Decentralisation Brief



dokumen-dokumen yang mirip
Decentralisation Brief

Decentralisation Brief

Governance Brief. Dampak Kebijakan IPPK dan IUPHHK Terhadap Perekonomian Masyarakat di Kabupaten Malinau

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II SINTANG

C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h. Governance Brief

Decentralisation Brief

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Governance Brief. Bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kabupaten? Penglaman dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II KAPUAS HULU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 80 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 49 TAHUN 2001

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

Governance Brief. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom.

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI IRIAN JAYA NOMOR 121 TAHUN 2001 T E N T A N G

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Kunjungan ke Desa-Desa di Hulu Sungai Malinau November Desember 2002

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2002 T E N T A N G USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN DAN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PENGARUH HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN KAMPAR KIRI TUGAS AKHIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR : 9 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATAALA

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

Rencana Umum Tata Ruang Kota yang telah ditetapkan;

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 6 TAHUN 2000 T E N T A N G

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

Warta Kebijakan. Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dasar Hukum

Kabar dari Lokakarya Membangun Agenda Bersama II Setulang, 4-6 Desember 2000

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G

BUPATI INDRAGIRI HILIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 13 TAHUN 2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.192/MENHUT-II/2006 TENTANG

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005

KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR: 09 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN KHUSUS PENEBANGAN JENIS KAYU ULIN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN

Menimbang : Mengingat :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6885/Kpts-II/2002 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENERTIBAN PENEBANGAN POHON DAN BAMBU DI LUAR KAWASAN HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 33/Kpts-II/2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG

Transkripsi:

No.9, April 2005 Forests and Governance Programme Can decentralisation work for forests and the poor? Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan: Studi Kasus HPHH 100 Ha di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat Oleh Gusti Z. Anshari, Syarief Alqadrie, Tri Budiarto, Ngusmanto, Erdi Abidin, Siân McGrath, Zulkifli, Heru Komarudin dan Afifudin Pendahuluan Dalam era otonomi daerah, pemerintah kabupaten diberi wewenang untuk mengeluarkan izin penebangan hutan skala kecil dengan luasan kurang lebih 100 ha di kawasan hutan. Bupati-bupati di seluruh Kalimantan Barat menanggapinya dengan mengeluarkan kebijakan pengaturan pemberian izin, yang dikenal dengan HPHH 100 ha. Namun demikian, pada tahun 2002 1 pemerintah pusat membatalkan keputusan yang memberikan kewenangan tersebut dengan alasan telah terjadinya berbagai penyimpangan, seperti tumpang tindih areal HPHH 100 ha dengan kawasan HPH dan hutan lindung. Namun, para bupati di Kalimantan Barat tetap memberikan perpanjangan izin dan berdasarkan informasi terakhir diketahui bahwa proses perpanjangan tersebut berakhir pada akhir 2003. Foto oleh Gusti Z. Anshari Kebijakan HPHH 100 ha memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar hutan untuk terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya kayu. Tujuan kebijakan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan yang tergantung pada sumberdaya hutan. Walaupun kebijakan daerah yang mengatur izin-izin HPHH skala kecil ini memiliki ketentuan-ketentuan yang lebih memperhatikan pembagian manfaat bagi masyarakat Tabel 1. Jumlah izin di Kalimantan Barat tahun 2003 (Sumber: Budiarto et al., 2004) Jumlah yang Jenis izin Luas wilayah (ha) diterbitkan Izin yang diterbitkan Pemerintah Pusat % total wilayah hutan* 1. HPH Swasta 19 1.320.468 28,02 2. HPH BUMN 6 784.650 16,65 3. HPHKM 1 16.490 0,35 daripada bentuk-bentuk izin lainnya, namun keberhasilan dari kebijakan tersebut terhambat oleh dua alasan utama berikut. Pertama, kebijakan tersebut hanya berlaku pada sebagian kecil kawasan hutan di setiap kabupaten. Seperti disajikan dalam tabel di bawah ini, kebijakan ini hanya mencakup luasan 2% dari seluruh kawasan hutan provinsi. Izin yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten 4. IUPHHK yang diterbitkan Bupati 9 144.050 3,06 5. HPHH 100 ha yang diterbitkan Bupati 944 94.400 2,00 *asumsi total kawasan hutan seluas 4.711.785 ha (Dinas Kehutanan Provinsi, 2003) Faktor kedua yang membatasi efektivitas pelaksanaan kebijakan tersebut menyangkut proses perumusan yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tertutup serta pelaksanaanya yang tidak sesuai Center for International Forestry Research (CIFOR)

dengan ketentuan. Akibatnya, kondisi tersebut telah membatasi kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk berperan serta dalam merancang kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat, dan memperoleh manfaat nyata dari pelaksanaan kebijakan ini. Masyarakat merasa bahwa kebijakan yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan elit lokal dan nasional, khususnya kalangan penanam modal swasta. Persyaratan yang tertuang dalam kebijakan tersebut terlalu eksklusif dan tidak menjamin adanya pembagian keuntungan yang adil antara masyarakat lokal dengan mitra swastanya. Masalah-masalah tersebut sebenarnya juga terjadi dengan kebijakan HPH yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Prosedur yang ditetapkan kurang memadai dalam menentukan areal yang tepat sebagai calon lokasi HPHH dan memberikan kejelasan tata batas atas areal yang dimohonkan. Selain itu, pemerintah daerah juga tidak mampu mengendalikan pelaksanaan HPHH guna mengurangi kerusakan lingkungan dan mencegah kegiatan penebangan dilakukan di luar batas yang telah ditetapkan; dan mendorong para pemegang izin melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk melakukan penanaman kembali lahan bekas tebangan dan menerapkan konservasi tanah. Menyusul berlakunya Undang-Undang No. 22 tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 1999, beberapa kebijakan yang dikeluarkan Departemen Kehutanan di satu sisi telah mendorong terciptanya tatanan baru pengelolaan hutan terdesentralisasi, tetapi kemudian di sisi lain menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Sementara itu, dengan adanya berbagai bentuk pengelolaan dan pemanfaatan konsesi kayu, masyarakat lokal terus mengalami marginalisasi. Sekalipun demikian, di tengah gelombang perubahanperubahan sejalan dengan berlakunya sistem otonomi daerah dan reformasi, kepercayaan diri masyarakat meningkat. Hal ini menjadi pertanda bahwa mereka telah mulai menuntut suatu kompensasi yang adil atau manfaat-manfaat langsung atas pemanfaatan hutan. Sekalipun sebagian anggota masyarakat telah menerima bagian kecil keuntungan dari pelaksanaan HPHH 100 ha, keuntungan tersebut belum tersebar merata. Kelompok-kelompok tertentu yang paling terpinggirkan, seperti yaitu perempuan dan pendatang, menerima bagian yang sangat kecil bahkan ada yang tidak menerima apa-apa. Elit lokal yang berkuasa merupakan penerima bagian keuntungan yang terbesar. Di saat masyarakat diberikan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui izin pemungutan hasil hutan berupa kayu, konflik juga ternyata terjadi diantara masyarakat sendiri, dan antara masyarakat dan mitra investor. Policy brief ini menganalisis dampak-dampak dari kebijakan HPHH 100 ha ketika masih berlaku di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Saat ini pemerintah pusat telah mencabut sistem perizinan ini. Kondisi tersebut seharusnya dimanfaatkan sebagai suatu peluang bagi pemerintah kabupaten bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk merasionalkan seluruh sistem perizinan, dan merancang suatu kerangka nasional perizinan yang lebih menjamin kelestarian sumberdaya alam sekaligus mendatangkan lebih banyak manfaat bagi masyarakat lokal. Kami berharap pelajaran yang diambil dari penelitian ini menjadi masukan bagi perbaikan kebijakan di masa depan. Perumusan Kebijakan HPHH 100 ha di Kabupaten Sintang Ketika memasuki era otonomi daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang melihat pentingnya menunjukkan komitmen mereka terhadap kebijakankebijakan yang berbasis masyarakat, yang terwujud dalam bentuk kebijakan HPHH 100 ha. Kebijakan yang disiapkan rancangannya dalam waktu yang singkat tersebut, secara jelas menetapkan sasarannya untuk memajukan pembangunan ekonomi yang memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Dalam proses perumusannya, Surat Keputusan Bupati No. 19/1999 tentang Pemberian Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan melalui permohonan dengan luas maksimal 100 hektar disusun rancangannya oleh Dinas Kehutanan kabupaten dan diserahkan kepada bupati. Walaupun sebuah keputusan bupati tidak perlu melalui mekanisme konsultasi publik, Bupati Sintang tetap menyerahkan rancangan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan persetujuan informal. Pada tanggal 30 November 1999, DPRD memberikan dukungan informal atas kebijakan tersebut 2, dan pada tanggal 23 Desember 1999, keputusan tersebut ditetapkan dan diundangkan melalui sebuah SK Bupati 3, dan sejak saat itu juga keputusan tersebut mulai berlaku. Sebagian pihak merasa bahwa keputusan tersebut dikeluarkan terlalu cepat karena adanya kepentingankepentingan elit-elit lokal, seperti oknum pejabat pemerintah dan DPRD serta investor swasta, yang diduga memperoleh keuntungan besar dari kebijakan tersebut. Karena sempitnya waktu, masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses perumusan dan tidak dimintakan pendapat dan aspirasinya. Selain itu, juga tidak ada upaya untuk mengkaji sejauh mana kebijakan tersebut memenuhi tujuannya memajukan pembangunan masyarakat setempat. SK Bupati 19/1999: Ketentuanketentuan tentang Akses dan Perlindungan Sumberdaya Hutan SK Bupati No. 19/1999 4 menyatakan bahwa izin HPHH dapat diberikan kepada koperasi, kelompok tani atau perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang seluruh modalnya dimiliki oleh warga 2 Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan

negara Indonesia. Karena berbagai persyaratan dan tingginya investasi awal untuk kegiatan tersebut, dalam prakteknya, lebih banyak perusahaanperusahaan yang bermitra dengan masyarakat setempat untuk mengajukan diri mendapatkan izin. Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut, masyarakat lokal harus memiliki badan hukum sebagai suatu kelompok usaha tani (KUT) dan harus membuktikan hak-hak kepemilikan tradisional atas lahan hutan. Namun demikian, peraturan yang ada tidak menjabarkan pengertian hak-hak milik tradisional, atau bagaimana cara pembuktiannya. Dalam pelaksanaannya, hanya masyarakat yang dapat membuktikan bahwa mereka memiliki hak-hak tradisional damar tebok yang dianggap memenuhi persyaratan. Menurut sejarah, hak damar tebok digunakan masyarakat setempat sebagai bentuk pengakuan secara tradisional terhadap beberapa jenis pohon penghasil damar, yaitu dengan melakukan penyadapan atau menebok atau melubangi batang pohon damar di hutan alam. Hak tersebut bukan merupakan hak milik, tetapi hanya hak untuk pemanfaatan (usufruct). Bukti-bukti atas hak hutan adat damar tebok mengacu pada pengakuan dari para tetua desa atau dan tanda bukti pembayaran cukai kepada pemerintahan kolonial Belanda. Praktek penyadapan damar telah lama berakhir, tetapi pengakuan melalui hak damar tebok muncul kembali seiring dengan berlakunya kebijakan HPHH 100 ha. Hak damar tebok digunakan sebagai salah satu mekanisme klaim atas wilayah hutan - dan bukan pohon-pohon tertentu - yang menjadi calon areal HPHH 100 ha. Akses terhadap pohon-pohon bukan penghasil damar sebelumnya terbuka untuk kelompok masyarakat lain yang tidak memiliki hak damar tebok. Namun, dengan adanya praktek pengakuan hak milik berdasarkan damar tebok, manfaat-manfaat sumberdaya alam lebih besar dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat yang secara turun temurun merupakan penyadap pohon-pohon damar pada zaman kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat lain, khususnya kelompok-kelompok masyarakat miskin lainnya dan pendatang, tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan izin HPHH 100 ha. Dalam SK Bupati tertuang aturan mengenai kewajiban pemegang hak untuk melakukan upaya pemeliharaan lingkungan dan batas-batas konsesi. Tetapi pemantauan dan pengawasan kegiatan tersebut kurang memadai karena terbatasnya kemampuan dan jumlah personil. SK tersebut menyatakan bahwa HPHH 100 ha tidak dapat diberikan pada areal yang telah dibebani hak atau izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, seperti HPH 5 atau Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) 6. Foto oleh Gusti Z. Anshari SK Bupati juga mewajibkan pemegang hak untuk menanam kembali pohon dengan jumlah yang sama dengan yang dipanen 7. Pemungutan kayu pada areal HPHH 100 ha harus dilaksanakan secara manual dan semi mekanis yaitu berupa jalan kuda-kuda tradisional dan/atau lokomotif kecil untuk menarik kayu gelondong 8. Permohonan Izin Dinas Kehutanan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) melakukan evaluasi atas permohonan izin. Penilaian meliputi pemeriksaan mengenai kebenaran kelembagaan dan status pemohon, kesesuaian kawasan dalam kaitannya dengan rencana tata ruang kabupaten, dan keberadaan desa dan hak-hak kelompok masyarakat yang ada di sekitar areal yang dimohon. Dinas Kehutanan kemudian menyampaikan pertimbangan teknis kepada bupati, yang memiliki wewenang terakhir untuk memberikan izin. Keseluruhan prosedur dan proses tersebut hampir seluruhnya dikendalikan oleh Bupati dan instansi pemerintah daerah terkait 9, dan kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk memberikan masukan terhadap keputusan-keputusan yang diambil, misalnya mengenai aspek-aspek kelayakan areal atau kepatutan pemohon. Pemberian Izin Sistem HPHH 100 ha telah memberikan kesempatan kepada pemerintah kabupaten untuk secara langsung mengelola dan memanfaatkan sumberdaya serta meningkatkan penerimaan dari sektor kehutanan. Saat kebijakan ini masih berlaku (1999-2002), sekitar 944 izin telah diterbitkan di Kalimantan Barat. Hampir semua izin ini diterbitkan di dua kabupaten tempat penelitian kami, yaitu Sintang (464 izin) dan Kapuas Hulu 10 (335 izin). Sebagian besar bupati di Kalimantan Barat berpendapat bahwa banyaknya jumlah izin HPHH 100 ha yang diterbitkan karena mereka melihat bahwa Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan 3

Foto oleh Gusti Z. Anshari telah tiba saatnya bagi penduduk setempat untuk menikmati manfaat dari hutan yang ada di sekitarnya. Kebijakan ini dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah ketidakadilan selama rezim Orde Baru, yang lebih banyak menyedot keuntungan dari sumberdaya hutan untuk kepentingan pemerintah pusat dan segelintir pengusaha konglomerat kayu. Namun demikian, hasil analisis pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap akses HPHH 100 ha menunjukkan bahwa oknum penguasa, pengusaha dan kelompok elit mendominasi perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut guna memenuhi kepentingan pribadi mereka. Elit-elit lokal melakukan pendekatan kepada para pemilik konsesi HPH untuk menjadi perantara dalam pembagian keuntungan dan menjadi mitra kerja masyarakat setempat. Para pemegang HPH dan industri kehutanan memanfaatkan kesempatan kemitraan dan mendapatkan keuntungan dari adanya pasokan kayu murah hasil eksploitasi dari HPHH 100 ha. Selain itu, lokasi HPHH 100 ha sering kali tumpang tindih dengan wilayah-wilayah HPH, sehingga potensi konflik yang disebabkan oleh ketidakjelasan batas konsesi meningkat. Walaupun masyarakat setempat secara hukum berhak atas pembagian manfaat, penelitian kami menunjukkan bahwa rata-rata kemitraan dengan pemegang HPH 11 tidak mendatangkan manfaat bagi anggota masyarakat termiskin. Sejumlah besar manfaat tersebut lebih dinikmati oleh elit-elit lokal dan pengusaha-pengusaha HPH, serta industri pengolahan kayu. Beberapa pemilik HPH yang telah menghentikan kegiatannya baik karena izin mereka telah dicabut karena berbagai pelanggaran maupun karena konflik-konflik dengan masyarakat setempat, dilaporkan mendapat keuntungan dari sistem HPHH 100 ha dengan tetap melanjutkan kegiatan penebangan. Masalah-masalah dalam Pelaksanaan Areal yang Tumpang Tindih dan Hak-hak Properti Pelaksanaan tata batas, survei potensi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga sebelum izin diterbitkan masih belum memadai. Dinas Kehutanan Kabupaten seharusnya mempunyai kewajiban melakukan survei lapangan 12, tetapi pada kenyataannya identifikasi areal dan tata batas lebih banyak dilakukan di atas kertas. Peninjauan dan pengukuran langsung di lapangan jarang sekali dilakukan dan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah di semua tingkat yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan pelaksanaan operasional izin dirasakan kurang. Akibatnya, banyak areal HPHH 100 ha yang tumpang tindih dengan areal konsesi HPH, hutan produksi, dan hutan lindung. Ada kasus-kasus di mana terdapat lebih dari satu izin HPHH untuk wilayah yang sama. Survei lapangan yang tidak memadai tersebut sering memicu konflik-konflik lokal. Sebagai contoh: konflik antara penduduk Desa Nanga Sayan dan tetangganya di desa Mekar Pelita dan Madya Raya yang disebabkan karena masing-masing penduduk desa merasa memiliki hutan ulayat, yang diperbolehkan untuk dieksploitasi dengan sistem HPHH. Batas-batas wilayah hutan ulayat masing-masing desa tersebut belum disepakati. Batas-batas adat tersebut juga seringkali tidak sesuai dengan batas administratif yang ditetapkan pemerintahan. Walaupun demikian, perbatasan administratif masih digunakan untuk tujuan-tujuan perencanaan pembangunan. Kawasan konsesi HPHH 100 ha juga seringkali tumpang tindih dengan hutan lindung. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat memperkirakan sekitar 30% kawasan HPHH berada dalam kawasan hutan lindung. Hal ini bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang 4 Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan

tertuang di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten tentang penentuan wilayah 13. Lemahnya Mekanisme Pendistribusian Keuntungan Sampai pertengahan April 2004, PSDH dan DR yang dibayarkan oleh pemegang HPHH 100 ha tidak dilaporkan dan tidak disetorkan ke rekening Menteri Kehutanan. Hal ini terjadi di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat. Dana-dana tersebut harus disetor ke Kas Pemerintah Kabupaten 14. Ketentuan-ketentuan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan tentang mekanisme pembayaran untuk penerimaan negara bukan pajak dan penyetoran dana. Ketentuannya adalah bahwa PSDH (IHH) wajib disetor langsung ke Kas Negara, yang tata cara penyetorannya diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. 15 Kenyataannya, pemerintah kabupaten mengharuskan para pemegang hak untuk menyetor PSDH dan DR ke Kas Pemerintah Kabupaten Sintang dan tidak diikuti dengan transfer dana kepada pemerintah pusat. Pemerintah-pemerintah kabupaten setempat umumnya berdalih bahwa mereka menahan pembayaran dana tersebut sebagai sebuah pernyataan kekecewaan mereka dengan kebijakan Departemen Kehutanan tentang bagi hasil dari kehutanan. Pemerintah kabupaten berpendapat bahwa jumlah dana PSDH dan DH yang sebelumnya dikembalikan oleh pemerintah pusat adalah 40% lebih rendah dari yang seharusnya diterima kabupaten 16. Sementara itu, Kelompok Usaha Tani (KUT) yang mendapatkan izin HPHH umumnya tidak memiliki modal atau kemampuan untuk mengelola sebuah konsesi sehingga mereka menjual izin mereka kepada pada mitra kerja, yang seringkali adalah pemilik HPH. Akibatnya, KUT hanya menerima uang ganti rugi (fee) berkisar antara Rp. 40.000-Rp. 60.000 per m 3 kayu, yang kemudian dibagi secara merata kepada seluruh anggota dari KUT. Setelah dipotong Rp. 5.000 per m 3 untuk koordinator KUT, uang yang bersih diterima KUT berkisar antara Rp. 35.000 hingga Rp. 55.000 per m 3. Dengan mengasumsikan nilai pasar untuk kayu seperti Meranti 17 yang umumnya berkisar Rp. 700.000 per m 3, berarti masyarakat, yang diwakili oleh kelompok-kelompok petani (yang semuanya lakilaki) umumnya hanya menerima keuntungan kurang dari 9% dari nilai pasar atas kayu yang ditebang di hutan-hutan adat. Baik peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah yang mengatur izin pemungutan kayu skala kecil, tidak ada yang mengatur atau menyediakan petunjuk tentang cara-cara mengatur pengelolaan dan pembagian keuntungan. Dalam banyak kasus, surat kesepakatan yang disusun oleh mitra kerja dan diakui oleh instansi berwenang justru menjadi acuan dan mengatur berbagai syarat dan kondisi kemitraan yang mengikat antara kelompok tani dengan pengusaha. Penebangan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kalimantan Timur. (Foto oleh Romain Pirard) Lemahnya Pengawasan dan Pemantauan Sesuai dengan peraturan perundangan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten menetapkan bahwa pelaksanaan pemungutan hasil hutan pada kawasan HPHH 100 ha hanya dilakukan secara manual dan semi mekanis yaitu berupa jalan kudakuda dan atau menggunakan lokomotif 18. Tetapi, dalam pelaksanaannya, hampir seluruh kegiatan penebangan dilakukan dengan alat-alat berat seperti traktor dan truk logging. Dalam peraturannya, ada ketentuan-ketentuan yang membatasi terjadinya kerusakan lingkungan. Namun demikian, aturan-aturan tersebut tidak diterapkan karena pemerintah kabupaten kurang mempunyai kemampuan, misalnya, untuk mengawasi penggunaan alat-alat berat. Yang juga penting untuk dicatat adalah bahwa pada areal konsesi yang dialokasikan bagi masyarakat pemilik hak damar tebok, pohonpohon yang telah disadap otomatis memiliki nilai jual yang rendah karena kayunya sudah berlubang. Dalam prakteknya, penebangan pohon dilakukan secara selektif dan kayu-kayu yang ditebang bukan penghasil damar tetapi jenis-jenis kayu komersial. Pemegang HPHH yang wilayahnya terletak dalam hutan produksi atau lahan-lahan pertanian yang kering (bukan untuk dialihfungsikan), menurut aturannya diwajibkan melakukan penanaman dengan jumlah pohon yang sama dengan yang ditebang 19. Namun, banyak areal konsesi yang tidak ditanami kembali, karena mitra kerja yang lebih banyak melakukan kegiatan pemungutan kayu sementara kelompok tani yang memiliki izin. Mengingat kelompokkelompok tani memiliki tuntutan kepemilikan jangka panjang atas lahan, mereka mempunyai insentif lebih untuk melakukan penanaman kembali, tetapi mereka kurang memiliki keterampilan, dana dan kemampuan. Izin hanya berlaku untuk satu tahun - waktu yang cukup untuk melakukan penebangan. Ketika izin telah berakhir, kecil sekali insentif bagi Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan 5

mitra investor untuk melakukan kegiatan-kegiatan penanaman kembali atau regenerasi. Pemerintah Pusat Mencabut Kebijakan Departemen Kehutanan menarik kembali kewenangan bupati untuk menerbitkan HPHH 100 ha yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 2002 20. Akan tetapi, pemerintah daerah Kabupaten Sintang tetap memperpanjang izin-izin setidaknya sampai Desember 2003. Melalui penerbitan SK Menteri, Pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada gubernur dan bupati untuk mengeluarkan izin pemungutan hasil hutan dengan batasan maksimum 20 m 3 kayu atau 20 ton hasil bukan kayu untuk jangka waktu satu tahun. Hasil pemungutan hasil hutan tersebut ditujukan hanya untuk kepentingan pemakaian sendiri dan tidak untuk diperdagangkan. Kebijakan baru tersebut tidak disambut antusias oleh para pemangku kepentingan setempat, yang tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengendalikan atau mendapat keuntungan dari kegiatan-kegiatan penebangan komersial. Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian ini telah menemukan pelajaran-pelajaran penting mengenai dampak pelaksanaan HPHH 100 ha di Kabupaten Sintang. Pelajaran pertama terkait dengan akses legal terhadap sumberdaya. Kriteria penetapan kelompokkelompok masyarakat yang memenuhi persyaratan memperoleh izin dipandang terlalu eksklusif, dan kurang memperhitungkan perbedaan tingkat sosial, kebutuhan atau kemampuan masyarakat yang sesungguhnya, sehingga kebijakan tersebut belum mampu memberikan peluang kepada masyarakat setempat untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan. Hasil analisis stakeholder menunjukkan bahwa manfaat-manfaat dari kegiatan HPHH 100 ha lebih banyak dirasakan oleh para pengusaha, elit masyarakat dan oknum pejabat-pejabat pemerintah 21. Selain itu, lemahnya upaya-upaya pemantauan dan pengawasan terhadap kegiatankegiatan perlindungan lingkungan baik oleh pemegang HPHH 100 ha maupun HPH skala besar telah mempercepat terjadinya degradasi hutan. Dampaknya masyarakat lokal yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya hutan menghadapi kesulitan yang terus-menerus. Kedua, karena berskala komersial dan tingkat intensitas eksploitasi hutan relatif tinggi, masyarakat lokal kurang mempunyai kemampuan untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki modal, peralatan, dan pengalaman. Mengingat satu izin HPHH 100 ha hanya berlaku untuk satu tahun, maka kelompok-kelompok petani bersaing satu sama lain untuk mendapatkan mitra yang mampu melakukan penebangan dalam suatu wilayah dengan sangat cepat, dan memiliki jaringan yang baik dalam bidang pemasaran kayu dan industri pengolahan. Dalam beberapa kasus hal ini menyebabkan konflikkonflik lokal antar masyarakat. Singkatnya periode kontrak, dan waktu yang terbatas menyebabkan kurang memadainya perencanaan pengelolaan areal konsesi, dan tidak ada tuntutan untuk membuat rencana pengelolaan jangka panjang. Ketiga, peraturan-peraturan terkait baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kurang memperhitungkan kemampuan masyarakat setempat. Kebijakan HPHH 100 ha secara drastis mengubah peran masyarakat setempat - dari peran pengamat menjadi pelaku. Secara teknis dan budaya, perubahan-perubahan yang diperkenalkan terlalu cepat dan tidak memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat, khususnya kelompok-kelompok yang terpinggirkan, untuk mempersiapkan diri dalam sistem yang baru. Sebagai akibatnya, hanya elit lokal dan oknum pejabatpejabat pemerintah - dengan keterampilan memadai dan jaringan lokal yang kuat dengan para pengusaha hutan yang menikmati keuntungan terbesar. Dengan tiga pelajaran tersebut, penelitian ini menyarankan perlunya pemerintah pusat bekerja dengan pemerintah daerah kabupaten untuk merumuskan kembali rancangan kebijakankebijakan pengelolaan hutan yang lebih berbasis masyarakat dan sesuai dengan kemampuan lokal. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan praktekpraktek pemanfaatan hutan secara tradisional dan menerapkan kriteria dan indikator yang jelas bagi pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan kesepakatan kemitraan. Hal ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dan menjamin adanya skema-skema kemitraan yang memberikan manfaat yang adil. Di masa depan, masyarakat setempat membutuhkan jaminan akses terhadap sumberdaya hutan. Kebijakan sebelumnya hanya memberikan akses keuntungan finansial jangka pendek dari kegiatan eksploitasi hutan kepada kelompok masyarakat tertentu saja. Kebijakan yang akan datang perlu memberikan pengakuan secara hukum dan dukungan bagi masyarakat setempat guna untuk mendorong kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan penghasilan mereka dan melestarikan sumberdaya hutan yang tersisa. Dengan disertai pendampingan dan pemberdayaan, pemberian peran yang lebih besar kepada masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian program-program kehutanan merupakan hal yang sangat mendasar. Misalnya mereka dilibatkan di dalam perencanaan lahan hutan; rehabilitasi lahan dan pengadaan bibit-bibit pohon. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat bertindak lebih banyak dengan memusatkan kebijakan-kebijakan mereka untuk melayani kebutuhan-kebutuhan para stakeholder guna meningkatkan kesejahteraan, 6 Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan

menciptakan keadilan sosial, dan mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan lestari demi masa depan. Daftar Pustaka Alqadrie, Syarif I., Anshari, Gusti., Budiarto, Tri., Ngusmanto, Zulkifli, Abidin, Erdi., dan Afifudin. 2004 (dalam persiapan, Maret 2005) Analisis Kebijakan Sektor Kehutanan dalam Era Otonomi Daerah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Laporan Penelitian. CIFOR bekerjasama dengan S2 Ilmu-ilmu Sosial Untan dan Yayasan Konservasi Borneo. Budiarto, Tri., Setyarso, Agus., Slamet, Elaine P., dan Anshari, Gusti. 2004 (in press). Illegal Logging, Livelihood Security and Conflict: The Case of West Kalimantan. EDSP Working Paper No. 4. Aldephy- Research. Berlin. Holmes, D. 2000. Deforestation in Indonesia: A View of The Situation in 1999. Word Bank Draft Report. Jakarta, Indonesia. Catatan akhir 1 Keputusan Menteri No. 6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) pada hutan produksi. 2 DPRD menyetujui kebijakan yang diajukan tentang Pemberian Izin Hak-hak Pemungutan Hasil Hutan... tersebut dalam sebuah surat resmi kepada bupati Bupati (No. 522/270/DPRD/1999). 3 SK Bupati Sintang No. 19/1999. 4 SK Bupati Sintang No. 19/1999 Pasal 14. 5 SK Bupati Sintang No. 19/1999 Pasal 14:2. 6 Izin IPK berbeda dari izin HPH dalam hal lahan yang dapat dialihkan untuk kegunaan-kegunaan lain (perkebunan kelapa sawit; pertanian dan lain-lain) setelah penebangan. Wilayah konsesi HPH harus ditanam kembali setelah penebangan. 7 SK Bupati Sintang No. 19/1999 Pasal 17. 8 SK Bupati Sintang No. 19/1999 Pasal 15:1. 9 Untuk penjelasan mengenai dominasi kewenangan kabupaten dalam sistem perizinan; dan kemampuan para pemangku kepentingan lain untuk mempengaruhi proses tersebut, lebih lanjut dapat dilihat pada Laporan Studi Kasus Desentralisasi dan Hutan di Indonesia No. 11, CIFOR, 2005 (akan dipublikasikan). 10 Kabupaten Kapuas Hulu adalah tempat penelitian pertama dari serangkaian penelitian kami, Universitas Tanjungpura dan CIFOR, yang dilaksanakan antara 2002-2003. 11 Di Sintang, terdapat dua konsesi aktif yang membentuk kemitraan dengan masyarakat untuk memperoleh akses terhadap kayu sesuai dengan kebijakan HPHH. 12 SK Bupati No. 19/1999 Pasal 8:1. 13 SK Bupati No. 19/1999 Pasal 2:1. 14 SK Bupati No. 19/1999 Pasal 18:1-2. 15 Peraturan Pemerintah (PP) No 51/1998 tentang mekanisme pembayaran PSDH (IHH) 16 Pemerintah-pemerintah kabupaten di Kalimantan Barat mengharapkan perolehan Rp. 9,6 miliar dari PSDH tahun 2003. Pembayaran sesungguhnya yang dilakukan oleh pusat hanya Rp. 5,7 miliar. 17 Meranti adalah kayu yang paling umum ditebang di Kalimantan Barat. 18 SK Bupati No. 19/1999 Pasal 15:1-2. 19 SK Bupati No. 19/1999 Pasal 17:1. 20 Keputusan Menteri No. 541/Kpts-II/2002, Peraturan Pemerintah (PP) No. 34/2002, Keputusan Menteri No. 6886/ Kpts-II/2002 dan Keputusan Menteri No. 05.1/Kpts-II/2000. 21 Lihat catatan akhir 13. Marginalisasi Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan 7

Gusti Z. Anshari dan Zulkifli dari Yayasan Konservasi Borneo; Syarief Alqadrie, Ngusmanto dan Erdi Abidin dari Universitas Tanjungpura; Tri Budiarto dan Afifudin dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat; Siân McGrath dan Heru Komarudin dari CIFOR menyusun Desentralisasi Brief ini berdasarkan laporan: Kompleksitas Pengelolaan Sumber Daya Hutan dalam Era Desentralisasi Sebuah Studi Kasus di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Kegiatan penelitian ini didanai oleh ACIAR dan DFID melalui proyek penelitian Can Decentralisation Work for Forests and the Poor?. Pandangan-pandangan yang tertuang dalam tulisan ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi lembaga pemberi dana. Center for International Forestry Research, CIFOR Office: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor Barat 16680, Indonesia. Mailing: P.O. Box. 6596 JKPWB, Jakarta 10065, Indonesia Tel: +62(251) 622 622 Fax: +62(251) 622 100 E-mail: cifor@cgiar.org Website: www.cifor.cgiar.org Foto-foto halaman depan oleh: Romain Pirard and Christian Cossalter