PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

dokumen-dokumen yang mirip
Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Majelis Eksaminasi Perkara Adam Damiri (Kasus Timor Timur) Fadilah Agus, SH, MH Prof. David Cohen Widati Wulandari, SH, L.LM Perkara Johny Wainal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Halaman 1 dari 12 Putusan Nomor : 173/Pid.B/2014/PN.Bkn

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

Putusan Sela Daud Sihombing Tanggal 14 Juni 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Bagian Kedua Penyidikan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999)

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 223/Pid.B/2014/PN.BKN

Daftar Pustaka. Glosarium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002.

P U T U S A N No. 263/Pid.B/2013/PN.BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

P U T U S A N Nomor : 108/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN TINGGI MEDAN

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 8 TAHUN 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN TINGGI MEDAN

Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

P U T U S A N Nomor : 62/Pid.B/2011/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Antang ; Laki-Laki ; Indonesia ; Islam ;

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 17 TAHUN 2005 TENTANG

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka saya hakim anggota berbeda pendapat hukum dengan empat hakim lainnya akan menyampaikan pendapat hukum sebagaimana diuraikan, dibawah ini yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan putusan perkara. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc : -Kesatu ; Melanggar pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b jis pasal 7 huruf b, - pasal 9 huruf a dan pasal 37 Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua; Melanggar pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h dan pasal 40 Undang-Undang Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 3. Terdakwanya adalah : Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman ( Mantan Dansat Brimob Polda Irian Jaya /Papua di Jayapuara ). 4. Fakta-fakta hukum seperti termuatdalam berita acara persidangan. II. Permasalahan 1. Apakah benar terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahan Terdakwa berupa pembunuhan dan penganiayaan? 2. Apakah kejahatan tersebut pada poin 1 Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan? III. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Untuk dapat menjawab permasalahan di atas maka terlebih dahulu harus dipahami pengertian dari kejahatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc sebagai berikut : Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan

tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan Penguasa atau Organisasi ( Penjelasan pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ) yang berupa tersebut pada huruf a sampai dengan huruf j pasal 9 Undang-Undang.Nomor 26 Tahun 2000. - Unsur-unsur umum kejahatan terhadap kemanusiaan adalah : a. Salah satu perbuatan Setiap tindakan yang disebut dalam pasal 9 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengatur jika lebih dari satu tindak pidana dilakukan misalnya pembunuhan dan perkosaan atau kombinasi dari tindak pidana itu ( Keputusan kasus Akayesu, Case No. ICTR-96-4- T, Trial Chamber, September 2, 1998, para.676-678 menyebutkan bahwa pelaku didakwa karena melakukan pemerkosaan saja ) b. Yang dilakukan sebaqai baqian dari seranqan Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang unsur-unsur adalah sebagai berikut : - Serangan adalah tindakan baik secara sistematis atau meluas yang dilakukan secara berganda yang dihasilkan atau merupakan bagian dari kebijakan Penguasa atau Organisasi. Tindakan berganda berarti bukan tindakan tunggal atau terisolasi. - Serangan baik secara meluas atau sistematis tidaklah semata-mata serangan militer seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional ( pasal 49 para.1 Protokol Tambahan I Tahun 1977 ) - Syarat terpenuhi jika penduduk sipil adalah objek utama dari serangan. c. Meluas atau sistematis yang ditujukan secara Iangsung terhadap penduduk sipil - Syarat meluas atau sistematis adalah syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan internasional. Kata meluas menunjuk pada jumlah korban, massive ( berulangulang ), tindakan dengan skala yang besar dilaksanakan secara kolektif dan berakibat yang serius ( Case No. ICTR-96-4- T, September 2, 1998, para 580 ).

Istilah sistematis mencerminkan suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap. Kata-kata meluas atau sistematis tidak mensyaratkan bahwa setiap kejahatan yang dilakukan harus selalu meluas atau sistematis. Dengan kata lain jika terjad[ pembunuhan, perkosaan dan penganiayaan, maka setiap kejahatan itu tidak perlu harus meluas atau sistematis, kesatuan tindakan-tindakan di atas sudah memenuhi unsur meluas atau sistematis. Unsur meluas ( widespread) atau sistematis ( systematic) tidak harus dibuktikan keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan yang meluas semata atau sistematis saja, dan tidak harus dibuktikan keduanya. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maupun Statuta Roma 1998 tidak memberikan definisi mengenai arti meluas atau sistematis. Oleh karena itu, pengertian sistematis atau meluas tersebut perlu menggunakan yurisprudensi, antara lain dalam ICTY dan ICTR dan doktrin. Berdasarkan yurisprudensi internasional, sebagaimana tampak dalam putusan ICTR, dalam perkara Akayesu, yang mengartikan kata meluas sebagai tindakan massive, berulang-ulang, dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius dan diarahkan terhadap sejumlah besar korban ( multiplicity of victim ). Sedangkan sistematis diartikan sebagai : diorganisasikan secara mendalam dan mengikuti pola tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumberdaya publik atau privat yang substansial, meskipun kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan Negara secara formal. Rencana tidak harus dinyatakan secara tegas atau terang-terangan. Indikator untuk menentukan terpenuhinya unsur sistematis dapat dilihat dari perencanaan operasional dengan membedakan :

- Mencapai tujuan legal dengan cara-cara legal - Mencapai tujuan legal tapi dengan menggunakan cara-cara ilegal - Mencapai tujuan ilegal - Unsur-unsur setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan a. Pembunuhan Dalam kasus Akayesu Pengadilan menyatakan bahwa pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah : (1) korban mati; (2) kematiannya sebagai akibat tindakan melawan hukum atau kelalaian (ommission) dari pelaku atau bawahannya; (3) ketika pembunuhan terjadi, pelaku atau bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa tindakan menyakiti korban seperti itu dapat menyebabkan kematian. b. Penganiayaan (persecution) Perlu dijelaskan mengenai istilah penganiayaan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah penganiayaan dalam arti persecution sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma 1998. Bukan dalam konteks penganiayaan yang diatur dalam KUH Pidana pasal 351. Unsur-unsur penganiayaanlpersecution adalah sebagai berikut : (1) pelaku dengan kejam ( severely) mencabut hak-hak fundamental satu orang atau lebih yang bertentangan dengan ketentuan Hukum Internasional; (2) pelaku menjadikan seorang atau beberapa orang sebagaj target dengan alasan identitas suatu kelompok atau kolektif atau menargetkan tindakannya pada suatu kelompok atau kolektif; (3) penargetan semacam itu didasarkan pada politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 atau dasar-dasar lain yang diakui secara universal sebagai tindakan yang dilarang oleh Hukum Internasional;

(4) tindakan itu dilakukannya dalam kaitannya dengan berbagai perbuatan yang dimaksud dalam pasal 7 ayat ( 1 ) Statuta Roma 1998. IV. Analisa Hukum Setelah memahami pengertian umum dan khusus kejahatan terhadap kemanusiaan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan ( sesuai berita acara persidangan ) tibalah saya menjawab pertanyaan : Apakah peristiwa yang terjadi pada hari Kamis tanggal 7 Desember tahun 2000, kira-kita pukul 02.00 WIT atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada bulan Desember tahun 2000 bertempat di Markas Komando Brimob Polda Irian Jaya/Papua di Kotaraja, Markas Kepolisian Sektor Abepura adalah kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 9 huruf a dan huruf h Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan apakah Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan? Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas maka yang pertama-tama diperiksa adalah apakah terdapat kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahan Terdakwa yang berupa pembunuhan dan penganiayaan ( persecution ) sebagaimana tersebut dalam dakwaan kesatu dan kedua. Seperti telah diuraikan pada angka romawi I mengenai pengertian kejahatan yang didakwakan maka apakah perbuatan tersebut dibawah ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan? 1. Adanya pasukan yang digerakkan dari Markas Komando Brimob Irian Jaya/Papua di Kotaraja ke Markas Kepolisian Sektor Abepura pada tanggal 7 Desember 2000 dinihari dalam rangka melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap orangorang yang diduga melakukan penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Abepura; 2. Pasukan digerakkan dalam dua periode, periode pertama diperintahkan oleh petugas piket yang kemudian dilaporkan kepada Terdakwa dan periode kedua diperintahkan langsung oleh Terdakwa setelah dilakukan APP;

3. Pasukan yang melakukan pengejaran dan penangkapan tersebut dilengkapi dengan senjata jenis SS1 dengan amunisi peluru hampa, peluru karet dan peluru tajam; 4. Lokasi pengejaran dan penangkapan meliputi asrama Ninmin asrama IMI asrama Yawa, pemukiman di jalan baru Kotaraja, pemukiman Abepantai dan pemukiman Skyline yang penghuninya ditengarai dari suku Wamena; 5. Penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh pasukan bawahan Terdakwa tidak ditemukan adanya surat penangkapan dan penahanan; 6. Dalam pengejaran dan penangkapan tersebut ditemukan korban meninggal satu orang ( Elkius Suhuniap ) berdasar Visum et Repertum nomor 353/174 tertangal 13 Desember 2000 dan puluhan orang mengalami luka-iuka pada bagian kepalaj muka, tangan, kaki dan badan berdasarkan kesaksian dqkter Markus L. SiganaJ dokter Evi T oriki dan dokter Widi Budianto; 7. Pasukan tersebut adalah bawahan Terdakwa secara de jure berdasarkan SK Kapolri Nomor Polisi : Skep/1434/XI/2000 tanggal 8 November 2000 dan secara de facto Terdakwa berada di tempat kejadian ( Markas Kepolisian Sektor Abepura ) saat pasukan bawahan Terdakwa melakukan pengejaran dan penangkapan; 8. Tidak ditemukan adanya pelaporan pasukan bawahan Terdakwa kepada Terdakwa tentang pelaksanaan tugas dalam rangka penangkapan dan pengejaran, jumlah orang yang ditangkap, keadaan orang yang ditangkap dan berapa senjata yang digunakan? jumlah amunisi khususnya peluru tajam yang digunakan dan berapa jumlah amunisi peluru tajam setelah pelaksanaan penangkapan dan pengejaran; 9. Tidak ditemukan adanya upaya oleh Terdakwa untuk melakukan pencegahan pada saat terjadi pengejaran dan penangkapan yang mengakibatkan kematian dan luka-iuka para korban dan tidak ditemukan upaya-upaya yang dilakukan oleh Terdakwa setelah kejadian untuk melakukan penindakan terhadap para pelaku untuk diserahkan kepada yang berwenang untuk dilakukan peyelidikan, penyidikan dan penuntutan; Perbuatan nomor 1 sampai dengan nomor 6 dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan bawahan Terdakwa yaitu adanya

penyerangan sebuah pasukan dengan cara kekerasan terhadap penduduk sipil secara meluas dengan bukti kombinasi korban terbunuh dan puluhan luka-iuka di lokasi yang tersebar di asrama Ninmin, asrama IMI, asrama Yawa, pemukiman di jalan baru Kotaraja, pemukiman Abepantai dan \pemukiman Skyline yang merupakan satu kesatuan tindakan. Walaupun pasukan bawahan Terdakwa melakukan kegiatan pengejaran dan penangkapan atas perintah atasan sekaligus tugas kepolisian namun demikian tugas yang positif seperti ini sama sekali dilarang melanggar ketentuanketentuan perlindungan hak asasi manusia baik secara nasional maupun secara internasional. Perbuatan nomor 2, 5, 6 sampai dengan nomor 9 dapat dikualifikasikan sebagai pertanggungjawaban pidana secara individual Terdakwa sebagai atasan polisi yang harus bertanggungjawab terhadap pasukan bawahannya yang telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan (persecution). Terdakwa sebagai atasan gagal melakukan pengendalian secara efektif yang merupakan kewenangannya terhadap pasukan bawahannya, hal ini dibuktikan tidak adanya pelaporan pasukan bawahan, tidak adanya upaya pencegahan dan tidak adanya upaya penindakan setelah kejadian terhadap pelaku kejahatan. Harus diakui bahwa dalam peristiwa pengejaran dan penangkapan tersebut timbul suatu akibat berupa : 1. korban meninggal dan puluhan orang luka-iuka;. 2. timbul kerugjan bagi korban dan Keluarganya. Sehubungan dengan masalah ini saya berpendapat bahwa telah diputuskan dalam putusan sela yang memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengajukan tuntutan sesuai dengan aturan yang berlaku. V. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Terdakwa Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan (pesecution) sebagaimana didakwakan pada : - Dakwaan Kesatu pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b jis pasal 7 huruf b dan pasal 9 huruf a; dan - Dakwaan Kedua pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Makassar, 8 September 2005 Hakim Tersebut, HM Kabul Supriyadhie