ROKOK : KEMUBAZIRAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI KALANGAN SANTRI. Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

dokumen-dokumen yang mirip
dalam terbitan Kementerian Kesehatan RI 2010).

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak menular salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi tembakau yaitu. dan adanya kecenderungan meningkat penggunaanya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

hari berdampak negatif bagi lingkungan adalah merokok (Palutturi, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Kemenkes RI,

BAB 1 PENDAHULUAN. 600 ribu kematian dikarenakaan terpapar asap yang ditimbulkan. Hampir 80%

SURVEI PROMOSI HARGA ROKOK DI 10 KOTA

1. PENDAHULUAN. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. tahun itu terus meningkat, baik itu pada laki-laki maupun perempuan. Menurut The

tinggi tingkat kesehatan, maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula. Berdasarkan Undang- Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 yang memuat

INDIKATOR KESEHATAN SDGs DI INDONESIA Dra. Hj. Ermalena MHS Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Disampaikan dalam Diskusi Panel Pengendalian Tembakau dan

DAMPAK SOSIAL EKONOMI KONSUMSI ROKOK DI INDONESIA. Abdillah Ahsan Wakil Kepala Lembaga Demografi FEUI

BAB I PENDAHULUAN. merokok baik laki-laki, perempuan, anak kecil, anak muda, orang tua, status

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila

Kawasan Tanpa Rokok sebagai Alternatif Pengendalian Dampak Rokok bagi Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadi dalam lingkungan kesehatan dunia, termasuk di Indonesia. Tobacco

BAB 1 : PENDAHULUAN. kehidupan anak sekolah mulai dari SMA, SMP dan bahkan sebagian anak SD sudah

BAB I BAB 1 : PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Oleh karena itu,

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. kalangan masyarakat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe,

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

BAB I PENDAHULUAN. Rokok adalah hasil olahan tembakau yang terbungkus, dihasilkan dari tanaman Nicotiana

BAB I PENDAHULUAN. dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

BAB 1 : PENDAHULUAN. negara yang perlu dididik untuk menjadi manusia yang berkualitas. Remaja nantinya diharapkan

BAB 1: PENDAHULUAN. ketergantungan) dan tar yang bersifat karsinogenik. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. membuktikan secara tuntas bahwa konsumsi rokok dan paparan terhadap asap rokok berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Setiap hari orang terlibat di dalam tindakan membuat keputusan atau decision

Kebijakan Peringatan Kesehatan Bergambar Pada Bungkus Rokok

I. PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara

Peran Masyarakat Sipil dalam Mendorong Peningkatan Cukai Rokok

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL DENGAN PERILAKU MEROKOK SISWA LAKI-LAKI DI SMA X KABUPATEN KUDUS

BAB 1 : PENDAHULUAN. Perilaku merokok merupakan suatu hal yang fenomenal. Hal ini ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan salah suatu kebiasaan penduduk Indonesia. Kebiasaan

BAB 1 PENDAHULUAN. maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula. Berdasarkan undang-undang yang

Gambaran Perilaku Merokok pada masyarakat di Kabupaten Purwakarta: Suatu Kajian Literatur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kemungkinan sebelas kali mengidap penyakit paru-paru yang akan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat merugikan. kesehatan baik si perokok itu sendiri maupun orang lain di sekelilingnya.

BAB I PENDAHULUAN. pandang, gaya hidup dan budaya suatu masyarakat, bahkan perseorangan.

BAB I PENDAHULUAN. cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010 prevalensi merokok

BAB I PENDAHULUAN. salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.

Kuesioner Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sampai saat ini telah dikenal lebih dari 25 penyakit berbahaya disebabkan oleh rokok.

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya masyarakat yang sehat maka akan terwujud pula kecamatan, menjangkau dan dimanfaatkan oleh setiap warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

2015 SIKAP TERHAD AP PICTORIAL HEALTH WARNING D AN INTENSI MEROKOK SISWA SMP D I KOTA BAND UNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA SISWA SLTP DI KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dalam kehidupan manusia.remaja mulai memusatkan diri pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. tempat seperti di lingkungan keluarga, kantor, fasilitas kesehatan, cafe, kendaraan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Setianyar (2016) mengungkapkan bahwa merokok akan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Rokok sudah menjadi suatu barang konsumsi yang sudah familiar kita

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan masalah yang kompleks. Merokok tidak saja berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Mengkonsumsi rokok dan produk tembakau lainnya menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Bahaya merokok terhadap remaja yang utama adalah terhadap fisiknya.

BAB I PENDAHULUAN. Health Organization (WHO) pada tahun 2011 jumlah perokok laki-laki di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah-masalah kesehatan pada keluarga dengan anak remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk merokok, baik secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Deni Wahyudi Kurniawan

PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Bab 1 PENDAHULUAN. Rokok adalah salah satu permasalahan kesehatan terbesar yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Rokok sudah dikenal manusia sejak tahun sebelum Masehi. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica, dan spesies lainnya atau sintesis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. muncul pula tingkat kecanduan yang berbeda-beda dan bentuk implementasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dukungan Masyarakat Terhadap Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut WHO, jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1

Upaya Pengendalian Tembakau di Indonesia. Oleh Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KATA PENGANTAR

BAB 1 : PENDAHULUAN. kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat. (1)

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan kematian baik bagi perokok dan orang yang ada

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

WALIKOTA TASIKMALAYA

PROVINSI ACEH & KONSUMSI ROKOK

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. tetapi merambah di semua kalangan. Merokok sudah menjadi kebiasaan di

BAB 1 PENDAHULUAN. Tembakau pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara sadar untuk melukai dirinya sendiri, karena dengan merokok, berarti

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya adalah perubahan yang terus-menerus yang merupakan kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesehatan. Kandungan rokok adalah zat-zat kimiawi beracun seperti mikrobiologikal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Merokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sudah dianggap

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KAWASAN TANPA ROKOK (KTR) UNIVERSITAS UDAYANA DIPATUHI ATAU DIABAIKAN?

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sintia Dewi,2013

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku merokok dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, sangat

-1- PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. Merokok tidak hanya berdampak pada orang yang merokok (perokok aktif)

BAB I PENDAHULUAN. sosialisasi, transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas.

PENGARUH PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KAWASAN TANPA ROKOK (KTR) DAN DUKUNGAN PENERAPANNYA DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Transkripsi:

ROKOK : KEMUBAZIRAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA DI KALANGAN SANTRI Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng Data global mencatat bahwa 6 juta orang meninggal dunia tiap tahun akibat penyakit terkait merokok. Peningkatan kematian yang amat serius ini membuat WHO menyebutnya sebagai sebuah epidemi. Di Indonesia, merokok adalah salah satu sumber masalah kesehatan terbesar. Kematian prematur, penurunan produktivitas dan pengeluaran tidak produktif sebagai akibat merokok akan membuat bonus demografi kurang berarti. Dibanding negara-negara ASEAN lain, Indonesia adalah negara dengan konsusmsi rokok per kapita tertinggi. Menurut perkiraan, perokok baru berusia sampai 19 tahun mencapai 16,4 juta. Satu dari lima anak usia 13-16 tahun pernah merokok. Fakta ini membuat Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok remaja tertinggi di dunia. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 mengungkap bahwa belanja rokok telah mengalahkan belanja beras. Konsumsi rokok ini setara atau bahkan mengalahkan konsumsi total untuk daging, susu, telur, ikan pendidikan dan kesehatan. Tiga dari empat keluarga Indonesia memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Kelompok keluarga termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok pendapatan terkaya. Konsumen rokok yang sangat besar terdiri dari buruh, petani, dan nelayan, dengan porporsi konsumsi yang kurang lebih sama. Ini amat mengganggu program Pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, kerena itu rokok merupakan perangkap kemiskinan. Pengeluaran bulanan rumah tangga perokok termiskin pada 2010 : rokok & sirih 11,91%; daging 0,9%; susu dan telur 2,25%; ikan 6,06%; sayur-sayuran 5,68%; pendidikan 1,88%, kesehatan 2,02%. Studi pada 200-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga termiskin di perkotaan dan pedesaan membuktikan bahwa kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok. Untuk kematian bayi di perkotaan 6,3% vs 5,3% dan di pedesaan 9,2% vs 6,4%. Untuk kematian balita di perkotaan 8,1% vs 6,6% dan di pedesaan adalah 10,9% vs 7,6%. Data jumlah anak merokok yang disebutkan Menteri Perlindungan Anak Yohana Yembise adalah 54% dari 87 juta anak, yaitu 46 juta. Data dari Wakil Ketua IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) berbeda jauh. Menurut IAKMI, jumlah perokok aktif di Indonesia adalah 70 juta, 65 juta orang dewasa dan 5 juta anak muda. Pada 2001, perokok muda (10-14 tahun) berjumlah 1,9 juta dan pada 2010 meningkat menjadi 3,9 juta. Prevalensi perokok terus meningkat dari 27% (1995), lalu 34,4% (2004) dan menjadi 34,7% (2010). Anak-anak berusia 5-9 tahun bahkan sudah mulai merokok, prevalensinya 1

menguatirkan sekali, dari 0,4% (2001) menjadi 1,7% (2010). Prevalensi merokok remaja usia 15-19 tahun (usia SMP, SMA dan perguruan tinggi, meningkat 12,9% dalam kurun waktu 1995-2010, terutama pada remaja laki-laki meningkat dari 24,6% menjadi 28,4% dan pada remaja perempuan meningkat dari 0,3% menjadi 0,9%. Menurut jenis kelamin, 2/3 laki-laki dewasa adalah perokok. Prevalensi perempuan perokok meningkat dari 1,3% menjadi 4,2%. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi perokok diatas 15 tahun yang berasal dari keluarga termiskin meningkat dari 30% pada 2001 menjadi 43,8% pada 2013. Sementara dari kelompok terkaya menunjukkan penurunan dalam jumlah konsumsi ataupun dalam jumlah pengeluaran biaya. Jumlah produksi rokok mencapai 318 miliar batang (2010) lalu meningkat menjadi 348 miliar batang (2015). Proyeksi produksi pada 2016 adalah 421 miliar dan sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No 63/2015 tentang Peta Jalan Industri Rokok, proyeksinya pada 2020 adalah 524 miliar. Yang lebih menyakitkan rakyat kecil, peta jalan itu menurunkan peran industri kecil pembuat sigaret kretek tangan, dari 19% (2015) menjadi 15% (2020). Padahal sigaret kretek mesin akan dinaikkan dari 161 milyar batang menjadi 306 milyar batang. Berita terakhir (14/12/2016) menyatakan bahwa Peta Jalan itu oleh Mahkamah Agung dinilai bertentangan dengan lima UU, karena itu MA memutuskan bahwa peraturan menteri itu tidak sah dan harus dicabut. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya 960.000 kasus sakit per tahun akibat rokok. "Tobacco Atlas" mencatat setidaknya 217.400 kematian per tahun. Kementerian Kesehatan menghitung total pengeluaran biaya pelayanan kesehatan untuk penyakit akibat merokok adalah sekitar Rp 13,5 T. Selain itu, jumlah pengeluaran untuk rokok sebesar Rp 209 T dan total kerugian ekonomi akibat kematian dini kehilangan produktivitas mencapai Rp 374 T. Pengeluaran ini amat besar bila dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok yaitu Rp 103 T. Hal lain yang perlu juga kita ungkap ialah data tentang keterjangkauan rokok. yang tidak menguntungkan kita. Pada saat negara-negara lain mempersulit keterjangkauan terhadap rokok, Indonesia justru sebaliknya. Sejak 2008 hingga 2013 data menunjukkan bahwa akses terhadap rokok justru makin mudah. Situasi itu menunjukkan bahwa bahwa pengendalian tembakau bukanlah semata-mata urusan sektor kesehatan, ekonomi dan perindustrian saja, tetapi juga perlu menjadi prioritas di bidang-bidang lain yang juga turut terkena dampak dari penggunaan tembakau seperti pertanian, pendidikan, budaya, lingkungan, dan sosial. Kita harus meningkatkan upaya pencegahan penjualan rokok kepada anak, yang perlu melibatkan perusahaan rokok, pedagang dan masyarakat luas. Selain melanggar aturan, penjualan rokok pada anak memicu ketergantungan pada produk tembakau sejak usia dini yang akan mengganggu kesehatan generasi muda. Warga harus terlibat dalam menjalankan 2

aturan yang sudah ada. Perusahaan rokok dan terutama pengelola toko, pemilik kios, kasir dan pemilik warung kecil harus mempunyai komitmen untuk melarang pembelian rokok terhadap anak, sesuai Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 1012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau bagi Kesehatan pasal 25 yang menyebut bahwa produk tembakau dilarang pada anak usia dibawah 18 tahun. Tingkat pemahaman pedagang kecil terhadap keberadaan dan berlakunya peraturan itu rendah. Mereka merasa bahwa menjual rokok itu adalah hak mereka. Mereka berpikir secara sederhana, mau beli rokok kok dilarang. Perusahaan rokok Sampurna telah bekerja sama dengan 32.000 ritel yang menjual produk Sampurna untuk tidak menjual rokok kepada anak. Stiker berisi larangan menjual rokok kepada anak-anak ditempel di tempat strategis di toko untuk mengingatkan pembeli dan kasir. Upaya ini perlu diperluas sampai ke warung kecil disertai dengan sosialisasi adanya peraturan itu dan dampak negatif dari merokok. Upaya ini juga perlu melibatkan produser rokok merk lain. Informasi yang lebih mutakhir ialah bahwa konsumsi rokok juga menjadi gerbang pemakaian narkoba (narkotika, psikotika dan bahan adiktif lainnya). Rokok sendiri merupakan bagian dari narkotika seperti yang dinyatakan oleh BNN. Profesor Denise Kandel, psikiater pada Pusat Medis Universitas Columbia (AS) menemukan pada 1975 bahwa penggunaan narkoba mengikuti pola yang sangat khas, yaitu dibuka dengan merokok, menggunakan ganja dan/atau alkohol, kemudian mengonsumsi obat-obatan terlarang yang lebih kuat. PENINGKATAN PERAN PESANTREN Pesantren Tebuireng sudah sekitar 20 tahun menerapkan larangan untuk merokok didalam lingkungan pesantren bagi santri, guru dan ustadz. Dua-tiga tahun lalu masih ada beberapa kyai yang masih merokok di rumah mereka dan satu kyai yang tinggal didalam kompleks pesantren yang juga masih meroko. Dua tahun lalu kyai itu terserang Ca di paru-paru dan wafat. Itu membuat larangan merokok lebih efektif. Kini banyak sekali pesantren yang sudah melarang merokok bagi santri dan guru/ ustadz, bahkan sebagian sudah memberi hukuman berat bagi santri yang merokok yaitu dikeluarkan. Kami memberi sanksi yang tidak terlalu berat bagi santri yang merokok, dan hukumannya bersifat mendidik seperti membersihkan toilet, dapur, ruang makan dll. Pada 5 Maret 2015 dan 11 Desember 2016, kami membuat survei tentang pendapat santri tentang merokok dan perilaku santri merokok di rumah atau sembunyi-sembunyi di pesantren. Hasilnya membuat kami harus memberi sanksi yang lebih berat dan meningkatkan promosi atau kampanye bahaya dan larangan merokok. Survei 5 Maret 2015 di Pesantren Tebuireng, mempunyai responden berjumlah 910 orang santri putra, usia 10-15 tahun ada 533 (59%) dan usia 16-20 ada 377 (41%). Yang setuju orang merokok ada 246 (30%) dan yang tidak setuju ada 646 (70%). Yang tahu bahaya 3

merokok ada 864 (95%) dan yang tidak tahu ada 46 (5%). Yang masih merokok di rumah atau sembunyi-sembunyi ada 274 (30%) dan yang tidak merokok ada 636 (70%). Yang merokok sebelum jadi santri Tebuireng ada 192 (68%) dan setelah jadi santri ada 82 (32%). Yang merokok kurang dari 15 kali sebulan, ada 162 (61%) dan lebih dari 15 kali sebulan, ada 112 (39%). Responden survei 11 Desember 201/6 berjumlah 2075, semua laki-laki. Yang setuju orang merokok, ada 552 orang setuju (27%), yang tidak setuju ada 1523 (73%). Yang tahu bahaya merokok ada 1985 (96%, yang tidak tahu, ada 90 (4%). Yang masih merokok di rumah atau sembunyi-sembunyi ada 725 orang (35%), yang tidak merokok ada 1350 (65%). Yang merokok karena keinginan sendiri ada 409 orang (44%), yang terpengaruh teman ada 316 orang (sekitar 56%). Yang merokok sebelum jadi santri di Tebuireng ada 529 orang (73%), yang merokok setelah di Tebuireng, ada 196 (27%). Yang merokok kurang dari 15 kali sebulan, ada 483 orang (67%) dan yang lebih dari 15 kali sebulan) ada 242 orang (33%). Dari hasil survei diatas kami mengambil kesimpulan bahwa kami belum berhasil menumbuhkan kesadaran dalam diri santri untuk tidak merokok, bahkan kami belum sepenuhnya berhasil mempergoki semua santri yang merokok. Kami harus meningkatkan jumlah dan mutu sosialisasi dan kampanye untuk tidak merokok dan memberi informasi yang tepat mengenai bahaya merokok supaya larangan itu efektif. Mungkin kami harus membentuk relawan di kalangan santri untuk ikut kampanye anti rokok. Kami harus mempertimbangkan untuk bersedia mengeluarkan santri yang sudah berkali-kali dipergoki sedang merokok. Bagi saya pribadi, membentuk tim mata-mata untuk mengetahui siapa yang masih merokok, berpotensi menimbulkan rasa tidak saling percaya bahkan perpecahan didalam kalangan santri. Pada 24 Nopember 2016 di Pesantren Tebuireng diadakan pertemuan yang diprakarsai oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau yang mengeluarkan petisi yang berisi penolakan terhadap RUU Pertembakauan karena sebagian pasal dan ayat dalam RUU itu sudah termuat dalam UU lain, sedangkan sejumlah pasal bertentangan dengan peraturanperaturan atau UU yang berlaku serta prioritas kebijakan pemerintah saat ini. Menurut saya perlu diadakan kerja sama antar pesantren untuk berbagi pengalaman dalam upaya mencegah meningkatnya jumlah perokok didalam kalangan santri dan untuk meningkatkan perang melawan rokok di pesantren. Kondisi jumlah perokok khususnya anak- anak muda perlu mendapat perhatian kalangan pesantren. Sebagai informasi kini jumlah pesantren di Indonesia mencapai jumlah sekitar 28.000, jumlah terbesar adalah pesantren kecil dengan jumlah santri 50-200 orang. Sebagai perbandingan, pada akhir 1990- an jumlah pesantren baru mencapai hampir 10.000. 4

Kita harus memperluas jaringan dan komunitas anti rokok. Sebanyak 220 dari 514 kabupaten/kota telah memiliki kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam berbagai bentuk peraturan. Daerah yang belum melakukan kebijakan itu harus didorong. Yang juga penting ialah penerapan kebijakan itu secara tegas dan konsisten. Cara lain untuk memerangi rokok adalah meningkatkan kampanye anti rokok, baik jumlah maupun mutu kampanye. Perlu dipikirkan bersama bagaimana kita bisa membuat materi kampanye anti rokok yang komunikatif dan efektif untuk bisa mengimbangi kampanye promosi produsen rokok. Peringatan bahwa "merokok dapat membunuhmu" pada bungkus rokok, oleh sejumlah pihak dianggap kurang mencolok. Iklan produk rokok dan pabrik rokok perlu dilarang secara bertahap. MENAIKKAN HARGA ROKOK Ada pemikiran untuk memerangi rokok dengan menaikkan cukai rokok dengan angka yang cukup tinggi sehingga harga rokok jauh diatas jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat. Gagasan ini pernah dilontarkan oleh Presiden beberapa bulan lalu, yang sebenarnya adalah gagasan dari Prof Hasbullah Thabrany. Untuk bisa melakukan gagasan itu, mungkin diperlukan adanya revisi terhadap UU terkait dengan upaya menaikkan jumlah cukai untuk rokok. Perbandingan harga rokok per bungkus saat ini : di Indonesia = $ 1,4; di Philipina = $ 1; di Thailand = $ 2,6; di Malaysia = $ 3,3; di Brunei = $ 6,1 dan di Singapura = $ 9,7. Menurut Prof Hasbullah Thabrany, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI, berdasar survei oleh lembaga yang dipimpinnya terhadap 1000 perokok di Indonesia, 76% perokok setuju harga dinaikkan. Jika harga naik sampai Rp 35.000/bungkus, masih banyak yang bertahan merokok. Tetapi kalau dinaikkan diatas Rp 50.000/bungkus, banyak yang akan berhenti merokok. (Makalah untuk Civil Society Workshop di Jakarta pada 20 Desember 2016) 5