BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST

OPERATOR DAN UNGKAPAN

Bab ini memperkenalkan mengenai proyeksi silinder secara umum dan macam proyeksi silinder yang dipakai di Indonesia.

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

Bab 2. Dasar-Dasar Pemrograman C

Modul 13. Proyeksi Peta MODUL KULIAH ILMU UKUR TANAH JURUSAN TEKNIK SIPIL POLIBAN. Modul Pengertian Proyeksi Peta

Tipe Data dan Variabel. Dosen Pengampu Muhammad Zidny Naf an, M.Kom

3. Elemen Dasar C++ S. Indriani S. L., M.T L.,

OPERATOR & UNGKAPAN. Contoh operator : a + b Simbol + merupakan operator untuk melakukan operasi penjumlahan dari kedua operandnya ( yaitu a dan b ).

PRAKTIKUM 3 DASAR PEMROGRAMAN C

SEKILAS JENIS-JENIS OPERATOR OPERATOR PENUGASAN OPERATOR ARITMATIKA OPERATOR MAJEMUK

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA

Akan diperhatikan tipe data dari masing-masing operand dalam ungkapan dan secara otomatis akan dilakukan.

BAB IV. OPERATOR DAN STATEMENT

PRAKTIKUM 3 DASAR PEMROGRAMAN C

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

LANGKAH-LANGKAH MENULISKAN PROGRAM DALAM TURBO C++

elemen Dasar Bahasa Pemrograman C

MATERI/BAHAN PRAKTIKUM PENDAHULUAN DAN PENGENALAN (IDENTIFIER)

Keg. Pembelajaran 3 : Operator dalam Bahasa C++

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

Struktur Data adalah : suatu koleksi atau kelompok data yang dapat dikarakteristikan oleh organisasi serta operasi yang didefinisikan terhadapnya.

INPUT OUTPUT. cout. Digunakan untuk mencetak suatu informasi ke layar Contoh : cout << Halo Teknik Informatika

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

PSEUDOCODE TIPE DATA, VARIABEL, DAN OPERATOR

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita.

BAB II DASAR-DASAR PEMROGRAMAN C

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2012

Data bisa dinyatakan dalam bentuk konstanta atau variabel.

By. Y. Morsa Said RAMBE

PERTEMUAN II Tipe Data, Variabel, Konstanta, Operator

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

OPERASI DASAR MASUKAN DAN KELUARAN

Achmad Solichin.

DASAR PEMROGRAMAN C BAB III 3.1 PENGENAL / IDENTIFIER

OPERATOR BAHASA C. Obyektif : 4. Mengetahui macam-macam operator dalam Bahasa C. 5. Mengetahui dan dapat menggunakan format pada tiap tipe data..

Tipe Data dan Operator

Operator Aritmatika MODUL III OPERATOR

PEMROGRAMAN BERORIENTASI OBJEK. Operator. Budhi Irawan, S.Si, M.T

Struktur Data adalah : suatu koleksi atau kelompok data yang dapat dikarakteristikan oleh organisasi serta operasi yang didefinisikan terhadapnya.

Algoritma Pemrograman. Fery Updi,M.Kom

Ekspresi, Pernyataan & Operasi Aritmetika/Logika

FUNGSI. tipe Tipe nilai yang dihasilkan oleh fungsi. Jika tidak dinyatakan, hasil fungsi dianggap bilangan bulat (int)

Pertemuan 04. Pemrograman Dasar 2012

Struktur Data adalah : suatu koleksi atau kelompok data yang dapat dikarakteristikan oleh organisasi serta operasi yang didefinisikan terhadapnya.

Dasar Pemrograman Mikrokontroler dengan Bahasa C

Proyeksi Peta. Tujuan

BENTUK BUMI DAN BIDANG REFERENSI

Struktur Bahasa C dan C++

Tipe Data dan Operator. Ekohariadi FT Unesa

Dasar-dasar Pemrograman C DASAR PEMROGRAMAN & ALGORITMA

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2015

MODUL PRAKTIKUM. MODUL I - VIII Modul penuntun dan bahan praktikum matakuliah algoritma dan pemograman

K NSEP E P D A D SA S R

Dasar Pemrograman Java

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Tipe Data Dasar. Data bisa dinyatakan dalam bentuk konstanta atau variabel.

PENGENALAN BAHASA C. A. Struktur Kode Program dalam Bahasa C Secara garis besar, suatu kode program dalam bahasa C memiliki struktur umum seperti ini:

MODUL I PENDAHULUAN & PENGENALAN TURBO C++

BAB 4 PENGENALAN BAHASA C

Tipe Data, Identifier, Operator dan Control Statement

Pertemuan 04. Pemrograman Dasar 2012

VI. FUNGSI. Fungsi Main ( ) Fungsi a ( ) Fungsi b ( ) Fungsi c ( ) Fungsi c1 ( ) Fungsi c2 ( ) Fungsi c3 ( ) Bentuk umumnya :

DASAR PEMROGRAMAN. PENGANTAR BAHASA C ( Sejarah, Struktur Pemrograman, Tipe Data, Operator ) Djoko Soerjanto, M.Kom

P 4 Bab 3 : Dasar Pemrograman C

Input dan Output. cout << Hello World\n ; atau. cout << Hello World << \n ;

VARIABEL, TIPE DATA DAN EKSPRESI Bab 2

Ekspresi, Pernyataan & Operasi Aritmetika/Logika

IV. OPERATOR DAN STATEMENT I/O

Turbo C adalah tool yang dipakai untuk membuat code program dalam bahasa C ataupun C++. Berikut adalah jendela utama Turbo C

PENGANTAR BAHASA C++

Tipe Data Dasar. Berdasarkan jenisnya, data dapat dibagi menjadi lima kelompok dinamakan tipe data dasar, yaitu:

Struktur Dasar Bahasa C Tipe Data Dalam bahasa C terdapat lima tipe data dasar, yaitu :

METODE PENGUKURAN TRIANGULASI

BAB 3. OPERATOR DALAM BHS C

Can be accessed on:

MODUL 2 OPERATOR DAN OPERASI KONDISI

STRUKTUR DASAR PEMROGRAMAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Mengenal berbagai macam bentuk operator 2. Memahami penggunaan berbagai macam jenis operator yang ada di Java

Algoritma dan Struktur Data I 2014

Algoritma & Pemrograman #3

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE

SURVEYING (CIV 104) PERTEMUAN 2 : SISTEM SATUAN, ARAH DAN MENENTUKAN POSISI DALAM SURVEYING

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA LABSHEET ALGORITMA DAN STRUKTUR DATA

Pertemuan 4 OPERATOR DAN STATEMEN I/O

KONSEP GEODESI UNTUK DATA SPASIAL

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOEDDIN DJAMBEK TENTANG ARAH KIBLAT. A. Penentuan Arah Kiblat Pemikiran Saadoeddin Djambek

BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM DASAR ALGORITMA DAN PEMROGRAMAN

MODUL PRAKTIKUM ALGORITMA DAN PEMROGRAMAN

Bab 3. Decision 1 (Pengambilan Keputusan)

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( )

MODUL. Operator. Modul Praktikum C++ Dasar Pemrograman Komputer JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

MODUL IV OPERASI DASAR MASUKAN DAN KELUARAN

MATERI 2 JENIS-JENIS DATA SEDERHANA & INPUT/OUTPUT DATA

A. TUJUAN 1. Menjelaskan tentang prinsip dasar fungsi. 2. Menjelaskan tentang.parameter formal dan parameter aktual

Pemrograman Berbasis Objek Operator dan Assignment

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tegak, perlu diketahui tentang materi-materi sebagai berikut.

MODUL PRAKTIKUM ALGORITMA DAN STRUKTUR DATA PERTEMUAN 1

MATEMATIKA DASAR TAHUN 1987

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sistem proyeksi peta merupakan bagian yang penting dalam sebuah peta karena pemilihan sistem proyeksi peta berpengaruh pada ketelitian koordinat setiap titik di peta. Koordinat setiap titik-titik di permukaan bumi yang ditampilkan di dalam peta diperoleh ketika proses georeferensi. Proses georeferensi harus memperhatikan elipsoid yang akan digunakan dan proyeksi petanya. Pemilihan elipsoid harus didefinisikan saat melakukan georeferensi karena ada beberapa jenis elipsoid dan setiap elipsoid mempunyai nilai parameter yang berbeda sehingga dalam suatu produk peta pendefinisian elipsoid yang digunakan harus seragam. Sebuah peta merupakan gambaran permukaan di bidang datar sedangkan data yang sebenarnya disajikan merupakan informasi permukaan bumi berupa bidang tidak beraturan yang dimodelkan dengan bidang elipsoid. Ada beberapa jenis sistem proyeksi peta. Setiap sistem proyeksi peta memiliki karakteristik yang berbeda. Setiap karakteristik tersebut mempertimbangkan jarak, luas, bentuk atau sudut untuk dipertahankan akurasi datanya. Oleh karena itu, perlu memilih sistem proyeksi peta yang sesuai dengan tujuan dan jenis peta. Pada penelitian ini akan membahas tentang perbandingan dari sistem proyeksi peta Polieder dan UTM pada pembuatan peta skala besar ( > 1:5000). Alasan memilih sistem proyeksi Polieder karena sistem proyeksi ini pernah digunakan di Indonesia dan perubahan jarak dan sudut hampir tidak ada pada daerah yang terletak dalam satu lembar bagian derajat. Selanjutnya, sistem proyeksi UTM merupakan sistem proyeksi yang sering digunakan pada pembuatan berbagai jenis peta di Indonesia. Studi kasus pada penelitian ini yaitu area Selat Sunda pada letak geografis 5 0 50 55.81 LS 6 0 2 38.96 LS dan 105 0 45 48. 97 BT 105 0 55 54.42 BT. Pada proyeksi peta Polieder, area penelitian terletak pada tiga LBD yaitu LBD nomor 33/XXXVI, 34/XXXVI, dan 34/XXXVII. Oleh karena itu, pada proses perhitungan titik-titik poligon perlu dilakukan transformasi koordinat dari ketiga LBD tersebut 1

2 menjadi satu LBD supaya semua titik berada dalam satu sistem koordinat. Area Penelitian terletak di zone 48 M pada proyeksi UTM dengan koordinat bujur meridian tengah sebesar 105 0. Penelitian ini akan membahas tentang perbandingan dari nilai distorsi sudut dan jarak pada peta dengan sistem proyeksi Polieder dan UTM. Parameter yang digunakan untuk membandingkan sistem proyeksi Polieder dan UTM yaitu nilai distorsi sudut berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-t), dan nilai distorsi jarak berupa faktor skala (k). Perbandingan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, posisi area penelitian yang melalui 3 LBD pada proyeksi Polieder sehingga bisa menimbulkan perambatan kesalahan saat perhitungan transformasi koordinat antar LBD. Akan tetapi, pada proyeksi UTM area penelitian terletak dalam satu zone sehingga tidak perlu melakukan transformasi koordinat. Kedua, jarak area penelitian dengan meridian tengah dan paralel standar pada proyeksi Polieder lebih dekat daripada jarak area penelitian dengan meridian tengah dan meridian standar proyeksi UTM. I.2. Rumusan Masalah Area penelitian tidak berada dalam satu LBD atau melalui tiga LBD pada proyeksi Polieder sedangkan pada proyeksi UTM terletak dalam satu sistem zone. Oleh karena itu, pada proyeksi Polieder perlu melakukan transformasi koordinat sedangkan pada proyeksi UTM tidak perlu melakukan transformasi koordinat. Selanjutnya, posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan meridian standar pada proyeksi UTM lebih jauh daripada posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan paralel standar proyeksi Polieder sehingga kemungkinan distorsi sudut dan jarak lebih besar pada proyeksi UTM. Berdasarkan permasalahan tersebut maka disusun pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana perbandingan besar nilai koreksi konvergensi meridian(γ ), koreksi (t-t), dan faktor skala(k) pada peta yang menggunakan sistem proyeksi Polieder dan sistem proyeksi UTM? 2. Sistem proyeksi mana yang lebih baik digunakan antara proyeksi Polieder dengan proyeksi UTM untuk pembuatan peta skala besar (> 1:5000) pada studi kasus penelitian ini?

3 I.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah mengetahui besaran nilai konvergensi merididan(γ ), koreksi (t-t) dan faktor skala (k) pada peta yang bersistem Proyeksi Polieder dan yang bersistem Proyeksi UTM pada titik-titik poligon simulasi di area Selat Sunda. Hasil perhitungan distorsi sudut dan jarak tersebut digunakan sebagai dasar pemilihan sistem proyeksi yang tepat untuk pembuatan peta skala besar (> 1:5000) atau peta teknik di area studi kasus penelitian. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu bisa dijadikan sebagai referensi untuk pemilihan sistem proyeksi peta yang tepat untuk pembuatan peta teknik skala besar ( > 1:5000) di area penelitian Selat Sunda. Selain itu, bisa digunakan sebagai referensi ilmu pengetahuan dalam bidang survei rekayasa. I.5. Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian sudah ada yang membahas tentang proyeksi peta, Penelitian yang berkaitan dengan tema tersebut misalnya yang sudah dilakukan oleh Akbari (2001), Bayuaaji (2001), dan Koswara (1997). Akbari (2001) mengkaji tentang perubahan luas akibat dari perubahan datum geodetik dari datum Genuk ke datum ID-74 dan perubahan sistem proyeksinya yaitu dari sistem proyeksi peta Polieder ke UTM. Sampel diambil pada zone 49 UTM dengan batas garis lintang 6 0 40 LS dan 8 0 20 LS. Luasan pada peta Polieder didapat setelah melakukan transformasi koordinat dari datum Genuk ke koordinat Polieder. Luasan pada peta UTM didapat setelah melakukan transformasi datum geodetik dari datum Genuk ke ID-74 dan transformasi koordinat dari ID-74 ke koordinat UTM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih luas untuk areal yang mendekati meridian tepi zone UTM akan semakin besar dan bertanda positif yang berarti luasan pada sistem proyeksi UTM lebih besar dibandingkan luasan pada sistem proyeksi Polieder. Sementara itu selisih luasan untuk areal yang berada di tengah zone UTM mempunyai nilai negatif yang berarti luasan pada sistem proyeksi UTM lebih kecil dibandingkan dengan luasan pada sistem proyeksi Polieder. Penelitian Bayuaji (2001) mengkaji tentang perbedaan antara luasan yang dihitung pada sistem proyeksi TM-3 0 hasil transformasi langsung dari koordinat

4 geodetik dengan luasan yang sama pada sistem proyeksi TM-3 0 hasil transformasi tidak langsung dari koordinat UTM. Penelitian ini dilakukan dengan mentransformasikan data persil yang bersistem proyeksi UTM ke dalam sistem koordinat geodetik dan selanjutnya ditransformasikan ke sistem proyeksi TM-3 0. Permasalahannya adalah luas persil hasil transformasi ini akan sama dengan luas persil dalam sistem proyeksi TM-3 0 (hasil transformasi langsung dari koordinat geodetik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara luas yang dihitung pada sistem proyeksi TM-3 0 hasil transformasi langsung dari koordinat geodetik dengan luas yang dihitung pada sistem proyeksi TM-3 0 hasil transformasi tidak langsung dari koordinat UTM. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan luas yang bernilai 0.0000 m 2 untuk setiap sampel. Koswara (1997) meneliti tentang pengaruh reduksi jarak pada pengadaan titik dasar teknik kadastral orde empat dalam sistem proyeksi TM-3 0. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengukuran poligon yang berlokasi di desa Sidoarum, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Koordinat titik-titik poligon dihitung dengan memperhitungkan reduksi dan tanpa memperhitungkan reduksi proyeksi TM-3 0. Hasil penelitian menunjukkan harga koordinat yang dihasilkan dengan memperhitungkan reduksi dan tanpa memperhitungkan reduksi proyeksi TM- 3 0 mempunyai kesalahan linier koordinat lebih kecil dari 1:6000 (memenuhi spesifikasi teknis BPN). Data hasil penelitian yang dilakukan memberikan indikasi bahwa pengabaian reduksi sudut dan jarak tidak berpengaruh terhadap harga koordinat titik-titik dasar teknik orde 4. I.6. Landasan Teori Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini. I.6.1. Elipsoid WGS84 Sistem koordinat WGS84 merupakan sistem referensi terestris (CTRS)(Anam, 2005). EUROCONTROL dan IfEN (1998) menyatakan bahwa origin dan salib sumbu Sistem Koordinat WGS 84 didefinisikan sebagai berikut: 1. pusat massa bumi sebagai origin,

5 2. sumbu Z yaitu arah Conventional Terrestrial Pole (CTP) sebagai pergerakan kutub yang didefinisikan oleh BIH, 3. sumbu X yaitu perpotongan bidang meridian referensi WGS84 dengan bidang ekuator CTP (meridian referensi merupakan meridian nol yang didefinisikan oleh BIH), 4. sumbu Y melengkapi sistem koordinat tangan kanan, Earth Centred Earth Fixed (ECEF) orthogonal, diukur pada bidang ekuator CTP dan 90 0 ke timur dari sumbu X. Ilustrasi origin dan salib sumbu sistem koordinat WGS84 bisa dilihat pada gambar I.1. Parameter-parameter utama WGS84 yang menggambarkan bentuk elipsoid bumi dijelaskan pada tabel I.1. Gambar I.1. Definisi sistem koordinat WGS 1984 (EUROCONTROL-ifEN 1998) Tabel I.1. Parameter-parameter utama WGS84 Parameter Nama WGS84 Setengah sumbu panjang A 6378137 Penggepengan F 1/298.257223563 Kecepatan sudut rotasi bumi 7.292115 x 10-5 rad s -1 Konstanta gravitasi bumi GM 398600.5 km 3 s -2 Koefisien harnonik potensial gravitasi orde 2 20-484.16685 x 10-6

6 I.6.2. Metode Gauss Mid Latitude Rapp (1991) menyatakan bahwa Nilai koordinat geodetis suatu titik pada bidang elipsoid dinyatakan dalam bentuk lintang dan bujur. Misalnya, diberikan data koordinat geodetis suatu titik sebagai titik awal, data jarak dan azimut ke titik kedua. Kemudian, perlu menghitung koordinat geodetis titik kedua. Permasalahan ini didefinisikan sebagai direct geodetic problem. Selanjutnya, Inverse geodetic problem didefinisikan sebagai metode untuk menghitung azimut dari titik pertama ke titik kedua, azimut dari titik kedua ke titik petama, dan jarak kedua titik dengan data koordinat titik pertama dan kedua yang sudah diketahui. Pada penelitian ini menggunakan metode Gauss Mid Latitude untuk menghitung azimut awal dan akhir karena jarak kedua titik kurang dari 60 km. Prinsip metode Gauss Mid-Latitude yaitu mengganti segitiga polar di bidang elipsoid dengan sebuah segitiga bola dengan jarijari kelengkungan vertikal utama rata-rata di antara titik-titiknya. Gambar segitiga elipsoid dan segitiga bola bisa dilihat pada gambar I.2. Pada gambar I.2., segitiga sebelah kiri merupakan gambar segitiga di bidang elipsoid dan segitiga sebelah kanan merupakan segitiga di bidang bola. Gambar I.2. Penyelesaian segitiga polar dengan metode Gauss Mid-Lattitude (Rapp 1991) Perhitungan azimut dari titik pertama ke titik kedua (α 12 ) di bidang elipsoid dengan metode Gauss Mid-Lattitude melalui beberapa langkah. Pertama, menghitung lintang rata-rata titik satu dan titik dua (φ m ) dengan asumsi bahwa lintang di bidang elipsoid sama dengan di bidang bola. Kedua, menghitung jari-jari kelengkungan vertikal utama pada lintang rata-rata (N m ), jari-jari kelengkungan meridian (M m ), beda lintang titik satu dan dua pada bidang bola (Δφ ), beda bujur titik satu dan dua pada bidang bola (Δλ ), dan besaran-besaran lain dengan persamaan-persamaan sebagai berikut:

7...(I.1)...(I.2)...(I.3)...(I.4)...(I.5)...(I.6)...(I.7)...(I.8)...(I.9)...(I.10)...(I.11)...(I.12) I.6.3. Distorsi Sudut dan Jarak Distorsi sudut pada penelitian ini berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t- T) dan distorsi jarak berupa faktor skala (k). Penjelasan tentang konvergensi meridian, koreksi (t-t), dan faktor skala bisa dilihat pada gambar I.3. dan gambar I.4. - Gambar I.3. Konvergensi meridian dan koreksi (t-t) (Vanicek-Krakiwsky 1982)

8 Vanicek dan Krakiwsky (1982) menyatakan bahwa konvergensi meridian (γ) merupakan sudut antara garis singgung dari proyeksi garis meridian dengan y-axis pada bidang proyeksi. Penelitian ini menggunakan sistem proyeksi konform sehingga azimut di bidang elipsoid (α E ) sama dengan azimut di bidang proyeksi (α M ). Azimut di bidang proyeksi yaitu sudut di antara garis singgung dari proyeksi garis meridian dengan garis singgung dari proyeksi garis geodesik. Azimut grid dari proyeksi garis geodesik (T) adalah sudut di antara utara grid (y M -axis) dengan garis singgung proyeksi garis geodesik. Azimut grid tali busur (t) yaitu sudut di antara utara grid dengan tali busur P i P j. Ada beberapa hitungan untuk mengkoreksi distorsi sudut dan jarak sebagai berikut : 1. Azimut grid proyeksi garis geodesik (T) diperoleh dari mengurangi azimut di bidang elipsoid dengan nilai konvergensi meridian. Hal ini bisa dilihat pada gambar I.3....(I.13) Gambar I.4. Reduksi sudut ukuran dan sudut jurusan horisontal (Vanicek- Krakiwsky 1982)

9 2. Sesuai dengan gambar I.4. terlihat bahwa untuk memperoleh nilai azimut grid tali busur ij (t ij ) perlu dilakukan pengurangan T ij dengan koreksi (t-t)....(i.14) Sudut jurusan di bidang datar (d P ) diperoleh dari pengurangan sudut jurusan di bidang elipsoid (d E ) dengan koreksi (t-t)....(i.15) 3. Sesuai pada gambar I.4., sudut pada bidang elipsoid perlu dikoreksi supaya memeproleh nilai sudut pada bidang proyeksi dengan persamaan berikut ini...(i.16) 4. Panjang proyeksi garis geodesik diperoleh dengan mengalikan panjang garis geodesik pada bidang elipsoid dengan faktor skala (k)....(i.17) I.6.4. Poligon Basuki (2006) menyatakan bahwa poligon berasal dari kata poli yang berarti banyak dan gonos yang berarti sudut. Namun arti yang sebenarnya adalah rangkaian titik-titik secara berurutan sebagai kerangka dasar pemetaan. Poligon ada bermacam-macam dan dibedakan berdasarkan pada kriteria tertentu. Pada skripsi ini menggunakan jenis poligon terbuka terikat sempurna. Persamaan umum penentuan koordinat suatu titik jika titik tersebut diikatkan ke titik lain yang sudah diketahui koordinatnya sebagai berikut :...(I.18)...(I.19) Basuki (2006) menyatakan sesuai teori kesalahan dalam pengukuran jarak dan sudut, semakin jauh dari titik ikat, kesalahan akan semakin besar. Oleh karena itu agar kesalahan tersebut tidak merambat, akhir dari poligon perlu dikontrol, baik berupa kontrol koordinat maupun kontrol jurusannya (azimutnya). Poligon yang demikian dinamakan poligon terbuka terikat sempurna.

10 Gambar I.5. Poligon terbuka terikat sempurna Gambar I.5. merupakan gambar poligon terbuka terikat sempurna. Sudutsudut ukuran dipakai untuk mencari sudut jurusan atau azimut sisi poligon, yang selanjutnya dengan data jarak digunakan untuk mencari koordinat. Maka akan dicari sudut jurusan atau azimut semua sisi poligon terlebih dahulu. Persamaan-persamaan berikut merupakan contoh untuk menghitung azimut sisi-sisi poligon:...(i.20) Atau ( ) ( )...(I.21) Atau secara umum dapat ditulis :...(I.22) Azimut akhir dan azimut awal dihitung dari koordinat titik-titik akhir dan titik-titik awal, pada gambar I.5. titik B,Q dan titik A,P. Azimut awal dan azimut

11 akhir suatu poligon terbuka terikat sempurna pada bidang elipsoid dihitung menggunakan metode Gauss s mid latitude yang sudah dijelaskan pada subbab I.6.2. Tetapi, dalam kenyataannya pada perhitungan, ukuran sudut-sudut dihinggapi kesalahan sehingga menjadi :...(I.23) merupakan kesalahan penutup sudut dan dikoreksikan kepada setiap sudut ukuran dengan prinsip sama rata. Untuk mendapatkan syarat sisi poligon yang harus dipenuhi, proyeksikan sisi-sisi poligon tersebut pada sumbu X(menjadi d ) dan pada sumbu Y (menjadi d ) dan...(i.24) dan...(i.25) Jumlah d sin α harus sama dengan selisih absis titik akhir dan awal poligon. Demikian pula, jumlah d cos α harus sama dengan selisih ordinat titik akhir dan awal poligon. Dalam kenyataannya :...(I.26)...(I.27) merupakan kesalahan penutup absis dan merupakan kesalahan penutup ordinat. Kesalahan penutup jarak(linier) dinamakan :...(I.28) Kesalahan dan dikoreksikan pada setiap penambahan absis (d sin α) dan penambahan ordinat (d cos α) dengan perbandingan lurus dengan jarak-jarak sisi poligon atau jika ditulis dengan persamaan matematis sebagai berikut :...(I.29) dan... (I.30)

12 Langkah penghitungan koordinat titik-titik poligon secara sistematis adalah sebagai berikut : 1. Jumlahkan sudut-sudut hasil ukuran. Hitung dan dari koordinat 2 titik ikat akhir dan 2 titik ikat awal. Dari perhitungan azimut tersebut digunakan untuk menghitung kesalahan penutup sudut (. Kemudian melakukan koreksi kesalahan penutup sudut ( pada masing-masing sudut hasil ukuran. 2. Menghitung azimut dari setiap sisi poligon dan dimulai dari azimut awal dengan aturan:...(i.31) Apabila peritungannya benar maka azimut akhir akan sama dengan azimut akhir yang dihitung dari nilai koordinat 2 titik ikat di akhir. 3. Sudut azimut yang diperoleh dari langkah 2 di atas digunakan untuk menghitung d sin α dan d cos α. Kemudian melakukan perhitungan selisih antara dan serta dan. Selanjutnya, menghitung fx dan fy serta mengkoreksikan pada masing-masing d sin α dan d cos α sebanding dengan jarak-jaraknya. I.6.5. Proyeksi Peta Proyeksi peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid. Permukaan bumi fisis tidak teratur sehingga dipilih suatu bidang yang teratur yang mendekati bidang fisis bumi yaitu bidang elipsoid. Bidang tersebut merupakan suatu bidang lengkung yang dapat digunakan sebagai bidang referensi hitungan untuk menyatakan posisi titik-titik di atas permukaan bumi dalam suatu sistem koordinat geodetis, yaitu lintang (φ) dan bujur (λ) (Prihandito, 2010). I.6.5.1. Proyeksi Polieder. Prihandito (2010) menyatakan bahwa sistem proyeksi polieder merupakan sistem proyeksi peta yang menggunakan bidang proyeksi berupa kerucut, normal, tangent, dan konform. Bidang kerucut proyeksi ini menyinggung bola bumi (tangent) pada salah satu paralel yang disebut sebagai paralel tengah atau paralel standar. Paralel tengah atau paralel standar diproyeksikan secara ekuidistan sehingga faktor skalanya (k) = 1. Luas area satu lembar bagian derajat proyeksi ini yaitu 20 x 20 (sekitar 37 km x 37 km). Jadi pada proyeksi polieder, bumi dibagi

13 dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan beda lintang sebesar 20 atau dengan kata lain tiap jalur selebar 20 diproyeksikan pada kerucut tersendiri. Kerucut-kerucut tersebut menyinggung bola bumi setiap lintang φ = ± 10, ± 30 dan ± 50. Penjelasan tentang proyeksi Polieder dijelaskan pada gambar I.6. Gambar I.6. Proyeksi Polieder (Muryamto,1994) Setiap lembar bagian derajat proyeksi polieder mempunyai sistem koordinat sendiri, dengan ketentuan sebagai berikut : 1. sumbu X : paralel tengah, 2. sumbu Y : meridian tengah, 3. titik nol : perpotongan meridian dan paralel tengah yang disebut pusat lembar bagian derajat (φ 0, λ 0 ), 4. absis X : positif, di sebelah Timur meridian tengah, 5. absis Y : positif, di sebelah Utara paralel tengah. I.6.5.2. Transformasi Koordinat Geodetis (φ,λ) ke Koordinat Polieder(X,Y). Muryamto (1994) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan proses transformasi dari koordinat geodetis ke koordinat Polieder. Pertama, memperhatikan nomor LBD dan koordinat pusat lembar bagian derajat (φ 0,λ 0 ) dari titik yang akan ditransformasi. Kedua, melakukan konversi nilai λ suatu titik dari meridian Greenwich (0 0 ) ke meridian Jakarta (106 0 48 27.79 ). Ketiga, memperhatikan letak φ dan λ titik yang akan ditransformasi (φ terletak di sebelah utara atau selatan ekuator dan λ di sebelah barat atau timur meridian Jakarta). Selanjutnya, memilih elipsoid yang dipakai karena setiap elipsoid mempunyai nilai parameter yang berbeda. Penelitian ini menggunakan elipsoid WGS84.

14 Anam (2005) menyatakan bahwa cara menentukan L 0,B 0 dari nomor LBD proyeksi Polieder dan sebaliknya menggunakan Tabel Polieder pada Lampiran A. Angka biasa (1, 2, dst) menunjukkan argumen atau nomor untuk menentukan koordinat bujur dari Jakarta (B jkt = 106 0 48 27.79 BT). Angka Romawi (I, III, dst) menunjukkan argumen atau nomor menentukan koordinat lintang dari ekuator. Pembagian nomor LBD peta Indonesia skala 1:100000 bisa dilihat pada gambar I.7. Gambar I.7. Penomoran LBD peta Indonesia skala 1:100000 (Muryamto, 1994) Daerah penelitian ini terletak pada 5 0 50 55.81 LS 6 0 2 38.96 LS sehingga posisi koordinat pusat lembar bagian derajat (φ 0,λ 0 ) daerah yang diteliti berada di sebelah selatan ekuator. Oleh karena itu, persamaan yang digunakan untuk mencari koordinat (X,Y) pada sistem koordinat Polieder yaitu X = [A] Δλ [C] Δλ Δφ...(I.32) Y = - [B] Δφ - [D] Δλ 2 - [1] [D] Δφ 2 - [2] Δφ 3...(I.33) Pada persamaan (I.32) dan (I.33) terdapat besaran-besaran yang harus dihitung nilainya, penjelasan besaran-besaran tersebut sebagai berikut: [A] = N 0 cos φ 0 sin 1...(I.34) [B] = M 0 sin 1...(I.35) [C] = M 0 sin φ 0 sin 2 1...(I.36) [D] =... (I.37) [1] = 3 e 2 (1 e 2 )... (I.38) [2] = ( )... (I.39)

15 Δφ = (φ φ 0 )...(I.40) Δλ = (λ λ 0 )...(I.41) Pada besaran [A], [B], [C], [D], [1],[2] terdapat besaran,, yang harus dihitung nilainya, sebagai berikut =...(I.42) =...(I.43) =...(I.44) I.6.5.3. Transformasi Koordinat dari Satu LBD ke LBD Lain Proyeksi Polieder. Penelitian ini perlu melakukan proses transformasi koordinat dari satu LBD (φ 0,λ 0 ) ke LBD yang berdekatan (φ 0,λ 0 ) karena titik-titik poligon penelitian terletak pada tiga LBD yang berbeda. Muryamto (1994) menyatakan bahwa untuk melakukan transformasi dari satu LBD ke LBD lain dengan pusat LBD yang kedua (φ 0,λ 0 ) terletak di sebelah selatan ekuator maka menggunakan persamaan (I.45) dan (I.46) untuk menghitung transformasinya....(i.45) Y = Y + Q [α] X + [β] Y + [δ] X 2 [δ] Y 2...(I.46) P dan Q merupakan koordinat Polieder dari pusat lembar bagian derajat pertama terhadap pusat lembar bagian derajat kedua yang dihitung dengan persamaan (I.32) dan (I.33). Pada persamaan X dan Y terdapat besaran-besaran yang harus dihitung sebagai berikut [α] = Δλ sin sin 1...(I.47) [β] = ½ (1 - )Δ sin 1...(I.48) [đ] =... (I.49) [δ] = ½ [đ]...(i.50) Δφ =...(I.51) Δλ =...(I.52) I.6.5.4. Transformasi Koordinat Polieder(X,Y) ke Koordinat Geodetis (φ,λ). Muryamto(1994) menyatakan bahwa langkah-langkah melakukan transformasi koordinat Polieder ke koordinat Geodetis sebagai berikut:

16 1. menentukan nomor lembar bagian derajat titik yang akan ditransormasi sehingga bisa diketahui lintang dan bujur pusat lembar bagian derajat (φ 0,λ 0 ), 2. menentukan letak titik nol bagian derajat di sebelah Utara atau Selatan ekuator, 3. menentukan elipsoid referensi yang dipakai, 4. melakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan: a. Jika letak titik nol bagian derajat di sebelah Utara ekuator: Δλ = [A ] X + [C ] X Y... (I.53) Δφ = [B ] Y [D ] X 2... (I.54) b. Jika letak titik nol bagian derajat di sebelah Selatan ekuator: Δλ = [A ] X [C ] X Y... (I.55) Δφ = - [B ] Y [D ] X 2... (I.56) dalam hal ini:... (I.57)... (I.58)... (I.59)... (I.60) Nilai Δφ dan Δλ yang diperoleh dalam satuan detik dan bisa bernilai positif atau negatif sehingga untuk mencari koordinat geodetisnya:... (I.61)... (I.62) I.6.5.4. Hitungan Konvergensi Meridian (γ), Koreksi (t T), dan Faktor Skala (k) pada Proyeksi Polieder. Setiap titik yang berada di bidang elipsoid dan diproyeksikan pada bidang datar akan mengalami reduksi atau perbedaan sudut dan jarak antar titik-titik di bidang lengkung dengan di bidang datar. Distorsi sudut dan jarak tersebut berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t T), dan faktor skala (k). Persamaan-persamaan untuk mencari nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-t), faktor skala (k) sebagai berikut: γ" = Δλ sinφ 0...(I.63) dengan Δλ = λ i λ 0...(I.64)

17 (t T) 12 = (X 2 X 1 ) (2Y 1 + Y 2 )... (I.65) (t T) 21 = - (X 2 X 1 ) (Y 1 + 2Y 2 )... (I.66) R 0 =... (I.67) dihitung dengan argumen φ 0 k = 1 +... (I.68) Penggunaan persamaan (I.63) untuk menghitung konvergensi meridian (γ) karena titik yang akan dihitung nilai konvergensi meridiannya diketahui koordinat geodetisnya. Selanjutnya, perhitungan faktor skala (k) menggunakan persamaan (I.68) dikarenakan koordinat titik-titik yang akan dihitung faktor skalanya dalam sistem koordinat proyeksi peta Polieder. I.6.5.5. Proyeksi UTM. Proyeksi UTM merupakan proyeksi peta yang menggunakan bidang proyeksi berupa silinder, transversal dan konform. Gambar proyeksi UTM bisa dilihat pada gambar I.8. Bidang silinder proyeksi ini memotong bola bumi (secant) pada dua buah garis meridian yang dinamakan meridian standar. Pada garis meridian standar besar faktor skalanya (k) = 1. Proyeksi UTM membagi bumi menjadi beberapa zone. Setiap zone mempunyai ukuran 6 0 bujur x 8 0 lintang dan mempunyai meridian tengah sendiri dengan besar faktor skala (k 0 ) = 0,9996. Besar faktor skala (k) bervariasi, yaitu antara meridian tengah (500.000 mt) sampai 180.000 m sebelah barat (garis grid 320.000 mt) dan timur (garis grid 680.000 mt) mempunyai harga dari 0,9996 sampai 1. Di luar batas grid 320.000 mt dan 680.000 mt mempunyai faktor skala lebih dari 1. Faktor skala pada meridian tengah adalah yang terkecil kemudian semakin membesar pada arah yang menuju ke meridian standar atau semakin menjauhi meridian tengah (Prihandito, 1989). Gambar I.8. Proyeksi UTM (Prihandito, 2010)

18 I.6.5.6. Transformasi Koordinat Geodetis (φ,λ) ke Koordinat UTM(X,Y). Area penelitian ini terletak pada zone 48 M yang berada pada bujur 102 0-108 0 BT dan berada pada lintang 0 0 8 0 LS. Muryamto(1994) menyatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan transformasi koordinat geodetis ke koordinat UTM. Pertama, memperhatikan nilai bujur titik yang akan ditransformasikan dari meridian greenwich atau Jakarta. Untuk proyeksi UTM, nilai bujur dihitung dari Meridian Greenwich sehingga untuk Meridian Jakarta harus ditambah dengan 106 0 48 27.79. Kedua, menentukan zone suatu titik berdasarkan Meridian Tengahnya(B 0 ). Ketiga, memperhatikan letak lintang(φ) titik tersebut di sebelah utara atau selatan ekuator dan bujurnya terletak di sebelah barat atau timur Meridian Tengahnya. Selanjutnya, memperhatikan elipsoid referensi yang dipakai dan ketelitian yang yang diminta untuk menentukan banyaknya desimal dari p. Untuk melakukan transformasi koordinat suatu titik dari sistem koordinat geodetis ke sistem koordinat UTM menggunakan persamaan-persamaan sebagai berikut X = T = [IV] p + [V] p 3 + [B5] p 5...(I.69) Y = U = [I] + [II] p 2 + [III] p 4 + [A6] p 6...(I.70) Penelitian ini terletak di sebelah selatan ekuator dan sebelah timur meridian tengah sehingga untuk menghitung koordinat X dan Y menggunakan persamaan (I.71) dan (I.72) Y = U = 10.000.000 m U...(I.71) Selanjutnya, jika titik terletak di sebelah timur Meridian Tengah maka X = T = 500.000 m + T...(I.72) Persamaan untuk mencari nilai X dan Y tersebut terdapat besaran-besaran yang harus dihitung nilainya terlebih dahulu. Persamaan-persamaan untuk menghitung nilai persamaan-persamaan tersebut sebagai berikut: p = 0,0001 x (λ i B 0 )...(I.73) [I] = k 0. m...(i.74) [II] = k 0. N. sin(φ). cos(φ). sin 2 1. 10 8 / 2...(I.75) [III] = k 0. N. sin(φ). Cos 3 (φ). sin 4 1. 10 16 (5 tg 2 (φ) + 9. e 2. Cos 2 (φ) + 4. e 4. Cos 4 (φ)...(i.76) [IV] = k 0. N. cos(φ). sin 1. 10 4...(I.77)

19 [V] = k 0. N. cos 3 (φ). sin 3 1. 10 12. (1 tg 2 (φ) + e 2. Cos 2 (φ)) / 6...(I.78) [A6] = k 0. N. sin 6 1. sin(φ). cos 5 (φ). (61 58. Tg 2 (φ) + tg 4 (φ) + 270. e 2. cos 2 (φ) 330. e 2. sin 2 (φ)). 10 24 / 720...(I.79) [B5] = k 0. N. cos 5 (φ). sin 5 1. (5 18 tg 2 (φ) + tg 4 (φ) + 14.e 2. cos 2 (φ) 58. e 2. sin 2 (φ)). 10 20 / 120...(I.80) dalam hal ini m = a(1 e 2 ) [ - (sin(2φ i ) sin(2φ 0 )) + (sin(4φ i sin(4φ 0 )) - (sin(6φ i ) - sin(6φ 0 )) + (sin(8φ i ) sin(8φ 0 )) - (sin(10φ i ) sin(10φ 0 ))]...(I.81) dengan A = B = C = D = E = F =...(I.82)...(I.83)...(I.84)...(I.85)...(I.86)...(I.87) I.6.5.7. Transformasi Koordinat UTM(X,Y) ke Koordinat Geodetis (φ,λ). Persamaan untuk menghitung nilai lintang(φ) suatu titik dari koordinat UTM(X,Y) sebagai berikut: ( ) ( )... (I.88) ( )... (I.89)... (I.90)... (I.91)... (I.92)... (I.93)... (I.94)

20... (I.95)... (I.96)... (I.97)... (I.98) I.6.5.8. Rumus Koreksi Konvergensi Meridian(γ), Koreksi Horisontal(t T), Faktor Skala(k). Setiap bidang lengkung yang diproyeksikan ke bidang datar akan mengalami distorsi baik sudut maupun jaraknya. Contohnya bidang permukaan bumi berupa elipsoid yang diproyeksikan ke bidang datar berupa silinder akan mengalami distorsi berupa konvergensi meridian (γ), koreksi (t-t) dan faktor skala(k). Persamaan yang digunakan untuk menghitung konvergensi meridian (γ), koreksi (t- T) untuk titik di belahan bumi selatan dan faktor skala(k) sebagai berikut: dalam hal ini γ = [XII] p [XIII] p 3 + [C5] p 5... (I.99) (t T) 12 = - (U 2 U 1 ) (2T 1 + T 2 ) [XVIII] x 6,8755. 10-8... (I.100) (t T) 21 = - (U 1 U 2 ) (T 1 + 2T 2 ) [XVIII] x 6,8755. 10-8... (I.101) k = k 0 { 1 + [XVIII] q 2 + [XIX] q 4 }... (I.102)... (I.103)... (I.104) [XII] = sin(φ). 10 4... (I.105) [XIII] = sin(φ). cos 2 (φ). sin 2 1. (1+ 3e 2 cos 2 (φ) + 2e 4 cos 4 (φ)). 10 12 /3 (I.106) [XVIII] = (1 + e 2.cos 2 (φ)). 10 12 / (2. k 0 2.N 2 )... (I.107) [XIX] = 10 24 / (24. k 0 4. N 4 )... (I.108) [C5] = sin(φ). cos 4 (φ). sin 4 1 (2-tg 2 (φ))10 20 /15... (I.109) I.6.6. Bahasa Pemrograman C++ C++ diciptakan oleh Bjarne Stroustrup, Laboratorium Bell, AT&T, pada tahun 1983. Bahasa ini bersifat kompatibel dengan bahasa pendahulunya yaitu bahasa C. Pada mulanya C++ disebut a better C. Nama C++ sendiri diberikan oleh Rick Mascitti pada musim paas 1983. Adapun tanda ++ berasal dari nama operator penaikan pada bahasa C(Kadir, 1995).

21 I.6.6.1. Tipe Data. Ada beberapa tipe data pada C++ antara lain: char, int, short, long, float, double, dan long double. Tipe data yang berhubungan dengan bilangan bulat adalah char, int, short, dan long. Sedangkan lainnya berhubungan dengan bilangan pecahan. Ukuran memori dari tipe data berbeda-beda. Hal ini bisa dilihat pada tabel I.2. Tabel I.2. Tipe data pada C++ Tipe data Ukuran Jumlah Digit Jangkauan Nilai Memori Presisi Char 1 byte -128 hingga +127 - Int 2 byte -32768 hingga +32767 - Long 4 byte -2.147.438.648 hingga 2.147.438.647 - Float 4 byte 3.4 x 10-38 hingga 3.4 x 10 +38 6-7 Double 8 byte 1.7 x 10-308 hingga 1.7 x 10 +308 15-16 long double 10 byte 3.4 x 10-4932 hingga 1.1 x 10 +4932 19 I.6.6.2. Operator dan Ungkapan. Kadir (1995) menyatakan bahwa operator merupakan simbol yang biasa dilibatkan dalam program untuk melakukan sesuatu operasi atau manipulasi. Ungkapan (ekspresi) dalam C++ dapat berupa pengenal, konstanta, atau di antara kombinasi elemen di atas dengan operator. Proses hitungan penelitian ini menggunakan bermacam-macam operator meliputi: operator aritmatika, operator penurunan (decrement) dan penaikan (increment), operator bitwise (manipulasi bit), operator majemuk, dan operator relasi. Selain itu, proses perhitungan juga menggunakan fungsi pustaka. Operator aritmatika ada dua jenis yaitu operator binary dan operator unary. Operator binary terdiri dari operator perkalian(*), pembagian(/), modulus(%), penjumlahan(+), dan pengurangan(-). Operator unary ada dua yaitu tanda minus(-) dan tanda plus(+). Operator perkalian(*), pembagian(/), dan modulus(%) mempunyai prioritas yang sama. Operator penjumlahan(+) dan pengurangan(-), keduanya juga mempunyai prioritas yang sama. Jika dalam satu baris terdapat lebih dari satu operator mempunyai prioritas yang sama, maka operator yang terletak di sebelah kiri dalam satu ungkapan yang diutamakan dikerjakan terlebih dahulu. Selanjutnya,

22 Operator perkalian(*), pembagian(/), dan modulus(%) lebih dahulu dikerjakan dari pada operator penjumlahan(+) dan pengurangan(-) karena mempunyai prioritas lebih tinggi. Prioritas pengerjaan bisa dirubah dengan menggunakan tanda kurung ( ). Operator penurunan (++) dan penaikan (--) digunakan pada operand bertipe bilangan bulat. Operator penaikan digunakan untuk menaikkan nilai variabel sebesar satu, sedangkan operator penurunan dipakai untuk menurunkan nilai variabel sebesar satu. Penempatan operator terhadap variabel dapat dilakukan di muka atau di belakangnya. Operator bitwise digunakan untuk keperluan memanipulasi data dalam bentuk bit. Ada enam buah operator bitwise dalam C++ yang bisa dilihat pada tabel I.3. Tabel I.3. Operator bitwise Operator Keterangan << Geser bit ke kiri >> Geser bit ke kanan & Bitwise AND (dan) Bitwise OR (atau) ^ Bitwise XOR ~ Bitwise NOT (komplemen) Penggunaan Operator majemuk dimaksudkan untuk memendekkan penulisan operasi penugasan. Daftar seluruh kemungkinan operator kombinasi dalam suatu pernyataan dan pernyataan padanannya bisa dilihat pada tabel I.4. Tabel I.4. Operator majemuk Operator Contoh Keterangan += x += 2; x = x + 2; -= x -= 2; x = x 2; *= x *= 2; x = x * 2; /= x /= 2; x = x / 2; %= x %= 2; x = x % 2; <<= x <<= 2; x = x << 2; >>= x >>= 2; x = x >> 2;

23 &= x &= 2; x = x & 2; = x = 2; x = x 2; ^= x ^= 2; x = x ^ 2; Operator relasi digunakan untuk membandingkan dua buah nilai. Keseluruhan operator relasi pada C++ bisa dilihat pada tabel I.5. Tabel I.5. Operator relasi Operator Keterangan = = Sama dengan (bukan penugasan)!= Tidak sama dengan > Lebih dari < Kurang dari >= Lebih dari atau sama dengan <= Kurang dari atau sama dengan Fungsi-fungsi pustaka berfungsi untuk melaksanakan perhitugan aritmatika (akar kuadrat, eksponensial, logaritma alamiah dan sebagainya), konversi data, pemrograman grafis. Beberapa fungsi pustaka yang digunakan pada penelitian ini bisa dilihat pada tabel I.6. Tabel I.6. Fungsi pustaka Fungsi pustaka Kaidah File header Kegunaan atan() double atan math.h Untuk memperoleh nilai arc tangent dari argumen x. cos() double cos math.h complex.h Untuk memperoleh nilai cosinus dari x. pow() double pow math.h Untuk menghasilkan x y complex.h sin() double sin math.h Untuk memperoleh sinus dari x complex.h sqrt() double sqrt math.h complex.h Menghasilkan akar dari x

24 tan() double tan math.h complex.h Untuk menghasilkan tangent dari x I.6.6.3. Operasi Dasar Masukan dan Keluaran. Operasi dasar masukan cin digunakan untuk membaca data dari standart input atau menggunakan keyboard yang diletakkan ke sebuah variabel. Manfaat adanya fasilitas pemasukan data dari keyboard adalah memungkinkan untuk membuat program yang bisa membaca data yang berubah-ubah. Fasilitas cin ini memudahkan pengguna karena pengguna cukup mengkompilasi program ini sekali saja dan menjalankannya berkali-kali untuk melakukan konversi nilai yang berbeda-beda (Kadir,1995). Pemakaian cout digunakan untuk menampilkan data atau meletakkan suatu informasi ke standart output. Pengaturan tampilan data menggunakan manipulator. Pada penelitian ini menggunakan beberapa manipulator yang bisa dilihat pada tabel I.7. Tabel I.7. Manipulator Manipulator Keterangan Endl Menyisipkan newline dan mengirimkan isi penyangga keluaran ke piranti keluaran. setw(int n) Mengatur lebar field untuk suatu nilai sebesar n karakter. setprecision(int n) Menyetel presisi bilangan pecahan sebesar n digit. setiosflags(long f) Menyetel format yang ditentukan oleh f. Pemakaian setiosflags digunakan untuk mengontrol sejumlah tanda format seperti pada tampilan di tabel I.8. Tabel I.8. Tanda format untuk tampilan setiosflags yang digunakan pada penelitian ini Nama Tanda Format Keterangan ios::left Menyetel rata kiri terhadap lebar field yang diatur melalui setw(). ios::fixed Memformat keluaran dalam bentuk notasi desimal.

25 I.6.6.4. Pernyatan Dasar. Ada beberapa pernyataan dasar yang digunakan dalam perhitungan pada penelitian ini antara lain: pernyataan ungkapan, pernyataan deklarasi atau definisi, pernyataan majemuk, pernyataan berkondisi, pernyataan pengulangan. Pernyataan ungkapan merupakan ungkapan untuk penugasan nilai terhadap variabel atau pemanggilan fungsi dan diakhiri titik koma(;). Pernyataan deklarasi atau definisi digunakan untuk memperkenalkan nama variabel beserta tipe datanya. Pernyataan majemuk merupakan sejumalah pernyataan yang berada di kurung kurawal. Pernyataan kondisi yang digunakan yaitu pernyataan if dan pernyataan else. Pernyataan if terdiri dari kondisi dan pernyataan. Kondisi digunakan untuk menentukan pengambilan keputusan. Pernyataan dapat berupa sebuah pernyataan ataupun pernyataan majemuk. Bagian ini dijalankan hanya kalau kondisi bernilai benar. Pernyataan else selalu bersama pernyataan if atau tidak pernah berdiri sendiri. Pernyataan for merupakan salah satu pernyataan pengulangan yang disediakan pada C++. Pernyataan for berguna untuk mengulang pengeksekusian terhadap satu atau sejumlah pernyataan. Penjelasan dan contoh setiap pernyataan bisa dilihat pada tabel I.9. (Kadir,1995). Tabel I.9. Penjelasan dan contoh dari pernyataan dasar. Macam Pernyataan Susunan Contoh Pernyataan Ungkapan Ungkapan; bil = 3; Pernyataan deklarasi tipe_data nama_variabel; int bil; atau definisi Pernyataan Majemuk { pernyataan1; pernyataan2; { bil = 3; bil++; Pernyataan Berkondisi Pernyataan Pengulangan (for) } if(kondisi) pernyataan1; else pernyataan2; for(ungkapan1; ungkapan2; ungkapan3) pernyataan; } if(bil % 2) cout << bil ganjil << endl; else cout << bil genap << endl; for(abjad = A ; abjad <= Z ; abjad++) cout << abjad;

26 I.6.6.5. Pengenalan Array. Array adalah kumpulan data bertipe sama yang menggunakan nama sama. Antara satu variabel dengan variabel lain di dalam array dibedakan berdasarkan subscript. Sebuah subscript berupa bilangan di dalam kurung siku. Array ada bermacam-macam, antara lain: array berdimensi satu, array berdimensi dua, dan array berdimensi banyak. Pendefinisian array terdiri dari tipe data elemen array, nama array, dan jumlah elemen array. Contoh mendefinisikan array seperti berikut: float suhu[5]; Setelah didefinisikan, elemen array dapat diakses dengan bentuk seperti berikut: nama_array[subscript] I.6.6.6. Fungsi. Kadir(1995) menyatakan fungsi merupakan sejumlah pernyataan yang dikemas dalam sebuah nama. Nama ini selanjutnya dapat dipanggil beberapa kali di beberapa tempat dalam program. Fungsi menerima masukan yang disebut argumen atau parameter. Masukan ini selanjutnya diproses oleh fungsi. Hasil akhir fungsi disebut nilai balik(return value). Sebuah fungsi bisa dipanggil jika sudah dideklarasikan. Deklarasi fungsi dikenal dengan sebutan prototipe fungsi. Prototipe fungsi terdiri dari: nama fungsi, tipe nilai balik fungsi, jumlah, tipe argumen, dan diakhiri dengan titik koma(;). Kegunaan dari prototipe fungsi yaitu untuk menjamin tipe argumen yang dilewatkan pada pemanggialan fungsi benar-benar sesuai. Sebuah fungsi juga harus didefinisikan supaya bisa dipanggil dalam program. Khusus untuk fungsi yang disediakan sistem, definisinya sudah ada dalam dalam pustaka yang akan digabungkan dengan program ketika proses linking. Ada fungsi yang tidak perlu memiliki nilai balik. Fungsi ini digunakan untuk menampilkan suatu keterangan saja. Pada fungsi ini, tipe nilai balik fungsi yang diperlukan adalah void. Pada fungsi tanpa nilai bali, tidak ada pernyataan return. Tetapi, penggunaan return secara eksplisit juga diperbolehkan.

27 I.7 Hipotesis Posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan meridian standar pada proyeksi UTM lebih jauh daripada posisi area penelitian terhadap meridian tengah dan paralel standar proyeksi Polieder. Hal ini menyebabkan kemungkinan distorsi sudut dan jarak lebih besar pada proyeksi UTM. Akan tetapi, pada proyeksi UTM seluruh area penelitian terletak dalam satu zone sehingga tidak perlu melakukan transformasi koordinat dan tidak terjadi perambatan kesalahan. Pada proyeksi Polieder, cakupan area penelitian terletak dalam tiga LBD sehingga perlu melakukan transformasi koordinat antar LBD. Berdasarkan letak area penelitian pada sistem koordinat peta Polieder dan UTM, hipotesis penelitian yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah Proyeksi Polieder lebih tepat digunakan untuk pemetaan skala besar ( > 1:5000) di area penelitian ini daripada menggunakan proyeksi UTM. Selanjutnya, hipotesis operasional dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1. Hipotesis awal (H0) : Nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-t), dan faktor skala (k) setiap titik-titik poligon simulasi pada sistem proyeksi Polieder lebih besar dari pada sistem proyeksi UTM. Oleh karena itu, pergeseran titik-titik poligon simulasi sebelum dan setelah dikoreksi dengan konvergensi meridian, koreksi (t-t), dan faktor skala (k) pada sudut dan jaraknya lebih besar pada sistem proyeksi Polieder daripada sistem proyeksi UTM. 2. Hipotesis alternatif (Ha) : Nilai konvergensi meridian (γ), koreksi (t-t), dan faktor skala (k) setiap titik-titik poligon simulasi pada sistem proyeksi Polieder lebih kecil dari pada sistem proyeksi UTM. Oleh karena itu, pergeseran titik-titik poligon simulasi sebelum dan setelah dikoreksi dengan konvergensi meridian, koreksi (t-t), dan faktor skala (k) pada sudut dan jaraknya lebih kecil pada sistem proyeksi Polieder daripada sistem proyeksi UTM.