikan; b. Tujuan dan lokasi perjalanan dinas yang sama tetapi memiliki tarif dan prinsip yang berbeda sangat tidak masuk akal dan cenderung mengandung unsur ketidakpatutan terutama dilihat dari sisi kebutuhan orang yang melaksanakan perjalanan dinas, yaitu uang harian, uang transport, uang penginapan, uang taksi, serta uang representasi jika diperlukan; c. Sumber pendanaan APBD pada dasarnya juga berasal dar APBN melalui Dana Perimbangan (DBH, DAU, DAK) dan Dana Penyesuaian, sementara PAD yang dimiliki oleh Pemda pada umumnya sangat tidak signifikan untuk menunjang besarnya biaya perjalanan dinas. Pemerintah Pusat sendiri menetapkan standar biaya yang lebih rendah dibanding dengan Pemerintah Daerah untuk lokasi yang sama, sementara jumlah pendapatan asli Pemerintah Pusat jauh lebih besar dibanding Pemda. Penyeragaman prinsip dan tarif biaya perjalanan dinas antara APBN dengan APBD sangat relevan dan masuk akal untuk menghemat pengeluaran negara serta mengalihkannya untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan sarana dan prasarana umum. BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 9-9

5. Daftar Pustaka a. Keppres Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN; b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7/KMK.02/2007 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap; c. PMK Nomor 45/KMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap; d. PMK Nomor 7/PMK.05/2008 tentang Perubahan PMK Nomor 45/KMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap; e. Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tanggal 10 Mei 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2013; f. PMK Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap; g. Surat Menteri Keuangan Nomor S-259/MK.05/2012 tanggal 23 Juli 2012 hal Perjalanan Dinas Dalam negeri bagi Pejabat Negara, pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap; h. Permendagri Nomor 16 Tahun 2013 tentang Perubahan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2013; i. Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188.32/910/SJ tanggal 22 Februari 2013 tentang penjelasan Permendagri Nomor 16 Tahun 2013; BPK RI Perwakilan Provinsi Bengkulu 10-10