DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Ternak sapi dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama daging. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Namun penyediaan daging sapi belum mencukupi kebutuhan konsumsi yang terus mengalami peningkatan. Salah satu penyebabnya adanya laju pertumbuhan populasi sapi potong yang menurun. Laju pertumbuhan populasi sapi yang menurun ini diakibatkan oleh pengelolaan yang masih bersifat tradisional (Siregar, 2009). Selanjutnya Didy (2009), menjelaskan bahwa, usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi yang terus meningkat adalah dengan cara penggemukan sapi potong dengan menajemen yang baik sehingga, untuk masa yang akan datang Indonesia tidak perlu lagi mengimpor daging sapi dari luar negeri karena, produksi daging sapi yang telah memenuhi. Dalam usaha penggemukan sapi potong, selain dapat memperbaiki kualitas daging, menaikkan harga jual ternak, menghindari pemotongan sapi usia produktif, juga dapat meningkatkan nilai tambah dari pupuk kandang yang dihasilkan ternak sapi. Untuk memperoleh hasil yang optimal, terdapat beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian dari peternak dalam pengelolaan usaha pengembangan sapi potong, yaitu: a. Pemilihan bibit b. Sistem penggemukan c. Pakan dan cara pemberiannya d. Penyediaan kandang e. Penyediaan dan pencegahan penyakit (Syafrial dkk. 2007).
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 5 2.2. Penyakit Pada Ternak Sapi Penyakit pada ternak secara umum terbagi dua yaitu, penyakit infeksius dan penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab penyakit antara lain virus, bakteri dan parasit. Sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan selain agen infeksi misalnya akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral, keracunan dan pakan (Triakoso, 2009). Parasit adalah yang paling sering menyebabkan penyakit pada ternak. Parasit pada ternak dapat berupa parasit hewan seperti cacing dan kutu, selain parasit hewan, jamur dan bakteri juga sering menginfeksi sapi (Nofyan dkk. 2010). Penyakit yang disebabkan oleh parasit umumnya menyerang ternak muda yang dipelihara dengan tata laksana yang kurang baik seperti tidak dikandangkan, kondisi kandang yang kurang baik, tidak pernah dimandikan, konsumsi hijauan yang masih berembun serta tercemar vektor pembawa cacing dan selalu digembalakan pada lahan yang tergenang air (Widnyana, 2013). Selanjutnya Arum (2009) menyebutkan selain cacing parasit, lalat dan nyamuk juga sering mengganggu ternak sapi potong yang dapat menyebabkan penyakit koreng. Lalat dan nyamuk muncul apabila terjadi pergantian musim secara berkepanjangan. Penyakit kecacingan pada ternak sapi merupakan penyakit yang secara ekonomis merugikan karena sapi yang terserang penyakit kecacingan ini akan mengalami hambatan pertambahan berat tubuh. Berdasarkan survei di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90 % hewan ternak sapi dan kerbau mengidap penyakit cacingan yaitu cacing hati (Fasciola hepatica), cacing gelang (Neoascaris vitolorum) dan cacing lambung (Haemonchus contortus) (Erwin dkk. 2010). Selanjutnya Iskandar (2007), dari hasil penelitian yang dilakukannya menjelaskan bahwa sekitar bulan September 2005 di peternakan sapi Cicurug, Sukabumi sering terjadi kematian mendadak pada hewan ternak sapi dengan gejala klinis diare, setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 40 sampel darah dan 10 sampel feses dari sapi-sapi yang digemukkan di salah satu peternakan di Cicurug, Sukabumi terutama disebabkan oleh agen parasit. Dari hasil pemeriksaan feses positif ditemukan Fasciola gigantica, Mecistocirrus
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 6 digitatus dan Coccidia. Penyakit akibat parasit dapat menyebabkan kematian hospes apabila jumlah investasi yang banyak. Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing fasciola. Penyakit Fasciolosis mengakibatkan gangguan metabolisme lemak, protein dan karbohidrat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan. Fasciolosis juga menjadi zoonosis penting di berbagai Negara di dunia. Penularan Fasciolosis dapat terjadi bila manusia terkontaminasi metaserkaria melalui konsumsi tanaman air yang tercemar metaserkaria, infeksi juga dapat terjadi akibat meminum air yang mengandung metaserkaria dan mengonsumsi makanan serta peralatan dapur yang dicuci dengan air yang mengandung metaserkaria (Hambal dkk. 2013). Taeniasis adalah penyakit parasitier disebabkan oleh cacing pita dari genus taenia. Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan pada orang-orang yang mempunyai kebiasaan konsumsi daging sapi mentah atau dimasak kurang sempurna. Pencegahan taeniasis pada manusia dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kurang matang (Estuningsih, 2009). Pengetahuan penyakit-penyakit pada ternak akan sangat membantu mengetahui perbedaan-perbedaan gejala klinis dan perubahan-perubahan patologi pada ternak. Pengetahuan tersebut akan sangat membantu untuk menggali informasi sejarah penyakit secara efektif, mengamati dengan baik perubahan fisik, postur, fisiologis serta melakukan pemeriksaan fisik dengan baik dan benar sehingga dapat diperoleh informasi yang cukup guna menegakkan diagnosa infeksi kecacingan pada hewan ternak (Triakoso, 2009). 2.3. Karakteristik Cacing Parasit Pada Sapi 2.3.1. Cacing Hati (Fasciola hepatica) Cacing dewasa Fasciola hepatica mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30x13 mm. pada bagian interior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1,6 mm. saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ujung sekum (Gambar 2.1). Cacing ini sering ditemukan pada sapi, biri-biri, kambing dan hewan pemakan tumbuhan lainnya (Gandahusada dkk. 1998).
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 7 Fasciola hepatica memiliki telur yang berbentuk oval, mempunyai tutup, berwarna kuning atau kecoklatan dan berukuran 130-150 mikron (Gambar 2.1). Telur yang belum matang, keluar bersama feses. Pematangan dalam air membutuhkan suhu optimal 22 C-25 C selama 9-15 hari. Setelah itu mirasidium menetas dari telur, dalam waktu 8 jam mirasidium harus menembus keong air untuk melanjutkan pertumbuhannya. Keong yang bertindak sebagai hospes intermedietnya adalah jenis Lymnaea. Dalam keong mirasidium menjadi sporokis muda. Dalam waktu tiga minggu, sporokis menghasilkan redia induk, yang pada minggu berikutnya mengandung redia anak. Redia tumbuh menjadi serkaria. Serkaria yang sudah matang akan meninggalkan keong untuk hidup bebas dalam air. Beberapa lama dalam air serkaria akan melepaskan ekornya dan merambat pada berbagai tanaman air seperti rerumputan, kemudian menjadi metaserkaria. Metaserkaria dapat hidup dalam waktu yang lama di tempat yang lembab, tetapi akan cepat mati dalam waktu kekeringan (Irianto, 2009). Hewan ternak yang merumput di padang gembalaan tanpa pengawasan peternak, maka ternak tersebut dapat mengalami infeksi oleh metaserkaria yang terdapat pada rumput. Metaserkaria dapat bertahan pada jerami dan tanaman lain yang dijadikan sebagai makanan hewan ternak sekitar 28 hari pada suhu 5-10 C, sehingga pada kelembaban udara yang lebih tinggi mempunyai daya infeksi sampai 70 hari (Pusarawati dkk. 2007). Oral sucker Operculum (a) (b) Gambar 2.1. Cacing Fasciola Hepatica; (a). Cacing Fasciola hepatica dewasa (b). Telur cacing Fasciola hepatica (Perbesaran 40x10) (Tantri dkk. 2013)
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 8 2.3.2. Cacing Pita (Taenia saginata) Cacing pita Taenia saginata memiliki panjang tubuh 4-12 m, tetapi pada kondisi menguntungkan dapat mencapai 25 m. tubuh terdiri dari skoleks (kepala), leher dan strobila. Strobila terdiri dari 1000-2000 proglotid (Gambar 2.2). Skoleks berbentuk segi empat, berukuran 1-2 mm, dan mempunyai 4 buah batil isap (sucker). Tidak memiliki rostellum dan kait. Lehernya lebih sempit daripada lebar kepala. Strobila dimulai dari proglotid imatur yang dilanjutkan dengan proglotid matur dan proglotid (Irianto, 2009). Taenia saginata memiliki bentuk telur bulat (spherical) atau agak bulat (sub-spherical), berdinding tebal dengan struktur garis-garis radier dan telur memiliki diameter 31-43 mikron (Gambar 2.2). Cacing ini secara umum ditemukan di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Timur, Amerika Selatan, Afrika Timur dan Barat. Di Indonesia, Taenia terdapat di beberapa daerah endemis di Sumatera Utara (P. Samosir), Lampung, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya, yang penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging yang dimasak kurang matang (Ideham, 2007). Immature proglotid Sscol ex Scole x (a) (b) Gambar 2.2. Cacing Taenia saginata; (a). Cacing Taenia saginata dewasa; (b). Telur cacing Taenia saginata (Perbesaran 40x10) (Nezar, 2014) 2.3.3. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Ascaris lumbricoides adalah cacing Nematoda berbentuk gilig (silindris) yang berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat dan panjangnya dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing jantan 15-31 cm dan diameter 2-4 mm dan cacing
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 9 betina 20-35 cm, diameter 3-6 mm. Cacing dewasa habitatnya di dalam usus halus (Gambar 3.a). Cacing betina menghasilkan telur sampai 240.000 butir per hari atau sekitar 3-5 buah telur tiap detik (Gambar 3.b), yang dikeluarkan ke lingkungan bersama tinja (Zaman et al. 1982). Ascaris juga dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi kesehatan bila terinfeksi. Kebanyakan penderitanya adalah anak-anak. Infeksi dari cacing ini dapat menimbulkan kematian, baik dikarenakan larva maupun cacing dewasa. Larva cacing Ascaris dapat menimbulkan hepatitis, pneumonia, diare, urtikaria (gatal-gatal), kejang-kejang, meningitis (radang selaput otak), kadang-kadang juga menimbulkan demam dan rasa ngantuk. Terjadi hepatitis dikarenakan larva cacing menembus dinding usus dan terbawa aliran darah vena ke dalam hati, sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada hati (Soedarto, 2008). Mulut Anus Larva (a) (b) Gambar 2.3. Cacing Ascaris lumbricoides; (a). Cacing Ascaris lumbricoides dewasa; (b). Telur cacing Ascaris lumbricoides perbesaran 40x10 (Nezar, 2014). 2.4. Pencegahan Infeksi Cacing Parasit Program kesehatan hewan bagi sapi potong meliputi penanganan, pengendalian, dan pencegahan. Penyakit infeksi menular pada sapi seperti Brucellosis, Anthrax, Septichaemia epizootica, Skabies (kudis), penyakit kembung perut dan lainnya, akan sangat merugikan secara ekonomis pada sapi potong. Begitu pula cacing parasit Neoascaris vitulorum, Fasciola gigantica, Haemonchus contortus akan berpengaruh pada hambatan pertumbuhan berat badan, disamping juga menyebabkan kerusakan jaringan tubuh (Putro, 2004).
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU 10 Manajemen pencegahan dan pengendalian penyakit pada ternak sapi merupakan salah satu upaya mendukung program swasembada daging sapi 2014. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memperhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang juga kontak dengan sapi lain yang sakit dan orang yang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan dari penyakit tersebut. Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit : a. Pencegahan lebih baik daripada mengobati b. Lingkungan kandang harus bersih dan kering c. Sapi - sapi yang baru akan dimasukkan ke dalam kandang harus dipastikan bebas dari berbagai penyakit d. Pisahkan sapi yang sakit dari sapi yang sehat e. Lakukan pencegahan stres akibat transportasi karena stres akan menyebabkan sapi mudah terserang penyakit f. Pembersihan kandang dan peralatan dilakukan setiap hari g. Pengendalian parasit cacing, caplak dan lalat (Astiti dkk. 2010). Menurut Levine (1990), pencegahan parasitisme pada sapi dapat dilakukan dengan cara: a. Memisahkan hewan - hewan muda dari yang dewasa sedini mungkin. Hewan yang lebih tua merupakan sumber infeksi bagi hewan muda. b. Menghindari air dari padang rumput. Larva parasit mampu hidup lebih lama pada padang rumput yang lembab. c. Memberi makan sapi di tempat yang kering bila memungkinkan, penularan parasit minimum pada tempat yang kering. d. Membuang kotoran dari kandang hewan sesering mungkin, atau menjadikan sebagai kompos yang jauh dari areal padang rumput tempat sapi biasa digembalakan e. Tidak membiarkan pakan dan air tercemar oleh kotoran hewan. f. Lakukan pemeriksaan secara rutin pada hewan ternak, sebagai contoh pemeriksaan tinja.