BAB 2 LANDASAN TEORI. program pengurangan noise pada citra digital. Teori-teori ini mencakup penjelasan

dokumen-dokumen yang mirip
Pencocokan Citra Digital

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB 3 PERANCANGAN PROGRAM. dilanjutkan dengan rancangan cetak biru untuk program yang akan dibangun.

BAB 2 LANDASAN TEORI. variabel untuk mengestimasi nilainya di masa yang akan datang. Peramalan Merupakan

PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI PENGURANGAN NOISE PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE BERBASIS WAVELET SKRIPSI

BAB II TI JAUA PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Kata kunci: Fourier, Wavelet, Citra

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

IMPLEMENTASI TEMU KEMBALI CITRA TEKSTUR MENGGUNAKAN ROTATED WAVELET FILTER

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

Konvolusi. Esther Wibowo Erick Kurniawan

BAB 2 LANDASAN TEORI

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

DAFTAR ISI. Halaman LEMBAR PENGESAHAN SURAT PERNYATAAN ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR...iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR...

PERBAIKAN KUALITAS CITRA BERWARNA DENGAN METODE DISCRETE WAVELET TRANSFORM (DWT)

MATEMATIKA DI BALIK CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB III PROTEKSI TRANSFORMATOR DAYA MENGGUNAKAN TRANSFORMASI WAVELET. 1980, dalam bahasa Prancis ondelette, yang berarti gelombang kecil.

Pertemuan 3 Perbaikan Citra pada Domain Spasial (1) Anny Yuniarti, S.Kom, M.Comp.Sc

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penerapan Transformasi Wavelet Diskrit Untuk Reduksi Noise Pada Citra Digital

BAB 2 LANDASAN TEORI

Operasi-operasi Dasar Pengolahan Citra Digital

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

GLOSARIUM Adaptive thresholding Peng-ambangan adaptif Additive noise Derau tambahan Algoritma Moore Array Binary image Citra biner Brightness

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. terdiri dari bagian atas yang disebut serambi (atrium) dan bagian bawah yang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 LANDASAN TEORI. mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. dari masalah pattern recognition, yang pada umumnya berguna untuk

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM

1. TRANSLASI OPERASI GEOMETRIS 2. ROTASI TRANSLASI 02/04/2016

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra

Penyusun Tugas Akhir Alvian Adi Pratama [ ] Dosen Pembimbing Diana Purwitasari, S.Kom, M.Sc. Dr. Eng. Nanik Suciati, S.Kom., M.Kom.

BAB II LANDASAN TEORI

Pendahuluan. Dua operasi matematis penting dalam pengolahan citra :

SAMPLING DAN KUANTISASI

BAB 1 PENDAHULUAN. meruntuhkan bangunan-bangunan dan fasilitas umum lainnya.

BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

MATERI PENGOLAHAN SINYAL :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

PENGENALAN POLA SIDIK JARI BERBASIS TRANSFORMASI WAVELET DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION

Pemampatan Citra Warna Menggunakan 31 Fungsi Gelombang-Singkat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

DAFTAR ISI. i ABSTRACT. ii KATA PENGANTAR. viii DAFTAR GAMBAR

Menurut Ming-Hsuan, Kriegman dan Ahuja (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah sistem pengenalan wajah dapat digolongkan sebagai berikut:

DAFTAR TABEL. Tabel 4.1 Struktur Neural Network Backpropagation Tabel 4.2 Hasil Pengujian Identifikasi Data Uji... 34

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadi karena bergetarnya suatu benda, yang menyebabkan udara di sekelilingnya

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN APLIKASI PENGURANGAN NOISE PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE FILTER GAUSSIAN

BAB I. Pendahuluan I.1 Latar Belakang

TRANSFORMASI WAVELET DISKRIT PADA SINTETIK PEMBANGKIT SINYAL ELEKTROKARDIOGRAM

Gambar 2.1 Perkembangan Alat Restitusi (Dipokusumo, 2004)

BAB II LANDASAN TEORI

KOMPRESI CITRA MEDIS MENGGUNAKAN METODE WAVELET

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. dilakukan oleh para peneliti, berbagai metode baik ekstraksi fitur maupun metode

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. PSD Bab I Pendahuluan 1

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Watermarking dengan Metode Dekomposisi Nilai Singular pada Citra Digital

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab II Teori Dasar. Gambar 2.1 Diagram blok sistem akuisisi data berbasis komputer [2]

PERANCANGAN APLIKASI PENGACAKAN CITRA MENGGUNAKAN M-SEQUENCE BERDASARKAN PARAMETER

SEGMENTASI ENDAPAN URIN PADA CITRA MIKROSKOPIK BERBASIS WAVELET

MKB Teknik Pengolahan Citra Operasi Ketetanggaan Piksel pada Domain Frekuensi. Genap 2016/2017

PRESENTASI TUGAS AKHIR KI091391

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Pengenalan Citra

LOGO PEMBERIAN TANDA AIR MENGGUNAKAN TEKNIK KUANTISASI RATA-RATA DENGAN DOMAIN TRANSFORMASI WAVELET DISKRIT. Tulus Sepdianto

KOMPRESI IMAGE DALAM SOURCE CODING MENGGUNAKAN METODE TRANSFORMASI WAVELET

ANALISIS PERBANDINGAN METODE PREWITT DAN CANNY UNTUK IDENTIFIKASI IKAN AIR TAWAR

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP )

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

BAB 3 ANALISA DAN PERANCANGAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

PENERAPAN DISCRETE DAUBECHIS WAVELET TRANSFORM D A L A M W A T E R M A R K I N G C I T R A D I G I T A L

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab 2 ini, akan dijelaskan berbagai teori yang mendukung perancangan program pengurangan noise pada citra digital. Teori-teori ini mencakup penjelasan mengenai pengolahan sinyal, pengolahan citra digital, wavelet dan transformasi wavelet, transformasi wavelet 2 dimensi, serta metode-metode reduksi noise berbasis wavelet. 2.1 Pengolahan Sinyal 2.1.1 Definisi Sinyal Dalam bidang pemrosesan sinyal, yang dimaksud dengan sinyal adalah kuantitas yang berubah-ubah terhadap waktu atau ruang. Dalam dunia nyata, setiap kuantitas yang dapat diukur berdasarkan waktu atau ruang dapat dianggap sebagai sinyal. Dalam lingkungan yang kompleks, setiap set informasi manusia atau data mesin dapat dianggap sebagai sinyal. Informasi atau data mesin demikian (sebagai contoh, titik pada layar, tinta yang membentuk teks pada kertas, atau kata-kata yang masuk ke pikiran manusia) harus merupakan bagian dari sistem yang eksis di dunia nyata. Dua tipe utama sinyal yang dalam prakteknya paling sering ditemui adalah sinyal analog dan sinyal digital. Secara singkat, perbedaan di antara keduanya adalah bahwa sinyal digital bersifat diskrit dan terkuantisasi, sedangkan sinyal analog tidak memiliki kedua sifat tersebut. Gambar atau citra merupakan salah satu bentuk sinyal. Sebuah gambar memberikan nilai warna pada tiap-tiap titik dari sekumpulan titik. Karena titik-

9 titik tersebut terletak pada bidang, maka domainnya adalah 2 dimensi. Jika gambarnya adalah benda fisik, seperti lukisan, sinyalnya bersifat kontinu. Jika gambarnya adalah citra digital, sinyalnya bersifat diskrit. Merupakan hal yang umum untuk merepresentasikan warna sebagai jumlah dari intensitas 3 warna utama, sehingga sinyal memiliki nilai berupa vektor dengan dimensi 3. 2.1.2 Dasar-Dasar Pengolahan Sinyal Suatu sinyal dapat direpresentasikan dalam beberapa domain melalui berbagai himpunan fungsi basisnya. Dalam subbab ini akan dijelaskan beberapa definisi dan pengertian matematis dasar yang membantu. a. Vektor Vektor adalah kuantitas fisis yang memiliki besar dan arah. Kuantitas yang hanya memiliki besar (magnitude) saja disebut skalar. Vektorvektor dapat dinyatakan secara geometris sebagai segmen-segmen garis terarah, arah panah menunjukkan arah vektor dan panjang panah menentukan besarnya. b. Ruang Vektor Ruang vektor (vector space) V adalah himpunan vektor u,v dan w serta skalar k dan l yang memenuhi : 1) Jika u dan v berada dalam V, maka u + v juga berada dalam V 2) u + v = v + u 3) u + (v + w) = (u + v) + w 4) Ada skalar 0 di V sehingga 0 + u = u + 0 = u untuk semua u di V

10 5) Untuk setiap u di V, ada u di V yang kita namakan negatif u sehingga u + (-u) = (-u) + u = 0 6) Jika k adalah sembarang skalar dan u adalah sembarang vektor di V, maka ku berada di V 7) k(u + v) = ku + kv 8) (k + l) = ku + lu 9) k(lu) = (kl)(u) 10) 1 u = u c. Kombinasi Linear Sebuah vektor w merupakan kombinasi linear dari vektor-vektor v 1, v 2,, v n jika vektor tersebut diungkapkan dalam bentuk w = k1.v1 + k 2.v 2 + + k n.v n dimana k 1, k 2,, k n, adalah skalar d. Merentang Jika v 1, v 2,, v n adalah vektor-vektor dalam ruang vektor V dan jika masing-masing vektor pada V dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear v 1, v 2,, v n, maka kita bisa mengatakan bahwa vektor ini merentang V. e. Bebas Linear Jika S = { v 1, v 2,, v n } adalah himpunan vektor, maka persamaan vektor k 1 v 1 + k 2 v 2 + + k n v n = 0 mempunyai paling sedikit satu pemecahan, yakni k 1 = 0, k 2 = 0,, k n = 0. Jika ini adalah satu-satunya pemecahan,

11 maka S kita namakan himpunan bebas linear. Jika ada pemecahan lain, maka S kita namakan himpunan tak bebas linear. f. Basis dan Fungsi Basis Secara definisi jika V adalah ruang vektor dan S = { v 1, v 2,, v n } merupakan himpunan berhingga dari vektor-vektor pada V, maka S kita namakan basis untuk V jika: 1) S bebas linear 2) S merentang V Setiap vektor (x,y) merupakan kombinasi dari vektor (1,0) dan (0,1), kedua vektor terakhir merupakan vektor-vektor basis untuk (x,y). Sebagai pengganti vektor (x,y) kita memiliki fungi f(x). Sebuah fungsi f(x) dapat dihasilkan dengan penjumlahan fungsi sinus dan kosinus menggunakan kombinasi amplitudo dan frekuensi. Fungsi sinus dan kosinus adalah fungsi-fungsi basis dalam contoh ini. Untuk sinus dan kosinus yang dipilih, kita dapat menentukan syarat tambahan bahwa mereka orthogonal, dengan cara memilih kombinasi yang tepat dari bagian-bagian fungi sinus dan kosinus yang penjumlahan produk dalamnya nol. Kumpulan fungsi-fungsi tertentu yang orthogonal dan membentuk f(x) adalah fungsi-fungsi basis orthogonal kita untuk masalah ini. Dalam analisa wavelet terdapat beberapa fungsi basis, diantaranya adalah fungsi basis Haar, Morlet, Daubechies dan sebagainya.

12 g. Translasi dan Dilasi Bila f(x) adalah sebuah sinyal kontinu, maka translasi dan dilasi didefinisikan sebagai berikut : Translasi dari f(x), T b f(x) = f(x-b), dimana b adalah faktor pergeseran Dilasi dari f(x), D a f(x) = f(x/a), dengan a adalah faktor skala atau dilasi. Untuk masalah kita digunakan f(x/a) / a. Penambahan faktor a ini kita lakukan agar fungsi-fungsi wavelet yang akan digunakan dalam pengolahan selanjutnya telah ternormalisasi. Bila kedua proses tersebut diterapkan secara berturutan : Translasi dan dilasi : T b D a f(x) = f[(x-b)/a] / a Dilasi dan translasi : D a T b f(x) = f[(x/a)-b] / a h. Konvolusi Konvolusi dari dua fungsi f(x) dan g(x) didefinisikan sebagai : dengan τ adalah variabel bantu. (2.1) i. Downsampling dan Upsampling Downsampling/subsampling adalah proses menurunkan banyaknya sampel dari sinyal dengan cara hanya mengambil sampel sinyal pada selang waktu tertentu N. g[n] = f[nn] ; N = 2, 3, (2.2)

13 dengan g[n] adalah sinyal keluaran hasil subsampling dan f[n] adalah masukan diskret. Gambar 2.1 berikut adalah contoh downsampling dengan N = 2. Gambar 2.1 Proses Downsampling Upsampling adalah proses menaikkan banyaknya sampel sinyal dengan menyisipkan sampel bernilai 0 di antara dua buah sampel dalam sinyal masukan. Gambar 2.2 berikut adalah contoh upsampling.

14 Gambar 2.2 Proses Upsampling 2.1.3 Quadrature Mirror Filter Di tahun 1970-an, muncul cara baru dalam pengolahan sinyal. Sebuah sinyal dipisahkan menjadi 2 bagian, yaitu komponen frekuensi rendah dan frekuensi tingginya. Melalui cara ini, masing-masing sub-rentang (subband) frekuensi dapat diproses secara terpisah. Hal ini dilakukan dengan memfilter sinyal dengan filter lolos atas dengan hasil berupa komponen frekuensi tinggi, dan filter lolos bawah yang hasilnya adalah komponen frekuensi rendah. Secara umum, penggunaan filter tidak dapat dibalik karena akan adanya informasi yang hilang dari sinyal. Untuk itulah perlu digunakan pasangan filter yang komplementer, yang masing-masing akan memberikan informasi yang hilang pada filter yang lain. Masing-masing filter tersebut memiliki filter adjoint

15 yang akan mengembalikan bagian-bagian yang hilang sebagai hasil dari penguraian oleh filter-filter tersebut. Agar operasi bisa dibalik dan sinyal asli dapat dihasilkan kembali, kita harus memiliki apa yang disebut dengan filter-filter exact reconstruction. Filterfilter ini diberi nama Quadrature Mirror Filter. Menurut Kumar, Singh dan Anand (2008, p204), pada dasarnya Quadrature Mirror Filter adalah rangkaian filter dua jalur, yang mengandung filter analisis dan downsampler pada bagian analisis, dan upsampler dan filter sintesa pada bagian rekonstruksi. Diagram blok untuk Quadrature Mirror Filter ditunjukkan pada gambar 2.3. Gambar 2.3 Quadrature Mirror Filter Filter analisis memenuhi persamaan berikut (2.3) 2.2 Citra Digital 2.2.1 Definisi Citra Digital Yang dimaksud dengan citra digital adalah representasi dari sebuah citra dua dimensi sebagai sebuah kumpulan nilai digital yang disebut elemen gambar

16 atau piksel. Piksel adalah elemen individual terkecil dalam sebuah citra yang mengandung nilai terkuantisasi yang mewakili brightness dari sebuah warna pada sebuah titik tertentu. Berdasarkan sifat dari nilai terkuantisasinya, citra digital dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Citra biner Citra biner adalah citra digital yang tiap pikselnya hanya memiliki dua kemungkinan nilai, yaitu 1 atau 0. b. Citra grayscale Citra grayscale adalah citra digital yang setiap pikselnya merupakan sampel tunggal, yaitu informasi intensitas. Citra jenis ini terbentuk hanya dari warna abu-abu pada tingkatan yang berbeda-beda, mulai dari warna hitam pada tingkat intensitas terendah hingga warna putih pada tingkat intensitas tertinggi. Citra ini disebut juga citra hitam putih atau citra monokromatik. c. Citra warna Citra warna adalah citra digital yang setiap pikselnya mengandung informasi warna. Informasi warna ini biasanya dibentuk dari paling sedikit 3 sampel (saluran warna). Saluran warna yang umum dipakai dalam komputer adalah RGB, tetapi dalam konteks lain sering juga digunakan saluran warna lain seperti CMYK atau YCbCr.

17 2.2.2 Pengolahan Citra Istilah pengolahan citra merujuk pada segala bentuk pemrosesan sinyal yang inputnya adalah citra. Outputnya dapat berupa citra atau sekumpulan karakteristik atau parameter yang berhubungan dengan citra. Pada umumnya, teknik pengolahan citra memperlakukan citra sebagai sinyal dua dimensi dan menerapkan teknik standar pemrosesan sinyal pada sinyal tersebut. Operasi pengolahan citra yang umum dilakukan antara lain mencakup pembesaran atau pengecilan ukuran citra, rotasi citra, penajaman citra, penonjolan fitur tertentu dari suatu citra, kompresi citra, koreksi citra yang kabur atau tidak fokus, segmentasi citra, pengurangan noise, hingga ke pengenalan objek. 2.2.3 Analisa Multi Resolusi Sebuah sinyal dapat dipandang sebagai komposisi dari sebuah latar belakang yang halus dengan fluktuasi atau detil yang ditambahkan ke atasnya. Perbedaan antara bagian yang halus dan detil ditentukan oleh resolusi, yaitu skala hingga sejauh mana detil pada sebuah sinyal tidak dapat dibedakan. Pada sebuah resolusi, dilakukan pendekatan terhadap sebuah sinyal dengan mengabaikan semua fluktuasi yang berada di bawah skala itu. Semakin tinggi resolusi, semakin banyak detil yang ditambahkan, yang memberikan pendekatan yang lebih baik terhadap sinyal. Analisa multiresolusi, sesuai dengan namanya, menganalisa sinyal pada frekuensi yang berbeda-beda dengan resolusi yang berbeda-beda. Analisa multiresolusi bertujuan untuk merepresentasikan sinyal sebagai himpunan dari

18 pendekatannya pada beberapa tingkat resolusi. Analisa multiresolusi dirancang untuk memberikan resolusi waktu yang baik dan resolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi, dan resolusi waktu yang buruk dan resolusi frekuensi yang baik pada frekuensi rendah. Pendekatan semacam ini sangat masuk akal terutama ketika sinyal yang hendak dianalisa memiliki komponen frekuensi tinggi untuk durasi yang singkat dan komponen frekuensi rendah untuk durasi yang panjang. Untungnya, sinyal yang ditemui dalam aplikasi praktis seringkali bersifat demikian. Sebagai suatu sinyal, citra dapat dianalisa melalui beberapa tingkat resolusi. Citra pada resolusi rendah mengandung informasi global (gambaran kasar), sedangkan detilnya (tekstur, tepi, dan lain-lain) diperoleh dari pendekatan resolusi tinggi. Citra asli dapat direkonstruksi dari pendekatan resolusi rendahnya dengan menambahkan pendekatan beberapa resolusi tinggi secara bertahap. 2.3 Noise 2.3.1 Definisi Noise Noise dapat didefinisikan sebagai sinyal yang tidak diinginkan yang muncul pada komunikasi, pengukuran, persepsi atau pemrosesan dari sebuah sinyal yang mengandung informasi. Noise muncul dalam berbagai tingkatan dalam hampir semua lingkungan, termasuk di dalamnya adalah citra. Secara umum, noise dapat menyebabkan kesalahan atau bahkan merusak proses komunikasi; maka dari itu, pemrosesan noise adalah bagian penting dan integral dari telekomunikasi modern dan sistem pemrosesan sinyal. Kesuksesan dari sebuah metode pemrosesan noise bergantung pada kemampuannya untuk

19 mengkarakterisasi dan memodelkan proses noise, dan menggunakan karakteristik noise secara menguntungkan untuk membedakan sinyal dengan noise. 2.3.2 Pemodelan Noise Dalam perancangan program pengurangan noise ini, tipe noise yang hendak dikurangi adalah Gaussian white noise yang bersifat aditif. Secara umum, model untuk proses demikian adalah seperti berikut: g(t) = f(t) + v(t), t R (2.4) dengan g(t) adalah sinyal (citra) yang diobservasi, f(t) adalah sinyal (citra) ideal, dan v(t) adalah Gaussian white noise aditif. Tujuan utama dari proses pengurangan noise adalah mendapatkan sinyal f(t) dari sinyal g(t) yang terkorupsi oleh v(t). 2.3.3 Gaussian White Noise Salah satu model noise yang paling populer adalah white noise. Menurut Chan dan Shen (2005, p150) white noise adalah sinyal stokastik stasioner n(t) dengan nilai rata-rata nol yang power spectral density (distribusi energi sinyal per unit waktu dalam domain frekuensi)- nya S nn (ω) adalah sebuah konstanta σ 2 pada seluruh spektrum : ω R. Secara lebih umum, sinyal demikian disebut bandlimited white noise jika S nn (ω) adalah konstan pada beberapa pita spektrum, dan bernilai 0 jika di luar pita spektrum tersebut. Lebih mudah untuk pertama-tama mengerti tentang white noise diskrit. Misalkan v(k), ω Z, adalah white noise, yang rangkaian autokorelasinya didefinisikan sebagai berikut.

20 R(m) = R nn (m) = E[n(k)n(k + m)], m Z. (2.5) Maka, dengan fungsi power spectral density S nn (ω) σ 2, berarti sama dengan meminta R(m) = σ 2 δ m, dengan rangkaian delta Dirac δ m. (2.6) Hal ini berarti untuk setiap hambatan m bukan nol, n(k) dan n(k + m) sebagai 2 variabel acak selalu tidak berkorelasi. Hal ini terjadi secara otomatis jika keduanya independen (karena rata-ratanya dianggap nol). Sebuah white noise v(k) disebut Gaussian bila distribusi marginal bersifat Gaussian. Seperti telah diketahui dengan baik dalam teori probabilitas, untuk dua variabel Gaussian yang rata-ratanya nol, tidak berkorelasi sama artinya dengan independen. Gaussian white noise mungkin adalah model noise paling populer dalam banyak area pemrosesan citra. 2.4 Wavelet dan Transformasi Wavelet 2.4.1 Definisi Wavelet Yang dimaksud dengan wavelet adalah sekumpulan fungsi dalam ruang L 2 (R) yang memiliki sifat-sifat : a. Berenergi terbatas b. Merupakan fungsi band-pass c. Merupakan hasil translasi dan dilasi dari sebuah fungsi tunggal. Kumpulan fungsi ini memiliki bentuk umum : (2.7)

21 Kumpulan fungsi pada persamaan (2.7) dihasilkan melalui proses translasi oleh parameter b dan proses dilasi (skala) oleh parameter a pada fungsi wavelet induk ψ(t). Tiap-tiap fungsi hasil translasi dan dilasi disebut wavelet anak. Seperti telah dinyatakan di atas, ψ(t) adalah fungsi transformasi yang disebut wavelet induk. Istilah wavelet induk berasal dari dua sifat penting analisis wavelet seperti dijelaskan berikut ini. Istilah wavelet berarti gelombang kecil. Istilah kecil merujuk pada kondisi bahwa fungsi transformasi (atau fungsi jendela) yang digunakan memiliki lebar yang terbatas. Istilah gelombang merujuk pada kondisi bahwa fungsi tersebut bergelombang. Istilah induk mengimplikasikan bahwa fungsi-fungsi dengan daerah support yang berbeda yang digunakan pada proses transformasi diturunkan dari satu fungsi utama. Wavelet digunakan untuk membagi sebuah fungsi atau sinyal kontinu menjadi komponen-komponen frekuensi yang berbeda dan mempelajari tiap komponen dengan resolusi yang sesuai dengan skalanya. 2.4.2 Transformasi Wavelet Transformasi wavelet adalah proses transformasi (dekomposisi) suatu sinyal ke dalam bentuk superposisi dari fungsi wavelet, yeng merupakan hasil dilasi dan translasi fungsi tunggal wavelet induk. Transformasi wavelet dapat dipandang sebagai bentuk representasi waktu-frekuensi untuk sinyal yang kontinu terhadap waktu (sinyal analog). Transformasi wavelet memiliki keuntungan dibandingkan transformasi Fourier untuk merepresentasikan fungsi yang memiliki diskontinuitas dan

22 kenaikan atau penurunan yang tajam, dan untuk secara akurat mendekomposisi dan merekonstruksi sinyal non-periodik dan/atau sinyal non-stasioner. Secara singkat, dalam transformasi wavelet, sebuah sinyal dilewatkan pada filter lolos tinggi dan filter lolos rendah, yang menyaring bagian (subband) berfrekuensi tinggi dan rendah dari sinyal. Prosedur ini diulang-ulang, dan setiap kalinya beberapa bagian dari sinyal yang koresponden dengan frekuensi tertentu dihilangkan dari sinyal (di-downsample). Operasi demikian disebut juga sebagai dekomposisi. Secara garis besar, transformasi wavelet terbagi dua, yaitu transformasi wavelet kontinu dan transformasi wavelet diskrit. a. Transformasi Wavelet Kontinu Dalam transformasi wavelet kontinu, fungsi-fungsi basis wavelet memiliki parameter geser dan parameter skala yang kontinu. Persamaan transformasi wavelet kontinu dari sebuah fungsi kontinu x(t) adalah: (2.8) di mana (2.9) dengan ψ(t) merupakan fungsi kontinu dalam domain waktu dan domain frekuensi yang disebut wavelet induk, τ menyatakan parameter translasi dan s menyatakan parameter skala. Untuk mengembalikan sinyal asli x(t) dapat menggunakan invers dari transformasi wavelet kontinu (2.10)

23 dimana C ψ adalah konstanta yang bergantung pada wavelet yang digunakan. Kesuksesan dari rekonstruksi bergantung pada konstanta ini, yang disebut konstanta admisibilitas, untuk memenuhi persamaan kondisi admisibilitas berikut (2.11) dimana adalah transformasi Fourier dari ψ(t). Persamaan (2.11) mengimplikasikan bahwa, yang berarti (2.12) Seperti dapat dilihat di atas, Persamaan (2.12) merupakan syarat yang tidak terlalu mengikat karena banyak fungsi wavelet yang integralnya nol. Agar Persamaan (2.12) terpenuhi, wavelet haruslah bergelombang. b. Transformasi Wavelet Diskrit Pada transformasi wavelet diskrit, parameter geser dan skalanya bersifat diskrit. Koefisien-koefisien wavelet dari sinyal diskret f(x) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (2.13) dan persamaan sintesanya (2.14) dapat digunakan untuk menghasilkan kembali fungsi f(x) dari koefisienkoefisien waveletnya.

24 Untuk dapat membuat wavelet induk ψ(x) terlebih dahulu kita harus menentukan fungsi skala φ(x) yang memenuhi persamaan beda dua skala: (2.15) Fungsi wavelet ψ(x) dihubungkan dengan fungsi skala φ(x) melalui persamaan : (2.16) di mana (2.17) Koefisien-koefisien skala h(k) dan koefisien-koefisien wavelet g(k) pada persamaan di atas memainkan peranan utama dalam transformasi wavelet diskrit. Untuk melakukan transformasi, kita tidak membutuhkan bentuk eksplisit dari ψ(x) dan φ(x), tetapi hanya bergantung pada nilai h(k) dan g(k). Tiap jenis wavelet memiliki nilai h(k) dan g(k) yang berbeda-beda. Jika kita memiliki koefisien-koefisien data (sinyal) c j,k pada skala j dan koefisien-koefisien data c j+1,n dan d j+1,n pada skala j+1, maka koefisien-koefisien data pada skala j+1 ini dihubungkan dengan koefisien-koefisien c j,k pada skala j melalui persamaan (2.18) (2.19) di mana harga j berada antara 0 dan J.

25 Persamaan (2.18) dan (2.19) di atas adalah algoritma rekursif untuk dekomposisi wavelet dengan menggunakan h(k) dan g(k). Kedua persamaan tersebut dapat dilihat sebagai proses melewatkan sinyal c j,k pada pasangan filter H dan G, kemudian sinyal yang telah difilter tersebut di-downsampling dengan 2. Hasil pemfilteran dengan filter lolos bawah H adalah subband frekuensi rendah dengan nilai-nilai c j+1,n yang disebut nilai tren, dan hasil pemfilteran dengan filter lolos atas G adalah subband frekuensi tinggi dengan nilai-nilai d j+1,n yang disebut nilai fluktuasi. Nilai-nilai tren c j+1,n dapat dianggap sebagai sinyal pada skala j+1 untuk kemudian dilewatkan kembali pada pasangan filter H dan G. Proses demikian disebut dengan filter bank atau pohon wavelet dan contohnya ditunjukkan pada gambar 2.4. Gambar 2.4 Filter bank (pohon wavelet) 3 tingkat berikut: Algoritma rekursif untuk fungsi sintesa diberikan oleh persamaan

26 (2.20) 2.4.3 Perbandingan Transformasi Wavelet dengan Transformasi Fourier dan Transformasi Fourier Waktu Singkat Transformasi Fourier mendekomposisi sebuah sinyal pada fungsi-fungsi eksponensial kompleks dari frekuensi-frekuensi yang berbeda. Transformasi Fourier didefinisikan oleh dua persamaan berikut: (2.21) (2.22) Pada persamaan di atas, t adalah waktu, f adalah frekuensi, x menyatakan sinyal pada domain waktu(ruang) dan X menyatakan sinyal pada domain frekuensi. Persamaan (2.21) disebut transformasi Fourier dari x(t) dan Persamaan (2.22) disebut invers transformasi Fourier dari X(f). Kelemahan utama transformasi Fourier adalah bahwa ia hanya memiliki resolusi frekuensi tanpa ada resolusi waktu. Ini berarti walaupun kita bisa menentukan semua frekuensi yang ada dalam sinyal, kita tidak tahu kapan frekuensi tersebut muncul. Maka dari itu transformasi Fourier tidak baik untuk merepresentasikan sinyal non-stasioner. Untuk memecahkan masalah ini, dalam beberapa dekade terakhir beberapa solusi telah dikembangkan yang secara kurang lebih mampu merepresentasikan sinyal dalam domain waktu dan frekuensi pada saat yang bersamaan. Solusi awal dari masalah ini adalah Transformasi Fourier Waktu Singkat (Short Time Fourier Transform / STFT). Dalam Transformasi Fourier Waktu

27 Singkat, sinyal dibagi menjadi bagian-bagian berukuran cukup kecil, di mana bagian-bagian sinyal tersebut dapat diasumsikan stasioner. Untuk tujuan ini sebuah fungsi jendela ω dipilih. Lebar dari jendela ini harus sama dengan bagian sinyal yang stasionaritasnya valid. Definisi untuk Transformasi Fourier Waktu Singkat ini adalah (2.23) dengan x(t) adalah sinyal itu sendiri, ω(t) adalah fungsi jendela, dan * adalah konjugasi kompleks. Seperti yang dapat dilihat di atas, Transformasi Fourier Waktu Singkat tidak lebih dari transformasi Fourier dari sinyal yang telah dikalikan dengan fungsi jendela. Masalah dengan Transformasi Fourier Waktu Singkat berakar pada apa yang dikenal dengan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat menngetahui secara pasti representasi waktufrekuensi dari sebuah sinyal, yang artinya seseorang tidak dapat mengetahui komponen spektral apa saja yang ada pada satu waktu. Yang dapat diketahui seseorang adalah selang waktu di mana rentang frekuensi tertentu muncul, yang merupakan masalah resolusi. Masalah dengan Transformasi Fourier Waktu Singkat berkaitan dengan penentuan lebar fungsi jendela yang digunakan. Pada transformasi Fourier kita tahu pasti frekuensi apa yang eksis, yang artinya transformasi Fourier memiliki resolusi frekuensi yang sempurna. Yang memberikan resolusi sempurna pada transformasi Fourier ini adalah fakta bahwa fungsi jendela yang digunakan adalah fungsi transformasinya sendiri, yang lebarnya memanjang dari minus

28 tidak berhingga hingga tidak berhingga. Pada Transformasi Fourier Waktu Singkat, lebar fungsi jendela yang digunakan terbatas, sehingga hanya mencakup sebagian sinyal, yang menyebabkan resolusi frekuensinya kurang baik. Yang dimaksud kurang baik di sini adalah kita tidak lagi tahu secara pasti komponen frekuensi apa yang ada pada sinyal, tetapi kita hanya tahu rentang frekuensi yang ada. Singkatnya, masalah yang dihadapi Transformasi Fourier Waktu Singkat adalah dilema dalam penentuan lebar fungsi jendela. Lebar fungsi jendela yang sempit menghasilkan resolusi waktu yang baik tetapi resolusi frekuensi frekuensi yang buruk. Sedangkan fungsi jendela yang lebar menghasilkan resolusi frekuensi yang baik tetapi resolusi waktu yang buruk. Transformasi wavelet dikembangkan sebagai pendekatan alternatif atas Transformasi Fourier Waktu Singkat untuk mengatasi masalah resolusi. Analisa wavelet dilakukan dengan cara yang mirip seperti analisa Transformasi Fourier Waktu Singkat, dalam artian sinyal dikalikan dengan sebuah fungsi (wavelet), yang mirip dengan fungsi jendela pada Transformasi Fourier Waktu Singkat, dan transformasinya dihitung secara terpisah untuk tiap-tiap segmen yang berbeda dari sinyal domain waktu (ruang). Tetapi ada dua perbedaan mendasar antara transformasi wavelet dengan Transformasi Fourier Waktu Singkat: a. Transformasi Fourier dari sinyal yang telah dilewatkan oleh fungsi jendela tidak dihitung. b. Lebar dari fungsi jendela berubah untuk setiap perhitungan transformasi atas setiap komponen spektral, yang mungkin merupakan karakterisktik utama transformasi wavelet.

29 Tidak seperti Transformasi Fourier Waktu Singkat yang resolusinya konstan pada setiap waktu dan frekuensi karena konstannya fungsi jendela, transformasi wavelet memiliki resolusi yang berbeda-beda karena fungsi jendela yang digunakan adalah fungsi-fungsi wavelet anak yang berbeda-beda, yang merupakan hasil turunan dari satu wavelet induk. Transformasi wavelet memiliki resolusi waktu yang baik dan reolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi, dan resolusi frekuensi yang baik dan resolusi waktu yang buruk pada frekuensi rendah. 2.5 Wavelet Orthogonal dan Wavelet Biorthogonal 2.5.1 Wavelet Orthogonal Wavelet orthogonal adalah wavelet yang transformasi waveletnya bersifat orthogonal. Agar dapat dikatakan orthogonal, wavelet harus memenuhi kondisi orthogonalitas, yaitu (2.24) dimana adalah fungsi delta Kronecker, yang didefiniskan sebagai (2.25) Pada wavelet diskrit, persamaan di atas dapat ditulis sebagai (2.26) dengan h(k) adalah koefisien-koefisien fungsi skala. Persamaan di atas berarti bahwa koefisien-koefisien fungsi skala bersifat orthogonal dengan setiap koefisien-koefisien fungsi skala yang telah digeser sejumlah angka genap.

30 Koefisien-koefisien fungsi wavelet g(k) dapat dibentuk dari koefisien-koefisien fungsi skala dengan Persamaan (2.17). Dalam wavelet orthogonal, hanya terdapat satu fungsi basis (fungsi skala). Invers transformasi waveletnya merupakan adjoin dari transformasi waveletnya. Hal ini berarti pasangan filternya memenuhi sifat H=H* dan G=G*, dimana H dan G adalah pasangan filter analisa (filter untuk transformasi wavelet), sedangkan H* dan G* adalah pasangan filter sintesa (filter untuk invers transformasi wavelet). Transformasi wavelet orthogonal bersifat preservasi energi. Hal ini berarti bahwa sinyal pada domain wavelet yang merupakan hasil dari transformasi wavelet orthogonal akan memiliki energi yang sama dengan sinyal pada domain aslinya. 2.5.2 Wavelet Biorthogonal Wavelet biorthogonal merupakan perluasan dari wavelet orthogonal. Istilah biorthogonal merujuk pada adanya 2 fungsi basis atau fungsi skala yang orthogonal satu sama lain, tetapi masing-masing tidak membentuk set ortogonal. Merancang wavelet biorthogonal memiliki derajat kebebasan yang lebih tinggi daripada wavelet orthogonal. Salah satunya adalah dimungkinkannya membentuk fungsi wavelet yang simetris. Wavelet biorthogonal sangat berguna dalam aplikasi pemrosesan citra. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada wavelet biorthogonal terdapat 2 fungsi skala yang orthogonal satu sama lain. Pada wavelet diskrit, kondisi orthogonalitasnya memenuhi persamaan berikut.

31 (2.27) dengan h(k) adalah koefisien-koefisien fungsi skala pertama yang digunakan pada transformasi wavelet, dan h*(k) adalah koefisien-koefisien fungsi skala kedua yang digunakan pada invers transformasi wavelet. Koefisien-koefisien fungsi wavelet g(k) dan g*(k) bisa didapatkan dari koefisien-koefisien fungsi skala melalui persamaan berikut. (2.28) (2.29) 2.5.3 Wavelet Daubechies 9/7 Wavelet Daubechies 9/7 merupakan wavelet biorthogonal yang memainkan peranan penting dalam kompresi citra lossy dan reduksi noise pada citra. Wavelet ini telah terbukti sangat sukses dalam kompresi citra sehingga telah diadopsi oleh standar baru kompresi citra, JPEG 2000. Wavelet Daubechies 9/7 didefinisikan oleh koefisien-koefisien yang ditunjukkan dalam tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1 Koefisien-Koefisien Wavelet Daubechies 9/7

32 k Koefisien skala analisis h(k) Koefisien wavelet analisis g(k) Koefisien skala sintesis h*(k) Koefisien wavelet sintesis g*(k) -4 0.0378284554956993 0 0 0.0378284554956993-3 -0.0238494650131592 0.0645388826835489-0.0645388826835489 0.0238494650131592-2 -0.110624404085811-0.0406894176455255-0.0406894176455255-0.110624404085811-1 0.377402855512633-0.418092272881996 0.418092272881996-0.377402855512633 0 0.852698678836979 0.788485616984644 0.788485616984644 0.852698678836979 1 0.377402855512633-0.418092272881996 0.418092272881996-0.377402855512633 2-0.110624404085811-0.0406894176455255-0.0406894176455255-0.110624404085811 3-0.0238494650131592 0.0645388826835489-0.0645388826835489 0.0238494650131592 4 0.0378284554956993 0 0 0.0378284554956993 Menggunakan koefisien-koefisien di atas, bentuk umum filter analisa lolos bawah adalah H m = (0,..,0,h(-4),h(-3),h(-2),h(-1),h(0),h(1),h(2),h(3),h(4),0,..,0) dengan H m+1 adalah pergeseran oleh 2 unit waktu (ruang) dari H m. Demikian pula, bentuk umum filter analisa lolos atas adalah G m = (0,,0,g(-3),g(-2),g(-1),g(0),g(1),g(2),g(3),0,,0) dengan G m+1 adalah pergeseran oleh 2 unit waktu (ruang) dari G m. Kekuatan utama dari Daubechies 9/7 adalah bahwa koefisien wavelet analisis memenuhi persamaan-persamaan berikut (hingga akurasi 10-9 ): g(-3) + g(-2) + g(-1) + g(0) + g(1) + g(2) + g(3) = 0 (-3)g(-3) + (-2)g(-2) + (-1)g(-1) + 0 g(0) + 1g(1) + 2g(2) + 3g(3) = 0 (-3) 2 g(-3) + (-2) 2 g(-2) + (-1) 2 g(-1) + 0 2 g(0) + 1 2 g(1) + 2 2 g(2) + 3 2 g(3) = 0 (-3) 3 g(-3) + (-2) 3 g(-2) + (-1) 3 g(-1) + 0 3 g(0) + 1 3 g(1) + 2 3 g(2) + 3 3 g(3) = 0 Persamaan-persamaan ini mengimplikasikan bahwa kapanpun nilai-nilai sebuah sinyal mendekati sebuah rangkaian konstan, linear, kuadratik, atau kubik, dalam jangkauan wavelet analisa Daubechies 9/7, maka nilai fluktuasi yang dihasilkan oleh produk skalar dari wavelet dengan sinyal adalah akan mendekati

33 0. Untuk banyak sinyal yang menghasilkan banyak nilai fluktuasi kecil, hal ini merupakan properti penting dalam kompresi dan pengurangan noise. Lebih jauh lagi, koefisien skala analisis memenuhi persamaan dan h(-4) + h(-3) + h(-2) + h(-1) + h(0) + h(1) + h(2) + h(3) + h(4) = 2 (-4)h(-4) + (-3)h(-3) + (-2)h(-2) + (-1)h(-1) + 0h(0) + 1h(1) +2h(2) + 3h(3) + 4h(4) = 0 yang mengimplikasikan bahwa nilai-nilai tren pada setiap tingkatan seringkali hampir menyamai sebuah sinyal analog. Properti ini membuat penafsiran mudah terhadap nilai-nilai tren, terutama dalam pemrosesan citra. Daubechies 9/7 merupakan wavelet biorthogonal. Tetapi, transformasi wavelet Daubechies 9/7 sangat mendekati preservasi energi. Sehingga dalam aplikasi seperti kompresi dan pengurangan noise, Daubechies 9/7 dapat diaplikasikan seakan-akan bersifat orthogonal (presevervasi energi). 2.6 Transformasi Wavelet 2 Dimensi 2.6.1 Citra Diskrit Sebuah citra diskrit f adalah matriks berukuran M baris dan N kolom dari angka riil: (2.30) Nilai dari f adalah angka riil MN {f j,k }. Jika f adalah nilai sampel dari sebuah fungsi g(x,y) pada titik sampel (x j,y k ) pada koordinat Kartesian, maka matriks f bisa dinyatakan dalam bentuk:

34 (2.31) Seperti pada sinyal 1 dimensi, citra 2 dimensi dapat dianggap sebagai sampel dari sebuah fungsi g(x,y). Merupakan hal yang memudahkan untuk memandang sebuah citra diskrit dalam 1 dari 2 cara berikut. Pertama, sebagai sebuah kolom tunggal yang mengandung M sinyal yang memiliki panjang N, (2.32) dengan barisnya adalah sinyal-sinyal. Kedua, sebagai sebuah baris tunggal yang mengandung N sinyal dengan panjang M, ditulis sebagai kolom, (2.33),dengan kolomnya adalah sinyal-sinyal

35. 2.6.2 Transformasi Wavelet 2 Dimensi Sebuah transformasi wavelet 2 dimensi dari sebuah citra diskrit dapat dilakukan kapanpun citra memiliki jumlah baris dan jumlah kolom yang genap. Sebuah level transformasi wavelet 1 tingkat dari sebuah citra f didefinisikan, menggunakan transformasi wavelet 1 dimensi, dengan melakukan beberapa langkah berikut. 1. Lakukan sebuah transformasi wavelet 1 dimensi 1 tingkat pada setiap baris dari f, yang akan menghasilkan sebuah citra baru. 2. Pada citra baru yang dihasilkan dari langkah pertama, lakukan transformasi wavelet 1 dimensi yang sama pada setiap kolomnya. Kedua langkah ini dapat dibalik dan hasilnya akan tetap sama. Sebuah transformasi wavelet 1 tingkat dari sebuah citra f dapat disimbolisasikan sebagai berikut: (2.34) di mana masing-masing sub-citra a 1,h 1,v 1, dan d 1 memiliki M/2 baris dan N/2 kolom. Gambar 2.5 berikut merupakan contoh transformasi wavelet 2 dimensi pada sebuah citra menggunakan wavelet Coif6.

36 (a) (b) Gambar 2.5 Transformasi wavelet 2 dimensi (a) citra utuh (b) citra hasil transformasi Coif6 1-tingkat Sub-citra a 1 atau subband LL didapat dengan menghitung nilai-nilai tren sepanjang baris-baris dari f, kemudian diikuti dengan menghitung nilai-nilai tren sepanjang kolom-kolom f, jadi a 1 merupakan nilai versi resolusi rendah dari citra f. Pada gambar 2.5 di atas, sub-citra a 1 dari gambar (a) muncul di bagian kiri atas gambar (b). Sub-citra h 1 atau subband LH diciptakan dengan menghitung nilai-nilai tren sepanjang baris-baris dari f, kemudian diikuti dengan menghitung nilai-nilai fluktuasi sepanjang kolom-kolom f. Hal ini cenderung memunculkan tepian horizontal, seperti dapat dilihat pada gambar 2.5 (b) bagian kiri bawah. Dari gambar tampak bahwa tepian vertikal yang memanjang tidak muncul pada h 1. Karena hal ini, kita dapat menyebut h 1 sebagai fluktuasi horisontal. Sub-citra v 1 atau subband HL mirip dengan sub-citra h 1, kecuali bahwa peran dari vertikal dan horisontal dibalik. Sub-citra v 1 ditunjukkan pada gambar

37 2.5 (b) bagian kanan atas. Perhatikan bahwa tepian horisontal terhapus, sedangkan tepian horisontal muncul. Dari sini, kita dapat menyebut v 1 sebagai fluktuasi vertikal. Terakhir, ada fluktuasi diagonal d 1 atau subband HH. Sub-citra ini cenderung memunculkan fitur diagonal, karena ia diciptakan dari nilai-nilai fluktuasi sepanjang baris-baris dan kolom-kolom. Sebagai contoh, pada gambar 2.5 (b), fluktuasi diagonal muncul pada bagian kanan bawah, dan tampak jelas bahwa detil diagonal dimunculkan sedangkan tepian horisontal dan vertikal terhapus. Perlu diperhatikan bahwa prinsip-prinsip dasar analisis wavelet 1 dimensi tetap berlaku pada sistem 2 dimensi. Sebagai contoh, fakta bahwa nilai fluktuasi secara umum lebih kecil daripada nilai tren tidak berubah. Selain itu, transformasi wavelet 2 dimensi juga masih memiliki sifat preservasi energi. Ketika pada langkah pertama dilakukan transformasi wavelet 1 dimensi pada baris, terjadi preservasi energi, yaitu citra yang didapat di langkah pertama memiliki energi yang sama dengan citra asli. Hal yang sama terjadi juga pada langkah kedua. Seperti pada wavelet 1 dimensi, transformasi wavelet 2 dimensi juga melakukan pemadatan energi. Sebagian besar energi dari citra sukses dilokalisasi ke dalam sub-citra tren yang semakin dan semakin kecil. Seperti pada wavelet 1 dimensi, transformasi wavelet 2 dimensi multitingkatan dilakukan dengan mengiterasi transformasi 1 dimensi pada nilai sebelumnya.

38 2.7 Metode Reduksi Noise Berbasis Wavelet Pada sub-bab ini akan dijelaskan beberapa metode pengurangan noise pada citra yang akan digunakan. Semua metode yang akan dijelaskan berikut merupakan metode yang berbasis wavelet, sehingga perlu dilakukan transformasi wavelet terhadap citra terlebih dahulu sebelum menerapkan metode untuk mengurangi noise pada citra. Dalam penjelasan selanjutnya, diasumsikan persamaan mendeskripsikan sinyal atau citra noisy yang didapat dari citra bersih ditambah dengan noise. Transformasi wavelet dari sinyalsinyal tersebut dinotasikan dengan dan. Karena transformasi wavelet bersifat linear, maka berlaku. 2.7.1 Thresholding Thresholding adalah salah satu metode pengurangan noise yang paling sederhana dan menjadi dasar bagi beberapa metode pengurangan noise yang lain. Untuk melakukan thresholding, terlebih dahulu ditetapkan sebuah nilai yang dianggap sebagai batas atau threshold. Nilai threshold ini ditetapkan sedemikian rupa supaya besarnya melebihi nilai-nilai fluktuasi yang kecil yang mewakili noise pada citra yang dianalisis. Kemudian dilakukan operasi thresholding pada. Ada 2 jenis thresholding, yaitu hard thresholding dan soft thresholding. Rumus untuk hard thresholding adalah berikut: (2.35) sedangkan rumus untuk soft thresholding adalah berikut:

39 (2.36) dengan y adalah nilai-nilai pada sinyal dan λ menyatakan nilai threshold. 2.7.2 VisuShrink Teknik VisuShrink ini diperkenalkan oleh David Donoho dan Johnstone pada tahun 1994. Secara orisinil, teknik VisuShrink ini adalah pengaplikasian soft thresholding menggunakan universal threshold, yang didapatkan dengan rumus (2.37), dengan σ menyatakan simpangan baku noise, dan n menyatakan besar sinyal atau jumlah data pada sinyal. Walaupun secara aslinya metode VisuShrink ini menggunakan soft thresholding, hard thresholding juga dapat digunakan untuk melakukan VisuShrink. Simpangan baku σ didapatkan melalui rumus estimasi median berikut. (2.38) Kelemahan utama dari VisuShrink ini adalah sangat kaburnya gambar hasil pengurangan noise. Hal ini disebabkan oleh penggunaan universal threshold yang nilainya terlalu tinggi. Dari hasil percobaan, secara relatif nilai threshold yang menghasilkan hasil yang optimal untuk teknik VisuShrink ini adalah untuk penggunaan soft thresholding dan jika menggunakan hard thresholding. Kelemahan lainnya adalah penggunaan satu nilai threshold untuk melakukan shrinkage terhadap seluruh bagian citra, tanpa

40 memperhatikan statistik lokal dari subband dan tingkatan dekomposisi wavelet yang berbeda-beda. 2.7.3 BayesShrink Sebuah algoritma untuk thresholding yang bergantung pada distribusi lokal dari koefisien-koefisien wavelet, yang disebut BayesShrink, mengusulkan digunakannya nilai threshold yang berbeda untuk sub-band dan level transformasi wavelet yang berbeda. Karena isi dari sub-band antara tingkatan yang satu dengan yang lain adalah berbeda, penggunaan beberapa threshold yang nilai bergantung pada distribusi lokal dari nilai-nilai yang ada lebih masuk akal daripada menggunakan sebuah threshold uniform untuk semua subband-nya pada setiang tingkatan dekomposisi. Pada BayesShrink, threshold universal tidak digunakan pada seluruh tingkatan dekomposisi wavelet. BayesShrink menggunakan beberapa threshold yang berbeda untuk setiap sub-band yang berbeda pada level dekomposisi yang berbeda. BayesShrink mengadopsi pendekatan Bayesian yang berasumsi bahwa distribusi peluang dari sinyal asli diketahui dan berusaha mengoptimalkan nilai threshold dengan tujuan meminimalkan peluang resiko. Secara lebih rinci, diasumsikan koefisien-koefisien wavelet, berukuran dan terletak pada subband {horisontal, vertikal, diagonal} dari level dekomposisi {1,2,...,J} dapat dimodelkan dengan distribusi Gaussian umum atau Generalized Gaussian Distribution (GGD).

41 Untuk menentukan nilai threshold Bayes, parameter GGD, yaitu simpangan baku dan parameter bentuk, perlu diestimasi. Parameter tidak perlu secara eksplisit dimasukkan ke persamaan. Maka dari itu, kita cukup langsung mengestimasi. Model observasi kita adalah, dengan X adalah sinyal asli, Y sinyal terkontaminasi dan W adalah noise. Karena X dan W independen satu sama lain, maka berlaku (2.39), dimana adalah ragam dari noise dan adalah ragam dari Y yang dapat dihitung dengan: (2.40), dengan adalah ukuran subband yang sedang dipermasalahkan. Nilai threshold optimal dapat dihitung dengan rumus berikut. (2.41), dimana (2.42) Jika, maka diambil. Hal ini berarti, atau dalam prakteknya. Secara ringkas, metode thresholding BayesShrink melakukan soft thresholding dengan threshold optimal yang bersifat adaptif, digerakkan oleh

42 data, dan bergantung pada subband dan tingkatan dekomposisi, yang diberikan oleh rumus (2.43) untuk setiap subband {horisontal, vertikal, diagonal} dan tiap level dekomposisi. Seperti diilustrasikan dalam Tabel 2.2, BayesShrink menggunakan nilai threshold optimal yang berlainan tidak hanya dari satu level dekomposisi ke yang lain, tetapi juga dari satu subband ke subband yang lain. Perhatikan bahwa untuk skala yang lebih halus (level dekomposisi rendah atau resolusi tinggi), digunakan nilai threshold yang lebih besar, dan untuk skala yang lebih kasar (level dekomposisi tinggi atau resolusi rendah), digunakan nilai threshold yang relatif lebih kecil. Tabel 2.2 Contoh threshold optimal untuk beberapa level dekomposisi wavelet dalam metode BayesShrink untuk sebuah citra dengan simpangan baku noise = 25 Threshold Level Dekomposisi Wavelet Horisontal Vertikal Diagonal 1 130.09 77.66 219.09 2 43.42 25.90 55.99 3 16.43 9.52 17.92 4 6.82 3.62 7.34 5 3.04 1.18 2.70

43 Jelas bahwa metode thresholding BayesShrink lebih adaptif daripada VisuShrink karena ia beradaptasi dengan variabilitas yang terdapat dalam tiap subband dan level dekomposisi wavelet dengan menggunakan nilai threshold yang berbeda. 2.7.4 Algoritma Cycle Spin Walaupun dapat mereduksi noise, metode thresholding wavelet masih memiliki kekurangan. Salah satu masalah dengan penggunaan transformasi wavelet tradisional yang paling umum adalah sering munculnya artifak visual yang mengganggu, yaitu fenomena pseudo-gibbs yang cenderung mudah diperhatikan pada bagian tepi. Hal ini muncul karena tidak adanya invariansi pergeseran dari basis wavelet. Untuk mengurangi masalah ini, dapat digunakan teknik cycle spin. Cycle spin mendapatkan atribut invariansi pergeseran dengan cara merata-ratakan semua pergeseran dari citra digital. Lebih lengkapnya, citra digital digeser secara vertikal, horisontal atau diagonal, kemudian dilakukan reduksi noise terhadap citra hasil pergeseran menggunakan metode thresholding wavelet, kemudian menggeser balik citra yang telah direduksi noisenya. Hal ini dilakukan sebanyak beberapa pergeseran, kemudian seluruh hasilnya dirata-ratakan. Karena pada dasarnya algoritma cycle spin adalah pengulangan, maka algoritma ini sangat konsumtif secara komputasi. Melakukan algoritma ini sebanyak K pergeseran untuk metode reduksi noise apapun akan memultiplikasi kompleksitas komputasi sebanyak K kali.

44 2.7.5 Context-Based Thresholding Untuk sebuah nilai threshold λ, operasi soft thresholding dan hard thresholding secara alami bersifat global dan non-adaptif. Mereka diaplikasikan pada koefisien-koefisien wavelet dengan cara yang sama tanpa memperhatikan lokasi atau konteksnya. Koefisien threshold hanya bergantung pada nilai koefisien noise dan independen terhadap koefisien tetangga atau konteksnya. Walaupun transformasi wavelet melakukan dekorelasi hingga batas tertentu, terbukti bahwa ada sejumlah redundansi dalam pohon dekomposisi wavelet. Faktanya, struktur citra natural pada umumnya memiliki kesamaan antara skala-skala resolusi dari koefisien-koefisien waveletnya. Sebagai contoh, koefisien wavelet yang koresponden dengan sub-area beraktivitas tinggi (sepeti tepian) seringkali berkumpul dan tersalin melintasi berbagai resolusi dan subband dari pohon wavelet seperti pada Gambar 2.6 berikut. Gambar 2.6 Pohon dekomposisi wavelet gambar Lenna

45 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ada dependensi hingga tingkat tertentu antara koefisien-koefisien wavelet yang bertetangga yang berkoresponden dengan sub-area beraktivitas tinggi pada citra. Maka, melakukan thresholding terhadap koefisien-koefisien ini secara independen merupakan hal yang kurang baik. Seperti dijelaskan di atas, tampaknya merupakan hal yang beralasan untuk mempertimbangkan beberapa konteks dari tiap koefisien wavelet sebelum melakukan thresholding. Ada banyak cara untuk mendefinisikan sebuah konteks yang sesuai untuk sebuah koefisien wavelet. Di sini akan dijelaskan sebuah operasi thresholding yang bersifat context-based dan terlokalisasi. Sebuah konteks sederhana, yang memuat koefisien-koefisien wavelet tetangga yang berpusat pada koefisien yang hendak di-threshold dipertimbangkan. Yaitu, untuk setiap koefisien wavelet,, konteksnya didefinisikan oleh mask berukuran yang berpusat pada, dinotasikan sebagai. Untuk konteks ini, nilai maksimum dari konteks ini adalah yang didefinisikan sebagai berikut: (2.44) Untuk sebuah nilai threshold λ, digunakan operator context-based soft dan hard thresholding yang telah termodifikasi berikut: a. Operator context-based hard thresholding (2.45)

46 b. Operator context-based soft thresholding (2.46) Pada bab 2 ini telah dijelaskan teori-teori yang menjadi dasar dalam pengembangan program aplikasi reduksi noise. Teori-teori tadi menjelaskan secara ilmiah istilah-istilah dan metode yang digunakan, serta proses-proses yang akan dilakukan oleh program aplikasi untuk mereduksi noise pada citra digital. Pada bab berikutnya akan dijelaskan secara mendetail rancangan untuk program aplikasi reduksi noise yang akan dikembangkan.