BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia

BAB 1 PENDAHULUAN. 2004). Hospitalisasi sering menjadi krisis utama yang harus dihadapi anak,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, adalah orang yang berada di bawah usia 18 tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial dan spiritual) yang

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

PENGARUH ORIENTASI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN ANAK PRA SEKOLAH DI BANGSAL ANAK RUMAH SAKIT BHAKTI WIRA TAMTAMA SEMARANG. Eni Mulyatiningsih ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah individu unik yang mempunyai kebutuhan sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Family Centered Care

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan motorik, verbal, dan ketrampilan sosial secara. terhadap kebersihan dan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit merupakan keadaan dimana terjadi suatu proses penyakit dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa anak prasekolah (3-5 tahun) adalah masa yang menyenangkan dan

BAB I PENDAHULUAN. tidak lagi dipandang sebagai miniatur orang dewasa, melainkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungannya dengan upaya stimulasi yang dapat dilakukan, sekalipun anak

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4

BAB 1 PENDAHULUAN. krisis karena anak mengalami stres akibat perubahan baik terhadap status

BAB II LANDASAN TEORI Definisi Atraumatic Care

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. asuhan keperawatan yang berkesinambungan (Raden dan Traft dalam. dimanapun pasien berada. Kegagalan untuk memberikan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh banyak faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter dan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan seseorang yang memiliki rentang usia sejak anak dilahirkan

DEFENISI HOSPITALISASI Suatu keadaan sakit dan perlu dirawat di Rumah Sakit yang terjadi pada anak maupun keluarganya

BAB 1 PENDAHULUAN. Perawatan anak telah mengalami pergeseran yang sangat mendasar, anak sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. bentuk krisis atau stressor utama yang terlihat pada anak. Anak-anak sangat rentan

BAB I PENDAHULUAN. hidup mereka. Anak juga seringkali menjalani prosedur yang membuat. Anak-anak cenderung merespon hospitalisasi dengan munculnya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu proses yang dapat diprediksi. Proses

KONSEP HOSPITALISASI. BY: NUR ASNAH, S.Kep.Ns.M.Kep

BAB I PENDAHULUAN. anak (Undang-Undang Perlindungan Anak, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan anak sakit dan hospitalisasi dapat menimbulkan krisis

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses yang dapat diprediksi. Proses pertumbuhan dan. tumbuh dan kembang sejak awal yaitu pada masa kanak-kanak (Potter &

BAB II LANDASAN TEORI Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Pengertian Hospitalisasi. anak dan lingkungan (Wong, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan sampai dengan usia 18 tahun (IDAI, 2014). Anak merupakan individu

KECEMASAN ANAK USIA TODDLER YANG RAWAT INAP DILIHAT DARI GEJALA UMUM KECEMASAN MASA KECIL

HOSPITALISASI. NS. Apriyani Puji Hastuti, S.Kep

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Hospitalisasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memperkecil distres psikologis dan fisik yang diderita oleh anak-anak dan

Lilis Maghfuroh Program Studi S1 Keperawatan STIKes Muhammadiyah Lamongan ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. kembang anak dipengaruhi oleh faktor bawaan (i nternal) dan faktor lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. Bermain adalah pekerjaan anak-anak semua usia dan. merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan, tanpa

BAB l PENDAHULUAN. peningkatan jumlah anak di Indonesia. Hal ini memberi konsekuensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Adapun konseptual yang akan dibahas dalam bab ini adalah. 5. Kekuatan keluarga dalam meningkatkan kesejahteraan anak

BAB I PENDAHULUAN. Hospitalisasi anak merupakan suatu proses karena suatu alasan yang

HUBUNGAN PENERAPAN ATRAUMATIC CARE DENGAN STRES HOSPITALISASI PADA ANAK DI RUANG ANAK RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan keterbaruan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Wong (2009) Masa kanak-kanak awal yaitu pada usia 3 6 tahun

BAB I PENDAHULUAN. sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri, lingkungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit dan dirawat di rumah sakit khususnya bagi anak-anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. spesifik dan berbeda dengan orang dewasa. Anak yang sakit. hospitalisasi. Hospitalisasi dapat berdampak buruk pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kesempatan cukup untuk bermain akan menjadi orang dewasa yang mudah

BAB I PENDAHULUAN. diatasi. Bagi anak usia prasekolah (3-5 tahun) menjalani hospitalisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Menjalani perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) merupakan pengalaman

BAB 1 PENDAHULUAN. anak (Morbidity Rate) di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasiolnal

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan dalam perawatan atau

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. yang mengharuskan mereka dirawat di rumah sakit (Pieter, 2011). Berdasarkan survei dari Word Health Organization (WHO) pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kecemasan merupakan perasaan yang timbul akibat ketakutan, raguragu,

Setiap bayi memiliki pola temperamen yang berbeda beda. Dimana

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang bekerja sama dengan ikatan saling berbagi dan kedekatan emosi dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Keluarga merupakan orang terdekat dari seseorang yang mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERDUKA DAN KEHILANGAN. Niken Andalasari

Ibnu Sutomo 1, Ir. Rahayu Astuti, M.Kes 2, H. Edy Soesanto, S.Kp, M.Kes 3

KONSEP PERSPEKTIF KEPERAWATAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh karena anak tidak memahami mengapa harus dirawat,

BAB V PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. Bab ini penulis membahas mengenai permasalahan tentang respon nyeri

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan krisis yang sering dimiliki anak. Anak-anak, terutama saat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. terhadap hospitalisasi, dan dampak hospitalisasi. tersebut menjadi faktor stresor bagi anak dan keluarganya (Wong, 2009).

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

BAB III METODE PENELITIAN. kemudian menelaah dua variabel pada suatu situasi atau. sekelompok subjek. Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan

Lampiran 4. Lembar Permohonan Menjadi Responden

BAB 1 PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan kesehatan bagi masyarakat. Menanggapi hal ini,

SKRIPSI. Oleh : EKAN FAOZI J Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan

BAB I PENDAHULUAN. Kanker tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi anak-anak juga dapat

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN SIKAP KOPERATIF ANAK USIA PRA SEKOLAH SELAMA PROSEDUR INJEKSI INTRAVENA DI RSUD PROF. DR.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Usia prasekolah adalah usia anak pada masa prasekolah dengan rentang tiga

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan operasi atau

BAB I PENDAHULUAN.

KENDALI STRES MENGHADAPI HOSPITALISASI PADA ANAK USIA PRA- SEKOLAH MELALUI TERAPI MEWARNAI

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada saat anak dirawat di rumah sakit, dampak. hospitalisasi pada anak dan keluarga tidak dapat dihindarkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan pada anak telah mengalami pergeseran dan kemajuan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sakit kritis adalah kejadian tiba-tiba dan tidak diharapkan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam jiwa, sebelum dokter

Perbedaan Pengaruh Terapi Bermain Mewarnai Gambar dengan Bermain Puzzle Terhadap Kecemasan Anak Usia Prasekolah di IRNA Anak RSUP Dr.M.

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hospitalisasi Pada anak 2.1.1 Konsep Hospitalisasi Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh stres (Supartini, 2004). Penyakit dan hospitalisasi sering kali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak, terutama pada anak-anak salama tahun-tahun awal sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi. Hal tersebut dikarenakan anak mengalami stres akibat perubahan dari keadaan sehat menjadi sakit dan anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor. Stressor utama dari hospitalisasi anak antara lain adalah perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh, dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka (Wong, 2009). 2.1.2 Dampak Hospitalisasi Pada Anak Hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan kecemasan dan stres pada semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyaknya faktor, baik faktor dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya),

lingkungan baru, maupun lingkungan keluarga yang mendampingi selama perawatan. Keluarga sering merasa cemas dengan perkembangan keadaan anaknya, pengobatan, dan biaya perawatan. Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung terhadap anak, secara pisikologis anak akan merasakan perubahan perilaku dari orang tua yang mendampingi selama perawatan. Anak menjadi semakin stres dan hal ini berpengaruh pada proses penyembuhan, yaitu menurunnya respon imun. Hal tersebut dapat membuat pasien yang mengalami kegoncangan jiwa akan mudah terserang penyakit, karena pada kondisi stres akan terjadi penekanan system imun. Pasien anak akan merasa nyaman selama perawatan dengan adanya dukungan sosial keluarga, lingkungan perawatan yang terapeutik, dan sikap perawat yang penuh dengan perhatian akan mempercepat proses penyembuhan (Nursalam, 2005). 2.1.3 Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi Anak akan menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini reaksi anak terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan tahapan perkembangan anak (Supartini, 2004).

a. Masa Bayi (0 sampai 1 tahun) Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety atau cemas apabila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan merasakan cemas karena perpisahan dan perilaku yang ditunjukkan adalah dengan menangis keras. Respon terhadap nyeri atau adanya perlukaan biasanya menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan (Supartini, 2004). b. Masa Todler (2 sampai 3 tahun) Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak sesuai dengan tahapannya,yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih, dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya. Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk

mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya. Terhadap perlukaan yang dialaminya atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasive, seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan meringis, menggigit bibirnya, dan memukul (Supartini, 2004). c. Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun) Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan control terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orang tua (Supartini, 2004). d. Masa Sekolah (6 sampai 12 tahun) Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan control juga terjadi akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut

mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena anak sudah mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit bibir dan memegang sesuatu dengan erat (Supartini, 2004). e. Masa Remaja (12 sampai 18 tahun) Anak usia remaja mepersepsikan perawatan di rumah sakit menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan teman sebayanya. Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan merasa kehilangan dan timbul perasaan cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau petugas kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitias ini adalah dengan menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan padanya atau anak tidak mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan menimbulkan respon anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan, dan menolak kehadiran orang lain (Supartini,2004). 2.1.4 Konsep Tumbuh Kembang Anak Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia

bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun) (Hidayat, 2009). Aspek tumbuh kembang pada anak menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. Pertumbuhan pada masa anak sangat bervariasai sesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara umum pertumbuhan fisik dimulai dari arah kepala ke kaki, sedangkan aspek perkembangan pada anak bersifat kualitatif yaitu pertambahan kematangan fungsi dari masing-masing bagian tubuh (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2005). 2.1.5 Prinsip-prinsip Keperawatan Anak Terdapat prinsip atau dasar dalam keperawatan anak yang dijadikan sebagai pedoman dalam memahami filosofi keperawatan anak. Di antara prinsip dalam asuhan keperawatan anak tersebut adalah: Pertama, anak bukan miniature orang dewasa tetapi sebagai individu yang unik. Prinsip dan pandangan ini mengandung arti bahwa tidak boleh memandang anak dari ukuran fisik saja sebagaimana orang dewasa melainkan anak sebagai individu yang unik yang mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan menuju proses kematangan. Pola-pola inilah yang harus dijadikan ukuran, bukan hanya bentuk fisiknya saja tetapi kemampuan dan kematangannya. Kedua, anak adalah sebagai individu yang unik dan mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangan. Sebagai individu yang unik anak memiliki berbagai kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan usia tumbuh kembang. Kebutuhan tersebut dapat meliputi kebutuhan fisiologis seperti kebutuhan nutrisi dan cairan, aktivitas, eliminasi, istirahat, tidur, dan lain-lain (Hidayat, 2009).

Prinsip keperawatan anak yang Ketiga yaitu pelayanan keperawatan anak berorientasi pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan, bukan hanya mengobati anak yang sakit. Keempat, keperawatan anak merupakan disiplin ilmu kesehatan yang berfokus pada kesejahteraan anak sehingga perawat bertanggung jawab secara komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan anak. Kelima, praktik keperawatan anak mencakup kontrak dengan anak dan keluarga untuk mencegah, mengkaji, mengintervensi, dan meningkatkan kesejahteraan hidup, dengan menggunakan proses keperawatan yang sesuai dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum (legal). Keenam, tujuan keperawatan anak dan remaja adalah untuk meningkatkan maturasi atau kematangan yang sehat bagi anak dan remaja sebagai mahluk bio-psiko-sosial dan spiritual dalam konteks keluarga dan masyarakat. Ketujuh, pada masa yang akan datang kecenderungan keperawatan anak berfokus pada ilmu tumbuh kembang sebab ilmu tumbuh kembang ini yang akan mempelajari aspek kehidupan anak (Hidayat, 2009). 2.2 Konsep Lingkungan Terapeutik Lingkungan terapeutik merupakan aspek penting dalam penyembuhan, lingkungan terapeutik dapat digambarkan sebagai keseluruhan lingkungan baik fisik maupun non-fisik yang diciptakan untuk membantu proses pemulihan. Lingkungan terapeutik diberikan untuk mengidentifikasi kemungkinan masalah yang mungkin telah menghambat proses penyembuhan (Abbas & Ghazali, 2011). Dalam model yang dimodifikasi lingkungan terapeutik terdiri dari lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Unsur lingkungan yang diidentifikasi sebelumnya tidak hanya memberikan kontribusi terhadap

penyembuhan tetapi juga membantu pasien anak untuk mengatasi rasa sakit dan agresi. Hal ini disetujui oleh National Association of childrens Hospital and Related Institution (NACHRI) di mana ia mengungkapkan bahwa lingkungan fisik merupakan pengaturan kesehatan yang mempengaruhi perawatan klinis, hasil fisologis, psikososial, dan keamanan pasien anak (Oberlin, 2008 dalam Ghazali & Abbas, 2011). Lingkungan terapeutik dipengaruhi oleh faktor internal seperti: keselamatan, warna atau desain ruangan, karya seni dan terapi musik, dan faktor eksternal seperti: peran alam dan penciptaan terapi bermain di taman rumah sakit serta komunikasi terapeutik perawat itu sendiri (Ghazali & Abbas, 2011). 1. Lingkungan Internal Elemen-elemen lingkungan internal yang menuju terciptanya sebuah lingkungan yang terapeutik termasuk keselamatan, desain ruangan, karya seni, pencahayaan, suasana dan terapi musik (Ghazali & Abbas, 2011). a. Intervensi yang dilakukan perawat dalam mengatasi dampak hospitalisasi seperti persiapan dalam hospitalisasi, mencegah atau meminimalkan perpisahan, mencegah atau meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh, memfasilitasi aktivitas yang sesuai dengan perkembangan, memberi kesempatan untuk bermain dan meminimalkan manfaat hospitalisasi (Ghazali & Abbas, 2011). b. Keselamatan: peristiwa yang mempengaruhi keselamatan pasien sering terlihat dengan peningkatan substansial dalam durasi mereka tinggal di rumah sakit. Terkait dengan keselamatan yaitu dengan mempertimbangkan

ergonomis untuk pasien anak yang tidak sama dengan orang dewasa (Ghazali & Abbas, 2011). c. Desain Ruangan: aspek dari desain ruangan yang sering diabaikan adalah warna dinding dan tampilan gambar didinding rumah sakit karena warna dan tampilan gambar di dinding dapat diartikan sebagai penyembuhan yang kuat. Warna yang direkomendasikan untuk penyembuhan adalah warna hijau, karena hijau mewakili keseimbangan, harmoni, pertumbuhan, penyembuhan dan cinta. Tampilan gambar di dinding juga dapat meningkatkan relaksasi serta kesenangan pada anak. Hal tersebut akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak dan keluarga (Biley, 1996). d. Terapi seni: merupakan proses kreatif pembuatan seni untuk meyakinkan anak bahwa tindakan medis dengan tindakan pembuatan seni dapat menyembuhkan dan meningkatkan kualitas anak mengurangi stres, mencegah terjadinya trauma dan untuk memfasilitasi relaksasi. Ketika anak-anak merasa tidak cukup baik atau tidak dapat mengunjungi ruang bermain maka terapi seni individu dapat diberikan oleh seorang perawat (Nessbitt & Haussmann, 2008). e. Suasana pencahayaan: jendela dengan pencahayaan dan tampilan luar juga penting terhadap penyembuhan anak. Cahaya terang merupakan terapi yang efektif digunakan untuk mengurangi depresi, dimana anak yang dirawat di ruang yang cerah akan lebih cepat sembuh dibandingkan anak

yang tinggal di ruangan yang membosankan (Nessbit & Haussmann, 2008). 2. Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal dapat berkontribusi terhadap lingkungan terapeutik yang melibatkan alam luar ruangan anak. Peran alam seperti melihat pemandangan sekitar rumah sakit dan tanaman yang ada atau penciptaan kebun terapi mempengaruhi terhadap proses penyembuhan. Bermain di taman yang terletak disebuah rumah sakit bisa membantu mengurangi kecemasan pasien (Ghazali & Abbas, 2011). Pasien juga dapat mendengarkan suara alam seperti suara kicauan burung yang memiliki efek positif pada psikologis anak (Biley, 1996). 2.2.1 Intervensi Keperawatan Dalam Mengatasi Dampak Hospitalisasi Pada Anak Sebagai salah satu anggota tim kesehatan, perawat memegang posisi kunci untuk membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan perawatan anaknya di rumah sakit karena perawat berada disamping pasien selama 24 jam. Untuk itu fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan stressor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum dirawat dirumah sakit. (Supartini, 2004). 1. Persiapan Hospitalisasi Alasan mempersiapkan anak menghadapi pengalaman rumah sakit dan prosedur yang terkait dibuat berdasarkan prinsip bahwa ketakutan dan

ketidaktahuan (fantasi) lebih besar daripada ketakutan yang diketahui. Oleh karena itu mengurangi unsur ketidaktahuan dapat mengurangi ketakutan tersebut. Proses persiapan untuk hospitalisasi merupakan praktik yang umum tidak ada standar atau program universal yang dianjurkan untuk semua tempat. Proses persiapan dapat dilakukan, dengan tur, pertunjukan boneka, dan waktu bermain dengan miniatur peralatan rumah sakit, persiapan tersebut dapat melibatkan penggunaan buku-buku, video, atau film. Tidak ada kesepakatan yang tegas tentang waktu persiapan tersebut. Beberapa pihak berwenang menganjurkan untuk menyiapkan anak usia 4 atau 7 tahun sekitar 1 minggu sebelumnya agar mereka dapat memahami informasi yang diberikan dan mengajukan pertanyaan. Untuk anak-anak yang lebih besar waktu yang diperlukan lebih lama. Akan tetapi, bagi anak kecil, yang mulai berfantasi tentang apa yang mereka observasi, 1 atau 2 hari sebelum masuk rumah sakit merupakan waktu yang tepat untuk persiapan antisipasi. Lamanya sesi persiapan tersebut harus sesuai dengan rentang perhatian anak, semakin kecil usia anak semakin singkat program. Pendekatan yang optimal merupakan salah satu yang bersifat individual bagi masing-masing anak dan keluarga. Tanpa memedulikan jenis program yang spesifik, semua anak, bahkan mereka yang sudah dihospitalisasi sebelumnya, memperoleh manfaat dari pengenalan terhadap lingkungan dan rutinitas di unit tersebut. (Wong, 2009). Persiapan yang dibutuhkan anak pada hari masuk rumah sakit bergantung pada jenis konseling prarumah sakit yang telah mereka terima, akan tetapi, konseling prarumah sakit tidak melupakan kebutuhan akan dukungan selama prosedur seperti pengambilan spesimen darah, uji sinar-x atau pemeriksaan fisik.

Tindakan menyebabkan kecemasan dan ketakutan yang tidak perlu selama penerimaan dapat memberi pengaruh yang merugikan terhadap pembentukan rasa percaya perawat dengan anak-anak tersebut. Oleh karena itu bantuan perawat pada prosedur penerimaan merupakan hal yang sangat penting, tanpa memedulikan seberapa baik anak tersebut dipersiapkan untuk menghadapi pengalaman hospitalisasi. Selain itu meluangkan waktu bersama anak tersebut memberi kesempatan pada perawat untuk mengevaluasi pemahaman anak tentang prosedur yang selanjutnya (Wong, 2009). 2. Mencegah atau Meminimalkan Perpisahan Tujuan keperawatan yang utama adalah mencegah perpisahan terutama pada anak-anak yang berusia kurang dari 5 tahun. Banyak rumah sakit yang tidak lagi mempertimbangkan pengunjung orang tua dan menyambut kehadiran mereka setiap saat selama hospitalisasi anak. Sebagian besar rumah sakit menerima kehadiran orang tua setiap waktu. Perawat harus menghargai sikap anak terhadap perpisahan. Seperti dibahas sebelumnya, fase protes dan putus asa merupakan hal yang normal. Anak diperbolehkan untuk menangis, sekalipun anak menolak orang asing, perawat harus memberikan dukungan melalui kehadiran fisik. Lingkungan yang akrab juga meningkatkan penyesuaian anak terhadap perpisahan. Jika orang tua tidak dapat melakukan rawat gabung, mereka harus membawa barang-barang kesukaan anak dari rumah ke rumah sakit untuk bersamanya seperti selimut, mainan, botol, peralatan makan atau pakaian, maka mereka akan merasa nyaman dan ketenangan dari barang-barang miliknya tersebut. Selain itu perawat bisa memanipulasi peralatan medis misalnya menjepitkan mainan beruang pada

stetoskop untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan lebih akrab bagi anak-anak (Wong, 2009). 3. Meminimalkan Kehilangan Pengendalian Perasaan kehilangan pengendalian terjadi akibat perpisahan, perubahan rutinitas, pemaksaan ketergantungan dan pemikiran magis. Meskipun beberapa diantaranya tidak dapat dicegah tetapi sebagian besar dapat diminimalkan melalui perencanaan asuhan yang keperawatan yang bersifat individual seperti: 1) meningkatkan kebebasan bergerak yaitu anak-anak yang lebih mudah bereaksi paling kuat terhadap segala bentuk retrinsik fisik atau imobilisasi. Faktor-faktor lingkungan juga dapat menghambat gerakan. Menempatkan anak didalam boks bermain memang tidak menimbulkan imobilisasi dalam bentuk konkret, tetapi hal ini bisa membatasi stimulus sensorik tertentu. 2) Mempertahankan rutinitas anak, pada hal ini aspek yang sering diabaikan dari perubahan rutinitas adalah perubahan aktivitas harian anak. Satu teknik untuk dapat meminimalkan perubahan pada rutinitas anak adalah penstrukturan waktu, dimana pendekatan ini sesuai untu anak usia sekolah dan remaja yang mengerti konsep waktu, misalnya minta anka untuk membuat gambar atau symbol yang mewakili aktivitas yang menyenangkan setiap hari. Asuhan keperawatan yang dilakukan perawat selanjutnya adalah Mendorong kemandirian, peningkatan pengendalian anak yang meliputi mempertahankan kemandirian dan konsep perawatan diri dapat menjadi satu hal yang paling menguntungkan. Meskipun perawatan diri terbatas pada usia dan kondisi fisik anak kebanyakan anak diatas usia bayi dapat melakukan beberapa

aktivitas dengan sedikit atau tanpa bantuan sama sekali. Jika memungkinkan aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan di rumah sakit. 4) meningkatkan pemahaman kehilangan pengendalian dapat terjadi akibat perasaan memiliki terlalu sedikit pengaruh pada nasib seseorang. Meskipun kemampuan kognitif anak belum semua dikuasai, semua anak rentan terhadap interpretasi yang keliru terhadap penyebab stres seperti sakit dan hospitalisasi. Persiapan antisipasi dan pemberian informasi sangat membantu mengurangi stres dan mencegah kurangnya pemahaman (Wong, 2009). 4. Mencegah atau meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh Secara umum, persiapan anak-anak untuk menghadapi prosedur yang menyakitkan dapat menurunkan ketakutan mereka. Memanipulasi teknik prosedural untuk anak-anak disetiap kelompok umur juga meminimalkan ketakutan atau cedara tubuh. Kapanpun prosedur dilakukan pada anak-anak intervensi yang paling mendukung adalah melakukan prosedur tersebut secepat mungkin sambil mempertahankan kontak orang tua anak. Karena anak-anak kecil mendefinisikan dengan buruk batasan tubuhnya (Wong, 2009). Anak-anak yang merasa takut terhadap mutilasi bagian tubuh, penting bagi perawat untuk berulang kali menekankan alasan prosedur tersebut dan mengevaluasi pemahaman anak (Wong, 2009). 5. Memfasilitasi Aktivitas Yang Sesuai dengan Perkembangan Tujuan utama asuhan keperawatan bagi anak yang dihospitalisasi adalah meminimalkan munculnya masalah pada perkembangan anak. Anak-anak yang mengalami hospitalisasi jangka panjang atau berulang beresiko lebih besar

mengalami keterlambatan perkembangan atau regresi. Dalam hal ini perawat bisa melakukan beberapa hal seperti jika pasien berusia remaja maka perawat bisa menganjurkan tempat aktivitas dengan pasien yang lebih kecil. Perawat yang memberi kesempatan pada anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tingkat perkembangan akan lebih menormalkan lingkungan anak dan membantu mengurangi gangguan pada perkembangan anak yang terus menerus (Wong, 2009). Perawat dapat menganjurkan anak-anak untuki menyelesaikan tugas sekolah mereka secepat mungkin bergantung kondisi yang mengizinkan, membantu mereka membuat jadwal dan menjamin waktu yang baik untuk belajar, dan membantu keluarga mengkoordinasikan layanan pendidikan rumah sakit dengan sekolah anak mereka (Wong, 2009). 6. Memberi Kesempatan untuk Bermain Bermain adalah salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah satu alat paling efektif untuk menatalaksana stres. Karena sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dank arena situasi tersebut sering disertai stress berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai koping dalam menghadapi stress tersebut. Bermain sangat penting bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak. Seperti kebutuhan perkembangan mereka, kebutuhan bermain tidak terhenti pada saat anak-anak skit atau di rumah sakit. Sebaliknya bermain di rumah sakit banyak memberikan banyak manfaat seperti minta orang tua untuk memberikan kotak sepatu pada anak untuk dikaitkan di tempat tidur untuk mencegah agar

barang-barang kecil tidak terselip dalam sprei. Di semua fasilitas rumah sakit, tidak ada ruangan lain yang mengurangi stres akibat hospitalisasi kecuali ruang bermain (Wong, 2009). 7. Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi Anak Meskipun hospitalisasi biasanya menimbulkan stres bagi anak-anak, tetapi hospitalisasi juga dapat bermanfaat (Wong, 2009). 1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang tua mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak terhadap stressor yang dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit. 2. Hospitalisasi dapat dijadikan media belajar untuk orang tua. Untuk itu perawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur tindakan keperawatn yang dilakukan, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya. 3. Untuk meningkatkan kemapuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri. 4. Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya sesama pasien yang ada, teman sebaya atau teman sekolah (Supartini, 2004).