LEMAHNYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BURUH WANITA Oleh: Annida Addiniaty *

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

2. Para Bupati/Walikota di- Seluruh Indonesia

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA PEREMPUAN. Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya. membangun untuk meningkatkan pembangunan disegala sektor dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMENUHAN DAN PELINDUNGAN HAK PEKERJA PEREMPUAN. (Studi di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Riau) Sali Susiana

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA WANITA DALAM PERJANJIAN KERJA

TENAGA KERJA WANITA DAN PERLINDUNGAN IR. KALSUM. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 64 TAHUN 2012

TINJAUAN ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MENYUSUI ANAK SELAMA WAKTU KERJA DI TEMPAT KERJA BAGI PEKERJA PEREMPUAN. Marlia Eka Putri A.T.

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Tenaga kerja (man power) adalah penduduk yang sudah atau sedang

BAB 1 PENDAHULUAN. dibandingkan dengan pengusaha yang kedudukannya lebih kuat sehingga para

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB V PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: perempuan pada malam hari. Selain itu juga diatur dalam Undang-Undang

PERLINDUNGAN DAN PENGAWASAN TENAGA KERJA

BAB I PENDAHULUAN. Tenaga kerja memiliki peranan penting sebagai tulang punggung. perusahaan, karena tanpa adanya tenaga kerja, perusahaan tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pekerja atau buruh. Oleh karena itu seorang tenaga kerja sebagai subyek

BAB I PENDAHULUAN. tenaga kerja yang bekerja. Namun dalam hal ini nampaknya pemerintah dan

BAB V PENUTUP. kurang mengawal. Terbukti masih adanya beberapa perusahaan yang memberi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB I PENDAHULUAN. disoroti dalam perkembangan ilmu hukum ketenagakerjaan, khususnya dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pria di depan hukum dalam hal memperoleh kehidupan yang. yang dinginkanya dengan catatan wanita tersebut melakukan pekerjaan

PROVINSI SULAWESI TENGGARA WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG TENAGA KERJA LOKAL

KEPMEN NO. 224 TH 2003

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

PERLINDUNGAN,PENGUPAHAN DAN KESEJAHTERAAN

BAB IV PENUTUP. 1. Perlindungan pekerja wanita pada PT. Sentosa Sarana Service menurut

Standar Ketenagakerjaan Internasional tentang Kesetaraan dan Non Diskriminasi

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan: Tiap-tiap

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

Jakarta, 6 September Nina Tursinah, S.Sos.MM. Ketua Bidang UKM-IKM DPN APINDO

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. himpun menyebutkan bahwa jumlah pekerja perempuan di sebagian besar daerah

Discrimination and Equality of Employment

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja. Dalam melakukan pekerjaan harus dibedakan yaitu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENGAWASAN PEKERJA PEREMPUAN MALAM HARI

PENDAHULUAN Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PANDANGAN KARYAWAN TENTANG HAK BEKERJA: SEBUAH STUDI DESKRIPTIF DI KALANGAN KARYAWAN DI PERGURUAN TINGGI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pekerja dalam dunia kerja tidak dibedakan baik laki-laki maupun

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PEKERJA ANAK. Dibahas dalam UU NO 13 Tahun 2003 Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejaterahan Bagian 1 Paragraf 2.

Jam Kerja, Cuti dan Upah. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA WANITA YANG BEKERJA PADA MALAM HARI DI HARD ROCK CAFE KABUPATEN BADUNG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA PEREMPUAN, CITY HOTEL, DAN PERJANJIAN KERJA. Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HUKUM KETENAGA KERJAAN BERDASARKAN UU NO 13 TAHUN 2003

DEFINISI DAN TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

K45 KERJA WANITA DALAM SEGALA MACAM TAMBANG DIBAWAH TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA, PEKERJA KONTRAK, DAN HAK CUTI. 2.1 Tinjauan Umum Tentang Pekerja dan Pekerja Kontrak

IMAM MUCHTAROM C

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEKERJA DAN HAK-HAK PEREMPUAN. Istilah Pekerja/ Buruh muncul untuk menggantikan istilah Buruh pada zaman

Pasal 88 s.d pasal 98 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA

K105 PENGHAPUSAN KERJA PAKSA

PERLINDUNGAN KERJA.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I KETENTUAN U M U M

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UU 1/1951, PERNYATAAN BERLAKUNYA UNDANG UNDANG KERJA TAHUN 1948 NR. 12 DARI REPUBLIK INDONESIA UNTUK SELURUH INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG PEKERJA RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam masa pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak: Kasus Hak Buruh

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 25 juta di antaranya tergolong usia reproduksi (15-45 tahun). 1

COMPANY POLICY OF EMPLOYMENTS 2016

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA

Oleh: Arum Darmawati. Disampaikan pada acara Carrier Training Preparation UGM, 27 Juli 2011

R-188 REKOMENDASI AGEN PENEMPATAN KERJA SWASTA, 1997

PERLINDUNGAN DAN PENGAWASAN TENAGA KERJA (2)

BAB I PENDAHULUAN. laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan sudah

Kajian Teoritik Hukum dan HAM tentang Surat Edaran Kabaharkam Nomor B/194/I/2013/Baharkam, yang Melarang Satpam Berserikat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

Tujuan UUK adalah kesejahteraan tenaga kerja: Memperoleh, meningkatkan, mengembangkan kompetensi kerja.

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK PEKERJA PEREMPUAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN 1. Suci Flambonita 2 ABSTRAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN PENELITIAN DANA PNBP TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan berkedudukan sama di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 1997/73, TLN 3702]

R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

Transkripsi:

LEMAHNYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BURUH WANITA Oleh: Annida Addiniaty * Pekerjaan merupakan suatu hal yang sangat krusial yang harus dimiliki dan di lakukan oleh setiap orang. Karena tanpa pekerjaan seseorang tidak akan memperoleh uang yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Lazimnya, yang berkewajiban untuk mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya adalah kaum laki-laki sebagai suami. Namun, dewasa ini banyak juga kaum perempuan yang melakukan suatu pekerjaan dengan tujuan untuk membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Biasanya kaum perempuan tersebut bekerja pada perusahaan-perusahaan swasta dan kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik. Banyak diberitakan di media massa atau elektronik tentang pekerja perempuan yang kurang diperhatikan oleh perusahaan dalam hal kesejahteraan atau diperlakukan dibawah pekerja laki-laki. Buruh perempuan banyak dieksploitasi oleh pengusaha dan terkadang di PHK secara semena-mena oleh perusahaan. Hal-hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat didalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam UU tersebut telah diatur secara jelas dan lengkap mengenai hak dan kewajiban buruh/pekerja wanita yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha. Hak dan kewajiban buruh/pekerja wanita tidak hanya diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi juga diatur di dalam peraturan-peraturan lainnya, mulai UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (2), UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi ILO No. 111 tentang Anti- Diskriminasi Jabatan dan Pekerjaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 21 Tahun 1999, dan Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah yang telah diratifikasi

oleh Indonesia dengan UU No. 80 Tahun 1957. Di dalam peraturan perundangundangan tersebut telah diatur secara lengkap mengenai apa saja hak dan kewajiban dari buruh/pekerja wanita serta bagaimana seharusnya buruh/pekerja wanita diperlakukan oleh pihak pengusaha. Namun, pada kenyataannya masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam peraturan-peraturan tersebut. Pelanggaran-pelanggaran tersebut umumnya berupa kekerasan seksual, diskriminasi terhadap upah dan jabatan, serta pelanggaran terhadap ketentuan yang mengatur mengenai kesehatan reproduksi buruh wanita, yang meliputi cuti haid, cuti hamil, dan menyusui. Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh buruh/pekerja wanita, berdasarkan catatan tahunan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan tahun 2012 terdapat 216.156 kasus kekerasan seksual dan sebanyak 2.521 kasus kekerasan seksual tersebut dialami oleh buruh/tenaga kerja wanita (kompas.com: 75 Persen Buruh Wanita di Jakarta Alami Kekerasan Seksual, 19 April 2013). Data tersebut bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 329 Pengadilan Agama (data BADILAG), 87 PN dan PM (data BADILUM) dan 2 UPPA (data UPPA) serta 12.649 kasus yang ditangani oleh 225 lembaga mitra pengada layanan (politikrakyat.com: Konferensi Perempuan Jakarta Melawan Bebas Kekerasan Seksual, 24 Juli 2013). Kekerasan seksual yang mereka alami tersebut terjadi tidak hanya di dalam lingkungan perusahaan namun juga di luar lingkungan perusahaan. Kekerasan seksual yang mereka alami di dalam lingkungan perusahaan biasanya dilakukan oleh atasan atau teman sepekerja mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan kekerasan seksual yang mereka alami di luar lingkungan perusahaan biasanya disebabkan karena mereka pulang larut malam karena lembur. Dalam Pasal 86 ayat (1) huruh b dan c UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak

memperoleh perlindungan atas moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Kemudian dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 WIB pukul 07.00 WIB wajib menjaga kesusilaan dan keamanaan selama di tempat kerja, serta pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 WIB pukul 05.00 WIB wajib menyediakan angkutan antar-jemput bagi buruh yang bekerja pada rentang waktu tersebut. Dalam Pasal 86 ayat (1) huruh b dan c, dan Pasal 76 ayat (3) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur secara jelas dan lengkap mengenai kewajiban yang harus di penuhi oleh pengusaha terhadap para pekerja/buruh wanita nya agar kasus atau tindakan kekerasan seksual terhadap pekerja/buruh wanita tidak terjadi. Namun, melihat dari banyaknya jumlah kasus kekerasan seksual yang masih terjadi sampai saat ini sebagaimana telah digambarkan di atas, berarti menunjukkan bahwa masih banyak pihak pengusaha yang belum benar-benar menjalankan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 dan Pasal 76 tersebut. Padahal, menjaga kesusilaan para pekerjanya merupakan salah satu kewajiban pengusaha yang harus benar-benar dilaksanakan. Kemudian berkaitan dengan kasus diskirminasi terhadap upah yang dialami oleh buruh/tenaga kerja wanita, menurut International Labour Organization (ILO) masih ada kesenjangan upah antargender di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012. Perempuan memperoleh upah rata-rata sebesar 81% dari upah laki-laiki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama (gajimu.com: Wujudkan Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan). Sampai saat ini belum diketahui latar belakang apa yang menyebabkan terjadinya diskrimasi upah yang diterima oleh buruh/tenaga kerja wanita dengan buruh/pekerja pria. Namun, ada asumsi yang mengatakan

bahwa wanita selalu dianggap lajang karena upah yang diterima oleh buruh/pekerja wanita hanya sebagai pelengkap dari upah yang diterima oleh suaminya. Oleh karena itu sampai saat ini diskriminasi upah yang diterima oleh buruh/pekerja wanita dengan buruh/pekerja pria masih terjadi. Dalam ketentuan Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 huruh b Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Upah sebagaimana telah diratifikasi dengan UU No. 80 Tahun 1957 diatur bahwa istilah pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya merujuk kepada nilai pengupahan yang diadakan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Jika mengacu kepada ketentuan Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 dan ketentuan Pasal 1 Konvensi ILO No. 100 sebagaimana telah diratifikasi dengan UU No. 80 Tahun 1957 seharusnya kesenjangan upah antargender yang di Indonesia tidak terjadi. Karena didalam kedua ketentuan UU tersebut telah diatur dengan jelas bahwa pihak pengusaha harus memberikan upah yang layak sesuai dengan jenis pekerjaannya tanpa harus membedakan jenis kelamin. Jadi, jika buruh/pekerja wanita melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan oleh buruh/pekerja pria, maka upah yang diterima oleh si buruh/pekerja wanita tersebut harus sama dengan upah yang diterima oleh buruh/pekerja tersebut. Asumsi yang mengatakan bahwa buruh/tenaga kerja wanita selalu dianggap lajang karena upah yang mereka terima hanya sebagai pelengkap dari upah yang diterima oleh suaminya tersebut tidak sepenuhnya salah. Karena memang kewajiban untuk mencari nafkah ada pada suami. Namun, asumsi tersebut tidak dapat dijadikan dasar terjadinya diskriminasi upah tersebut. Karena buruh/pekerja wanita tersebut melakukan jenis pekerjaan yang sama dan resiko yang akan timbul dari pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sama

dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh/pekerja pria. Sehingga sudah sepantasnya jika upah yang mereka terima nantinya pun harus sama dengan upah yang diterima oleh buruh/tenaga kerja pria. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini masih banyak terjadi kekerasan seksual dan diskriminasi upah yang dialami oleh buruh/pekerja wanita yang disebabkan karena pihak perusahaan yang belum mampu memenuhi standar perlindungan yang harus diberikan kepada buruh/pekerja wanita sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan buruh/pekerja wanita. Kasus-kasus dan diskriminasi yang dialami oleh para buruh/pekerja wanita tersebut tidak akan pernah berakhir jika pihak pengusaha tidak mau untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan buruh/pekerja wanita dan selama Pemerintah tidak memberikan sanksi yang tegas kepada pihak pengusaha yang telah melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang baik diantara semua pihak yang terkait agar kasus-kasus dan diskriminasi yang biasa dialami oleh buruh/pekerja wanita tidak akan terjadi lagi dengan cara mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. * Annida Addiniaty adalah peminat masalah hukum. Saat ini sedang studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.