ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS NO.

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

III. METODE PENELITIAN. Cara penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan normatif dan empiris

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum pidana. Penegakan hukum adalah proses di lakukannya upaya untuk tegaknya atau

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SIKAP KEJAKSAAN ATAS PELIMPAHAN BERKAS PERKARA OLEH PENYIDIK

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

Transkripsi:

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK) (Jurnal Penelitian) Oleh: MANGGARA GUIN TRICAHYO FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2014

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK) Oleh: Manggara Guin Tricahyo, Sunarto, Budi rizki Husin Email: manggara_guin@yahoo.com ABSTRAK Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Sehubungan dengan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan permasalahan : Apakah putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK ini sudah sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil sebagaimana yang dituangkan di dalam KUHAP dan Apakah akibat hukum atas putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK apabila tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa : Putusan Hakim harus sesuai dengan syarat materiil dan formil berdasarkan KUHAP, karena Perbedaan unsur dalam pasal yang digunakan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa dengan dakwaan yang di berikan penuntut umum akan berakibat terhadap putusan yang tidak berdasarkan bukti-bukti persidangan, sehingga batal demi hukum dan berpotensi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia. Akibat hukum atas putusan yang tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil adalah batal demi hukum, karena tersurat dalam KUHAP bahwa setiap putusan hakim hendaknya memuat norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP, agar putusan tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat. KUHAP juga memberi ketentuan ketika sebuah putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada maka ia dianggap batal demi hukum. Kata kunci: Putusan Hakim berkekuatan hukum tetap, batal demi hukum

ANALYSIS JURIDICAL OF VERDICT WHO LEGALLY BINDING FOR CRIMINAL OFFENSE NARCOTICS (CASE STUDY: NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK) By Manggara Guin Tricahyo, Sunarto, Budi rizki Husin Email: manggara_guin@yahoo.com ABSTRACT The Verdict is very important, because in it there is a value who may come into direct contact with human rights. With respect to the description above, researcher interested to do research by the problems : Is this verdict No. 281/Pid.B/2013/PN.TK has been accordance with the terms formal and material as stated in KUHAP and Is the legal consequences of verdict No. 281/Pid.B/2013/PN.TK if it does not comply the terms of formal and material. The results of research and discussions showed that : the verdict should be in accordance with terms of material and formal based KUHAP, because differences element in article who judges used the imposition of criminal against a defendant with indictment given public prosecutor will result in the decision is not based on trial evidence, so that null and void and the potential for Human Rights violations. Legal consequences as decision that does not comply the terms of the formal and material is null and void, because contained in KUHAP that each judge's ruling there should be the norm in article 197 paragraph (1) KUHAP, that the decision have a strong legal position. KUHAP also provides provisions when a decision which is not in accordance with the existing provisions then it is considered null and void. Keywords: The Verdict is legally binding, null and void

I. PENDAHULUAN Salah satu proses penegakan hukum adalah terdapat pada institusi pengadilan. Institusi pengadilan berperan untuk mengadili, dan kemudian memutuskan tentang bersalah atau tidaknya seseorang yang disertai dengan penetapan pertanggung jawaban pidananya. Disini diperlukan keahlian, integritas, dan kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Keahlian yang dimiliki oleh Hakim yang bersentuhan langsung dengan Hak Asasi Manusia adalah kecermatan. Hakim harus memiliki kecermatan yang tinggi dalam menganalisis setiap fakta per sidangan yang ada, untuk kemudian disimpulkan menjadi sebuah putusan. Kecermatan hakim juga diperlukan dalam membuat sebuah putusan, sebab putusan hakim akan berdampak besar bagi hak-hak seorang terpidana. Dalam memutuskan sebuah perkara, hakim harus cermat atas segala tuntutan jaksa dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Hakim diberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan tidak terlepas dari apa yang diperintahkan oleh undang-undang. Hakim juga memiliki hak untuk menggali berbagai informasi, baik yang bersumber kepada proses hukum sebelumnya, maupun atas dasar pengetahuan dan keyakinan nya. Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Pada prinsipnya hanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila dikeluarkan melalui sebuah persidangan yang terbuka dan transparan dan tidak adanya upaya hukum lain yang diajukan. Terkait dengan putusan hakim yang memiliki pengaruh besar terhadap hak asasi seseorang, maka penulis merasa perlu untuk meneliti sebuah putusan dengan No : 281/Pid.B/ 2013/PN.TK. Dalam putusan ini, menurut penulis nampak perbedaan antara putusan hakim dengan tuntutan yang diajukan jaksa berdasarkan fakta-fakta yang ada. Padahal KUHAP telah mengatur ketentuan-ketentuan mengenai kerangka putusan hakim yang harus diikuti apabila hendak mendapatkan putusan yang legitimate. Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian akan diolah dengan langkah-langkah, yaitu klasifikasi, editing, interpretasi dan sistematis. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif deskriptif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Putusan Hakim harus sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil berdasarkan KUHAP. Sistem penegakkan hukum terdiri atas substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Substansi hukum adalah aturanaturan yang mengatur perbuatan apa yang boleh atau dilarang dengan disertakan sanksi bagi yang melanggar. Disini hukum dapat ditinjau dari sisi living law (hukum berjalan) dan positifisme hukum. Living law adalah sebuah kesepakatan luhur dari sekelompok masyarakat atas norma-norma yang ingin ditegakkan dalam masyarakat, sedangkan positifisme hukum adalah sebuah paham yang menginginkan hukum dibuat secara tertulis oleh pejabat yang berwenang. Struktur hukum adalah institusi penegak hukum yang berfungsi untuk memastikan bahwa hukum berjalan sebagaimana semestinya dan diberikan hak untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan Undang-undang. Sedangkan budaya hukum adalah sikap masyarakat yang tunduk dan patuh terhadap hukum yang diberlakukan dengan sematamata untuk ketertiban dan keadilan bersama-sama. Penegakkan hukum berupa penjatuhan pidana terhadap seseorang selalu terikat pada sistem dan aturan yang melibatkan pihakpihak tertentu. Pihak-pihak yang dimaksud adalah tersangka, terdakwa, penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, dan penasihat hukum. Secara normatif kewenangan penyidik termaktub dalam Pasal 7 KUHAP ayat (1). Proses penegakkan hukum setelah berjalan di penyidik maka beralih kepada penuntut umum (Institusi Kejaksaan). KUHAP memberi uraian pengertian jaksa dan penuntut umum pada pasal 1 butir 6a dan b serta pasal 13. Ditegaskan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6a). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13). Rumusan pengertian itu ditegaskan kembali dalam Pasal 1 butir (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Setelah melewati proses administrasi yang dilakukan oleh penuntut umum dan penyidik terkait dengan faktafakta yang didapatkan maka penuntut umum membuat surat dakwaan guna melakukan proses penuntutan terhadap terdakwa 1. Hakikatnya surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pemeriksaan bagi hakim didalam sidang pengadilan. Begitu pentingnya surat dakwaan ini sehingga KUHAP mengancam apabila tidak memenuhi persyaratan 1 Pasal 1 butir 7 memberikan pengertian, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

tertentu maka batal demi hukum (Pasal 143 ayat (3) KUHAP). Selengkapnya Pasal 143 KUHAP, yang menegaskan sebagai berikut : 1) Penuntut Umum melimpah kan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. 4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Pada proses persidangan, penuntut umum berkewajiban untuk membuktikan fakta-fakta yang termuat dalam surat dakwaan agar nantinya menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Setelah dimulainya proses pengadilan, maka dimulai pula tugas seorang hakim yang pada akhirnya akan bermuara kepada pemberian putusan yang adil terhadap seseorang yang telah disangkakan melakukan perbuatan pidana. Wewenang hakim antara lain dapat disimak dalam KUHAP, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. KUHAP menyatakan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8). Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang (Pasal 1 butir 9). Tampak jelas bahwa wewenang hakim utamanya adalah mengadili yang meliputi kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana. Dalam hal ini, pedoman pokoknya adalah KUHAP dan materi tuntutan yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran, dan tidak memihak. Secara umum wewenang hakim adalah melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan (Pasal 20 ayat 3 jo Pasal 26). Yang kedua adalah pengalihan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain. Hakim memiliki hak untuk memberikan putusan pemidanaan sesuai dengan surat dakwaan dan fakta persidangan yang ada dalam pengadilan.

Putusan pemidanaan terjadi, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Terbukti melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim yakin terdakwa yang bersalah melakukan. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Tujuan undangundang mengatur demikian adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang (Penjelasan Pasal 183 KUHAP). Sebagaimana paham negara hukum modern bahwa hukum adalah kaidah yang tertulis dan putusan hakim bersifat kongkrit dan individual maka dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan keyakinan hakim harus dituangkan dalam sebuah putusan berdasarkan aturan KUHAP pasal 197 ayat (1) sebagai berikut : a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. e) Tuntuan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. f) Pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu. k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. l) Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang memutus, dan nama Panitera.

Menyimak rumusan muatan surat pemidanaan ternyata ada sepuluh poin, yang harus dipenuhi. Kesepuluh poin tersebut, apabila tidak dipenuhi mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Adapun ketentuan yang harus dipenuhi meliputi huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l, sedangkan yang dapat disimpangi adalah huruf g dan i. Ditentukan pula, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum, kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h (Penjelasan Pasal 197 ayat (2). B. Akibat Hukum Atas Putusan Yang Batal Demi Hukum. Ketentuan tersurat didalam KUHAP bahwa setiap putusan hakim hendaknya memuat norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP, agar putusan tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat. KUHAP juga memberi ketentuan ketika sebuah putusan yang tidak sesuai dengan ketentuanketentuan yang ada maka ia dianggap batal demi hukum. Putusan hakim No. 281/Pid.B/2013/PN.TK atas terdakwa Wahyudi Bin Rauf Mustofa yang telah diputus bersalah dan dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- (Delapan Ratus Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan, namun tidak mencantumkan norma yang diatur dalam pasal 197 ayat (1) huruf F dan H yakni Pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa dan Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan, maka secara hukum memiliki konsekuensi sebagai berikut : 1. Pasal 197 ayat (1) KUHAP, meyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain huruf F. Jadi jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara maka pasal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhi putusan pemidanaan haruslah sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan hakim atas perbuatan pidana seorang terdakwa. Perbedaan unsur dalam pasal yang digunakan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa dengan dakwaan yang diberikan penuntut umum akan berakibat terhadap putusan yang tidak berdasarkam bukti-bukti persidangan dan berpotensi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jika ditelaah secara mendalam bagaimana mungkin seorang terdakwa disangkakan melakukan perbuatan tindak pidana namun bertentangan dengan perbuatan yang dilanggarnya.

2. Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Jika kita berpedoman pada ketentuan ini, maka telah jelas putusan tersebut bertentangan dengan KUHAP karena hakim memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan jaksa. Sesuai dengan dakwaan jaksa, terdakwa Wahyudi dituntut dengan menggunakan pasal 111 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam Bentuk Tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah), sedangkan hakim memutuskan dengan menggunakan pasal 111 ayat (1), akan tetapi dengan klausul jenis Narkotika Bukan Tanaman. Padahal kita semua tahu bahwa ganja adalah Narkotika Jenis Tanaman. 3. Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf F dan H tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan pengadilan dikatakan batal demi hukum, artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada. Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum sehingga dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai ekekutor putusan pengadilan. 4. Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam perkara Wahyudi adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (tidak dilakukan upaya hukum lainnya), maka tidak ada upaya hukum apapun baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf F dan H KUHAP maka Jaksa tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi hukum tersebut, maka jaksa telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia yakni melanggar pasal 28D ayat (1) Undang-undang dasar 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pada kasus ini banyak pihak yang berpendapat bahwa batal demi

hukum bukan berarti tidak ada akibat hukum terhadapnya (terpidana). Namun, menurut penulis pendapat seperti itu adalah keliru sebagaimana tertera dalam Pasal 76 KUHP yang berbunyi Kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah, orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap. Ketentuan pasal ini dimaksudkan guna memberikan kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut. Prinsip yang dimuat dalam pasal 76 KUHP tersebut dikenal dengan ne bis in idem, yang artinya tidak boleh suatu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh Pengadilan. 5. Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi 2. Karena itu, jika jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asasi negara hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang salah satu cirinya dalah mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga melanggar pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 2 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm 78. Manusia yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif. 6. Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka korban eksekusi itu berhak untuk melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena jaksa tersebut telah melanggar pasal 333 ayat (1) KUHP yang berbunyi Barang siapa dengan sengaja melawan hukum, merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Jaksa tersebut juga dapat dituntut berdasarkan pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain pendapat diatas, menurut penulis terdapat celah hukum lain yang dapat menghapuskan hukuman bagi terpidana sebagaimana menurut KUHAP hukuman terpidana adalah batal demi hukum. Langkah ini menurut penulis dapat dilakukan mengingat hukuman yang telah dijalankan oleh terpidana telah berjalan dan nampaknya kurang mendapat perhatian dari aparat penegak hukum khususnya Jaksa selaku eksekutor putusan Hakim. Langkah ini dapat dilakukan, ketika jaksa tidak mengindahkan prinsip batal demi hukum. Beberapa penghapusan pemidanaan yang tidak diatur dalam KUHP adalah amnesi, dan turun tangan

Presiden berdasarkan Undangundang. Yang dimaksud dengan amnesti pada dasarnya ialah hak yang diberikan kepada Presiden untuk menghapuskan hak penuntutan dari penuntut umum dan penghentiannya dan sekaligus penghapusan hak (menyuruh) melaksanakan pidana dari penuntut umum (atau kewajiban pelaksanaan pidana dan terpidana) terhadap pelaku dari suatu tindak pidana demi kepentingan hak asasi dan Negara. Kesalahan seperti ini juga berdampak kepada hak asasi manusia, karena putusan hakim merupakan kehendak negara atas perampasan hak-hak dari seorang warga negara. Putusan hakim, adalah sesuatu yang dibacakan oleh hakim dalam sebuah persidangan formal, sehingga seketika itu juga putusan dapat dijalankan. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mungkin putusan tersebut dapat dijalankan, sedangkan hakim salah dalam memutuskan. Dakwaan jaksa dan bukti persidangan secara jelas membuktikan bahwa terpidana menggunakan narkoba jenis tanaman. Namun, hakim memutusnya dengan kesalahan bahwa menggunakan narkoba bukan jenis tanaman. Bagi penulis, disinilah letak pelanggaran terhadapa hak asasi, karena seorang warga negara telah dihukum bukan berdasarkan kebenaran formil yang ada. Kelainan seperti ini apabila dianggap sebagai hal yang biasa akan menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum di Negara ini. III. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf F, bahwa putusan hakim hendaknya memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terpidana. Hal ini sama saja dengan kesimpulan bahwa seorang terpidana yang diadili dan diputus bersalah berdasarkan pertimbangan hakim harus sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan hakim atas perbuatan pidana seorang terpidana. 2. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK bertentangan dengan KUHAP karena hakim telah memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan jaksa. Dan dalam Pasal 197 ayat (2) ditentukan apabila putusan hakim yang tidak memenuhi dua syarat diatas maka putusan itu dianggap batal demi hukum, artinya putusan

tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum. Dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. DAFTAR PUSTAKA Affandi, Wahyu, 1982, Berbagai Masalah Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung. Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung. Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. Nasution, Bahde Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung. Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. E.Y. Kanter, 1982, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Gunung Mulya, Jakarta. E.Y. Kanter, 2001, Etika Profesi Hukum, Storia Grafika, Jakarta. Hamzah, Andi, 1984, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghali Indonesia, Jakarta. Harahap, Yahya, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta. Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Mulyadi, Lilik, 2002, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.