BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan yang sebenarnya, atau merupakan suatu penjabaran yang sudah dikaji.

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 2.1 Rambu yield

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buah ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau bersilangan.

BAB III LANDASAN TEORI. lebih sub-pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan belok-kanan dan/atau belok-kiri

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. simpang terutama di perkotaan membutuhkan pengaturan. Ada banyak tujuan dilakukannya pengaturan simpang sebagai berikut:

DAFTAR ISTILAH KARAKTERISTIK LALU LINTAS. Arus Lalu Lintas. UNSUR LALU LINTAS Benda atau pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas.

DAFTAR ISI. Judul. Lembar Pengesahan. Lembar Persetujuan ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional fasilitas simpang dan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai pertemuan dari jalan-jalan yang terlibat pada sistem jaringan jalan

2.6 JALAN Jalan Arteri Primer Jalan Kolektor Primer Jalan Perkotaan Ruas Jalan dan Segmen Jalan...

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. yang mempegaruhi simpang tak bersinyal adalah sebagai berikut.

DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 7 (Tujuh)

EVALUASI DAN PERENCANAAN LAMPU LALU LINTAS KATAMSO PAHLAWAN

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama.

BAB IV ANALISIS DATA. Data simpang yang dimaksud adalah hasil survey volume simpang tiga

BAB II LANDASAN TEORI. bertemu dan lintasan arus kendaraan berpotongan. Lalu lintas pada masingmasing

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Pemberlakuan Rekayasa Lalulintas Terhadap Derajat Kejenuhan Pada Simpang Jalan Pajajaran dan Jalan Pasirkaliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Persimpangan adalah titik pada jaringan jalan tempat jalan-jalan bertemu dan

Nursyamsu Hidayat, Ph.D.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIMPANG TANPA APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. lintas (traffic light) pada persimpangan antara lain: antara kendaraan dari arah yang bertentangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONDISI DAN KARAKTERISTIK LALU LINTAS

STUDI KINERJA SIMPANG LIMA BERSINYAL ASIA AFRIKA AHMAD YANI BANDUNG

UNSIGNALIZED INTERSECTION

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Ruas Jalan A. Data Umum, Kondisi Geometrik, Gambar dan Detail Ukuran

MANAJEMEN LALU LINTAS SIMPANG SURAPATI SENTOT ALIBASA DAN SEKITARNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan penting

TINJAUAN PUSTAKA. Simpang jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari beberapa

Kajian Kinerja Persimpangan Jalan Harapan Jalan Sam Ratulangi Menurut MKJI 1997

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

SIMPANG BER-APILL. Mata Kuliah Teknik Lalu Lintas Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saling berhubungan atau berpotongan dimana lintasan-lintasan kendaraan

EVALUASI KINERJA SIMPANG HOLIS SOEKARNO HATTA, BANDUNG

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. saling berpotongan, masalah yang ada pada tiap persimpangan adalah kapasitas jalan dan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Kondisi Lingkungan Jalan Simpang Bersinyal Gejayan KODE PENDEKAT

BAB III LANDASAN TEORI. A. Simpang Jalan Tak Bersinyal

BAB 3 METODOLOGI. Tahapan pengerjaan Tugas Akhir secara ringkas dapat dilihat dalam bentuk flow chart 3.1 dibawah ini : Mulai

Kata kunci : Tingkat Kinerja, Manajemen Simpang Tak Bersinyal.

IV. ANALISA DATA BAB IV ANALISIS DATA. 4.1 Geometri Simpang. A B C D. Gambar 4.1 Geometri Jl. Sompok Baru IV - 1.

Teknik Sipil Itenas No.x Vol.xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Juli 2014

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR

MANAJEMEN LALU LINTAS DI SEKITAR JALAN RAYA ABEPURA DI JAYAPURA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persimpangan Sistem jaringan jalan terdiri dari 2 (dua) komponen utama yaitu ruas (link) dan persimpangan (node).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan

ANALISIS KARAKTERISTIK DAN KINERJA SIMPANG EMPAT BERSINYAL (Studi Kasus Simpang Empat Telukan Grogol Sukoharjo) Naskah Publikasi Tugas Akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(2) Untuk approach dengan belok kiri langsung (LTOR) W E dapat dihitung untuk pendekat dengan atau tanpa pulau lalulintas, seperti pada Gambar 3.2.

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL DAN ANALISA. kondisi geometrik jalan secara langsung. Data geometrik ruas jalan Kalimalang. a. Sistem jaringan jalan : Kolektor sekunder

BAB III LANDASAN TEORI

PERENCANAAN LAMPU PENGATUR LALU LINTAS PADA PERSIMPANGAN JALAN SULTAN HASANUDIN DAN JALAN ARI LASUT MENGGUNAKAN METODE MKJI

BAB 2 LANDASAN TEORI

EVALUASI GEOMETRIK DAN PENGATURAN LAMPU LALU LINTAS PADA SIMPANG EMPAT POLDA PONTIANAK

JURNAL EVALUASI KINERJA SIMPANG TAK BERSINYAL PADA SIMPANG TIGA JALAN CIPTOMANGUNKUSUMO JALAN PELITA KOTA SAMARINDA.

ANALISIS KINERJA SIMPANG TIGA PADA JALAN KOMYOS SUDARSO JALAN UMUTHALIB KOTA PONTIANAK

BAB III LANDASAN TEORI

Dari gambar 4.1 maka didapat lebar pendekat sebagai berikut;

SATUAN ACARA PERKULIAHAN ( SAP ) Mata Kuliah : Rekayasa Lalulintas Kode : CES 5353 Semester : V Waktu : 1 x 2 x 50 menit Pertemuan : 10 (Sepuluh)

ANALISA KINERJA SIMPANG TIDAK BERSINYAL DI RUAS JALAN S.PARMAN DAN JALAN DI.PANJAITAN

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR ANALISIS KINERJA SIMPANG BERSINYAL (STUDI KASUS : SIMPANG EMPAT BERSINYAL DEMANGAN) ABSTRAK

PENGENDALIAN LALU LINTAS 4 LENGAN PADA PERSIMPANGAN JL. RE. MARTADINATA JL. JERANDING DAN PERSIMPANGAN JL. RE. MARTADINATA JL. HARUNA KOTA PONTIANAK

EVALUASI SIMPANG BERSINYAL ANTARA JALAN BANDA JALAN ACEH BANDUNG

TUNDAAN DAN TINGKAT PELAYANAN PADA PERSIMPANGAN BERSIGNAL TIGA LENGAN KAROMBASAN MANADO

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

STUDI KINERJA SIMPANG BERSINYAL JALAN CIPAGANTI BAPA HUSEN BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KINERJA SIMPANG TAK BERSINYAL GONDANG KOTA SURAKARTA

langsung. Survei dilakukan dengan pengukuran lebar pendekat masing-masing

Waktu hilang total : LTI = 18 KONDISI LAPANGAN. Tipe Lingku ngan Jalan. Hambatan Samping Tinggi/ren dah. Belok kiri langsung Ya/Tidak

ANALISA KINERJA SIMPANG JALAN MANADO BITUNG JALAN PANIKI ATAS MENURUT MKJI 1997

EVALUASI KINERJA SIMPANG BERSINYAL ANTARA JALAN BANDA JALAN ACEH, BANDUNG, DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK KAJI

BAB 4 PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISTILAH DAN DEFINISI

BAB IV ANALISA PEMBAHASAN DAN PEMECAHAN MASALAH

KINERJA SIMPANG LIMA TAK BERSINYAL JL. TRUNOJOYO, BANDUNG FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA MARANATHA BANDUNG

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMBANG, NOTASI DAN SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN

Simpang Tak Bersinyal Notasi, istilah dan definisi khusus untuk simpang tak bersinyal di bawah ini :

BAB IV PEMBAHASAN. arus dan komposisi lalu lintas. Kedua data tersebut merupakan data primer

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diambil kesimpulan:

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Simpang Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, atau merupakan suatu penjabaran yang sudah dikaji. Simpang adalah simpul pada jaringan jalan, dimana jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan berpotongan dan merupakan tempat yang potensial terjadinya kecelakaan, karena didalamnya mengandung konflik-konflik antara kendaraan dengan kendaraan lainnya atau kendaraan dengan pejalan kaki akibat penggunaan ruang bersama di dalam simpang. Maka dapat disimpulkan bahwa analisis simpang adalah penyelidikan terhadap suatu simpang yang merupakan tempat perpotongan lintasan kendaraan, guna mengetahui keadaan yang sebenarnya saat ini, demi menghindari konflikkonflik persimpangan. Di daerah perkotaan, persimpangan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan. Masalah yang terkait dengan persimpangan adalah: 1) Volume dan kapasitas yang secara langsung mempengaruhi hambatan. 2) Desain geometrik dan kebebasan samping 3) Kecelakaan dan keselamatan jalan, kecepatan, lampu jalan. 4) Parkir, akses dan pembangunan yang sifatnya umum 5) Pejalan kaki 6) Jarak antar persimpangan II-1

Terdapat empat jenis dasar dari alih gerak kendaraan, yaitu: a) Memisah atau berpencar (diverging) Gambar 2.1 Gerak Kendaraan Diverging b) Menyatu atau bergabung (merging) Gambar 2.2 Gerak Kendaraan Merging c) Memotong atau melintas (crossing) Gambar 2.3 Gerak Kendaraan Crossing d) Menggabung dan menyilang dalam arah menjalin yang sama (weaving) Gambar 2.4 Gerak Kendaraan Weaving II-2

Rancangan persimpangan dilakukan untuk mengendalikan kecepatan kendaraan yang melalui persimpangan serta mengendalikan dan mengurangi atau menghilangkan gerak berpotongan. Jumlah potensial titik konflik pada persimpangan tergantung pada: a. Jumlah arah gerak b. Jumlah kaki pada persimpangan c. Jumlah lajur pada setiap kaki persimpangan d. Pengaturan simpang 2.2 Geometrik Simpang Berdasarkan Standard Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan Dirjen Bina Marga, Direktorat Pembinaan Jalan Perkotaan Tahun 1992, bahwa persimpangan merupakan bagian terpenting untuk mencapai nilai efisiensi, keamanan, kecepatan, biaya operasi dan kapasitas lalulintas. Tingkat keselamatan dan efisiensi pemanfaatan persimpangan sangat bergantung pada geometrik persimpangan dengan cara pengendalian lalulintas. Dengan memperbaiki geometrik persimpangan dan pengendalian lalulintas yang benar, maka terjadinya kecelakaan dapat dicegah serta menjamin kelancaran arus lalulintas. 2.3 Pengendalian Persimpangan Metode pengendalian pergerakan kendaraan pada persimpangan diperlukan agar kendaraan kendaraan yang melakukan gerakan konflik tersebut tidak akan saling bertabrakan. Konsep yang utama pada pengendalian II-3

persimpangan adalah sistem prioritas, yaitu suatu aturan untuk menentukan kendaraan mana yang dapat berjalan terlebih dahulu. Beberapa hal menurut Iskandar, 1998, yang harus dipahami betul dalam membangun sistem prioritas adalah sebagai berikut : 1. Aturan prioritas harus secara jelas dimengerti oleh semua pengemudi. 2. Prioritas harus terbagi dengan baik, sehingga setiap orang mempunyai kesempatan untuk bergerak. 3. Prioritas harus terorganisasi, sehingga titik titik konflik dapat diperkecil. 4. Keputusan - keputusan yang harus dilakukan oleh pengemudi harus dijaga agar sesederhana mungkin. 5. Jumlah hambatan total terhadap lalulintas harus sekecil mungkin. Aturan prioritas yang sifatnya umum adalah pemberian kesempatan bagi kendaraan yang datang dari kiri untuk berjalan terlebih dahulu, prinsip ini cukup efisien untuk lalulintas volume rendah yang kecepatannya rendah. Akan tetapi hal ini akan menimbulkan masalah apabila volume lalulintas meningkat, misalnya seperti pada daerah daerah perkotaan. Selanjutnya diluar kota, persimpangan yang demikian akan menimbulkan masalah apabila kendaraan bergerak dari jalan kecil berkecepatan rendah untuk masuk ke jalan utama berkecepatan tinggi, artinya kemungkinan shock wave akan terjadi lebih sering sehingga delay akan tinggi pula. Perlu diingat, jika semakin kompleksnya pergerakan di suatu simpang, maka akan semakin kompleks pula sistem pengaturannya. II-4

Sasaran yang harus dicapai pada pengendalian persimpangan antara lain adalah: a. Mengurangi atau menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang disebabkan adanya titik-titik konflik. b. Menjaga agar kapasitas persimpangan beroperasi secara optimal sesuai rencana. c. Harus memberikan petunjuk yang jelas dan pasti serta sederhana, dan mengarahkan arus lalulintas yang menggunakan persimpangan. 2.4 Jenis dan Sistem Pengaturan Simpang Secara umum, terdapat dua sistem pengaturan simpang, yaitu: 1) Simpang tanpa syarat lampu (priority intersection), atau biasa dikenal dengan simpang tak bersinyal 2) Simpang dengan syarat lampu (signalize intersection), atau yang dikenal dengan nama simpang bersinyal. Bila dikaji secara rinci dalam sistem pengaturan simpang dapat dibedakan menjadi : 1. Aturan prioritas. 2. Penggunaan rambu dan marka (yields sign, stop sign, channelization). 3. Bundaran. 4. Penggunaan traffic signals (lampu lalulintas). Ciri khusus yang membedakan jenis simpang tersebut adalah jumlah konflik antara pergerakan dan adanya fase berjalan dari kaki-kaki simpang yang diatur. II-5

2.5 Karakteristik Kendaraan Pengetahuan terhadap jenis dan karakteristik kendaraan adalh faktor yang mendasar dalam perencanaan geometrik jalan raya. Pengklasifikasian kendaraan dibagi dalam empat kategori, yaitu: 1) Kendaraan Ringan (Light Vehicle) Kendaraan ringan adalah kendaraan bermotor yang memiliki dua as dengan empat roda yang memiliki jarak as 2.0 3.0 m. Contohnya : mobil penumpang, microbus, dan pick up. Kendaraan ringan sering disebut juga dengan LV. 2) Kendaraan Berat (Heavy Vehicle) Kendaraan berat yang dimaksud adalah kendaraan bermotor yang memiliki 2 atau 3 gandar, dengan jarak 5.0 6.0 m, atau kendaraan truk kombinasi tiga, jarak gandar (gandar pertama dan kedua) < 3.5 m. Kendaraan yang masuk klasifikasi ini disebut juga dengan HV. 3) Sepeda Motor (Motor cycle) yang mauk dalam kriteria kendaraan ini adalah kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda, meliputi: sepeda motor dan kendaraan bermotor roda tiga, seperti yang diklasifikasikan oleh Bina Marga. Kendaraan jenis ini disebut juga dengan MC. 4) Kendaraan tak bermotor (Unmotorized) Kendaraan tak bermotor adalah kendaraan yang digerakan oleh orang atau hewan, meliputi: sepeda, becak, kereta kuda, kereta dorong, sesuai sistem klasifikasi Bina Marga. Kendaraan tak bermotor disebut juga UM. II-6

2.6 Simpang Tak Bersinyal Sesuai dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, bahwa berdasarkan jumlah kaki simpangnya, maka simpang terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Simpang Empat Lengan 2. 2. Simpang Tiga Lengan Beberapa tujuan dalam mengendalikan simpang tak bersinyal secara umum, yaitu: 1) Menjaga agar kapasitas persimpangan dapat beroperasi optimal. 2) Mengendalikan kecepatan kendaraan yang melalui persimpangan dan mengendalikan gerakan yang berpotongan. 3) Mengurangi dan menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan, akibat adanya konflik di persimpangan. 4) Memberikan petunjuk yang jelas dalam mengarahkan arus lalulintas yang menggunakan persimpangan. Sistem pengaturan yang dapat digunalan dalam pengendalian simpang tak bersinyal, diantaranya: II-7

1. Aturan prioritas Kategori jalan yang ada dibedakan menjadi jalan mayor dan jalan minor, yang membedakannya adalah jumlah atau kondisi volume kendaraan, bukan dari dimensi geometrik simpang. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengaturan simpang tak bersinyal dengan metode prioritas adalah kemungkinan perilaku kendaraan yang menuju simpang serta jumlah kendaraan yang melewati simpang tersebut. 2. Penggunaan rambu dan marka a. Yields Signs Sistem pengaturan ini, digunakan terutama untuk melindungi volume lalulintas dari salah satu kaki simpang yang saling berpotongan tanpa harus berhenti secara penuh. b. Stop Signs Digunakan jika pengendara di kaki simpang harus berhenti secara penuh, yang disebabkan alasan tertentu sebelum memasuki persimpangan. Dalam pengaturan ini dikenal istilah Two Way control dan Four way Control, yang artinya setiap kaki simpang diharuskan berhenti seluruhnya atau hanya sebagian. c. Channelization Sistem pengaturan ini dimaksudkan untuk memisahkan lajur lalulintas menerus dan lajur yang membelok. Geometriknya berbentuk pulau ataupun marka jalan, dimana dengan pengaturan ini, arah pergerakan lalulintas dapat dilakukan secara jelas dan tegas. II-8

3. Bundaran Bundaran merupakan alternatif lain jika arus pada lengan relatif seimbang, terdapat volume yang cukup tinggi untuk arah pergerakan ke kanan dan lengan simpang lebih dari empat lengan. 2.6.1 Arus Lalulitas Masing-masing kendaraan memiliki karakteristik pergerakan yang berbeda sesuai dengan dimensi, kecepatan, percepatan, maupun kemampuan manuver yang dimiliki. Dalam perencanaan lalulintas, untuk menyamakan satuan arus dari berbagai jenis kendaraan yang mempunyai karakteristik yang berbedabeda tersebut, digunakanlah suatu satuan yang disebut satuan mobil penumpang (smp). Tabel 2.1 di bawah memaparkan besarnya emp yang direkomendasikan sesuai pengertian MKJI 1997 untuk simpang tak bersinyal. Kelas Jenis Kendaraan Satuan Mobil Penumpang LV Sedan, Jeep, Opelet, Pick up, Microbus 1.00 HV Bus standar, Truk sedang, Truk berat 1.30 MC Sepeda Motor 0.50 UM Dokar, becak, Sepeda, dll 1.00 Tabel 2.1 Besarnya Satuan Mobil Penumpang Simpang Tak Bersinyal II-9

2.6.2 Kapasitas Total Simpang Tak Bersinyal (C) Sesuai Metode MKJI 1997, kapasitas total seluruh lengan simpang adalah merupakan hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) yang didapat dari kondisi tertentu (ideal) dengan faktor koreksi (F) yang memperhitungkan pengaruh kondisi sesungguhnya terhadap kapasitas atau dapat juga ditulis seperti rumus di bawah: C C = Co x F = Co x F w x F M x F CS x F RSU x F LT x F RT x F MI dimana: C Co F F W F M F CS F RSU : Kapasitas simpang (smp/jam) : Kapasitas dasar simpang (smp/jam) : faktor koreksi : Faktor koreksi lebar pendekat : Faktor koreksi median jalan : Faktor koreksi ukuran kota : Faktor koreksi lingkungan jalan, hambatan samping dan kendaraan tak bermotor F LT F RT F MI : Faktor koreksi belok kiri : Faktor koreksi belok kanan : Faktor koreksi arus jalan minor Variabel-variabel tersebut diatas dapat juga diringkas seperti terdapat pada tabel 2.2 di bawah ini, yang telah disesuaikan dengan MKJI 1997, tabel 2.1:1, halaman 3-10. II-10

Tipe Variabel Uraian Variabel dan Nama Masukan Faktor Model Geometri Tipe simpang IT Lebar rata-rata pendekat W 1 F W Tipe median jalan utama M F M Lingkungan Kelas ukuran kota CS F CS Tipe lingkungan jalan RE Hambatan samping SF Rasio kendaraan tak bermotor P UM F RSU Lalulintas Rasio belok-kiri P LT F LT Rasio belok-kanan P RT F RT Rasio Arus jalan minor Q MI /Q TOT F MI Tabel 2.2 Ringkasan Variabel-Variabel Masukan Model Kapasitas 2.6.3 Kapasitas Dasar Simpang (Co) Kapasitas dasar sebuah simpang ditentukan oleh tipe simpangnya. Tipe simpang menentukan jumlah lengan simpang, jumlah lajur pada jalan utama dan jalan minor, dimana tipe simpang dibuat dengan kode tiga angka, seperti tabel 2.3 di bawah, sesuai MKJI 1997, tabel B-1:1, halaman 3-32. Kode IT Jumlah Lengan Simpang Jumlah Lajur Jalan Minor Jumlah Lajur Jalan Utama 322 3 2 2 324 3 2 4 342 3 4 2 II-11

Kode IT Jumlah Lengan Simpang Jumlah Lajur Jalan Minor Jumlah Lajur Jalan Utama 422 4 2 2 424 4 2 4 Tabel 2.3 KodeTipe Simpang Sementara tabel 2.4 menjabarkan kapasitas yang dimiliki sesuai tipe simpang, seperti dijabarkan pada MKJI 1997, tabel B-2:1, halaman 3-33. Kode IT Kapasitas Dasar (smp/jam) 322 2700 342 2900 324 atau 344 3200 422 2900 424 atau 444 3400 Tabel 2.4 Kapasitas Dasar Menurut Tipe Simpang 2.6.4 Faktor Koreksi Lebar Pendekat (Fw) Faktor koreksi lebar pendekat dapat diperoleh dari gambar 2.5 di bawah, yang merujuk pada MKJI 1997, gambar B-3:1, halaman 3-33, dimana variabel masukan untuk faktor koreksi lebar pendekat ini adalah lebar rata-rata semua pendekat W 1 dan tipe simpang IT. II-12

Gambar 2.5 Faktor Koreksi Lebar Pendekat 2.6.5 Faktor Koreksi Median Jalan (Fm) Faktor koreksi median jalan ditentukan oleh lebarnya median jalan yang ada seperti disebutkan pada tabel 2.5, sesuai MKJI 1997, tabel B-4:1, halaman 3-34. Median yang lebih besar secara otomatis akan memperluas daerah yang dapat digunakan untuk persilangan lalu lintas. Uraian Tipe M F M Tidak ada median jalan utama Tidak ada 1.00 Ada median jalan utama, lebar < 3m Sempit 1.05 Ada median jalan utama, lebar 3m Lebar 1.20 Tabel 2.5 Faktor Koreksi Median Jalan II-13

2.6.6 Faktor Koreksi Ukuran Kota (Fcs) Dengan merujuk pada tabel B-5:1, halaman 3-34 pada MKJI 1997, faktor koreksi akibat ukuran kota yang dipengaruhi jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel 2.6 di bawah. Ukuran Kota Jumlah Penduduk (Juta) F CS Sangat Kecil < 0.1 0.82 Kecil 0.1 0.5 0.88 Sedang 0.5 1.0 0.94 Besar 1.0 3.0 1.00 Sangat Besar > 3.0 1.05 Tabel 2.6 Faktor Koreksi Ukuran Kota Dari tabel tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa semakin banyak jumlah penduduk, maka faktor koreksi akibat pengaruh ukuran kota juga semakin besar. 2.6.7 Faktor Koreksi Pengaruh Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan kendaraan Tak bermotor (Frsu) Menurut MKJI 1997, tipe lingkungan jalan dibagi menjadi 3 kelompok sesuai guna tata guna tanah dan aksesibilitas jalan tersebut dari aktivitas-aktivitas sekitarnya. Pengelompokan tersebut yaitu: II-14

1) Komersial Tata guna lahan komersial dapat dimisalkan pertokoan, rumah makan, perkantoran. Dimana jalan masuknya langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan. 2) Permukiman Pada tata guna pemukiman atau tempat tinggal, jalan masuk juga langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan 3) Akses Terbatas Akses terbatas diartikan tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung yang terbatas. Misalnya jalan samping, jalan yang terdapat penghalang fisik. Koefisien reduksi yang ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan jalan, hambatan samping dan kendaraan tak bermotor disebutkan pada tabel 2.6, dimana lingkungan jalan terbagi atas 3 pengelompokan seperti yang telah dijelaskan di atas. Koefisien pada tabel 2.7 seperti yang disyaratkan pada MKJI 1997, tabel B- 6:1, halaman 3-35. Lingkungan Jalan Hambat an Samping Rasio jumlah kendaraan tidak bermotor terhadap jumlah kendaraan bermotor 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 Tinggi 0.93 0.88 0.84 0.79 0.74 0.70 Komersial Sedang 0.94 0.89 0.85 0.80 0.75 0.70 Rendah 0.95 0.90 0.86 0.81 0.76 0.71 Tinggi 0.96 0.91 0.86 0.82 0.77 0.72 Permukiman Sedang 0.97 0.92 0.87 0.82 0.77 0.73 Rendah 0.98 0.93 0.88 0.83 0.78 0.74 II-15

Lingkungan Jalan Akses Terbatas Hambat an Samping Tinggi / Sedang / Rendah Tabel 2.7 Rasio jumlah kendaraan tidak bermotor terhadap jumlah kendaraan bermotor 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 1.00 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 Faktor Koreksi Lingkungan Jalan Dapat dilihat pada tabel di atas, bahwa lingkungan yang membatasi akses cenderung lebih kecil dalam mereduksi kapasitas simpang. Makin meningkat rasio jumlah kendaraan tidak bermotor terhadap jumlah, maka makin besar reduksi terhadap kapasitas simpang dan semakin tinggi kelas hambatan samping, maka semakin besar reduksi kapasitas simpangnya. Pada lampiran-1 dan 2 di halaman lampiran, dapat juga dilihat hubungan antara tundaan rat-rata (det/smp) dan arus simpang total untuk tipe simpang dan kondisi arus yang berbeda (daerah permukiman, ukuran kota 1-3 juta penduduk, hambatan samping sedang). 2.6.8 Faktor Koreksi Belok Kiri (Flt) Faktor koreksi akibat pengaruh arus belok kiri merupakan koreksi dari persentase seluruh gerakan lalu lintas yang belok kiri pada persimpangan. Sesuai MKJI 1997, F LT dapat dihitung dengan: F LT = 0.84 + 1.61 P LT II-16

dengan: F LT : Faktor koreksi belok kiri P LT : Proporsi arus belok kiri terhadap arus total sebuah simpang Semakin besar proporsi arus belok kiri di suatu simpang, maka akan membuat kapasitas simpang tersebut semakin besar pula. Hal ini kemunginan besar disebabkan oleh kecilnya konflik yang ditimbulkan oleh gerakan belok kiri. Sesuai MKJI 1997, proporsi arus belok kiri yang digunakan adalah antara 0 hingga 0.5. Faktor penyesuaian belok kiri juga ditentukan pada gambar 2.6 berikut, sesuai MKJI 1997, gambar B-7:1, halaman 3-36. Gambar 2.6 Faktor Koreksi belok kiri II-17

2.6.9 Faktor Koreksi Belok Kanan (Frt) Sesuai MKJI 1997, faktor koreksi akibat pengaruh belok kanan pada sebuah simpang, dapat dijabarkan dengan: F RT = 1.09 0.922 P RT dengan: F RT : Faktor pengaruh proporsi belok kanan P RT : Proporsi arus belok kanan terhadap arus total sebuah simpang Berbanding terbalik dengan kondisi yang dikibatkan proporsi belok kiri, pada proporsi belok kanan, jika proporsinya diperbesar, maka akan membuat kapasitas simpang tersebut menjadi kecil. Hal ini dikarenakan konflik yang terjadi yang ditimbulkan oleh gerakan belok kanan akan menjadi besar. Sesuai MKJI 1997, proporsi arus belok kanan yang digunakan juga sama seperti proporsi belok kiri, yaitu diantara 0 hingga 0.5. Faktor penyesuaian belok kanan dapat ditentukan pada gambar 2.7 di bawah, yang sesuai dengan MKJI 1997, gambar B-8:1, halaman 3-37. Gambar 2.7 Faktor Koreksi Belok Kanan II-18

2.6.10 Faktor Koreksi Proporsi Arus Jalan Minor (Fmi) Faktor pengaruh rasio arus jalan minor terhadap arus total dapat dilihat pada gambar 2.8 di bawah, sesuai MKJI 1997, gambar B-9:1, halaman 3-38. Gambar 2.8 Faktor Koreksi Arus Jalan Minor terhadap Kapasitas Simpang Sementara itu, tabel 2.8 berikut menunjukan bahwa setiap tipe simpang memiliki rentang rasio arus jalan minor seperti yang disyaratkan pada MKJI 1997, gambar B-9:1, halaman 3-38. IT FMI PMI 422 1.19xP 2 MI 1.19xP MI + 1.19 0.1 0.9 424 16.6xP 4 MI 33.3xP 3 MI + 25.3xP 2 MI 8.6xP MI + 1.95 0.1 0.3 444 1.11xP 2 MI 1.11xP MI + 1.11 0.3 0.9 322 342 1.19xP 2 MI 1.19xP MI + 1.19 0.1 0.5-0.595xP 2 3 MI + 0.595xP MI + 0.74 0.5 0.9 1.19xP 2 MI 1.19xP MI + 1.19 0.1 0.5 2.38xP 2 MI 2.38xP MI + 1.49 0.5 0.9 II-19

IT FMI PMI 324 16.6xP 4 MI 33.3xP M I 3 + 25.3xP 2 MI 8.6xP MI + 1.95 0.1 0.3 344 1.11xP 2 MI 1.11xP MI + 1.11 0.3 0.5-0.555xP 2 MI + 0.555xP MI + 0.69 0.5 0.9 Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor 2.6.11 Derajat Kejenuhan (DS) Derajat kejenuhan (DS) akan menyatakan tingkat kepadatan yang terjadi akibat pergerakan kendaraan yang melewati simpang. Nilai DS merupakan hasil bagi atau rasio dari besarnya volume dengan kapasitas simpang yang ada dan dinyatakan dengan rumus: DS = Q smp = Qkend x Fsmp C C dimana: Qsmp Qkend Fsmp : Arus total (smp/jam) : Arus total (kend/jam) : Faktor smp, yang dihitung dari: (emplv x LV% + emphv x HV% + empmc x MC%) 100 C : Kapasitas (smp/jam) II-20

2.6.12 Tundaan Tundaan pada simpang dapat terjadi karena 2 sebab, yaitu: 1) TUNDAAN LALU LINTAS (DT) akibat interaksi lalu lintas dengan gerakan yang lain dalam simpang. 2) TUNDAAN GEOMETRIK (DG) akibat perlambatan dan percepatan kendaraan yang terganggu dan tak terganggu. Tundaan geometrik (DG) dapat dihitung dengan: DS < 1.0 : DG = (1-DS) x (PTx6 + (1-PT)x3) + (DSx4) DS 1.0 : DG = 4 dengan: DS : Derajat kejenuhan PT : Rasio arus belok terhadap arus total. 6 : Tundaan geometrik normal untuk kendaraan belok yang tak terganggu (det/smp) 4 : Tundaan geometrik normal untuk kendaraan belok yang terganggu (det/smp) Sehingga Tundaan Simpang (D) merupakan hasil penjumlahan tundaan yang diakibatkan oleh lalu lintas dan geometrik atau secara empiris: D = DT + DG Besarnya nilai tundaan akan menyatakan besarnya gangguan yang diperoleh oleh kendaraan yang melewati simpang. Menurut MKJI 1997, besarnya tundaan ratarata untuk seluruh simpang, tundaan jalan simpang (minor) dan tundaan jalan utama (mayor), didapat dari kurva tundaan untuk derajat kejenuhan yang empiris, II-21

seperti yang terlihat pada gambar 2.9 (MKJI 1997, gambar C.2:1, halaman 3-40) dan gambar 2.10 (MKJI 1997, gambar C-2:2, halaman 3-41). Gambar 2.9 Tundaan Lalulintas Simpang VS Derajat Kejenuhan Gambar 2.10 Tundaan Lalulintas Jalan Utama VS Derajat Kejenuhan II-22

Tundaan akan meningkat secara berarti seiring dengan pertambahan total volume kendaraan (volume kendaraan di jalan mayor dan minor). Tundaan lalu lintas terbagi juga seperti dijelaskan di bawah ini: 1) TUNDAAN SELURUH SIMPANG (DT), yakni tundaan lalu lintas rata-rata untuk semua kendaraan bermotor yang masuk simpang 2) TUNDAAN PADA JALAN MINOR (DT MI ), yakni tundaan lalu lintas ratarata untuk semua kendaraan bermotor yang masuk simpang dari jalan minor. 3) TUNDAAN PADA JALAN MAYOR (DT rata-rata. Tundaan lalu lintas simpang (simpang tak bersinyal, simpang bersinyal dan bundaran) dalam MKJI 1997 didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: a) Kecepatan referensi 40 km/jam b) Kecepatan belok kendaraan tak terhenti 10 km/jam c) Tingkat percepatan dan perlambatan 1.5 m/dt MA ), yakni tundaan lalu lintas d) Kendaraan terhenti mengurangi kecepatan untuk menghindari tundaan perlambatan, sehingga hanya menimbulkan tundaan percepatan. Dengan mengetahui lamanya tundaan per kendaraan, kita dapat mengetahui tingkat pelayanan sebuah jalan. Adapun penggolongannya seperti pada tabel 2.9 berikut. 2 Tingkat Pelayanan Tundaan per kendaraan (dt) A 5.0 B 5.1 15.0 C 15.1 25.0 D 25.1 40.0 II-23

Tingkat Pelayanan Tundaan per kendaraan (dt) E 40.1 60.0 F > 60 Tabel 2.9 Tingkat Pelayanan Simpang 2.6.13 Peluang Antrian Peluang antrian dinyatakan pada range nilai yang didapat dari kurva hubungan antara peluang antrian (QP%) dengan derajat kejenuhan (DS) seperti grafik di bawah ini, sesuai MKJI 1997, gambar C-3:1, halaman 3-43. Gambar 2.11 Rentang Peluang Antrian (QP%) Terhadap Derajat Kejenuhan (DS) 2.7 Simpang Bersinyal Simpang bersinyal adalah simpang yang memiliki sinyal lalulintas yang berfungsi untuk mengatur saat pergerakan dan lamanya waktu kendaraan untuk II-24

berjalan di kaki simpang. Simpang bersinyal diperlukan pada saat arus lalulintas mulai meninggi, yakni ketika waktu tunggu kendaraan dalam melintasi sebuah simpang memerlukan waktu yang cukup lama. Fungsi utama dari sinyal lalulintas adalah untuk menghindarkan arah pergerakan kendaraan yang saling berpotongan atau melalui titik konflik pada saat yang sama. Perhitungan simpang bersinyal berdasarkan MKJI 1997, merupakan perhitungan yang terpisah dalam setiap pendekat. Satu lengan simpang dapat terdiri lebih dari satu lebar pendekat. Tipe pendekat dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Terlindung (P), dimana arus berangkat tanpa konflik dengan lalulintas dari arah berlawanan. 2. Terlawan (O), dimana arus berangkat dengan konflik dengan lalulintas dari arah berlawanan. 2.7.1 Arus Lalulintas Simpang Bersinyal Sama halnya pada perhitungan simpang tak bersinyal, arus lalulintas yang digunakan untuk perhitungan simpang bersinyal ini harus terlebih dahulu dikonversikna ke satuan smp (satuan mobil penumpang). Adapun nilai emp yang digunakan untuk simpang bersinyal dapat dilihat pada tabel berikut ini. II-25

Kelas Jenis Kendaraan Satuan Mobil Penumpang Terlindung Terlawan LV Sedan, Jeep, Opelet, Pick up, Microbus 1.00 1.00 HV Bus standar, Truk sedang, Truk berat 1,30 1,30 MC Sepeda Motor 0.20 0.40 Tabel 2.10 Besarnya Satuan Mobil Penumpang Simpang Bersinyal 2.7.2 Kapasitas Simpang Bersinyal (C) Besarnya kapasitas simpang bersinyal dipengaruhi oleh arus jenuh yang tergantung pada jumlah kendaraan yang bisa dilepas pada saat hikau dan waktu hijau serta waktu siklus yang teah ditentukan. Secara matematik dirumusakan sebagai berikut: C = S x g/c Dimana, C = Kapasitas (smp/jam) S = Arus jenuh (smp/jam) c = Waktu siklus (detik) g = Waktu hijau (detik) 2.7.3 Arus Jenuh Simpang Bersinyal (S) Arus jenuh berdasarkan MKJI 1997 adalah besarnya keberangkatan antrian di dalam suatu pendekat selama kondisi yang di tentukan (smp/jam), atau dapat dikatakan bahwa arus jenuh adalah keadaan dimana kendaraan membutuhkan II-26

beberapa waktu untuk memulai pergerakan saat lampu berwarna hijau sampai dengan antrian kecepatan relatif normal. Arus jenuh ditetukan dengan rumus : S = So x Fcs x Fsf x Fg x Fp x Frt x Flt Dimana, S : Arus jenuh (smp/jam) So Fcs Fsf Fg Fp Frt Flt : Arus jenuh dasar : Faktor koreksi ukuran kota : Faktor koreksi hambatan samping : Faktor koreksi kelandaian gradien : Faktor koreksi parkir : Faktor koreksi belok kanan : Faktor koreksi belok kiri 2.7.4 Arus Jenuh Dasar (So) Besarnya arus jenuh dasar tergantung dari tipe pendekatnya. a) Tipe terlindung (P) So = 600 x We (smp/jam hijau) Dimana We adalah lebar pendekat (m). Arus jenuh untuk tipe ini dapat juga dilihat melalui gambar 2.12 di bawah ini yang sesuai dengan MKJI 1997, gambar C-3:1, halaman 2-49. II-27

Gambar 2.12 Arus Jenuh Dasar Untuk Pendekat Tipe P b) Tipe terlawan (O) Besarnya So pada tipe terlawan ini dipengaruhi oleh adanya pendekat tanpa lajur belok kanan atau pendekat yang mempunyai lajur belok kanan terpisah. Pendekat tanpa lajur belok kanan, So ditentukan melalui gambar 2.13 berikut, sesuai MKJI 1997, gambar C-3:2, halaman 2-51. II-28

Gambar 2.13 Arus Jenuh Dasar Untuk Pendekat Tipe O Tanpa Lajur Belok Kanan Terpisah II-29

Sementara pendekat dengan lajur belok kanan terpisah, So ditentukan melalui gambar 2.14 berikut, sesuai MKJI 1997, gambar C-3:3, halaman 2-52. Gambar 2.14 Arus Jenuh Dasar Untuk Pendekat Tipe O Dengan Lajur Belok Kanan Terpisah II-30

2.7.5 Faktor Koreksi Ukuran Kota (Fcs) Faktor ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk kota. Tabel 2.11 adalah Fcs untuk pendekat terlindung maupun terlawan, sesuai MKJI 1997, Tabel C-4:3, halaman 2.53. Penduduk kota (juta jiwa) Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs) > 3.0 1.05 1.0 3.0 1.00 0.5 1.0 0.94 0.1 0.5 0.83 < 0.1 0.82 Tabel 2.11 Faktor Koreksi Ukuran Kota 2.7.6 Faktor Koreksi Hambatan Samping (Fsf) Fsf merupakan fungsi dari tipe lingkungan jalan, tingkat hambatan samping dan rasio kendaraan tak beremotor. Jika hambatan samping tidak diketahui, maka dapat diasumsikan nilai yang tinggi untuk Fsf, agar tidak terjadi over estimate untuk kapasitas. Fsf ditentukan pada tabel 2.12 di bawah ini, sesuai MKJI 1997, tabel C- 4:4, halaman 2.53. II-31

Lingkungan Hambatan Tipe Fase Rasio Kendaraan Tak bermotor Jalan Samping 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 Komersial (COM) Pemukiman (RES) Akses Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi / Terlawan 0.93 0.88 0.84 0.79 0.74 0.70 Terlindung 0.93 0.91 0.88 0.87 0.85 0.81 Terlawan 0.94 0.89 0.85 0.80 0.75 0.71 Terlindung 0.94 0.92 0.89 0.88 0.86 0.82 Terlawan 0.95 0.90 0.86 0.81 0.76 0.72 Terlindung 0.95 0.93 0.90 0.89 0.87 0.83 Terlawan 0.96 0.91 0.86 0.81 0.78 0.72 Terlindung 0.96 0.94 0.92 0.89 0.86 0.84 Terlawan 0.97 0.92 0.87 0.82 0.79 0.73 Terlindung 0.97 0.95 0.93 0.90 0.87 0.85 Terlawan 0.98 0.93 0.88 0.83 0.80 0.74 Terlindung 0.98 0.96 0.94 0.91 0.88 0.86 Terlawan 1.00 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 Terbatas (RA) Sedang / Rendah Terlindung 1.00 0.98 0.95 0.93 0.90 0.88 Tabel 2.12 Faktor Koreksi Hambatan Samping 2.7.7 Faktor Koreksi Kelandaian Gradien (Fg) Faktor koreksi kelandaian gradien merupakan fungsi dari kelandaian lengan simpang yang ditentukan oleh gambar 2.15 berikut, sesuai MKJI 1997, gambar C-4:1, halaman 2.54. II-32

Gambar 2.15 Faktor Koreksi Kelandaian 2.7.8 Faktor Koreksi Parkir (Fp) Faktor koreksi parkir adalah jarak dari garis henti ke kendaraan yang parkir pertama. Fp ditentukan oleh gambar 2.16 berikut yang mengacu pada KJI 1997, gambar C-4:2, halaman 2-54. Fp juga dapat dihitung dengan rumus: Fp = [Lp/3 (WA 2) x (Lp/3 g) /WA] / g Dimana, Lp WA g : Jarak antara garis henti dan kendaraan yang diparkir pertama (m) : Lebar pendekat (m) : Waktu hijau pada pendekat (nilai normal 26 det) II-33

Gambar 2.16 Faktor Koreksi Untuk Pengaruh Parkir & Lajur Belok Kiri yang Pendek 2.7.9 Faktor Korekasi Belok Kanan (Frt) Faktor koreksi ini hanya dipakai untuk pendekat tipe terlindung (P), jalan 2 arah, tanpa median, dan lebar efektif yang ditentukan oleh lebar masuk. Frt dapat dihitung dengan rumus: Frt = 1.0 + Prt x Dimana Prt adalah rasio belok kanan. Nilai Frt dapat juga ditentukan oleh gambar 2.17 di bawah ini, sesuai ketentuan MKJI 1997, gambar C-4:3, halaman 2-55. II-34

Gambar 2.17 Faktor Koreksi Untuk Belok Kanan 2.7.10 Faktor Koreksi Belok Kiri (Flt) Faktor koreksi ini hanya dipakai untuk pendekat tipe terlindung (P) tanpa LTOR (belok kiri langsung) dan lebar efektif yang ditentukan oleh lebar masuk. Flt dapat dihitung dengan rumus: Flt = 1.0 + Plt x 0.16 Dimana Plt adalah rasio belok kiri. Nilai Flt dapat juga ditentukan oleh gambar 2.18 di bawah ini, sesuai ketentuan MKJI 1997, gambar C-4:4, halaman 2-56. II-35

Gambar 2.18 Faktor Koreksi Untuk Belok Kiri 2.7.11 Waktu Siklus a) Waktu Siklus Sebelum penyesuaian (Cua) Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua) dihitung dengan rumus atau diperoleh melalui gambar 2.19 berikut ini, sesuai MKJI 1997, gambar C- 6:1, halaman 2-59. Cua = (1.5 x LTI + 5) / (1 IFR) Dimana, Cua LTI IFR : Waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (detik) : Waktu hilang total per siklus (detik) : Rasio arus simpang II-36

Gambar 2.19 Penetapan Siklus Sebelum Penyesuaian b) Waktu Hijau (g) Waktu hijau (g) untk masing-masing fase dapat dihitung dengan rumus beriku: gi = (Cua LTI) x PRi Dimana, gi Cua LTI PRi : Tampilan waktu hijau pada masing-masing fase (detik) : Waktu siklus sebelum penyesuaian (detik) : Waktu hilang total per siklus (lost time) : Rasio fase Waktu Hijau minimal yang diijinkan adalah 10 detik. Hal ini guna menghindari pelanggaran lampu lalulintas yang berlebihan dan kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan. II-37

c) Waktu Siklus Yang Disesuaikan (C) Waktu siklus ini berdasarkan pada pembulatan waktu hijau (g) yang diperoleh dan waktu hilang total per siklua (LTI). C = g + LTI Dimana, C g LTI : Waktu siklus yang disesuaikan : Waktu hijau : Waktu hilang total per siklus (lost time) 2.7.12 Penentuan Lampu Lalulintas a) Fase Dalam 1 siklus terdapat beberapa fase dan untuk menetapkan pola fase yang paling efisien, perlu dilakukan percobaan-percobaan pola fase. Pada umumnya digunakan 2 sampai dengan 4 fase. b) Periode Antar Hijau (Intergreen) Kapasitas juga ditentukan oleh periode antar hijau. Waktu antar hijau diperlukan guna menjamin keamanan kendaraan yang melewati simpang pada saat detik akhir hijau, agar tidak tertabrak kendaraan yang mendapatkan fase berikutnya. Periode antar hijau biasanya disimbolkan sebagai: I = Kuning + All red II-38

c) Diagram Fase Hasil akhir dari suatu perhitungan simpang bersinyal adalah diagram fase, yang merupakan diagram pengaturan pergerakan kendaraan pada suatu simpang ketika lampu berwarna merah, kuning, hijau dan all red. II-39