BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan asas Ubi Societa, Ibi Ius yang artinya dimana ada. tingkah laku atau perbuatan dalam kehidupan masyarakat.

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

Berdasarkan angka 1 dan 2 diatas dan dengan pertimbangan hal-hal, antara lain: 1. Azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN BAGI PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DILIHAT DARI PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi : kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan. Keempat aparat hukum itu memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya, bahkan saling menentekan meskipun ada pembagian fungsi, tugas dan wewenang antara instansi tersebut. Menurut azas difrensiasi fungsional, sesama aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan lembaga permasyarakatan) didalam menjalankan fungsinya mempunyai kedudukan yang sama dan sederat. Prinsip difrensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara institusional. KUHAP meletakkan suatu penjernihan dan modifikasi dan modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terbina korelasi dan koordinasi dalam proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi. Mulai dari taraf permulaan penyidikan

2 oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh kejaksaan. Tujuan pemeriksaan penyidikan tindak pidana adalah menyiapkan hasil pemeriksaan penyidikan itu sendiri sebagai berkas perkara yang akan diserahkan penyidik kepada penuntut umum yang bertindak dan berwewenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana. Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan, maka ia memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Apabila penyidik telah selesai dan sempurna dalam melakukan proses pemeriksaan penyidikan, secepatnya harus mengirimkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum. Penyidik diharuskan membuat berkas perkara sesuai dengan ketentuan pasal Undang-undang yang menggariskan pembuatan berita acara pemeriksaan penyidikan seperti yang ditentukan dalam Pasal 121 KUHAP, yaitu : Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai. akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara. Setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajari dan meneltinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memeberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

3 Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum. tindakan tersebut dinamakan pra penuntutan. Secara lengkap pengertian prapenuntutan adalah wewenang penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, yakni dalam hal penuntut umum menerima berkas penyidikan dari penyidik ( Pasal 8 ayat 3 huruf a KUHAP ) dan berpendapat bahwa hasil penyidikannya itu dianggap belum lengkap dan sempurna, maka penuntut umum segera mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum ( Pasal 110 ayat 3 KUHAP ) apabila penuntut umum dalam 14 hari tidak mengembalikan hasil penyidikan tersebut, maka penyidikan dianggap selesai ( Pasal 110 ayat 4 KUHAP ) dan hal ini berarti pula bahwa tidak boleh dilakukan prapenuntutan. 1 Pada tahap prapenuntutan inilah mungkin terjadi bolak-balik berkas perkara antara penuntut umum dan penyidik Polri. Bolak-balik berkas perkara ini dapat terjadi lebih dari dua kali. Hal ini tentu saja dapat 1 Drs. Hari Sasangka, SH., MH., 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Praperadilan dalam teori dan praktek, Mandar Maju, Bandung hlm 17

4 mengakibatkan proses pemeriksaan suatu perkara memakan waktu yang lama. Berkas perkara hanya bolak-balik antara penuntut umum dan penyidik Polri saja, sehingga pelimpahan perkara dari kejaksaan ke pengadilan menjadi lambat, memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Kemungkinan bolak-balik berkas perkara hingga berkali-kali seperti ini bertentangan dengan kepentingan tersangka serta berlawanan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam hal bolak-baliknya BAP, maka si tersangka tidak segera diadili dan otomatis perpanjangan penahanan akan dilakukan penyidik Polri. Perpanjangan penahanan ini dapat merugikan tersangka, dari segi waktu yang tersita pada waktu masa penahanan dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah di pengadilan maka akan sangat merugikan terdakwa. Pengaturan tentang berapa kali batasan bolak balik BAP dari polisi ke jaksa penuntut umum tidak terdapat di KUHAP, dengan tidak adanya kepastian berapa kali batasan BAP yang dilimpahkan dari polisi ke jaksa penuntut umum inilah salah satu penyebab hak-hak dari si tersangka atau tidak terpenuhi. Ketentuan mengenai terhapusnya hak-hak tersangka dari proses pra penuntutan yaitu hak segera mendapatkan pemeriksaan penyidik yang dapat kita simak dari ketentuan Pasal 50 ayat 1 jo Pasal 122 KUHAP yang berbunyi Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Sedangkan bunyi Pasal 122 KUHAP yang berbunyi Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa

5 oleh penyidik. 2 Kelemahan dari pra penuntutan juga mengakibatkan tersangka dapat bebas karena apabila jangka waktu masa penahanan sudah lewat, namun kepentingan pemeriksaan belum selesai juga maka tersangka dapat bebas dari tahanan demi hukum. Dengan tidak ditentukannya dalam KUHAP tentang batas berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik kepada penuntut umu atau sebaliknya, maka dalam praktek sering terjadi apabila menurut pendapat penuntut umum hasil penyidikan tambahan penyidik dinyatakan belum lengkap, maka dalam penyelesaian berkas perkara bisa berlarut-larut, bolak-baliknya suatu berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum guna menambah dan menyempurnakan pemeriksaaan penyidikan jelas-jelas memperlambat penyelesaian penegakan hukum. Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa perlu meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana penerapan pra penuntutan di Daerah Yogyakarta dengan mengangkat judul TINJAUAN TERHADAP PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 138 KUHAP TENTANG PRA PENUNTUTAN DALAM PROSES PENANGANAN PERKARA PIDANA DI YOGYAKARTA 2 Benyamin Asri, SH, 1989, Hak Hak tersangka dan terdakwa dalam Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan, Tarsito, Bandung, hlm. 12

6 B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah yaitu apakah ketentuan Pasal 138 KUHAP tentang pra penuntutan dapat dilaksanakan sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan? C. Tujuan Penelitian Untuk memperoleh dan menganalisa data tentang penyidik dan penuntut umum dalam menjalankan ketentuan Pasal 138 KUHAP tentang pra penuntutan apakah dilaksanakan sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Subjektif a. Bagi Penulis Usulan penelitian ini ditujukan untuk mengumpulkan data konkrit yang berkaitan dengan obyek peneliti serta menambah pengetahuan, wawasan dan rasa keingintahuan dalam tahapantahapan peradilan, khususnya tahapan pada saat proses prapenuntutan yang berguna bagi penulis guna menulis penulisan hukum yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan jenjang S1.

7 b. Bagi Dunia Peradilan Sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum, khususnya kepada pihak kepolisian dan kejaksaan dalam rangka penegakan dan penerapan hukum di bidang pra penuntutan demi tercapainya tujuan hukum yaitu ketertiban dan keadilan. c. Bagi Masyarakat Semoga dari usulan penelitian ini dapat membantu masyarakat dalam memahami hak-hak dan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang tentang hak-hak tersangka jika suatu saat nanti menjalani proses dalam tahap tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan. Semoga juga dengan adanya usulan penelitian ini dapat menciptakan masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih dalam bidang hukum khususnya dalam tahap proses prapenuntutan agar tidak tercipta kesewenang-wenangan dari pihak-pihak terkait dalam proses prapenuntutan yang sering memanfaatkan kelemahan masyarakat dibidang ini. 2. Manfaat Objektif Semoga penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum mengenai proses penyidikan tersangka didalam tahap pra penuntutan. Selain itu diharapkan bermanfaat juga dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tentang proses prapenuntutan.

8 E. Keaslian penelitian Penelitian dengan judul TINJAUAN TERHADAP PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 138 KUHAP TENTANG PRAPENUNTUTAN DALAM PROSES PENANGANAN PERKARA PIDANA DI YOGYAKARTA merupakan hasil karya asli dan bukan merupakan hasil plagiat atau mengambil alih karya orang lain ataupun menduplikasikan hasil karya orang lain. Jika tulisan ini terbukti merupakan hasil duplikasi maupun plagiasi dari hasil karya penulisan orang lain maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan atau sanksi hukum yang berlaku. F. Batasan konsep Adapun batasan konsep dalam usulan penelitian ini adalah 1. Penyidikan Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 KUHAP Pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangakain tindakan penyidik dalam haldan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 2. Prapenuntutan Prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak diatur dalam bab tersendiri

9 tetapi terdapat didalam bab penyidikan dan bab penuntutan yakni pada Pasal 109 dan Pasal 138 KUHAP. Menurut Kamus Hukum prapenuntutan adalah Pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya. hasil penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya. 3. Perkara pidana Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan perkara adalah masalah; persoalan: urusan (yang perlu diselesaikan atau dibereskan) sedangkan Pidana adalah hukum kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sebagainya; criminal; perkara-perkara kejahatan (kriminal). 3 4. Proses perkara pidana Proses perkara pidana adalah rangkaian tindakan atau perbuatan-perbuatan dalam rangka penanganan sesuatu perkara pidana yang sasarannya untuk mencari atau mengumpulkan bukti dan menentukan terdakwa. 4 3 http://kbbi.web.id/, Kamis, 14 Maret 2013, pukul 16.00 WIB. 4 Leden Marpaung, SH., 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. hlm 11.

10 G. Metode penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang berfokus pada norma hukum positif berupa peraturan perundang-undangan. 2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif data berupa data sekunder terdiri dari : a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan dalam hal ini pihak yang terkait langsung sesuai permasalahan yang diteliti, melalui wawancara langsung dengan Jaksa di Kejaksaan Negeri Sleman dan Polisi di POLDA Yogyakarata. b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari mengambil, mempelajari, membaca bahan-bahan hukum maupun kepustakaan dan dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindakan Penyidik dan Penuntut umum melakukan pra penuntutan dalam perkara pidana, yaitu :

11 a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana b) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia c) Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No. B 401/E/9/1993 tentang pelaksanaan tugas pra penuntutan. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan maupun petunjuk tentang bahan hukum primer seperti buku-buku literatur, kamus besar bahas indonesia, internet, hasil penelitian, pendapat hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan pra penuntutan. 3. Cara Pengumpulan Data a. Studi keputakaan Pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku atau tulisan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. b. Wawancara Penulis mengumpulkan data dengan melakukan wawancara atau interview untuk mendukung data yang ada dengan aparat penegak hukum khususnya pihak kejaksaan dan polisi yaitu dengan Bapak Krisna Pramono SH selaku kepala seksi intelejen Kejaksaan Negeri Sleman Yogyakarta dan dengan Bapak AKBP Beja SH selaku Kabagbinopsal Polda Yogyakarta.

12 4. Analisis data Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan akan dianlisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan mengkaji data yang telah dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh suatu gambaran mengenai masalah atau keadaan yang akan diteliti. Proses penalaran yang digunakan dalam menarik kesimpulan adalah metode berpikir deduktif yaitu suatu pola pikir yang didasarkan pada suatu fakta yang bersifat umum, kemudian ditarik sebuah kesimpulan pada suatu fakta yang bersifat khusus. H. Sistematika penulisan hukum BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, yang diangkat, yang kemudian dituangkan dalam suatu rumusan masalah untuk melakukan penelitian dan disertai dengan tujuan dan manfaat dilakukannya penelitian dan metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode jenis peneltian hukum normatif. BAB II : PELAKSANAAN PASAL 138 TENTANG PRA PENUNTUTAN Bab ini berisi tentang :

13 A. Tinjauan tentang Penyidikan, Pengertian dan Tujuan Penyidikan, hubungan antara Penyidik dan Penuntut Umum, Penuntutan, Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, Perubahan Surat Dakwaan. B. Pra Penuntutan, Pengertian Pra Penuntutan, Tujuan Pra penuntutan. C. Pelaksanaan Pra Penuntutan BAB III : PENUTUP A. Kesimpulam Kesimpulan yang didapat adalah mengenai ketentuan tentang pra penuntutan yang ada di KUHAP tidak diatur batasan berapa kali berkas perkara dapat dikembalikan. Terkait dengan hal itu akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian ini. B. Saran Saran yang diperuntukan bagi Lembaga Kejaksaan dan Lembaga Kepolisian demi keberhasilan tugas pra penuntutan dan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.