BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini boleh dibilang nyaris tidak ada jenis profesi yang belum terambah perempuan. Perempuan telah meninggalkan kehidupannya yang khas pada era agraris. Pada era tersebut dia adalah makhluk rumah sejat, mengasuh anak-anaknya dengan setia, dan berperan serta dalam perekonomian keluarga dengan aktivitas di ladang-ladang tradisional sekitar rumahnya. Seiring terjadinya perubahan struktur perekonomian nasional yang mengarah pada industrialisasi, peran perempuan mengalami perubahan. Perempuan pun berbaur dengan laki-laki memasuki dunia publik untuk menjadi pekerja (sebagai faktor produksi). Menurut Tjandraningsih (1999), meskipun di sektor publik adalah domain laki-laki, namun tidak dapat disangkal keterlibatan perempuan di sektor tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat meskipun secara absolut tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki, namun secara relatif tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat lebih cepat dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data BPS tahun 2002, selama 2 dekade terakhir partisipasi angkatan kerja perempuan mengalami peningkatan yang cukup mengesankan. Pada tahun 1995 TPAK perempuan sebesar 40,5% dan pada tahun 2002 naik menjadi 44,2%. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa peranan perempuan dalam angkatan kerja menjadi semakin penting. Meningkatnya jumlah perempuan di sektor publik berkaitan erat dengan dibukanya kesempatan kepada perempuan untuk bekerja di sektor publik terutama dengan bekerja sebagai pekerja. Munculnya industrialisasi membuka peluang bagi perempuan, sehingga perempuan dapat turut berperan secara ekonomi bekerja menghasilkan materi (uang) untuk kehidupan dirinya maupun keluarganya.
2 Dengan semakin banyak tenaga kerja perempuan memasuki pasar kerja, maka semakin tinggi kualitas hidup perempuan dan keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari adanya penambahan penghasilan keluarga, dan pemberian jaminan sosial yang diberikan perusahaan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, namun dugaan ini masih perlu pembuktian (Widanti, 2005). Beberapa dari hasil penelitian ditemukan bahwa keterlibatan perempuan menjadi tenaga kerja di sektor industri atau pabrik, tak lepas dari berbagai tindakan diskriminatif yang terjadi di lingkungan tempat mereka bekerja. Perempuan masih dianggap sebagai tenaga kerja nomor dua (sekunder) dan upah tenaga kerja perempuan diperlakukan diskriminatif dengan laki-laki, dilihat dari resiko serta beban kerjanya (Suyanto dan Hendrarso, 1996 dalam Safitri, 2006). Kondisi kerja seperti itu menggambarkan kurangnya pemahaman pekerja laki-laki dan perempuan tentang keadilan/kesetaraan gender dalam industri. Gender diartikan sebagai konstruksi sosial budaya yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin hanya menunjuk pada perbedaan biologis semata. Perbedaan secara biologis ini tidak dapat memasukkan dinamika sosial budaya yang sangat bervariasi antar struktur sosial masyarakat. Gender merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan serta pola perilaku dan kegiatan yang menyertainya. Pengertian gender ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya masyarakat untuk turut mempengaruhi pembedaan peran laki-laki dan perempuan. Seperti yang telah diungkapkan di atas, peningkatan partisipasi kerja perempuan dapat mempengaruhi pasar kerja, dan juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan pekerja itu sendiri, serta kesejahteraan keluarganya. Keinginan meneliti tentang Marginalisasi Perempuan dalam Industri dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja ini timbul dari adanya fakta berdasarkan penelitian sebelumnya (Rohmah, 2006) yang menggambarkan bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan, memiliki manfaat, yaitu sebagai
3 pekerja yang mampu memenuhi kebutuhan bagi dirinya sendiri dengan cara mengaktualisasikan diri, dibuktikan dengan meningkatnya pendapatan keluarga). Menurut Sajogyo (1983), yang menjadi masalah perempuan dalam masyarakat yang sedang berkembang adalah tingginya perbedaan imbalan dan penghargaan yang diterima antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan. Tenaga kerja perempuan masih dipandang hanya sebagai pelengkap dari tenaga kerja laki-laki, dan karena itu imbalan upah yang harus mereka terima menjadi lebih kecil dari upah atau nafkah pekerja laki-laki. Apalagi, jika kenyataan menunjukkan bahwa dalam hal pendidikan dan keterampilan, tenaga kerja perempuan masih sangat terbelakang, meskipun sebenarnya bila diberikan kesempatan yang sama tidak sedikit pekerja perempuan yang mampu berprestasi dengan kaum laki-laki. Dengan semakin meningkatnya keterlibatan perempuan bekerja di sektor publik tersebut, dan tidak terlepas dari berbagai faktor dan pertimbangan, muncul permasalahan-permasalahan yang dianggap menyudutkan dan merugikan perempuan. Perempuan selalu ditempatkan dan diperlakukan tidak sama dengan laki-laki. Permasalahan yang sudah umum terjadi antara lain adanya terjadinya ketimpangan gender, seperti marginalisasi dalam kesempatan kerja, pembagian kerja, dan pemberian upah kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Seiring dengan perkembangan masalah tersebut, Pemerintah menetapkan UU No 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan untuk memberikan perlindungan pada perempuan agar perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap berbagai sumber daya dan meningkatkan keterampilan. Hal ini perlu diperhatikan karena peningkatan peranan perempuan di dalam berbagai sektor publik semakin meluas dan agar keterlibatan ini tidak mengakibatkan ketimpangan gender. Jika dilihat dari segi kemanfaatan bagi pekerja perempuan itu sendiri, nilai manfaat dengan hambatan yang harus dihadapi sering tidak seimbang. Bergesernya pembagian kerja secara seksual ke pembagian gender seringkali menjadi lain ketika mereka memasuki dunia publik. Misalnya saja banyak jenis pekerjaan laki-laki yang dapat dikerjakan oleh perempuan, namun karena adanya
4 bias gender, hal tersebut menjadi penghambat perempuan untuk dapat menunjukkan kemampuannya melakukan pekerjaan tersebut. Inilah fenomena masyarakat, yang meskipun semakin berkembang namun pandangan umum tentang perempuan bekerja masih terjadi bias gender dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Bias gender tersebut kemudian memunculkan masalah yang berkaitan dengan tingkat partisipasi perempuan bekerja dalam sektor publik. Hal itu merupakan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan atau ketidakadilan gender antara pekerja laki-laki dan perempuan yang kemudian akan mempengaruhi kondisi kerja pekerja itu sendiri. Jika sudah terkait dengan kondisi kerja, maka itu juga akan terkait dengan seberapa besar tingkat kesejahteraannya. Sehubungan dengan hal itu, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kondisi kerja pekerja perempuan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga. 1.2 Perumusan Masalah Untuk memahami realitas dari kondisi ketimpangan gender yang terjadi pada pekerja perempuan maka ada beberapa pertanyaan spesifik, yaitu : 1. Bagaimana kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik Industri? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut? 3. Bagaimana hubungan kondisi kerja pekerja perempuan terhadap tingkat kesejahteraan keluarganya? 4. Selain kondisi kerja, faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pekerja CV. Mekar Plastik Industri? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik Industri, mengidentifikasi faktor- faktor yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut, menganalisis hubungan kondisi kerja pekerja perempuan tersebut terhadap kesejahteraan keluarga pekerja, dan mendeskripsikan faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan tersebut.
5 1. 4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang terkait. Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam menentukan perundang-undangan ketenagakerjaan, terutama tentang ketenagakerjaan perempuan yang peka gender untuk upaya pemberdayaan dan peningkatan peran perempuan dalam sektor pembangunan. Bagi kalangan akademis dan peneliti lain, dapat digunakan sebagai alternatif bahan referensi penelitian dan penulisan berikutnya, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan gender dan ketenagakerjaan perempuan. Bagi pabrik, penelitian ini berguna untuk mengetahui sejauhmana kebijakan pabrik memberi dampak terhadap kesejahteraan pekerja. Bagi pekerja, terutama pekerja perempuan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang konsep gender dan isu-isu ketimpangan yang selama ini ada di sekitar mereka, sehingga dengan penelitian ini diharapkan membantu laki-laki dan perempuan untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan.