RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004 I. PEMOHON Mira Amalia Malik, SH., MH dan Djawoto Jowono, SE., M.M. (Ketua Harian dan Sekretaris) bertindak untuk dan atas nama Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI). Kuasa Hukum : Lucas, SH, dkk. II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: 1. Pasal 2 ayat (5): Dalam hal Debitor adalah Perusahaan asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. 2. Pasal 6 ayat (3): Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. 3. Pasal 223: Dalam hal debitur adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). 4. Pasal 224 ayat (6): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
III. DASAR DAN ALASAN UU No. 37 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945: - Pasal 24: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. - Pasal 24C ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar... - Pasal 27 ayat (1): Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. - Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. IV. ALASAN-ALASAN 1. Pasal 2 ayat (5) jo. Pasal 223 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang telah melanggar hakhak konstitusional konsumen asuransi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban utang (PKPU) terhadap perusahaan asuransi di hadapan pengadilan niaga. A. Pelanggaran atas Hak Konstitusional Konsumen Asuransi Atas Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil serta Perlakuan Yang Sama di Hadapan Hukum Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adanya hak bagi Konsumen Asuransi untuk mendapatkan pembayaran atas uang pertanggungan atau manfaat asuransi pada saat mengajukan klaim telah menempatkan Konsumen Asuransi menjadi Kreditur yang mempunyai piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih terhadap suatu perusahaan asuransi (vide Pasal 1 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004). Jika atas klaim uang pertanggungan/manfaat asuransi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut ternyata tidak dilakukan pembayaran oleh perusahaan asuransi dengan berbagai alasan yang tidak jelas dan hanya dimaksudkan untuk menghindar dari kewajibannya, maka secara hukum Konsumen Asuransi mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan/upaya hukum ke pengadilan, termasuk dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit atau mengajukan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan ke Pengadilan Niaga. Namun hak-hak Konsumen Asuransi tersebut telah dicabut/dihilangkan/dibatasi dengan adanya/berlakunya Pasal 2 ayat (5) jo. Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004 yang secara limitatif hanya memberikan kewenangan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atau permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan ke Pengadilan Niaga. Hal tersebut merupakan pelanggaran hak konstitusional Konsumen Asuransi atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan karenanya Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. B. Pencabutan, Pembatasan dan Penghilangan Hak Konsumen Asuransi Untuk Mengajukan Upaya Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan asuransi telah melanggar Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adanya kewenangan untuk mengajukan upaya hukum dengan permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang hanya ada pada Menteri Keuangan berarti telah membatasi dan menghalangi hak setiap orang atau Konsumen Asuransi untuk mendapatkan keadilan kepada Lembaga Yudikatif (access to justice) dan juga proses peradilan oleh Pengadilan yang mandiri/merdeka bebas dari intervensi/campur tangan Lembaga Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. C. Pencabutan, Pembatasan dan Penghilangan Hak Konsumen Asuransi Untuk Mengajukan Upaya Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan Asuransi Telah Melanggar Ketentuan-Ketentuan Mengenai Hak Asasi Manusia.
Pembatasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap perusahaan asuransi hanya oleh Menteri Keuangan saja merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar ketentuan-ketentaun mengenai hak asasi manusia yang berlaku secara universal yang telah diakui oleh Negara RI. 2. Pasal 6 ayat (3) jo. Pasal 224 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah melanggar hak-hak konstitusional Konsumen Asuransi untuk mendaftarkan permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban utang (PKPU) terhadap perusahaan asuransi di hadapan pengadilan niaga. Terhadap setiap permasalahan/tuntutan hukum, termasuk permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang diajukan di depan Pengadilan maka Hakim adalah satusatunya otoritas yang dapat memberikan Putusan. Putusan tersebut akan diberikan oleh Hakim karena jelas-jelas telah memasuki lingkup judicial (bukan administratife) dan sama sekali bukan wewenang Panitera. Dengan demikian penolakan atas pendaftaran permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang diajukan selain oleh Menteri Keuangan oleh Panitera (Pasal 6 ayat (3) jo Pasal 224 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004) jelas-jelas menunjukkan pengambilalihan tugas judicial oleh Panitera yang hanya merupakan petugas administratif. Dengan demikian diberlakukannya Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 berarti telah membatasi, menghilangkan dan bahkan merampas hak setiap orang yang mempunyai piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih untuk mendaftarkan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap suatu perusahaan asuransi, termasuk pendaftaran oleh Konsumen Asuransi. V. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan PEMOHON untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Menyatakan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT;
5. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT; 6. Memerintahkan pencoretan Pasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (3), Pasal 223 dan Pasal 224 Ayat (6) dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan memerintahkan pengumumannya dimuat dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia.
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004 Perbaikan Tgl, 27 Januari 2004 I. PEMOHON Mira Amalia Malik, SH., MH dan Djawoto Jowono, SE., M.M. (Ketua Harian dan Sekretaris) bertindak untuk dan atas nama Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI). Kuasa Hukum : Lucas, SH, dkk. II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: 1. Pasal 2 ayat (5): Dalam hal Debitor adalah Perusahaan asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. 2. Pasal 6 ayat (3): Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. 3. Pasal 223: Dalam hal debitur adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). 4. Pasal 224 ayat (6): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
III. DASAR DAN ALASAN UU No. 37 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945: - Pasal 24: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. - Pasal 24C ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar... - Pasal 27 ayat (1): Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. - Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. V. ALASAN-ALASAN 1. Pasal 2 ayat (5) jo. Pasal 223 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang telah melanggar hakhak konstitusional konsumen asuransi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban utang (PKPU) terhadap perusahaan asuransi di hadapan pengadilan niaga. a. Pelanggaran atas Hak Konstitusional Konsumen Asuransi Atas Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil serta Perlakuan Yang Sama di Hadapan Hukum Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya hak bagi Konsumen Asuransi untuk mendapatkan pembayaran atas uang pertanggungan atau manfaat asuransi pada saat mengajukan klaim telah menempatkan Konsumen Asuransi menjadi Kreditur yang mempunyai piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih terhadap
suatu perusahaan asuransi (vide Pasal 1 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004). Jika atas klaim uang pertanggungan/manfaat asuransi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut ternyata tidak dilakukan pembayaran oleh perusahaan asuransi dengan berbagai alasan yang tidak jelas dan hanya dimaksudkan untuk menghindar dari kewajibannya, maka secara hukum Konsumen Asuransi mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan/upaya hukum ke pengadilan, termasuk dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit atau mengajukan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan ke Pengadilan Niaga. Namun hak-hak Konsumen Asuransi tersebut telah dicabut/dihilangkan/dibatasi dengan adanya/berlakunya Pasal 2 ayat (5) jo. Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004 yang secara limitatif hanya memberikan kewenangan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atau permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan ke Pengadilan Niaga. Hal tersebut merupakan pelanggaran hak konstitusional Konsumen Asuransi atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan karenanya Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. b. Pencabutan, Pembatasan dan Penghilangan Hak Konsumen Asuransi Untuk Mengajukan Upaya Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan asuransi telah melanggar Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adanya kewenangan untuk mengajukan upaya hukum dengan permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang hanya ada pada Menteri Keuangan berarti telah membatasi dan menghalangi hak setiap orang atau Konsumen Asuransi untuk mendapatkan keadilan kepada Lembaga Yudikatif (access to justice) dan juga proses peradilan oleh Pengadilan yang mandiri/merdeka bebas dari intervensi/campur tangan Lembaga Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 jo. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. c. Pencabutan, Pembatasan dan Penghilangan Hak Konsumen Asuransi Untuk Mengajukan Upaya Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perusahaan Asuransi Telah Melanggar Ketentuan-Ketentuan Mengenai Hak Asasi Manusia. Pembatasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap perusahaan asuransi hanya oleh Menteri Keuangan saja merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar ketentuan-ketentaun mengenai hak asasi manusia yang berlaku secara universal yang telah diakui oleh Negara RI.
2. Pasal 6 ayat (3) jo. Pasal 224 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah melanggar hak-hak konstitusional Konsumen Asuransi untuk mendaftarkan permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban utang (PKPU) terhadap perusahaan asuransi di hadapan pengadilan niaga. Terhadap setiap permasalahan/tuntutan hukum, termasuk permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang diajukan di depan Pengadilan maka Hakim adalah satu-satunya otoritas yang dapat memberikan Putusan. Putusan tersebut akan diberikan oleh Hakim karena jelas-jelas telah memasuki lingkup judicial (bukan administratife) dan sama sekali bukan wewenang Panitera. Dengan demikian penolakan atas pendaftaran permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang diajukan selain oleh Menteri Keuangan oleh Panitera (Pasal 6 ayat (3) jo Pasal 224 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004) jelas-jelas menunjukkan pengambilalihan tugas judicial oleh Panitera yang hanya merupakan petugas administratif. Dengan demikian diberlakukannya Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 berarti telah membatasi, menghilangkan dan bahkan merampas hak setiap orang yang mempunyai piutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih untuk mendaftarkan permohonan pernyataan pailit dan PKPU terhadap suatu perusahaan asuransi, termasuk pendaftaran oleh Konsumen Asuransi. V. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan PEMOHON untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Menyatakan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT;
5. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT; 6. Memerintahkan pencoretan Pasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (3), Pasal 223 dan Pasal 224 Ayat (6) dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan memerintahkan pengumumannya dimuat dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia.