HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

dokumen-dokumen yang mirip
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

I PENDAHULUAN. tebu, bit, maple, siwalan, bunga dahlia dan memiliki rasa manis. Pohon aren adalah

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pembuatan Madu

I. PENDAHULUAN. mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin banyak. Upaya pemenuhan

I. PENDAHULUAN. poliaromatik hidrokarbon / PAH (Panagan dan Nirwan, 2009). Redestilat asap cair

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman

DIVERSIFIKASI PRODUK AREN UNTUK PANGAN DAN PROSPEK PASAR

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Untuk Daerah Tertinggal

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gula merah kelapa diperoleh dari nira kelapa yang telah diuapkan dan dicetak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

5.1 Total Bakteri Probiotik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nira yang dihasilkan oleh setiap tanaman tersebut memiliki ciri fisik serta

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang


KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

DEKSTRIN, TEKNOLOGI DAN PENGGUNAANNYA

1. PROSPEK TEH HIJAU SEBAGAI INDUSTRI HILIR TEH

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

TEKNOLOGI ENKAPSULASI FLAVOR REMPAH-REMPAH. Ir. Sutrisno Koswara, MSi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Nira adalah cairan yang rasanya manis dan diperoleh dari bagian tandan

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengkukusan kacang hijau dalam pembuatan noga kacang hijau.

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri

I. PENDAHULUAN. membentuk lapisan kompleks yang menyelimuti inti. Bahan inti yang dilindungi

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0

Bab IV Hasil dan Pembahasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang memiliki sifat rentan terhadap kerusakan oleh lingkungan luar dengan

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak dan memiliki warna kuning keemasan. Pohon nanas sendiri dapat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

3.1. Tempat dan Waktu Bahan dan Aiat Metode Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5)

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

STANDAR NASIONAL INDONESIA SNI SNI UDC =========================================== SAUERKRAUT DALAM KEMASAN

I. PENDAHULUAN. selama penyimpanan (teroksidasinya senyawa fenol, perubahan warna), kurang praktis dalam penanganan, distribusi dan aplikasinya.

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

II TINJAUAN PUSTAKA. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan (Fabaceae) ini

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEH HITAM

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. hemiselulosa dan lignin dan telah dikondensasi. Asap cair masih mengandung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beras bahan makanan yang dihasilkan oleh padi. Meskipun sebagai bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA SUSU KAMBING

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

LOGO BAKING TITIS SARI

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Es lilin merupakan salah satu jajanan pasar yang telah lama dikenal oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Durian (Durio zibethinus Murr.) adalah salah satu buah yang sangat popular

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

KAJIAN PENERAPAN ALAT PENEPUNG PISANG UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gula Serbuk Aren Tanaman aren atau enau (Arenga pinnata atau Arenga saccaharifera) mirip pohon kelapa (Cocos nucifera) yang dapat mencapai ketinggian hingga 20 meter dengan garis tengah batang mencapai 65 cm. Bahan baku pembuatan gula aren diperoleh dari sari gula atau yang sering disebut sebagai nira, yaitu tangkai bunga jantan yang dapat disadap ketika tanaman aren berumur lima tahun dengan puncak produksi pada umur 15-20 tahun. Nira aren yang keluar dari tangkai bunganya biasanya ditampung dalam bumbung (batang bambu sepanjang satu meter) dan proses penampungan dapat berlangsung hingga tiga bulan terus menerus tanpa henti. Setiap pohon dapat menghasilkan 10-15 liter nira per hari dengan dua kali penyadapan yaitu pada waktu pagi dan sore hari (Burhanuddin, 2005). Nira aren segar mempunyai rasa manis, berbau harum, tidak berwarna dan memiliki derajat keasaman atau ph sekitar 5,5 6. Rasa manis pada nira disebabkan karena adanya sukrosa, glukosa, fruktosa serta gula lainnya (Dachlan, 1984 dikutip Darojat, 1994). Komposisi nira dari suatu jenis tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti varietas tanaman, umur tanaman, kesehatan tanaman, keadaan tanah, iklim, pemupukan dan pengairan (Goutara dan Wijandi, 1975). Umumnya nira terdiri dari air, sukrosa, gula reduksi, bahan organik lain dan bahan inorganik. Gula reduksi dapat terdiri dari heksosa, glukosa dan fruktosa serta mannosa dalam jumlah yang rendah sekali. Bahan organik terdiri dari protein, asam 6 FTIP001626/019

7 amino, zat warna, lemak dan karbohidrat selain gula. Bahan inorganik terdiri dari garam-garam mineral (Goutara dan Wijandi, 1975). Komposisi kimia nira aren dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Nira Aren Komponen Kadar air (%) Karbohidrat (gula) (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Senyawa sitrat (ppm) Senyawa tartarat (ppm) Senyawa malat (ppm) Senyawa suksinat (ppm) Senyawa laktat (ppm) Senyawa fumanat (ppm) Senyawa pyroglutamat (ppm) Jumlah 87,20 11,28 0,24 0,20 0,20 0,9 0,6 17,0 5,1 4,0 0,1 3,9 Sumber: Itoh et. al. (1985) Nira aren dapat diolah menjadi gula serbuk atau yang biasa dikenal dengan gula semut. BPK Manado (1990) dikutip Kusumah (1992), menyatakan bahwa pengolahan gula semut bernilai ekonomis tinggi dan mempunyai peluang ekspor yang cukup besar. Pengolahan menjadi gula semut lebih menguntungkan yaitu memiliki harga jual lebih tinggi karena berbentuk serbuk sehingga lebih mudah pemakaiannya, lebih tinggi daya simpannya karena tingkat kekeringan yang lebih tinggi. Syarat mutu gula aren serbuk menurut SII-2043-87 dapat dilihat pada Tabel 2. FTIP001626/020

8 Tabel 2. Syarat Mutu Gula Semut (SII-2043-87) No. Kriteria Uji Satuan 1. Keadaan: Bentuk Warna Ganda rasa 2. Gula total (dihitung sebagai sukrosa) % (b/b) 3. Gula reduksi (dihitung sebagai % (b/b) glukosa) 4. Air % (b/b) 5. Abu % (b/b) 6. Padatan tidak larut dalam air % (b/b) 7. Pati 8. Belerang dioksida (SO2) 9. Cemaran logam berbahaya: Timbal (Pb) mg/kg Raksa (Hg) mg/kg Arsen (Ar) mg/kg Tembaga (Cu) mg/kg Persyaratan Serbuk Kuning kecokelatan Normal dan khas Min. 80 Maks. 6,0 Maks. 3,0 Maks. 2,0 Maks. 0,2 Tidak ternyata Tidak ternyata Maks. 0,5 Maks. 0,05 Maks. 1,0 Maks. 20 Sumber: Departemen Perindustrian RI (1992) Cara yang umum digunakan dalam pembuatan gula semut adalah dengan prinsip yang sama pada pembuatan gula merah yaitu kristalisasi yang dilakukan pada akhir pemasakan gula. Pemasakan gula dilakukan untuk memperoleh kepekatan gula yang tinggi, dimana akan dihasilkan tingkat kekeringan yang cukup untuk pembentukan serbuk (Herman, 1984, dikutip Kusumah, 1992). Menurut Sardjono dan Dachlan (1988) dikutip Darojat (1994), dalam pembuatan gula semut setelah pekatan nira mengental dilakukan pendinginan selama kurang lebih 10 menit tanpa diaduk. Setelah itu pekatan nira diaduk sampai terbentuk serbuk-serbuk gula. Berikut merupakan diagram proses pembuatan gula semut dengan cara pemanasan dan pengadukan intensif disajikan pada Gambar 1. FTIP001626/021

9 Nira Penyaringan Minyak goreng Penguapan (T = 110 120oC) Pendinginan (t = 10 menit) T = 60-70oC Pengadukan secara intensif Pengayakan Gula semut Gambar 1. Diagram Proses Pembuatan Gula Semut dari Nira dengan Cara Pemanasan dan Pengadukan Intensif (Herman, 1984 dikutip Varina, 1990) Nira hasil penyadapan disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran atau endapan-endapan. Nira segar diuapkan sampai kekentalan tertentu dengan suhu pemasakan berkisar antara 110 120 oc (Pragita, 2010). Pada saat nira mendidih, nira berbuih dan tampak bercampur dengan kotoran halus dan harus dihilangkan dengan diserok. Minyak ditambahkan agar buih pada saat penguapan tidak meluap. Pada saat ini harus dihindari terjadinya pemasakan yang melewati titik end point yakni berkisar 110oC. End point merupakan suhu akhir pemasakan, dimana nira sudah mulai kental dan meletup-letup. Setelah nira aren yang diuapkan menjadi pekat, kemudian didinginkan selama 10 menit. Pengadukan dilanjutkan secara intensif (terus-menerus) sampai diperoleh serbuk-serbuk gula. Serbuk yang masih FTIP001626/022

10 kasar ini disebut dengan gula aren semut setengah jadi dengan kadar air masih di atas 5%. Gula semut setengah jadi kemudian diayak sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Ukuran yang umum dipakai adalah 10 mesh, 15 mesh dan paling halus 20 mesh dengan kadar air di bawah 3% (BPBU-TP3KU, 2009). Keberhasilan proses pembuatan gula semut ditentukan oleh mutu nira yang digunakan. Nira yang telah terfermentasi dengan ph kurang dari 6 tidak dapat diolah menjadi gula semut karena proses kristalisasinya menjadi sulit, tetapi masih dapat diolah mejadi gula cetak. Untuk mempertahankan ph nira lebih dari 6 dapat digunakan kapur tohor. Dari 50 liter nira dapat dihasilkan sekitar 7,5 kg gula kristal setengah padat (Herman, 1984 dikutip Darojat, 1994). Proses pembuatan gula semut dengan metode konvensional membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 4 5 jam untuk memasak 25 30 liter nira. Kendala tersebut dapat diatasi dengan menggunakan metode spray drying. Salah satu produk yang menggunakan metode spray drying adalah susu bubuk. Pembuatan gula tebu, gula semut dan susu bubuk memiliki prinsip yang sama yaitu menguapkan air bahan berupa cairan menjadi bentuk butiran padat. Pada pembuatan gula semut dan gula tebu, penguapan air nira dilakukan dengan cara pemasakan yang dilanjutkan dengan pengkristalan, sedangkan pada pembuatan susu bubuk, penguapan air dari susu segar dilakukan melalui proses atomisasi pada suhu tinggi dengan waktu yang singkat. Komponen protein dalam susu segar akan terkoagulasi dengan adanya panas pada waktu atomisasi. Proses pembuatan gula pasir dari nira tebu memiliki perbedaan yaitu adanya proses penjernihan nira terlebih dahulu. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan bahan FTIP001626/023

11 bukan sukrosa. Gula semut tidak melalui proses penjernihan sehingga warna yang dihasilkan merah kecoklatan. Warna merah kecoklatan yang dihasilkan pada gula semut juga dapat terjadi karena proses karamelisasi. Proses pembuatan gula semut melalui proses pemasakan yang lama dengan suhu yang tinggi yaitu sekitar 110 120oC, setelah itu dilakukan proses pengkristalan. Proses ini mengakibatkan bahan nira kontak dengan panas dalam waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan karamelisasi. 2.2. Metode Spray Drying Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas. Keuntungannya adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih kecil, sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan. Proses pengeringan dapat dijumpai pada pembuatan bubuk instan. Metode yang paling luas digunakan dalam proses pembuatan bubuk instan adalah dengan alat pengering semprot (spray dryer). Menurut Toledo (2007), spray drying merupakan proses dimana suatu tetesan cair dikeringkan karena adanya kontak dengan aliran udara panas. Bahan disemprotkan ke dalam suatu media pengering yang panas, dan berdasarkan sifat fisik dan kimia bahan serta desain dan pengoperasian alat pengering, suatu bahan dibentuk menjadi bubuk, granula atau produk aglomerat. Bahan pangan yang dikeringkan menggunakan pengeringan semprot harus dalam bentuk cair. Pengeringan semprot bisa digunakan untuk bahan yang berbentuk FTIP001626/024

12 cairan dengan viskositas yang rendah. Penggunaannya terutama untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas. Pengeringan semprot ini memperkecil resiko kerusakan bahan pangan akibat pemanasan. Waktu kontak antara droplet bahan dengan udara panas dalam ruang pengeringan berlangsung singkat, hanya beberapa detik, sehingga sedikit sekali kemungkinan zat nutrisi terdegradasi karena panas. Larutan yang akan dikeringkan harus mempunyai konsentrasi yang tinggi. Hal ini menyangkut rendemen hasil pengeringan (Masters, 1979). Menurut Filkova dan Mujundar (1987) dikutip Yulianto (2002), menyatakan bahwa parameter dalam pengering semprot yang berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan adalah jenis atomizer, suhu udara masuk, suhu udara keluar, kecepatan alir bahan, desain ruang pengering dan jenis bahan yang dikeringkan. Spray drying terdiri dari empat tahap proses, yaitu : (1) atomisasi bahan melalui sebuah penyemprot, (2) kontak antara droplet dengan udara pengering, (3) evaporasi uap air, dan (4) pemisahan produk kering dari udara kering (Kjaergaard dikutip Purba, 2003). Tahapan proses yang terjadi pada spray dryer disajikan pada Gambar 2. FTIP001626/025

13 Gambar 2. Tahapan Proses Pengeringan dengan Spray Dryer (Filkova dan Mujundar dikutip Yulianto, 2002) Dispersi dapat dicapai dengan tekanan nozzle, dua fluid nozzle, sebuah rotary disk atomizer atau nozzle ultrasonik. Jadi jenis energi yang berbeda dapat digunakan untuk mendispersikan cairan menjadi partikel-partikel halus. Pemilihan pada jenis atomizer tergantung pada sifat dan jumlah bahan pangan serta karakteristik yang diinginkan dari produk kering. Semakin tinggi energi yang digunakan untuk dispersi, semakin kecil pula tetesan yang dihasilkan (Buchi Labortechnik AG, 2002). Tiga elemen yang sangat penting pada pengeringan semprot yaitu atomizer, ruang pengeringan (drying chamber) dan sistem pengumpul partikel-partikel yang telah kering. Masing-masing elemen tersebut memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung dari sifat bahan yang dikeringkan (Harper dikutip Kumalasari, 2001). FTIP001626/026

14 Atomizer Fungsi utama atomizer adalah untuk menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permukaan menjadi lebih besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat. Disamping itu, atomizer bertindak sebagai alat pengatur kecepatan aliran produk pada proses pengeringan. Atomizer mendistribusikan cairan pada aliran udara dengan cara yang relatif seragam dan menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Ukuran droplet berkorelasi positif dengan kecepatan aliran bahan dan mempunyai korelasi negatif dengan kecepatan putaran atomizer (Heldman et al. dikutip Yulianto, 2002). Salah satu fungsi utama dari proses atomisasi adalah untuk mempertinggi rasio antara luas permukaan dengan massa bahan sehingga proses pengeringan dapat berlangsung dalam waktu singkat. Pengeringan yang cepat akan dapat mempertahankan partikel-partikel bahan tetap dalam keadaan dingin (Spicer dikutip Yulianto, 2002). Ruang Pengering (Drying Chamber) Fungsi dari ruang pengering adalah untuk mempertahankan suspensi partikel di dalam aliran udara panas dalam jangka waktu yang cukup sampai proses pengeringan selesai. Bentuk dan pengaturannya dapat berbeda-beda, tergantung pada sifat dari produk yang akan dikeringkan. Pada drying chamber terpasang termokopel pada bagian dinding mesinnya untuk mengukur suhu pemanas gas. Di dalam drying chamber terjadi proses evaporasi. Evaporasi terjadi karena adanya kontak antara droplet dengan udara pengering, sehingga terjadi transfer panas FTIP001626/027

15 dari udara pengering ke droplet dan air yang terdapat dalam droplet akan menguap. Evaporasi terjadi pada masing-masing droplet yang bersinggungan dengan udara pengering (Kjaergaard dikutip Yulianto, 2002). Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total padatan, semakin tinggi total padatan, maka proses evaporasi akan berlangsung cepat (Heldman, et al. dikutip Yulianto, 2002). Sistem Pengumpul Partikel Pengering (Cyclone) Peralatan pemisahan partikel kering yang paling umum adalah cyclone. Partikel kering atau droplet yang terbentuk akan dipisahkan dari udara dan dikumpulkan oleh cyclone. Pemisahan dapat dilakukan secara langsung maupun bertahap, tergantung dari desain alat. Pada prinsipnya terdapat dua sistem untuk memisahkan partikel dari medium pengering yaitu pemisahan primer partikel kering berlangsung di dasar ruang pengering, dan pengambilan total secara langsung (Buchi Labortechnik AG, 2002). Suhu yang digunakan dalam pengeringan menggunakan metode spray drying bervariasi tergantung jenis bahan yang digunakan. Tabel 3 menunjukkan suhu masuk dan suhu keluar pada proses mikroenkapsulasi menggunakan spray dryer. FTIP001626/028

16 Tabel 3. Suhu pada Proses Mikroenkapsulasi Menggunakan Spray Dryer Produk Suhu Masuk (oc) Suhu Keluar (oc) Konsentrat buah, raspberry, 150 90 pada maltodekstrin, 2:8 Konsentrat buah, jeruk, 150 90 pada maltodekstrin, 2 :8 Gula inversi (date pulp) 100 80 pada laktosa, 1:1 Sari buah blackcurrant pada 170 100 maltodekstrin Minyak kacang kedelai 150 90 pada maltodekstrin/gelatin Gula/ campuran lemak pada maltodekstrin/gum arab 160 90 25:15:50:10 Sumber : Buchi Labortechnik AG (2002) Suhu inlet menunjukkan suhu pengeringan udara panas. Udara dihisap atau dialirkan ke dalam heater dengan menggunakan aspirator. Suhu inlet diukur sebelum dialirkan ke ruang pengering. Suhu udara dengan partikel-partikel padat sebelum memasuki cyclone disebut dengan suhu outlet. Suhu ini adalah suhu hasil dari panas dan neraca massa di dalam ruang pengering sehingga tidak dapat diatur. Partikel dapat dianggap memiliki suhu yang sama seperti gas karena intensitas panas, perpindahan massa, dan hilangnya kelembaban. Jadi suhu outlet sama dengan suhu maksimal produk (Buchi Labortechnik AG, 2002). Menurut Spicer (1974) dikutip Lastriningsih (1997) dikutip Kumalasari (2001), pengering semprot mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan jenis alat pengering yang lain, diantaranya : (1) produk akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas, (2) suhu produk rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup tinggi, (3) penguapan air terjadi pada FTIP001626/029

17 permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja, dan (4) produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang memudahkan penanganan dan transportasi. 2.3. Mikroenkapsulasi Enkapsulasi merupakan proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti) seperti partikel padatan, tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder (dinding), berupa lapisan film tipis. Proses ini digunakan untuk melindungi suatu zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan untuk melepaskan zat tersebut pada kondisi tertentu saat digunakan. Ide dasar enkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubah-ubah dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel. Enkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Partikel yang telah dienkapsulasi disebut makrokapsul bila berukuran lebih besar dari 5000 μm, mikrokapsul berukuran antara 0,2-5000 μm, dan partikel yang berukuran lebih kecil dari 0,2 μm disebut nanokapsul. Tabel 3 menunjukkan ukuran partikel berdasarkan metode enkapsulasi yang digunakan. FTIP001626/030

18 Tabel 4.Ukuran Partikel Berdasarkan Metode Enkapsulasi Metode Enkapsulasi Range Ukuran (μm) Spray drying 20-150 Centrifugal extrusion 125-3000 Air suspension coating 50-10000 Ekstrusi 700-6000 Coacervation 1-500 Centrifugal suspension-separation 5-1000 Sumber : Vasishtha dikutip Barbosa-Cánovas (2005) Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat bahwa penggunaan metode spray drying memiliki ukuran 20-150 μm sehingga proses enkapsulasinya disebut dengan mikroenkapsulasi. Mikrokapsul dapat berbentuk bola, persegi panjang ataupun tak beraturan. Dua jenis struktur utama dari mikrokapsul adalah satu inti (single core) dan banyak inti (multiple core) pada bagian dindingnya. Jenis struktur utama mikrokapsul dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Jenis Struktur Utama Mikrokapsul (Paramita, 2010) Mikrokapsul dengan satu inti biasanya diproduksi dengan cara coacervation, droplet co-extrusion dan pemasukan molekul. Model ini biasanya memiliki muatan inti yang tinggi, misalnya 90% dari total berat mikrokapsul. Mikrokapsul dengan struktur banyak inti di bagian dinding umumnya diproduksi menggunakan spray FTIP001626/031

19 drying. Bahan inti tersebar secara merata di bagian dinding dan bagian tengah mikrokapsul biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari pemuaian selama tahap-tahap pengeringan akhir. Biasanya, struktur ini memiliki persentasi pelapis hingga 70% dari berat mikrokapsul. Bahan di dalam mikrokapsul disebut sebagai inti, fasa internal, atau pengisi. Bahan inti dapat berupa emulsi, bahan kristalin, suspensi padatan, atapun gas. Isi dalam mikrokapsul dilepaskan dengan berbagai macam mekanisme. Pelapis dapat rusak secara mekanik, misalnya akibat dikunyah, meleleh ketika terekspos dengan panas, terlarut dalam solvent (pelarut). Tujuan utama umum mikroenkapsulasi adalah untuk membuat bahan cairan bersifat seperti padatan. Hal ini menyebabkan beberapa sifat bahan inti menjadi berubah, misalnya sifat aliran bahan dan penanganan bahan menjadi lebih mudah dalam bentuk padatan. Sifat-sifat bahan inti dan bahan penyalut yang digunakan dalam mikroenkapsulasi dijelaskan pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat-sifat Bahan Inti dan Bahan Penyalut Bahan Inti Bahan Penyalut Tekanan uap yang tinggi, dapat Tidak bereaksi dengan bahan inti. mempersulit proses penyimpanan. Mampu memberikan perlindungan maksimal selama proses dan penyimpanan dari kondisi lingkungan. Berat molekul bahan, berpengaruh Melepaskan bahan inti dengan terhadap difusivitas bahan selama sempurna pada kondisi yang proses. diinginkan. Kelarutan bahan terhadap air, makin Memiliki alasan ekonomi (harga) yang mudah larut akan mudah menguap. baik. Memiliki kelarutan dan rheological yang baik. Sumber : Paramita (2010). FTIP001626/032

20 Bahan penyalut adalah bahan-bahan yang berfungsi untuk menyalut atau membungkus bahan inti selama proses pemadatan atau pengeringan, selain untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan, juga dapat mencegah kerusakan bahan oleh panas karena waktu kontak yang singkat (Masters, 1979 dikutip Chandrayani, 2002, dikutip Gautama, 2010). Jenis bahan penyalut yang biasa digunakan dalam proses mikroenkapsulasi dapat dilihat pada Tabel 6. Keuntungan penggunaan proses mikroenkapsulasi pada bahan pangan adalah ( Versic, Greenblatt et al, DeZarn dikutip Barbosa-Cánovas, 2005) : a. Mengendalikan pelepasan bahan (misalnya, pelepasan bertahap bahan flavor selama proses microwave, bahan pengembang pada proses baking, dan melepaskan asam sitrat selama pembuatan sosis); b. Meningkatkan stabilitas terhadap suhu, oksidasi, kelembaban, dan cahaya; c. Menutup rasa yang tidak diinginkan; d. Mengurangi interaksi negatif dengan senyawa lain (misalnya, mikroenkapsulasi asidulan seperti asam sitrat, asam laktat, dan asam askorbat untuk mempertahankan warna, tekstur, kandungan nutrisi, dan aroma makanan); e. Mendorong penanganan yang lebih mudah dari materi inti dengan mencegah penggumpalan, meningkatkan kemampuan mengalir, kompresi, dan sifat pencampuran, dan memodifikasi kepadatan partikel. FTIP001626/033

21 Tabel 6. Jenis Bahan Penyalut yang Biasa Digunakan pada Proses Mikroenkapsulasi Golongan Jenis Gum Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan Karbohidrat Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung, CMC, ethyl selulosa, metil selulosa, nitro selulosa, asetil selulosa, asetat phitat selulosa, asetat butilat phitat selulosa Lemak Lilin, parafin, tristearin, asam stearat, monogliserida, digliserida, lilin tawon, minyak, lemak, minyak kertas Bahan anorganik Kalsium phospat, silikat, tanah liat Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin Sumber : Jackson and Lee (1991) dikutipantara (1995) dikutip Gautama (2010). 2.4 Dekstrin Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati secara tidak sempurna, akibatnya rantai panjang pati mengalami pemutusan dan terjadi perubahan sifat pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air (Lineback dan Inlett dikutip Kumalasari, 2001). Pada pembentukan dekstrin terjadi transglukosidasi yaitu perubahan ikatan alpha 1,4-glukosidik menjadi ikatan alpha 1,6-glukosidik. Prinsip pembuatan dekstrin adalah menghidrolisis molekulmolekul pati yang besar menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Perubahan ini menyebabkan dekstrin tidak kental, lebih cepat terdispersi dan lebih stabil daripada pati. Struktur dekstrin dapat dilihat pada Gambar 4. FTIP001626/034

22 Gambar 4. Struktur Dekstrin (Helmenstine, 2011) Dekstrin dapat digunakan dalam industri pangan dan non pangan. Dalam bidang pangan dekstrin digunakan sebagai pembentuk film dan edible adhesive untuk menggantikan gum arab pada produk-produk tertentu seperti pelapis kacang dan permen. Dekstrin juga digunakan sebagai bahan pengisi dan pembawa aroma yang disemprot kering (Smith, 1982, dikutip Ridwansyah, 2006). Dekstrin juga dapat digunakan sebagai bahan enkapsulasi (BeMiller dan Whistler, 1996, dikutip Ridwansyah, 2006). Dekstrin didefinisikan sebagai produk yang dihasilkan dari hidrolisis pati dengan enzim atau dengan katalis asam (Satterthwaite dan Iwinski dikutip Lestari, 2008). Dekstrin merupakan produk hidrolisis parsial dari amilum sebelum terbentuk maltosa (Poedjiadi dikutip Lestari, 2008). Menurut Brautlecht dikutip Lestari (2008), dekstrin memiliki struktur kimia (C6H10O5)n dan secara umum sifat kimianya antara pati dan dekstrosa. Dekstrin memiliki sifat larut dalam air dingin dan tidak larut dalam alkohol dan pelarut netral. Dekstrin umumnya berbentuk bubuk dan berwarna putih sampai kekuningan. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (1992), dekstrin FTIP001626/035

23 didefinisikan sebagai salah satu produk hidrolisi pati, berbentuk amorf, berwana putih sampai kekuning-kuningan. Dekstrin yang dipasarkan di Indonesia harus memenuhi syarat mutu seperti yang tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Syarat Mutu Dekstrin (SNI 01-2593-1992) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kriteria Uji Warna Warna dengan larutan lugol Satuan - Kehalusan mesh %b/b Air %b/b Abu %b/b Serat kasar %b/b Bagian yang larut dalam air dingin o Kekentalan E Dekstrosa Derajat asam ml NaOh 0,1 N/100 g Cemaran logam 11.1 Timbal (Pb) mg/kg 11.2 Tembaga (Cu) mg/kg 11.3 Seng (Zn) mg/kg 11.4 Timah (Sn) mg/kg 12 Arsen mg/kg 13 Cemaran mikroba 13.1 Kapang dan ragi MPN/g 13.2 Total aerobik MPN/g 13.3 Bakteri koliform MPN/g 13.4 Salmonella MPN/g Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1992). Persyaratan Putih sampai kekuning-kuningan Ungu kecoklatcoklatan Min 90 (lolos) Maks 11 Maks 0,5 Maks 0,6 Min 97 3-4 Maks 5 Maks 3 Maks 2 Maks 30 Maks 40 Maks 40 Maks 1 Maks 10 2 102-106 Maks 10 2 0 Berdasarkan proses pengolahannya, dekstrin dibagi menjadi tiga jenis yaitu siklodektrin, maltodekstrin dan pirodekstrin (Satterthwaite dan Iwinski dikutip Lestari, 2008). Pirodekstrin merupakan dekstrin yang dihasilkan dengan cara hidrolisis asam atau pemanasan kering (roasting). Prosesnya dilakukan dengan pemanasan pati kering sambil diaduk, kemudian disemprot dengan asam klorida dan FTIP001626/036

24 sulfat. Derajat hidrolisisnya tergantung dari waktu, suhu, dan ph dari proses konversi (Smith, 1982, dikutip Ridwansyah, 2006). Proses pembuatan dekstrin dengan pemanasan kering dilakukan empat tahap meliputi persiapan bahan, pemanasan pendahuluan, pirokonversi atau pemanasan lanjut, dan pendinginan. Klarifikasi pirodekstrin menurut Satterthwaite dan Iwinski dikutip Lestari dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Pirodekstrin Karakteristik Dekstrin Putih Kondisi : Katalis HCl Suhu (oc) 79-121 Waktu (jam) 3-7 Warna Putih hingga krem muda Kelarutan (%) 1-98 Dekstrin Kuning HCl 149-190 6-20 Kekuningan hingga kuning tua 95-100 British Gum HCl 135-190 10-24 Kekuningan hingga coklat tua 1-100 Sumber : Satterthwaite dan Iwinski dikutip Lestari (2008) Jenis pirodekstrin ini berbeda dalam cara perlakuan pati sebelum dipanaskan, cara dan tingkat pemanasan, dan sifat-sifat produk yang dihasilkan. Secara umum dekstrin putih dibuat dengan konversi pada suhu rendah dan ph yang tergantung kecepatan proses konversi tanpa pembentukan warna yang berlebihan. Dekstrin kuning merupakan produk yang terkonversi tanpa pembentukan warna yang berlebihan. Dekstrin kuning merupakan produk yang terkonversi lebih tinggi yang dibuat dengan kombinasi ph rendah dan suhu yang tinggi. British gum disisi yang lain dikonversi pada ph yang tinggi dan suhu yang tinggi untuk konversinya, FTIP001626/037

25 sehingga warna British gum lebih gelap daripada dekstrin putih (Wurzburg, 1986, dikutip Ridwansyah, 2006). Menurut Fennema dikutip Lestari (2008), dekstrin memiliki viskositas yang relatif rendah sehingga pemakaian dekstrin dalam jumlah banyak masih diijinkan. Izin pemakaian dekstrin dalam jumlah banyak menguntungkan apabila pemakaian dekstrin dimaksudkan sebagai bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan dalam bentuk bubuk. FTIP001626/038