I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi

dokumen-dokumen yang mirip
I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN I.1

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan.

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN I.1.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IMPLEMENTASI BATAS WILAYAH dan KEPULAUAN TERLUAR INDONESIA terhadap KEDAULATAN NKRI

Penentuan Batas Pengelolaan Wilayah Laut Antara Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

BAB I PENDAHULUAN. dan gas yang terkandung di Laut Timor. tertentu berdasarkan pada prinsip Landas Kontinen.

KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

SENGKETA-SENGKETA PERBATASAN DI WILAYAH DARAT INDONESIA. Muthia Septarina. Abstrak

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Abstrak PENDAHULUAN.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AGENDA Kegiatan Divisi ASEPSW

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 71/2010), aset adalah

Latihan Ulangan Semsester 1 Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas VI

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 Tahun 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI JAWA BARAT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bab I PENDAHULUAN. meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bagi hasil sumber daya alam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL)

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA

Gambaran Materi Pelajaran. Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas 6 Semester 1 Tahun Ajaran Minggu Topik Materi Umum Materi Adaptasi

SOAL ULANGAN HARIAN. : - Memahami perkembangan wilayah Indonesia

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

Kajian Strategi Batas Pengelolaan WIlayah Negara & Kawasan Perbatasan di 12 Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

KEWARGANEGARAAN WAWASAN NUSANTARA : GEOPOLITIK-GEOSTRATEGI. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: 11Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

URGENSI PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN DALAM KAITANNYA DENGAN KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 13

PENDAHULUAN. samudera Hindia dan samudera Pasifik dan terletak di antara dua benua yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGASAN BATAS DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Perlunya peta dasar guna pendaftaran tanah

BAB I PENDAHULUAN. Setelah selama dua puluh empat tahun menjadi bagian dari wilayah kedaulatan NKRI,

Transkripsi:

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Alokasi dan Delimitasi: a. Dasar hukum dan Argumentasi histories, Traktat/perjanjian, Struktur kesepakatan batas yang umum berlaku. b. Teori Boundary Making c. Dasar hukum Batas Internasional d. Dasar hukum Batas Nasional (UUD-1945, (UU No. 32/2004 Pemerintahan daerah) e. Alokasi f. Delimitasi C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN : a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : SCL (Student Centered Learning) +TCL (Teacher Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo II. BAHAN AJAR 1. Dasar hukum dan Argumentasi historis keberadaan batas wilayah internasional Sejarah keberadaan batas wilayah sebenarnya telah berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Pada zaman manusia hidup dari berburu, orang sudah menetapkan batas wilayah perburuannya. Kemudian ketika manusia mulai hidup dengan bercocok tanam secara menetap, orang mulai menetapkan batas-batas bidang tanah yang menjadi wilayah garapannya. Catatan sejarah yang sekarang ada menunjukkan bahwa Herodotus seorang bangsa Mesir yang hidup pada tahun 1400 sebelum masehi ditugaskan untuk melakukan pengukuran batas-batas bidang tanah untuk keperluan pajak (Ghilani,C.D. dan Wolf,P.R., 2008). Bidang tanah pada dasarnya juga wilayah di permukaan bumi, hanya ukurannya sempit. Untuk ukuran wilayah yang lebih luas tercatat gagasan pembagian wilayah laut yang muncul pertama kali atas kewibawaan Paus Alexander VI yang membagi laut untuk Portugal dan Spanyol berdasarkan Piagam Inter Ceterea 1492. Garis alokasi yang pertama dibuat dilakukan oleh Pope (Sri Paus) Alexander VI pada tahun 1492 tersebut untuk 1

membagi wilayah laut untuk Portugal dan Spanyol dengan cara menggambar garis pada bola bumi dari utara ke selatan pada jarak 100 marine leagues sebelah barat pulau Azore dan Capeverdian. Garis alokasi ini kemudian direvisi di dalam Perjanjian Tordesillas pada tahun 1494 menjadi garis yang terletak 370 marine leagues disebelah barat kedua pulau tersebut. Alokasi ini menetapkan bahwa laut disebelah timur garis alokasi yang telah dibuat adalah milik Portugal, sedangkan laut disebelah baratnya menjadi milik Spanyol. Garis ini juga digunakan untuk mengidentifikasi bahwa daratan-daratan yang bisa ditemukan dan dieksplorasi di sebelah timur garis tersebut adalah menjadi milik Portugal sedangkan di sebelah baratnya adalah milik Spanyol. Disamping itu garis ini juga sebagai penanda bahwa Portugal mempunyai kewajiban menyebarkan agama Kristen kepada penduduk di sebelah timur garis alokasi dan Spanyol menyebarkan agama Kristen terhadap pendudukdi di sebelah baratnya (Caflisch, 2006). Sebagai catatan, menurut kamus Inggris Oxford: 1 marine leagues = 3 mil = 4,8 km (Caflisch, 2006; Carleton dan Schofield, 2001 dalam Andi, I.M.A., 2007). Setelah pembagian laut antara Potugal dan Spanyol, usaha serupa juga dilakukan oleh Inggris pada tanggal 1 Maret 1604 yang meliputi perairan pantai Inggris pada lebih kurang 27 semenanjung (Andi,I.M.A.,2010). Di benua Amerika bagian selatan ada garis alokasi antara Spanyol dan Portugis yang dibuat bulan September tahun 1882 (Huerta, 2006), sedang di benua Amerika bagian utara, Inggris membagi menjadi dua wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kanada dan Amerika Serikat (Jones, 1945). Perjanjian antara Perancis dan Portugis pada tanggal 12 Mei 1886 membagi wilayah Guinea di benua Afrika menjadi Guinea yang dikuasai oleh Perancis dan Guinea-Bissau yang dikuasai oleh Portugis (Caflisch, 2006). Di benua Afrika garis alokasi yang dibuat oleh negara-negara kolonial seperti Perancis, Inggris dan Portugis dilakukan melalui perjanjian yang berlangsung antara tahun 1875 sampai tahun 1950an (Mucomba, J.E. dan Gadeao, E.N., 2006). Di Asia Tenggara pembagian wilayah koloni dapat dicatat sebagai berikut. Perancis pada tahun 1887 dan 1895 melalui Sino- Frence Treaties mengalokasi wilayah yang didudukinya menjadi beberapa daerah koloni yang sekarang dikenal sebagai Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar (Hoang Trong Lap dan Nguyen Hong Thao, 2006). Sementara wilayah semenanjung Malaya dibagi antar Perancis dan Inggris melalui perjanjian (treaty) tahun 1909 yang sekarang menjadi negara Thailand dan Malaysia. Pulau Borneo (Kalimantan) di bagi dua antar Inggris di sebelah utara (sekarang Malaysia) dengan Belanda di sebelah selatan (sekarang Indonesia) melalui perjanjian tahun 1891 (Nordin, A.F.,2006). Pulau Papua dibagi dua antara Belanda di sebelah barat (sekarang Indonesia) dan Inggris di sebelah timur (sekarang Papua Nugini) pada garis bujur 141 0 bujur timur melalui treaty tahun 1896. Kemudian pada tahun 1854 dilakukan perjanjian batas antara Belanda dan Portugal di Pulau Timor. Timor bagian barat dikuasai Belanda (sekarang Indonesia) dan Timor bagian timur dikuasai Portugis (sekarang Timor Leste). Perjanjanjian 1854 tersebut kemudian direvisi pada tahun 1899 dan 1905 (National Archive London dalam Sumaryo, 2010). Alokasi wilayah yang dilakukan oleh negara-negara kolonial menghasilkan garis alokasi yang dikemudian hari setelah negara-negara koloninya merdeka maka garis alokasi tersebut ditetapkan menjadi batas wilayah negara yang merdeka. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional uti posidetis juris bahwa alokasi wilayah secara umum untuk negara yang baru merdeka adalah mewarisi wilayah dari negara penjajah yang berkuasa sebelumnya atas satu wilayah tertentu. Batas wilayah negara yang sekarang ada di dunia pada dasarnya merupakan warisan garis alokasi dari zaman kolonialisasi (Caflisch, 2006). 2

2. Teori Boundary Making menurut Jones (1945). Pada tahun 1945 seorang ahli geografi politik Amerika bernama Stephen B Jones mempublikasi buku berjudul Boundary-Making: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners. Buku tersebut ditulis sebagai suatu buku pegangan (handbook) bagi para diplomat, editor perjanjian dan komisioner perbatasan. Buku yang ditulis Jones tersebut dalam prakteknya tidak hanya digunakan oleh para praktisi batas wilayah seperti diplomat, ahli hukum, editor perjanjian, komisioner perbatasan, namun juga oleh para akademisi yang menggeluti masalah batas wilayah. Oleh sebab itu bukunya Jones menjadi rujukan penting dan menjadi suatu teori yang dipelajari di lembaga perguruan tinggi yang mendalami ilmu geografi politik dan menjadi pedoman penting di dalam praktek. Dalam bukunya, Jones merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas wilayah suatu negara. Di dalam teorinya tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses adanya batas wilayah suatu negara, yaitu: (1) keputusan politik untuk mengalokasi wilayah teritorial (Allocation), (2) delimitasi batas wilayah di dalam perjanjian (Delimitation), (3) demarkasi batas wilayah di lapangan (Demarcation) dan (4) mengadministrasikan batas wilayah (Administration). Secara sistematis empat tahapan tersebut diilustrasikan pada Gambar 1. Gambar 1 : Sistematika tahapan pada teori Boundary Making menurut Jones (Sumber: Pratt, 2006; Blake, 1998) Bersumber dari bukunya Jones dan berbagai sumber yang lain, empat tahapan utama Teori Boundary Making tersebut dapat diuraikan pada sub bab berikut: 3

a) Alokasi Alokasi adalah tahap proses politik untuk menentukan pembagian atau alokasi wilayah teritorial yang dilakukan pada zaman kolonialisasi, yang dalam hal ini masingmasing negara kolonial yang akan menguasai wilayah mencapai kesepakatan terhadap pembagian wilayah secara umum (Jones, 1945). Pada tahap alokasi ini dihasilkan suatu garis yang menurut Caflisch, (2006) disebut sebagai garis alokasi (allocation lines) yang akan menentukan lingkaran pengaruh atau spheres of influence terhadap wilayah yang dikuasanya. Tahap ini tentu saja melibatkan proses dan keputusan politik antara negara kolonial yang tidak mudah. Negara-negara kolonial seperti Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol dan Portugis merupakan pencipta garis alokasi (Pratt, 2006). b) Delimitasi. Delimitasi berarti memilih letak (site) suatu garis batas dan mendefinisikannya di dalam perjanjian (treaty ) atau dokumen formal lainnya. Delimitasi adalah suatu tahapan yang lebih teliti dibanding tahapan sebelumnya yaitu alokasi, tetapi kurang teliti dibanding tahapan sesudahnya yaitu demarkasi. Memilih letak garis batas biasanya merupakan kompromi antara pertimbangan geografis dengan kepentingan politik. Sedangkan mendefinisikan garis batas merupakan suatu proses yang sepenuhnya bersifat teknis (kartometris). Kesalahan serius bisa terjadi pada tahap delimitasi yaitu ketika memilih letak yang tidak sesuai atau mendefinisikan batas dengan tidak benar pada lokasi yang sudah sesuai. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa disebabkan hal-hal sebagai berikut: a) tidak mengenali lokasi perbatasan yang akan dipilih, b) tidak mengenali dengan baik kekhasan kenampakan geografis yang ada di lokasi perbatasan yang dipilih baik aspek dari alamiah maupun manusianya, c) kurangnya pengetahuan terhadap kesulitan-kesulitan di dalam mendefinisikan batas. Menyusun suatu perjanjian tentang batas wilayah harus teliti dan cermat di dalam penggunaan kata-kata dan memiliki kepastian dan kejelasan hubungan antara yang tertulis di dalam perjanjian dengan kondisi lapangan yang sebenarnya. Bahkan ketika peta skala besar tidak tersedia sebagai dokumen, perjanjian tetap harus dapat menyediakan bahwa tidak ada perbedaan yang besar antara yang tertulis di dalam perjanjian dengan kondisi lapangan pada saat tahap demarkasi selanjutnya dilakukan. Di dalam perjanjian sebaiknya dicantumkan suatu klausal yang memberi kekuasaan kepada komisi demarkasi batas untuk melakukan atau memberi rekomendasi penyesuaian (adjusment) garis batas di lapangan bila diperlukan. Ini menjadi catatan penting bahwa sebenarnya tidak ada pendefinisian batas di dalam perjanjian yang tidak dapat dibatalkan sampai suatu tim teknis yang berpengalaman dalam permasalahan perbatasan dimintai pendapat tentang pemilihan letak garis batas dan merumuskannya definisi batas tersebut di dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Hal tersebut sebenarnya menjadi suatu catatan penting bahwa advis dan masukan hasil survey lapangan sangat diperlukan sebelum memilih dan mendefiniskan batas wilayah. Survey lapangan sebenarnya tidak memerlukan waktu lama, namun hasilnya sangat membantu untuk menghindari ketidaktepatan pemilihan lokasi dan menghindari ketidakakuratan pendefinisikan garis batas. Metode survey dari udara seperti penggunaan foto udara atau penggunaan citra satelit yang sekarang sudah memiliki resolusi tinggi akan sangat membantu 4

dan mempercepat survey rekonaisan untuk data masukan dalam memilih dan mendefinisikan garis batas wilayah. Dalam hal menentukan dan mendefinisikan Jones mengingatkan agar pemilihan dan pendefinisan garis batas harus mengurangi friksi di dalam boundary-making sehingga menghasilkan batas yang memberi peluang terbaik untuk dimulainya hubungan yang harmonis antara negara yang berbatasan. Untuk menentukan posisi titik dan garis yang teliti dibutuhkan ahli teknis seperti kartografer, surveyor geodesi atau geografer (Adler, 1995). Batas yang tepat tidak dapat ditentukan kecuali bila disiplin geografi, geodesi dan kartografi bisa menyediakan data untuk delimitasi dan demarkasi (Cukwurah, 1967). Dalam tahap delimitasi ini, dokumen perjanjian sudah dibuat. Dalam hal metode delimitasi, Prescott (1987) mencatat prinsipnya ada dua metode delimitasi batas yaitu metode turning points yang merupakan kombinasi arah dan jarak dan metode natural features yang menggunakan kenampakan alam seperti sungai dan watershed. Menurut Jones (1945) di dalam mendefinisikan batas paling tidak dikenal ada enam metode. Dalam suatu perjanjian batas bisa saja enam metode tersebut digunakan bersamaan untuk digunakan pada segmen garis batas yang berbeda. Enam metode tersebut adalah: 1. Definisi Lengkap (Complete Definition) 2. Definisi Lengkap dengan kekuasaan untuk dirubah (Complete Definition, with power to deviate) 3. Turning Points 4. Arah dan jarak 5. Definisi Zone 6. Kenampakan alam (Natural features) 1. Definisi Lengkap (Complete Definition) Di dalam definisi lengkap (Complete Definition), garis batas diusahakan langsung dapat didemarkasi dengan hanya melakukan pengukuran lapangan. Cara ini sangat mungkin dilakukan, tetapi tidak ada jaminan bahwa garis yang didefinisikan adalah yang paling sesuai dan cocok dengan kondisi lapangan untuk seluruh bagian garis batas ketika dilakukan demarkasi. Contoh Complete Definition adalah delimitasi batas antara Alaska dan Kanda yang menggunakan garis bujur 141 0 Bujur Barat, delimitasi batas Papua Nugini (Inggris) dengan Papua Belanda pada meridan 141 0 Bujur Timur dan delimitasi batas antara koloni Inggris dan Belanda di Pulau Sebatik pada garis lintang utara 4 0 2. Definisi Lengkap dengan kekuatan yang masih bisa diubah (Complete Definition with Power to deviate) Cara ini sebenarnya adalah Complete Definition, namun para demarkator diizinkan untuk merubah batas yang telah didefinisikan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Contoh Complete Definition with Power to deviate adalah delimitasi batas yang menggunakan garis bujur di Papua ketika antara Belanda dan Inggris pada tahun 1895 menetapkan batas koloninya di Papua menggunakan garis bujur 141 0 BT. Namun setelah dilakukan demarkasi oleh masing-masing pihak menggunakan metode astronomi geodesi, didapat perbedaan ukuran di lapangan antara pihak Belanda dan Inggris sebesar 398 m. Kemudian disepakati bahwa letak garis bujur 141 0 BT adalah ditengah-tengah perbedaan tersebut. Namun ketika 5

garis bujur yang disepakti tersebut akan dipasang di lapangan, ditemukan lagi bahwa posisi baru ini tidak cocok untuk pendirian tugu/pilar, maka setelah konferensi lanjutan ditetapkan sebuah lokasi lain karena alasan kepentingan praktis, berjarak sekitar 31 meter di sebelah barat posisi hasil pembagian perbedaan jarak tersebut. Melalui pengukuran, tugu tersebut kini berdiri pada jarak 167,7 meter di sebelah timur posisi bujur 141 BT yang ditetapkan dengan observasi Belanda dan 230,3 meter di sebelah barat posisi bujur 141 BT yang ditetapkan dengan observasi Australia sebagai mandat dari Kerajaan Inggris. 3. Definisi batas dengan Turning Points Mendefinisikan garis batas dengan metode Turning Points adalah metode yang sangat umum dipakai dan metode yang sangat logis karena setiap garis dapat didefinisikan dengan seksi (segmen) dan jarak seksi bisa bervariasi tergantung bentuk garisnya (Jones, 1945; Adler, 2001). Pada metode ini yang perlu didefinisikan lebih dahulu dengan akurat adalah titik-titik batasnya, kemudian garis batas didefinisikan dengan cara menghubungkan dua titik batas yang telah didefinisikan tersebut dengan garis lurus (lihat Gambar ). Pemilihan turning points harus dilakukan sehingga setiap seksi dapat di stake out di lapangan dan intervisibility antar turning points secara teknis tidak terlalu panjang, tetapi menguntungkan dalam kegiatan administrasi batas dikemudian hari. 1,2,3 = turning points Gambar 2 : Definisi batas dengan Turning Points Turning points dipilih pada titik-titik yang mudah dikenali baik di peta maupun di lapangan. Kalau turning points dipilih hanya pada kenampakan yang mudah dikenali di peta, tetapi sulit dikenali di lapangan maka akan menyulitkan ketika akan dilakukan demarkasi. Usahakan mendefinisikan turning points dengan koordinat geografis (lintang dan bujur) dengan referensi datum yang jelas dan pasti. Ketidakpastian dan ketidakjelasan datum yang digunakan dalam mendefinisikan koordinat turning points akan menjadi masalah dikemudian hari terutama pada tahap demarkasi. 4. Definisi batas dengan Arah dan Jarak. Pendefinisian garis batas juga dapat dilakukan dengan Arah dan Jarak. Definisi ini sebenarnya termasuk dalam tipe Complete Definitian yang biasa dilakukan oleh para surveyor di lapangan yaitu dengan metode Poligon (Traverse). Dari suatu titik awal yang 6

ditentukan, kemudian ditentukan garis batas dengan cara mengukur arah garis (Azimuth) dan jaraknya, sehingga akan didapatkan titik batas berikutnya. Cara ini mempunyai kelemahan yaitu dimungkinkan adanya perambatan kesalahan dalam pengukuran. Cara ini sering dikombinasi dengan cara Turning Points, oleh sebab itu Prescott (1987) menyebutkan bahwa metode turning points adalah metode kombinasi arah dan jarak. α 12 = azimuth 1,2,3 = turning points 5. Definisi Zone Gambar 3 : Pendefinisian garis batas dengan Arah dan Jarak Pendefinisian batas bisa juga dilakukan dengan mendefinisikan suatu zone yang memisahkan dua wilayah yang dalam jangkauan dan dalam batas-batas tertentu garis batas dapat didemarkasi. Di dalam memilih batas limit zone, harus diingat bahwa para demarkator dapat membagi wilayah secara sama (equal). Zone bisa dilakukan dengan jalan membuat dua garis sejajar. Gambar 4: Pendefinisian Zone batas wilayah 6. Delimitasi dengan menggunakan kenampakan alam Suatu garis batas dapat didefinisikan dengan meletakan garis tersebut mengikuti fenomena alam seperti sungai, punggung bukit atau danau tanpa memperhatikan secara mendetail apa yang ada sepanjang fenomena alam tersebut. Metode ini paling sering 7

digunakan, namun juga merupakan metode yang paling sering bermasalah. Pada metode ini pendefinisian garis batas dilakukan di peta dan ketidaklengkapan serta ketidaktelitian peta yang digunakan sering menjadi sumber kesulitan dalam mendefinisikan garis batas dan akibatnya sering menimbulkan masalah dikemudian hari terutama pada saat dilakukan demarkasi. Pendefinisian dengan metode ini akan lebih menyulitkan lagi bila orang yang mendefinisikan tidak mengenal medan daerah yang bersangkutan. Bila hasil delimitasi dengan metode ini akan dilanjutkan dengan tahap demarkasi, maka para demarkator harus diberi kekuasaan penuh untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi faktual di lapangan. Teori Boundary Making dalam konteks Batas Wilayah Daerah Otonom di Indonesia. Teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Namun demikian teori ini menurut Sutisna, (2007) juga dapat diadopsi untuk batas wilayah sub nasional di suatu negara. Dalam konteks nasional tentang sejarah keberadaan batas daerah di Indonesia baik batas daerah provinsi maupun batas daerah kabupaten/kota, menurut Sutisna, (2010) keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Gambar 2): PROSES KEBERADAAN BATAS DAERAH OTONOMI Alokasi Pasal 4,, 18, 33(3) UUD1945 Pasal 4 UU No.32/2004 Pasal pada UU ttg Pembentukan Daerah Penetapan/ Delimitasi Pasal 18 UU No.32/2004 UU ttg Pembentukan Daerah Peta Lampiran UU Penegasan/ Demarkasi Sengketa Batas Daerah Pasal 6(3) UU ttg Pembentukan Daerah PerMenDagri Administrasi-Budaya / Manajemen-Ling Hidup UU No.26/2007 PP No.38/2007 Berbagai PerUU Sektoral -Ekonomi -Sosial -Pertahanan -Keamanan Pelayanan Publik KesRakyat Prov Kab/kota Keputusan Politik Kebijakan Publik Survei dan Pemetaan TPBD: Pusat Prov Kab/kota PerDa MON EV SS.03.09.07 Gambar 2 : Ilustrasi Teori Boundary Making untuk konteks Indonesia pada era Otonomi Daerah ( Sutisna, 2007). 1. Alokasi Alokasi wilayah adalah sebuah keputusan politik yang dalam praktek kemudian dituangkan dalam suatu keputusan yang mengikat dan konstitusional. Dalam praktek otonomi daerah di Indonesia alokasi disebut juga dengan istilah cakupan wilayah. Dalam hal alokasi wilayah daerah otonom keputusan politik tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 1 yang berbunyi: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Namun dalam prakteknya alokasi ini hanya untuk wilayah darat, sedangkan alokasi wilayah laut (perairan) dituangkan dalam berbagai Undang-undang pembentukan daerah. Apabila berbagi kepentingan politik ini (alokasi) dipetakan secara geospasial, maka akan terjadi banyak gap atau overlap di wilayah perairan. 8

2. Delimitasi (Penetapan). Penetapan adalah sebuah keputusan hukum dan bagian dari adminstrasi publik, sehingga hal ini merupakan domain Pemerintah (pusat). Namun demikian dalam keputusan (sudah tertuang dalam Undang-undang), biasanya dilakukan konsultasi dan musyawarah dengan pihak-pihak terkait (pemangku kepentingan). Secara konstitusional penetapan batas dituangkan dalam undang-undang, baik yang bersifat lex spesialis seperti pada undangundang pembentukan daerah otonom beserta peta cakupan wilayah yang dilampirkan, maupun bersifat lex generalis seperti pada Pasal 8 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ketidakjelasan peta lampiran undang-undang atau ketidaksesuaian dengan daerah otonom lainnya di dalam NKRI menjadikan sebuah batas daerah menjadi sumber sengketa, sehingga sejak pada saat delimitasi tersebut dibutuhkan ketersediaan data dan informasi geospasial. Dalam berbagai kasus batas internasional maupun sub nasional, tahap delimitasi merupakan tahapan yang paling kritis dan diperlukan kerja yang sungguh-sungguh dan akurat (Blake,G.,1995). Ada tiga konsekuensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu, pertama, delimitasi batas daerah bukan berarti membuat wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang pada gilirannya mempermudah koordinasi pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di daerah. Kedua, harus dibangun semangat persaudaraan, kebersamaan sebagai bangsa dan mengkedepankan musyawarah. Ketiga, selesaikan delimitasi cakupan wilayah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum (Subowo, 2009). 3. Penegasan (Demarkasi). Hasil delimitasi batas daerah, selanjutnya dituliskan dalam dokumen undang-undang pembentukan daerah. Selain dalam bentuk peta batas daerah sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah, klausal cakupan wilayah daerah juga dituliskan dalam pasal-pasalnya. Bila sudah diundangkan, maka hasil kegiatan delimitasi sudah memiliki aspek legal. Tahap selanjutnya adalah kegiatan demarkasi atau penegasan batas, yaitu memasang tanda-tanda batas di lapangan. Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta. Penegasan batas daerah berpedoman pada batasbatas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah (Permendagri No1/2006). Oleh karena hal ini banyak terkait dengan pekerjaan pengukuran dan pemetaan serta bentuk dan ukuran fisik di muka bumi, maka kegiatan penegasan batas daerah menjadi proses/kegiatan yang menjadi domain/kompetensi bidang survei pemetaan. Pendefinisian istilah penegasan batas di Indonesia (khususnya untuk batas daerah) kini menjadi rancu. Di dalam Undang-undang Pembentukan Daerah otonom selalu mengamanatkan bahwa penegasan batas daerah di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Di dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, dimana Kementrian Dalam Negeri tidak mempunyai unit organisasi teknis bidang survei pemetaan, semestinya pasal ini dibaca penegasan batas-batas pasti di lapangan ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan demikian Menteri Dalam Negeri selaku wakil Pemerintah dapat meminta Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) selaku lembaga pemerintah untuk 9

melakukannya. Tetapi hal ini dapat berarti juga penetapan oleh Menteri Dalam Negeri dalam hal produk hukumnya, sedangkan penegasan nya dilakukan secara bersama-sama oleh daerah yang berbatasan dengan difasilitasi oleh instansi teknis di bidang survei pemetaan dan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 9 dan 10, PP. No.78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah). 4. Administrasi Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi dan pengesahan undang-undang pembentukan daerah kemudian dilakukan tahap demarkasi oleh the boundary engineers akan diakhiri dengan tahap administrasi dan manajeman batas dan daerah perbatasan oleh masing-masing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis dan merupakan proses awal pengelolaan daerah perbatasan, yang tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di daerah perbatasan. Adminstrasi batas daerah adalah kegiatan mengurus dan memelihara keberadaan batas daerah. Implementasinya dalam sistem otonomi daerah antara lain adalah menjadikan batas daerah dibuatkan produk hukum peraturan perundangan daerah (Perda). Disamping itu Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk menciptakan situasi yang kondusif di perbatasan. Hal ini tentu saja terkait aktivitas sosial budaya, pelayanan publik, lingkungan dan terutama ekonomi untuk kesejahteraan masyarakatnya. III. EVALUASI 1) Dalam Boundary Making Theory menurut Stephen B. Jones (1945): ada tahapan Alokasi, Delimitasi. Jelaskan pengertian masing-masing tahapan tersebut dalam konteks batas wilayah internasional (antar negara) dan batas wilayah daerah di Indonesia. 2) Jelaskan metode pendefisian garis batas wilayah dengan Definisi Lengkap (Complete Definition) 3) Jelaskan metode pendefisian garis batas wilayah dengan Definisi Lengkap dengan kekuasaan untuk dirubah (Complete Definition, with power to deviate) 4) Jelaskan metode pendefisian garis batas wilayah dengan Turning Points 5) Jelaskan metode pendefisian garis batas wilayah dengan Arah dan jarak 6) Jelaskan metode pendefisian garis batas wilayah dengan Definisi Zone 7) Jelaskan metode pendefisian garis batas wilayah dengan Kenampakan alam (Natural features) Jawaban soal evaluasi akan didiskusikan di dalam kelas 10

DAFTAR BACAAN (REFERENSI): 1. Anonim, 1982, United Nations Convention on the Law of the Sea, United Nations Organisation, New York. 2. Anonim, 2000, Handbook on the Delimitation of Maritime Boundaries, United Nations Organisation, New York. 3. Anonim, 2007, Permendagri No. 1 tahun 2006 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. 4. Donaldson, J.W & Williams, A.J., 2008, Delimitation and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B. Jones's : Boundary-Making, Geopolitics, 13:4, 676-700, Publisher: Routledge, To link to this article:http://dx.doi.org/10.1080/14650040802275503 5. Jones,B.,S., 2000, Boundary Making, A Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., Buffalo, New York. 6. Sutisna, S., 2004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal 11