BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup yang unik, tidak ada seorang individu yang sama persis dengan individu yang lain. Salah satunya adalah dalam hal kecepatan dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Ada yang cepat dan ada pula yang lambat dalam memecahkan suatu masalah. Perkembangan kognitif manusia merupakan proses psikologis yang di dalamnya melibatkan proses memperoleh, menyusun, dan menggunakan pengetahuan, serta kegiatan mental seperti berpikir, menimbang, mengamati, mengingat, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan memecahkan persoalan yang berlangsung melalui interaksi dengan lingkungan (Ali & Asrori:2012). Hal itulah yang memperkuat pendapat bahwa taraf kecerdasan itu memang ada, dan berbeda-beda pada masing-masing individu. Inteligensi disebut sebagai kecerdasan atau kecakapan atau kemampuan dasar yang bersifat umum, sedangkan kecerdasan atau kecakapan atau kemampuan dasar yang bersifat khusus, disebut bakat (aptitude) (Sunaryo, 2004). Masyarakat umum banyak yang belum memahami bahwa IQ merupakan hasil skor dari tes kemampuan intelektual. Inteligence Quotient (IQ) adalah ekspresi dari tingkat kemampuan individu pada saat tertentu, dalam hubungan dengan norma usia tertentu yang ada. IQ merupakan cerminan dari prestasi pendidikan sebelumnya dan alat prediksi kinerja pendidikan selanjutnya. Untuk mempertimbangkan nilai numerik sebuah IQ, harus menentukan secara spesifik tes yang menjadi sumber IQ tersebut. (Weiten:1992 ), tes -tes inteligensi umum yang dirancang untuk digunakan bersama anak-anak sekolah sering dilakukan secara kelompok dan biasanya mengukur kemampuan-kemampuan verbal, tetapi juga mencakup kemampuan yang berkaitan dengan simbol numerik dan simbol abstrak yang lain dalam kadar yang lebih rendah. Kemampuan kemampuan tersebut dominan dalam proses belajar di sekolah, oleh karena itu kemampuan-kemampuan tersebut dapat dipandang sebagai ukuran kemampuan belajar atau inteligensi akademik. Hal ini didukung oleh pendapat David Wechsler (1958), yang menyatakan ba hwa Inteligensi sebagai suatu kumpulan atau keseluruhan karena tersusun dari elemen-elemen atau kemampuan-kemampuan yang tidak
seluruhnya bebas, oleh karena itu kemampuan-kemampuan yang diukur tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi inteligensi dan inteligensi bukan sekedar jumlah dari kumpulan kemampuan tersebut. Hasil akhir tingkah laku inteligensi adalah fungsi dari sejumlah kemampuan dan cara kemampuan tersebut bergabung atau konfigurasi kemampuan-kemampuan yang ada. Ada beberapa faktor selain kemampuan intelektual, misalnya dorongan, insentif, urutan tingkah laku inteligen berbeda sehingga urutan kemampuan yang dibutuhkan juga berbeda. Juga didukung oleh Anastasi (1997), yang menyatakan bahwa inteligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam, tetapi merupakan komposit dari berbagai fungsi, sehingga mencakup gabungan komponen-komponen yang diperlukan untuk bertahan dan maju didalam budaya tertentu. Intelegensi sebagai unsur kognitif dianggap memegang peranan yang cukup penting. Bahkan kadang-kadang timbul anggapan yang menempatkan intelegensi dalam peranan yang melebihi proporsi yang sebenarnya. Sebagian orang bahkan menganggap bahwa hasil tes intelegensi yang tinggi merupakan jaminan kesuksesan dalam belajar sehingga bila terjadi kasus kegagalan belajar pada anak yang memiliki IQ tinggi akan menimbulkan reaksi berlebihan berupa kehilangan kepercayaan pada institusi yang menggagalkan anak tersebut atau kehilangan kepercayaan pada pihak yang telah memberi diagnosa IQ-nya. Sejalan dengan itu, tidak kurang berbahayanya adalah anggapan bahwa hasil tes IQ yang rendah merupakan vonis akhir bahwa individu yang bersangkutan tidak mungkin dapat mencapai prestasi yang baik. Menurut Azwar (2004) hal ini tidak saja merendahkan self-esteem (harga diri) seseorang akan tetapi dapat menghancurkan pula motivasinya untuk belajar yang justru menjadi awal dari segala kegagalan yang tidak seharusnya terjadi. Woolfolk (Yusuf, 2006:106) mengemukakan bahwa menurut teoriteori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka menyelesaikan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan. Menurut Cattel (Conny Semiawan, 1997) Kemampuan intelektual merupakan ekspresi dari apa yang disebut inteligensi dan kepada kemampuan intelek ini juga kita bersandar
menguasai dan memperlakukan perubahan kebudayaan serta pembaharuan teknologi di dalam masyarakat. Inteligensi merupakan kombinasi sifat-sifat manusia yang mencakup kemampuan untuk pemahaman terhadap hubungan yang kompleks; semua proses yang terlibat dalam berpikir abstrak; kemampuan penyesuaian dalam pemecahan masalah dan kemampuan untuk memperoleh kemampuan baru. Menurut Rachmawati, perkataan inteligensi berasal dari kata latin intelligere yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain ( to organize, to relate, to bind together). Istilah inteligensi kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang inteligensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli inteligensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian inteligensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli Dalam dunia pendidikan formal, pentingnya pengukuran prestasi akademik tidaklah dapat disangsikan lagi. Sebagaimana diketahui, proses pendidikan formal adalah suatu proses yang kompleks yang memerlukan waktu, dana dan usaha serta kerjasama berbagai pihak. Berbagai aspek dan faktor terlibat dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Tidak ada pendidikan yang secara sendirinya berhasil mencapai tujuan yang digariskan tanpa interaksi berbagai faktor pendukung yang ada dalam sistem pendidikan tersebut. Betapa jelasnya pun suatu tujuan pendidikan telah digariskan, tanpa usaha pengukuran maka akan mustahil hasilnya dapat diketahui. Tidaklah layak untuk menyatakan adanya suatu kemajuan atau keberhasilan program pendidikan tanpa memberikan bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh. Bukti peningkatan atau pencapaian inilah yang harus diambil dari pengukuran prestasi secara terencana. Intelegensi menurut Azwar (2004) merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang. Intelegensi sendiri dalam perspektif psikologi memiliki arti yang beraneka ragam. Menurut Chaplin (Syah, 2006) yang terpenting adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi baru secara cepat dan efektif atau kemampuan menggunakan konsep-konsep abstrak secara efektif. Slameto (1995) mengatakan seringkali anak didik yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi sebaik mungkin. Hal ini menunjukkan seorang anak didik yang cerdas, apabila memiliki motivasi belajar yang rendah maka dia tidak akan mencapai prestasi akademik yang baik. Sebaliknya, seorang anak didik
yang kurang cerdas, tetapi memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar, maka dia akan mencapai prestasi akademik yang baik. Sekolah adalah tempat dimana anak-anak menghabiskan waktunya bertahun-tahun sebagai anggota dari satu masyarakat kecil yang memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan mereka. Konteks sosial mengalami perubahan sejak masa kanakkanak sampai masa remaja (Minuchin & Shapiro, 1983, dalam Santrock 2008). Pada masa kanak-kanak, batas lingkungan mereka adalah ruangan kelas, di dalam keadaan sosial yang terbatas ini, anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru, mereka juga berinteraksi dengan teman-teman sebaya dalam kelompok kecil, selain itu ruang kelas masih merupakan konteks utama pada masa kanak-kanak. Ketika anak-anak memasuki Sekolah Menengah Pertama, lingkup dan kompleksitas lingkungan sekolah semakin meningkat (Wingfield et al, 2006, dalam Santrock, 2008). Pada masa tersebut, lingkungan sosialnya adalah seluruh sekolah daripada hanya ruang kelas saja. Para remaja berinteraksi dengan guru dan teman sebaya dari latar belakang budaya serta berbagai minat yang lebih luas. Siswa-siswa sekolah menengah lebih sadar akan makna sekolah sebagai sistem sosial dan termotivasi untuk menyesuaikan diri. Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai hasil dari pengalaman (Matlin, 1999, dalam Sihadi, 2004). Dalam konteks sekolah, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman siswa sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada faktor-faktor yang ternyata mempengaruhi prestasi belajar, hal tersebut dapat berasal dari dalam diri sendiri (faktor internal) dan dari luar diri (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kemampuan intelektual, minat dan bakat, sedangkan faktor eksternal meliputi guru, teman sebaya dan lingkungan. Faktor eksternal juga dapat dilihat dari penelitian sebelumnya yang mempunyai hubungan dengan prestasi, seperti IQ dan kecerdasan emosi. Menurut Walgito (2010:210) Dalam bidang pendidikan inteligensi dimanfaatkan untuk mengetahui sejauh mana prestasi belajar yang dapat dicapai oleh individu, untuk penyesuaian dalam sekolah, jurusan, dan perlakuan kepada subjek didik. Dalam penerimaan tes untuk masuk atau melanjutkan pendidikan serta masuk di suatu bidang kerja pun saat ini
salah satunya melalui tes inteligensi.individu dalam menyelesaikan masalah, apakah cepat atau lambat, faktor yang turut menentukan adalah faktor inteligensi dari individu yang bersangkutan. Menurut Binet dalam Sumadi Suryabrata (2004), Seseorang yang memiliki inteligensi yang tinggi cenderung memiliki perbedaan dan kelebihan dalam menanggapi sesuatu permasalahan demi mencapai tujuannya. Pelajar yang memiliki inteligensi tinggi dalam proses belajar, dia akan lebih mudah mengatasi masalahnya dan cenderung bisa mencapai tujuan pembelajaran. Ini dikarenakan seorang pelajar yang memiliki inteligensi tinggi cenderung bisa menentukan tujuannya tanpa harus mendapatkan bimbingan lebih dari gurunya, dan dapat menyesuaikan dirinya untuk mencapai tujuan. Selain itu, seorang pelajar yang memiliki inteligensi yang tinggi memiliki kemampuan oto-kritik yang tinggi, sehingga dia bisa memperbaiki diri dari kesalahan yang ada. Sebaliknya, seorang pelajar dengan inteligensi yang rendah (pada tingkatan di bawah normal) tidak akan sama kemampuannya dalam kegiatan belajar. Perbedaan individual daam perkembangan intelek menunjuk kepada perubahan dalam kemampuan dan kecepatan belajar. Perbedaan-perbedaan individual peserta didik akan tercermin pada sifat-sifat atau ciriciri mereka dalam kemampuan, keterampilan, sikap, dan kebiasaan belajar, serta kualitas proses dan hasil belajar baik dari segi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Bagi seorang guru dengan diketahuinya inteligensi akan mempengaruhi dalam perlakuan kepada subjek didik yang berbeda-beda tersebut (Ali & Asrori: 2012). Dari studi pendahuluan, SMP Negeri 5 Melaya terletak di pinggir hutan Desa Ekasari, dimana belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Terdapat empat kelas masing-masing untuk kelas VII dan lima kelas untuk kelas VIII dan IX. Untuk kelas VII tahun ajaran 2013/2014 pembagian kelas dari kelas A sampai kelas D Dimana kelas A adalah kelas siswa unggulan yang ditentukan dari hasil nilai test TPA dengan mata pelajaran yang di UN dimana terdapat 2 siswa yang memiliki nilai tertinggi yaitu 82,59, sebanyak 20 siswa mempunyai nilai 70-77, 67 siswa mempunyai nilai 60-69, 37 siswa mempunyai nilai 50-59 sedangkan 2 siswa mempunyai nilai terendah yaitu 47 dan 48,57. Untuk kelas VIII dan IX pembagian kelas ditentukan dari hasil nilai rapor. Tahun 2012 telah dilakukan test IQ kepada siswa kelas VIII yang hasilnya dari 149 siswa, terdapat 4 siswa yang memiliki IQ superior, 65 siswa memiliki IQ dibawah rata-rata, dan di atas rata-
rata 80 siswa, dimana hasil test IQ tersebut belum dimanfaatkan dengan maksimal untuk perkembangan siswa didik. Dari hasil wawancara secara acak yang peneliti lakukan, sekitar 12 dari 15 siswa kelas VIII sampai kelas IX mengatakan saat menjadi siswa baru kurang dapat beradaptasi di sekolah dengan baik. Masih ada yang merasa malu bahkan takut dengan kakak kelas, masih ada yang kurang dapat mengikuti pelajaran dengan baik karena perbedaan sistem yang diterapkan dari sekolah SD ke SMP, masih ada pula yang takut bertanya pada guru jika tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh guru. Menurut hasil wawancara dengan para guru dan wali kelas tentang siswa yang peneliti wawancara, mengatakan bahwa sekarang para siswa kelas VIII dan kelas IX tersebut sudah mulai ada perkembangan dalam hal pelajaran maupun beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Tahun 2011 saat menjadi kelas VII siswa yang bermasalah ada 17 siswa. Untuk tahun 2012 siswa yang bermasalah ada 10 siswa. Sedangkan kelas VII tahun 2013 dari buan juli-desember untuk siswa yang bermasalah ada 10 siswa dimana lebih dari 50% siswa tersebut bermasalah dengan teman di lingkungan sekolah, sedangkan sisanya karena bermasalah dengan keluarga dan masih kurang bisa menyesuaikan diri dengan pelajaran d sekolah. Para guru dan wali kelas memaklumi siswanya karena masih harus belajar beradaptasi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Berdasarkan hal hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Tingkat Intellegence Quotient Terhadap Kemampuan Adaptasi Siswa di SMP Negeri 5 Melaya. Dimana keistimewaan penelitian ini adalah peneliti tidak hanya meneliti hubungan saja, tetapi juga meneliti seberapa kuat hubungan antara tingkat inteligensi dengan kemampuan adaptasi. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan suatu masalah penelitian yaitu Apakah Ada Hubungan Antara Tingkat Intelligence Quotient (IQ) Terhadap Kemampuan Adaptasi Siswa Di SMP Negeri 5 Melaya? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan tingkat Intelligence Quotient (IQ ) terhadap kemampuan beradaptasi siswa di SMP Negeri 5 Melaya. 1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat intelligence siswa di SMP Negeri 5 Melaya. b. Mengidentifikasi kemampuan adaptasi siswa di SMP Negeri 5 Melaya. c. Menganalisa hubungan tingkat Intelligence Quotient (IQ ) terhadap kemampuan beradaptasi siswa di SMP Negeri 5 Melaya. d. Menganalisa kekuatan hubungan tingkat Intelligence Quotient (IQ ) terhadap kemampuan beradaptasi siswa di SMP Negeri 5 Melaya. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Praktek Keperawatan Dapat diaplikasikan sebagai salah satu intervensi dalam memberikan konseling pada siswa baru yang kurang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam menerima pelajaran maupun dengan lingkungannya di Sekolah. 1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh perawat pendidik untuk mengembangkan metode pembelajaran yang tepat, guna meningkatkan kemampuan adaptasi siswa. 1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan Sebagai penambah bahan informasi dan wacana untuk pengembangan penelitian lebih lanjut, khususnya bagi peneliti keperawatan yang ingin melakukan pengembangan penelitian tentang hubungan tingkat Intellegence Quotient (IQ) terhadap kemampuan adaptasi siswa di sekolah.