BAB II. Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum Kewarisan Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum BW

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB I PENDAHULUAN. mahkluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

BAB I PENDAHULUAN. menurut Mr.A.Pitlo adalah rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana,

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

HUKUM WARIS PERDATA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata

BAB I PENDAHULUAN. pejabat berwenang, yang isinya menerangkan tentang pihak-pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK PENDAFTARAN TANAH SILVANA MUKTI DJAYANTI / D ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan budaya manusia yang telah mencapai taraf yang luar biasa. Di

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

BAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II STATUS HUKUM HARTA WARIS YANG DIPEROLEH BERDASAR PADA WASIAT / TESTAMEN. hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris.

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut juga termasuk mengatur hal-hal yang diantaranya hubungan antar

BAB IV ANALISIS DATA A. Persamaan dan Perbedaan Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia Tentang Hibah dalam Keluarga

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 174/PMK.06/2010 TENTANG PEJABAT LELANG KELAS I

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

BAB I PENDAHULUAN. Untuk dapat mencegah permasalahan mengenai harta warisan tersebut, hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan

BAB III TANGGUNG JAWAB PERHIMPUNAN PEMILIK DAN PENGHUNI DALAM MENYELENGGARAKAN PENGURUSAN SATUAN RUMAH SUSUN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan

PERANAN AKTA PERALIHAN HAK DENGAN GANTI RUGI OLEH NOTARIS DALAM PROSES PENDAFTARAN HAKNYA

Nomor Putusan : 089/Pdt.G/2010/PA.GM Para pihak : Pemohon Vs Termohon Tahun : 2010 Tanggal diputus : 26 Mei 2010

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

ANALISIS AKTA PEMBAGIAN WARISAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS MENURUT HUKUM ISLAM

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Upaya notaris..., Tammy Angelina Wenas-Kumontoy, FH UI, Baru van Hoeve,2007),hal.449. Universitas Indonesia

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK ANGKAT ATAS HARTA YANG DIPEROLEH DARI HIBAH SETELAH ORANG TUA ANGKATNYA MENINGGAL DUNIA RESUME TESIS

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. individu itu diharuskan bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENOLAK GUGATAN REKONVENSI DALAM. PUTUSAN No: 1798 / Pdt.G/2003/PA.Sby

Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 159/PMK.06/2013 TENTANG

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

diasuh oleh team-teaching PROGRAM PASCASARJANA USU Program Magister Kenotariatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran 1 Pasal-Pasal KUHP Mengenai Pembuktian dengan Tulisan

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

Transkripsi:

BAB II Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum Kewarisan 2.1. Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum BW Pewarisan menurut hukum perdata diatur di dalam BW, Antara lain; 1. Pewarisan Berdasarkan Kedudukan Sendiri (uit eigenhoofde). Ahli waris menurut Undang-Undang (ab intestato) adalah ahli waris karena kedudukannya sendiri (uit eigenhoofde) demi hukum berhak mewarisi harta peninggalan pewaris, menurut BW, bahwa ahli waris menurut Undang- Undang harus memiliki hubungan darah dengan pewaris. Penggolongan ahli waris menurut hukum waris BW adalah sebagai berukut: a. Golongan pertama, yaitu terdiri dari suami/isteri, dan anak-anak pewaris beserta keturunannya dari anak-anak. Pasal yang mengatur golongan pertama ini adalah Pasal 852, 852a ayat 1, dan 852a ayat 2 BW. Pasal 852, bagian anak adalah sama besar walaupun anak-anak tersebut berasal dari perkawinan yang berbeda. Maksud dari Pasal 852 ini adalah hak mewaris dari anak-anak pewaris adalah sama, artinya mereka mendapatkan bagian yang sama besar walaupun mereka dilahirkan dari perkawinan yang berbeda. Pasal 852a ayat 1, bagian suami/isteri yang hidup terlama sama bagiannya dengan anak-anak. Maksud dari Pasal 852 ayat 1 adalah hak mewaris suami/isteri yang hidup terlama dalam perkawinan dimana terdapat anak-anak, bagiannya adalah sama dengan anak-anak sah dari pewaris. Pasal 852a ayat 2, bagian isteri/suami perkawinan kedua, tidak boleh melebihi bagian anak-anak dari perkawinan pertama, maksimal 1/4.

Maksud dari Pasal 852a ayat 2 ini adalah jika terjadi perkawinan kedua dan pewaris meninggalkan anak dan atau keturunannya dari perkawinan pertama, maka bagian suami/isteri perkawinan kedua tidak boleh melebihi bagian anak dari perkawian pertama. b. Golongan Kedua, yaitu terdiri bapak dan ibu, atau salah satu dari bapak/ibu, beserta saudara dan keturunannya. Pasal yang mengatur golongan kedua ini adalah Pasal 854, 855, 856, 857, BW. Pasal 854 BW tentang bagian warisan jika masih ada bapak dan ibu dan saudara. Bagian bapak dan ibu masing-masing 1/3 jika ada satu saudara, dan masingmasing ¼ jika ada dua saudara atau lebih. Pasal 855 BW tentang bagian warisan jika hanya terdapat bapak/ibu, maka bagian bapak/ibu yang hidup terlama adalah ½ jika mewaris bersama satu orang saudara, 1/3 jika mewaris bersama-sama dua orang saudara, ¼ jika mewaris bersama 3 orang saudara atau lebih. Pasal 856 BW, tentang tidak ada bapak/ibu, maka saudara berhak mewarisi seluruh harta warisan. Pasal 857 BW adalah mengenai pembagian saudara, adapun pembagian saudara terbagi dalam tiga macam saudara, yaitu saudara kandung, saudara sebapak, dan saudara seibu. Bagian saudara dari perkawinan yang sama maka bagiannya sama besar, sedangkan jika saudara-saudara berasal dari perkawinan yang berbeda, maka bagiannya harus dibagi dua (kloving) yaitu ½ bagian untuk saudara dalam garis sebapak, dan ½ untuk saudara garis seibu, saudara langsung memperoleh dua bagian, yaitu bagian dari garis sebapak dan bagian dari garis seibu.

c. Golongan ketiga, yang terdiri dari kakek, nenek dan seterusnya, beserta keluarga dalam garis lurus keatas, baik dalam garis sebapak maupun dalam garis seibu. Pasal-pasal yang mengatur golongan ketiga ini adalah Pasal 850,853,858 BW. Seperti halnya pembagian saudara dalam Pasal 857 BW, pembagian dalam ahli waris golongan ketiga juga harus dilakukan kloving terlebih dahulu, yaitu ½ bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan ½ bagian untuk ahli waris garis seibu. d. Golongan keempat, yang terdiri saudara dari kedua orang tua serta sekalian keturunan mereka sampai derajat keenam. Ahli waris golongan keempat ini termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis menyimpang yang lebih jauh. Pasal-pasal yang mengatur golongan keempat ini adalah Pasal 850, 858, 861, BW. Pembagian ahliwaris golongan keempat ini intinya sama dengan pembagian golongan ketiga, bahwa dalam pembagian warisan harus dikloving terlebih dahulu, yaitu 1/2 bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan ½ bagian untuk ahli waris dalam garis seibu. Hal penting yang patut diketahui bahwa yang berhak mewaris hanyalah sampai derajat keenam, setelah derajat keenam tidak akan tampil sebagai ahli waris. Sebagaimana terdapat pengaturan didalam Pasal 861 BW: Keluarga sedarah, yang dengan si meninggal bertalian keluarga dalam garis menyimpang lebih dari derajat keenam, tak mewaris. 14 14 Sudarsono. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Rineka Cipta, Jakarta;1993.h.129

2. Pewarisan Berdasarkan Penggantian Tempat Lembaga hukum waris penggantian tempat ditujukan untuk memberi perlindungan hukum kepada keturunan sah dari ahli waris yang telah meninggal lebih dulu, dengan cara menyerahkan hak ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunan yang sah. Penerimaan harta warisan oleh keturunan yang sah dari ahli waris yang telah meninggal tersebut bukan dalam kedudukan sebagai ahli waris melainkan sebagai pengganti dari ahli waris yang telah meninggal tersebut. Kedudukan sebagai ahli waris tetap pada si yang meninggal, sedangkan keturunan sah berkedudukan sebagai ahli waris pengganti. 15 Pengertian dari penggantian ini dapat kita temukan dari ketentuan Pasal 841 BW menurut ketentuan pasal tersebut, penggantian adalah memberikan hak kepada seseorang yang menggantikan, untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak dari orang yang digantikan. Dengan demikian, pengertian penggantian menurut ketentuan pasal tersebut diatas adalah memberikan hak kepada seseorang untuk bertindak sebagai penggantinya, baik dalam derajat maupun dalam segala hak dari orang yang digantikan itu, khususnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan. 16 Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Boedel (beneficiare aanvaarding) pada umumnya dianjurkan dalam semua hal dimana yang meninggal dunia menjalankan pekerjaan yang penuh resiko. Sehingga dengan adanya hak istimewa mengadakan pendaftaran Boedel dalam penerimaan warisan secara otomatis akan mewujudkan suatu kewajiban 15 Ibid. h. 128. 16 Benjamin Asri Dan Thabrani Asri, Dasar-Dasar Hukum Waris Barat (Suatu Pembahasan Teoritis Dan Praktek), Tarsito, Bandung, 1988, h. 37

menyusun daftar Boedel yang mana nantinya sang ahli waris berkewajiban mengurus barang-barang yang termasuk harta peninggalan dan menyelesaikan pembagian harta peninggalan pewaris. Jadi ia wajib bertanggungjawab atas pengurusan harta peninggalan tersebut. Masalah penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Boedel ini diatur dalam pasal 1075 BW. Dengan penerimaan warisan ini maka diterima pulalah akibat-akibat yang terkait dengan kedudukan ahli waris, yaitu: 1) Ahli waris tidak berkewajiban membayar hutang-hutang pewaris selain nilai barang-barang harta peninggalan; 2) Harta peninggalan tetap merupakan harta kekayaan yang dipisahkan walaupun hanya ada satu orang ahli waris yang bertindak. Hak memikir ialah hak diberikan oleh undang-undang kepada ahli waris untuk memikirkan dan meneliti keadaan harta peninggalan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya atau menolaknya (pasal 1023 BW). Adapun ahli waris yang ingin memanfaatkan hak memikir tersebut maka harus menempuh langkah-langkah: 1) Mengajukan suatu pernyataan tertulis tentang maksud tersebut kepada Panitera Pengadilan Negeri wilayah di mana harta peninggalan itu berada; 2) Maka selama empat bulan terhitung mulai tanggal diajukannya pernyataan tersebut pihak yang bersangkutan diberi kesempatan mengadakan inventarisasi harta peninggalan dan melakukan pertimbanganpertimbangan. Jangka waktu empat bulan tersebut oleh Hakim dapat diperpanjang lagi karena alasan-alasan yang mendesak (pasal 1024 BW);

3) Setelah jangka waktu empat bulan berlalu maka Hakim menetapkan bahwa pihak yang mempergunakan hak memikir tersebut dapat dipaksa-kan untuk mengambil keputusan (pasal 1029 BW). Keadaan ahli waris pada masa berlangsungnya memanfaatkan hak memikir hanya berkewajiban mengurus harta peninggalan sebagai bapak rumah tangga yang baik dan keahliwarisannya dikatakan sedang tidur dan menyelesaikan urusan warisan itu selekas-lekasnya (pasal 1033 BW). Sedangkan ahli waris yang menggunakan hak memikir kemudian akhirnya dia menolak warisan, maka ia dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Penolakan warisan adalah keengganan ahli waris untuk menerima bagiannya karena suatu hal, adakalanya karena ia harus menerima warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran boedel sehingga ia merasa keberatan dan kesulitan karena harus bertanggung jawab atas pengurusan harta peninggalan atau juga karena rasa hormat kepada pewaris, atau juga karena ia mempunyai kepastian bahwa harta peninggalan tersebut akan mewujudkan saldo yang negatif, dan sebagainya. Sehingga ahli waris tersebut memutuskan untuk menolak warisan yang dinyatakan secara tegas melalui surat keterangan tertulis yang diberikan oleh Panitera Pengadilan Negeri wilayah dimana harta peninggalan tersebut berada. (H.F.A. Vollmar,1992) Di dalam BW diatur tentang penolakan warisan seperti terdapat pada pasal-pasal berikut;

1057 BW. Penolakan suatu warisan harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi dengan cara memberikan pernyataan di kepaniteraan pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka. 1058 BW. Ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. (BW. 833, 955, 1047, 1056.). 1059 BW. Bagian warisan dari orang yang menolak warisan jatuh ke tangan orang yang sedianya berhak atas bagian itu, andaikata orang yang menolak itu tidak ada pada waktu pewaris meninggal. (BW. 135, 832, 861, 914, 1002, 1052, 1054, 1060 dst., 1126.) 1060 BW. Orang yang telah menolak warisan sekali-kali tidak dapat diwakili dengan penggantian ahli waris; bila ia itu satu-satunya ahli waris dalam derajatnya, atau bila semua ahli waris menolak warisannya, maka anak-anak mereka menjadi ahli waris karena diri mereka sendiri dan mewarisi bagian yang sama. (BW. 840, 847, 1059.). 1061 BW. Para kreditur yang dirugikan oleh debitur yang menolak warisannya, dapat mengajukan permohonan kepada hakim, supaya diberi kuasa untuk menerima warisan itu atas nama dan sebagai pengganti debitur itu. Dalam hal itu, penolakan warisan itu hanya boleh dibatalkan demi kepentingan para kreditur itu dan sampai sebesar piutang mereka; penolakan itu sekali-kali tidak batal untuk keuntungan ahli waris yang telah menolak warisan itu. 1062 BW. Wewenang untuk menolak warisan tidak dapat hilang karena kedaluwarsa. (1055 BW dst., 1967 BW).

1063BW. Sekalipun dengan perjanjian perkawinan, seseorang tidak dapat melepaskan diri dari warisan seseorang yang masih hidup, ataupun mengalihtangankan hak-hak yang akan diperolehnya atas warisan demikian itu di kemudian hari. 1064 BW. Ahli waris yang menghilangkan atau menyembunyikan barangbarang yang termasuk harta peninggalan, kehilangan wewenang untuk menolak warisannya; ia tetap sebagai ahli waris murni, meskipun ia menolak, dan tidak boleh menuntut suatu bagian pun dari barang yang dihilangkan atau disembunyikannya. (BW 137, 1031, 1048.). 1065 BW. Tiada seorang pun dapat seluruhnya dipulihkan kembali dari penolakan suatu warisan, kecuali bila penolakan itu terjadi karena penipuan atau paksaan.( BW. 1053, 1321, 1323, 1328, 1449.). Didalam BW telah mengatur secara jelas bagaimana menolak warisan, akibat dari penolakan warisan dan lain-lain secara jelas namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara terperinci bagaimana prosedur dalam mengajukan penolakan warisan. 2.2. Pengaturan Tentang Penolakan Waris Dalam Hukum Kewarisan Islam Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh. 17 Berbicara mengenai warisan tidak lepas dari yang namanya harta kekayaan. Paling tidak ada dua fungsi harta kekayaan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemilik harta itu dan untuk menjalin hubungan h.3 17 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Airlangga University Press, Surabaya, 2003,

persaudaraan diantara sesama manusia. Bagi orang yang menerima limpahan harta kekayaan ada kewajiban memberikan sebagian kepada orang lain, terutama kepada mereka yang sedang sangat membutuhkan. Di samping kewajiban tersebut ada pula ajaran untuk saling memberikan hadiah, walaupun mereka tidak dalam keadaan membutuhkan. Dalam hal ini fungsi harta sebagai media untuk melanggengkan silaturrahmi di antara sesama warga masyarakat. Amanah atas harta kekayaan ini apabila tidak dilaksanakan secara baik akan dapat menjadi sumber ketidak harmonisan dalam kehidupan manusia bermasyarakat. 18 Dalam Islam mengenai harta warisan sudah diatur sedemikian rupa, akan tetapi dari pihak yang bersangkutan ada yang menolak atau menghendaki penolakan tersebut, bagaimana pandangan Islam dalam hal penolakan warisan dan bagaiman akibat hukumnya tidak diatur secara jelas mengenai hal penolakan waris secara khusus dalam Undang-Undang. Pelaksanaan syariat Islam termasuk pembagian harta warisan menurut faraid telah mendapat dasar hukum yang kuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Di dalam pasal 49 Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa pengadilan agama berwenang mengadili perkara warisan orang Islam. Berdasarkan ketentuan ini perkara warisan orang Islam akan diadili berdasarkan hukum Islam (Faraid). Dalam penjelasan pasal 49 huruf b dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan 18 Ibid., h. 1

pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Dari hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam yang meliputi: 1. Azas Integrity: Ketulusan Integrity artinya: Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. 2. Azas Ta' abbudi: Penghambaan diri Yang dimaksud azas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, yang akan berpahala bila ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. 3. Azas Hukukul Maliyah: Hak-hak Kebendaan Yang dimaksud dengan Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. 4. Azas Hukukun Thabi iyah: Hak-Hak Dasar Pengertian hukukun thabi iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia

masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. 5. Azas Ijbari: Keharusan, kewajiban Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. 6. Azas Bilateral Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan. 7. Azas Individual: Perorangan Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masingmasing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. 8. Azas Keadilan yang Berimbang Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

9. Azas Kematian Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. 10. Azas Membagi Habis Harta Warisan Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari penyelesaian pembagian harta warisan. 19 Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersifat mengatur (regelend), tidak bersifat mutlak (dwingend) dalam arti para pihak dimungkinkan untuk membagi warisan di luar ketentuan itu, tentunya sepanjang kesepakatan dan kehendak masing-masing. Akan tetapi karena ketentuan hukum waris dalam Islam dalam pelaksanaannya merupakan pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai salah satu bentuk ibadah. 19 Chatib Rasyid,(Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta),Makalah Azas-Azas Hukum Waris Dalam Islam, Yogyakarta, 8 Juli 2008.

Di dalam hukum Islam tidak mengenal penolakan waris sebagaimana ada didalam BW tetapi bagi para ahli waris yang ingin memberikan bagian harta warisannya pada ahli waris lainnya seperti yang terjadi dalam penolakan waris menurut hukum BW, hukum Islam mengatur tentang melakukan kerukunan dalam pembagian harta warisan yang dsebut dengan tashaluh (perdamaian) atau takharuj (sebagian ahli waris rela keluar dari penerimaan harta warisan baik untuk seluruh maupun sebagian). Menurut hukum Islam, pada dasarnya seorang pemilik harta dapat menggunakan harta miliknya sekehendak si pemilik sepanjang tidak dilarang oleh Syara (Agama). Atas dasar itu orang memperoleh bagian harta warisan dapat merelakan harta yang diterima itu utuk diberikan kepada ahli waris lain, baik seluruh maupun sebagian baik dengan imbalan atau tidak. Pembagian harta warisan dengan tashaluh ini, dilakukan setelah masingmasing ahli waris mengetahui bagiannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut Hukum Islam. Dalam pasal 183 KHI ditegaskan bahwa ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Takharuj dapat diartikan pula mengeluarkan sebagian harta waris, karena salah seorang dari ahli waris memintanya, kemudian bersedia menggantinya. Hal tersebut diperbolehkan bila para ahli waris melakukanya dengan sukarela. 2.3. Kewenangan Notaris Dalam menerbitkan akta penolakan waris Demi untuk kepentingan Notaris dan untuk melayani kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah berupaya pada tanggal 6 Oktober 2004

telah disahkan Peraturan Jabatan Notaris yang kita sebut dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN). Berdasarkan sejarah, Notaris adalah seorang pejabat Negara/pejabat umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Bab I Pasal 1 ayat (1) yaitu, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang dan mewakili kekuasaan umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini, untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti. Memperhatikan uraian Pasal 1 UUJN, dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah: a. Pejabat umum b. Berwenang membuat akta c. Otentik d. Ditentukan oleh undang-undang Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. 20 Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki guna mewujudkan hubungan hukum diantara subyek-subyek hukum yang bersifat perdata. Notaris 20 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 2000, h. 159

sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya adalah benar. 21 Notaris sebagai pejabat publik mempunyai karakteristik sebagai berikut : 22 a. Sebagai Jabatan UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undangundang yang mengatur Jabatan notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu 21 Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, Agung, Semarang, 1991, h.4 22 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2008, h.82

(kewenangan tertentu) serta sifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian, jika seorang pejabat (notaris) melakukan tindakan tidak diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris tercantum dalam UUJN Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3). Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, wewenang notaris adalah membuat akta, namun bukan membuat surat seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau membuat surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW). Didalam hukum Islam tidak dikenal penolakan warisan namun di kenal tashaluh dan takharuj. Dalam hal ini notaris tidak dapat membuat akta penolakan waris namun notaris dapat membuat akta keterangan ahli waris dan akta keterangan hak waris adapun dasar hukumnya sebagai berikut: 1. Pasal 15 (1) UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris; Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Pasal 42 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ; Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris. Atas dasar uraian tersebut, maka Surat Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 tentang surat keterangan warisan dan pembuktian kewarganegaraan juncto pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Juncto ketentuan pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang merumuskan: - Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa: a. Wasiat dari pewaris, atau b. Putusan Pengadilan, atau c. Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan, atau bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia. bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa: Akta keterangan hak mewaris dari Notaris. bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: Surat Keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.

Tentang Bagaimana Tata Cara Permohonan Akta Penolakan Waris adalah sebagai berikut; 23 1) Pemohon mengajukan Surat Permohonan. 2) Pemohon menyerahkan : a. Surat Keterangan Waris dari Notaris b. Foto copy KTP keluarga dan Kartu Keluarga c. Foto copy Akta Kelahiran seluruh keluarga d. Foto copy Akta kematian Pewaris e. Foto copy Akta perkawinan pewaris f. Foto copy Surat Pernyataan Ganti Nama (jika ada) g. Materai Rp.6000,- sebanyak 2 lembar 3) Petugas Kepaniteraan Hukum memeriksa dan memproses 4) Proses Akta Penolakan Waris memakan waktu maksimal 1 hari 5) Membayar Biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)/ Leges sebesar Rp. 5000,- Notaris tidak berwenang membuat akta penolakan waris, karena Menurut Pasal 1057 BW, menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu. Dari pasal diatas dapat kita ketahui bahwa penolakan waris hanya dapat dilakukan melalui pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, oleh karena itu notaris 23 Http://Www.Pnsemarangkota.Go.Id/Index.Php?Option=Com_Content&View=Article&Id=40%3 Apendaftaran-Perkara&Catid=15%3Apenolakan-Waris&Lang=Id.

tidak dapat membuat akta penolakan waris, karena notaries tidak dapat membuat akta yang berisi ahli waris menolak untuk menjadi ahli waris.