PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM OTONOMI PENDIDIKAN* Oleh Rochmat Wahab**

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah. Dikarenakan

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH PADA ERA GLOBALISASI. Paningkat Siburian. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Melalui pendidikan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

Manajemen Mutu Pendidikan

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN . Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun

SEJARAH MBS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

BAB. I PENDAHULUAN. perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. diperkenalkannya pendekatan penganggaran berbasis kinerja (performance. based budgeting) dalam penyusunan anggaran pemerintah.

HAKIKAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) 1 (School Based Management/SBM)

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENDIDIKAN DASAR, MENENGAH, DAN TINGGI DI INDONESIA *

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

PERANAN ORANGTUA DAN PENDIDIK DALAM MENGOPTIMALKAN POTENSI ANAK BERBAKAT AKADEMIK (ABA)

B. Maksud dan Tujuan Maksud

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL DALAM KERANGKA REFORMASI PENDIDIKAN. Oleh: Udin S. Sa ud, Ph.D

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

B A B I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa dan Negara yang otentik

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang merupakan tempat dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU SEKOLAH. Dalam Konteks MBS

ISU-ISU PENDIDIKAN DIY Oleh Dr. Rochmat Wahab, MA

BABl PENDAHULUAN. Desentralisasi, demokrasi, dan otonomi merupakan isu yang amat populer

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Secara konseptual desentralisasi pendidikan adalah suatu proses dimana suatu

ANALISIS PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. (Studi Kasus Kabupaten Klaten Tahun Anggaran )

BAB I PENDAHULUAN. zaman yang semakin berkembang. Berhasilnya pendidikan tergantung pada

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan pendidikan nasional adalah bagaimana meningkatkan mutu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di sekolah sehingga apa yang menjadi kelebihan sekolah dapat lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang berkembang demikian

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Pandangan Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa, baik ekonomi, Iptek, sosial, maupun budaya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang

PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI SD NEGERI BENDUNGAN GAJAHMUNGKUR SEMARANG TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi yang ditandai dengan tidak adanya batas-batas negara (

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

KONSEPSI PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT

BAB I PENDAHULUAN. baru memusatkan perhatianya kepada investasi sumber daya manusia yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. kinerja penyelenggaraan pemerintahan sehinggga tercipta suatu ruang lingkup. urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat.

I. PENDAHULUAN. Pemerintah dalam rangka mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi, masyarakat diberikan kewenangan yang seluas-luasnya untuk mengurus

A. PENGANTAR Sekolah merupakan salah satu instansi tempat perwujudan cita-cita bangsa dalam rangka mencerdaskan anak bangsa sesuai amanat UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. dan globalisasi yang semakin terbuka. Sejalan tantangan kehidupan global,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam mewujudkan good governance. Hal ini tercermin dari kinerja

BAB I PENDAHULUAN. anggaran merupakan suatu rencana jangka pendek yang disusun berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

Penerapan MBS, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Konteks

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan

ANALISIS KURIKULUM DAN MODEL PEMBELAJARAN GEOGRAFI PERTEMUAN PERTAMA

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PROGRAM AKSELERASI DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (Studi Kasus di SMP Negeri 9 Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengatur pelimpahan kewenangan yang semakin luas kepada

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa Pemerintah daerah mengatur dan mengurus

Disarikan dari Forest, J. J.F & Altbach, P.G (ed) International Handbook of Higher Education. Dordrecht: Springer.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

BAB I PENDAHULUAN. kependidikan sebagai unsur yang mempunyai posisi sentral dan strategis

I. PENDAHULUAN. sebagai dampak globalisasi memaksa organisasi pemerintah untuk

ANALISIS KEBIJAKAN PENAMBAHAN SEKOLAH MENENGAH NEGERI BARU DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2004

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH B2-2

BAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi

BAB I PENDAHULUAN. reformasi diindikasikan dengan adanya perombakan di segala bidang kehidupan,

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Kepemimpinan selalu diperlukan sebagai aktivitas untuk. mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan tindakan individu atau

.BAB 1 PENDAHULUAN. dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralisasi mengarah kepada sistem

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

Transkripsi:

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM OTONOMI PENDIDIKAN* Oleh Rochmat Wahab** A. Pendahuluan Dunia telah mengalami perubahan yang sangat berarti, terlebih dengan dideklarasikannya globalisasi yang menempatkan demokrasi menjadi acuan utama dalam membangun suatu bangsa dan negara. Miftah Thoha (2000) menegaskan bahwa dewasa ini di Indonesia telah terjadi perubahan paradigma manajemen pemerintahan, yaitu : 1) dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi pasar, 2) dari orientasi manajemen pemerintahan yang otorian menjadi berorientasi demokrasi, 3) dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kekuasaan, dan 4) dari sistem pemerintahan yang membatasi pada batas-batas dan aturan-aturan yang mengikat negara yag jelas menjadi tatanan pemerintahan yang cenderung boundaryless organization. Dengan memperhatikan paradigma baru, maka demokrasi dan desentralisasi merupakan unsur yang sangat penting dan strategis diperhitungkan dalam membangun suatu negara yang berdaulat. Tentu saja manajemen pemerintahan ini berlaku juga bagi manajemen pendidikan nasional. Oleh karena itu agar pendidikan nasional di masa depan meraih keberhasilan sebagaimana yang menjadi harapan bangsa, upaya repositioning manajemen pendidikan perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Alhasil bahwa otonomi pendidikan merupakan suatu keharusan (conditio sine qua none). Otonomi pendidikan secara sadar atau tidak mendorong semua pihak di daerah lebih mampu menunjukkan keterlibatannya dalam membangun pendidikan di daerahnya, guna dapat mengantarkan anak bangsa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang mampu menghasilkan sumber daya Rochmat Wahab UNY, Indonesia 1

manusia (SDM) yang tidak hanya mampu mengangkat derajatnya sendiri, melainkan juga mampu bersaing melalui kinerjanya sehingga dapat menghadapi tantangan global. B. Otonomi pendidikan dalam paradigma baru Selama ini sebagian kewenangan manajemen pendidikan nasional, terutama dalam pembuatan keputusan dipegang oleh birokrasi pusat, sehingga birokrasi daerah lebih banyak bersifat reaktif, pasif, kurang inisiatif, dan sampai-sampai tidak berdaya, karena birokrasi daerah termasuk institusi pendidikan lebih banyak menjadi pelaksana apa yang menjadi keputusan pusat dalam banyak hal. Setelah dideklarasikannya UU. No.22 dan 25 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, maka sebagian besar kewenangan manajemen pendidikan lebih banyak didelegasikan kepada pemerintah daerah. Peraturan perundangundangan tersebut dimaksudkan untuk memberdayakan pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikan nasional yang ada di daerah, terutama pendidikan persekolahan dari tingkat pra-sekolah hingga pendidikan menengah. Walaupun demikian kebijakan nasional, mulai dari perumusan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi tetap di tangan pemerintahan pusat. Adapun kebijakan pendidikan tingkat daerah, mulai dari perumusan, pelaksanaan, dan monitoring sepenuhnya ada di tangan pemerintah daerah tanpa ada campur tangan yang berarti. Dalam situasi inilah otonomi manajemen pendidikan benar-benar ada di tangan pemerintah daerah. Daerah tidak lagi pasif dan reaktif, melainkan lebih aktif, pro-aktif dan kreatif dalam pengelolaan pendidikan di daerahnya. Otonomi pendidikan harus menjadi kebutuhan, bukan lagi beban, sehingga segala konsekuensi otonomi pendidikan harus disikapi dengan semangat kerja keras dan bersama, karena berbagai persoalan pendidikan di daerah, baik yang berkenaan dengan kebutuhan pengembangan Rochmat Wahab UNY, Indonesia 2

SDM dan persoalannya, sampai dengan pemanfaatan sumber daya yang ada di daerah, pemerintah dan masyarakat daerah lah yang mengenal dan memahaminya. Dengan demikian efektivitas dan efisiensi manajemen pendidikan serta relevansi jenis dan program pendidikan dapat terus ditingkatkan. Selanjutnya perlu disadari kebijakan otonomi pendidikan tidaklah dimaksudkan untuk membebani pemerintah dan masyarakat daerah, melainkan secara konseptual didasarkan pada pertimbangan yang lebih menguntungkan. Hannaway and Carnoy (1993) menegaskan bahwa sentralisasi pendidikan memungkinkan adanya biaya yang tinggi dalam pembuatan kebijakan yang kadang-kadang tidak relevan dengan kemampuan daerah yang relatif heterogin. Di samping yang tidak kalah pentingnya, sentralisasi manajemen pendidikan dapat mengurangi akuntabilitas sekolah terhadap kostamernya. Dan sebaliknya dengan desentralisasi manajemen pendidikan diharapkan dapat memperbaiki kinerja birokrasi daerah dan sekolah, karena mereka ter-berdayakan, sehingga terjadi perbaikan, baik pengelolaan maupun akuntabilitasnya. C. Mengapa partisipasi masyarakat Selama ini partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional memang sudah nampak berarti, baik dukungan finansial maupun nonfinansialnya (akademik, moral, dan sebagainya), baik melalui pendirian lembaga pendidikan formal dan non-formal maupun lembaga lain yang mendukung proses pendidikan nasional. Namun dirasakan sekali, bahwa dalam batas tertentu masyarakat masih relatif terbatas dukungannya. Hal ini terlihat pada kurangnya partisipasi orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah negeri, bila dibandingkan dengan orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolahsekolah swasta. Demikian pula masih minimnya partisipasi lembaga industri dan bisnis terhadap keberlangsungan praktek pendidikan nasioal baik yang ada di Rochmat Wahab UNY, Indonesia 3

daerahnya sendiri, maupun daerah lain. Demikian pula kontrol masyarakat yang masih rendah terhadap berbagai hal yang mengkontaminasi nilai-nilai budaya bagsa yang berkembang di masyarakat, yang dibuktikan dengan semakin meningkatnya penggunaan narkoba dan peredaran VCD terlarang, misalnya. Untuk dapat lebih dipertanggungjawabkan pelaksanaan pendidikan nasional di daerah, sehingga hasil pendidikan itu benar-benar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. maka partisipasi masyarakat merupakan suatu kebutuhan, di samping menjadi kewajiban. Sebagaimana yang dinyatakan dalam UUPPN No.2/1989 bahwa pendidikan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Pada dasarnya Wolf, Kane, and Strickland (1997) menegaskan partisipasi masyarakat memiliki sejumlah lima kekuatan, seperti : 1) efektivitas proyek meningkat, penggunaan pengetahuan, keterampilan dan sumber dapat memperbaiki desain dan implementasi proyek, 2) efisiensi proyek membaik, keterlibatan masyarakat dapat mengarahkan penggunaan sumber eksternal dan lokal yang lebih baik, misalnya material dan tenaga kerja, 3) kepercayaan diri dan pemberdayaan masyarakat, keterlibatan masyarakat dapat membantu mengurangi mentalitas ketergantungan, 4) mencakup anggota masyarakat lebih luas, keterlibatan masyarakat dapat menghasilkan distribusi keuntungan yang lebih merata bagi orang-orang yang terabaikan, misalnya orang miskin, perempuan, minoritas, tak berdaya, dan sebagainya, dan kesinambungan proyek lebih terjamin, keterlibatan masyarakat daat membantu untuk menjamin bahwa proyek melanjutkan fungsi secara benar. Partisipasi masyarakat sebenarnya tidak hanya dapat memperlancar pelaksanaan pendidikan, melainkan juga mampu meningkatkan kualitas pendidikannya. White dan Barber (1997) menegaskan bahwa hubungan dan kerjasama yang suportif antara keluarga dan masyarakat memiliki efek yang positif. Hal ini didukung oleh penelitian Mortimore dkk (1988) terhadap siswa Rochmat Wahab UNY, Indonesia 4

SLTP bahwa ditemukan keuntungan yang positif di mana orangtua membantu di dalam kelas dan ketika study-tour, ada pertemuan tentang kemajuan anak secara rutin, ada sebuah ruang untuk orangtua di sekolah, dan ada suatu kebijakan pintu terbuka yang memungkinkan orangtua dapat hadir di sekolah kapan saja untuk urusan anaknya. Masyarakat yang sehat tidaklah mungkin hanya membiarkan pendidikan itu berlangsung apa adanya, karena mereka akan menghadapi resiko yang boleh jadi sangat merugikan. Untuk mencapai masyarakat yang lebih maju, maka masyarakat perlu peduli dan terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pendidikan dapat di wilayahnya. Masyarakat perlu merasa bertanggung jawab akan keberadaan pendidikan di wilayahnya, walupun didasari sepenuhnya bahwa pendidikan dasar boleh diklaim sebagai public-goods (artinya bahwa utamanya menjadi tanggung jawab pemerintah). D. Wujud partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan Mengingat strategisnya partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan, maka partisipasi masyarakat harus diwujudkan dalam berbagai bentuk. Pertama, partisipasi finansial yang diwujudkan berupa dukungan dana sesuai dengan kekuatan dan kemampuan masyarakat, baik itu yang sifatnya donatur tetap maupun tidak tetap, ketika dibutuhkan uluran dana yang dikaitkan dengan tuntutan mendesak. Termasuk juga orangtua secara kolektif dapat mendukung dana yang diperlukan sekolah, yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan untuk keberhasilan misi pendidikan secara menyeluruh. Selain daripada itu, lembaga bisnis dan industri diharapkan dapat menyisihkan anggaran untuk pemberian beasiswa atau dukungan biaya operasional pendidikan. Kedua, partisipasi material yang diwujudkan dengan sumbangan bahanbahan yang berkenaan dengan material bangunan, guna untuk penyempurnaan bangunan ruang dan tempat untuk kegiatan belajar. Demikian juga masyarakat Rochmat Wahab UNY, Indonesia 5

dimungkinkan dapat mendukung adanya fasilitas umum yang dapat digunakan dalam batas tertentu untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya masyarakat perlu mendukung terciptanya lingkungan fisik yang kondusif, sehingga tempat-tempat pendidikan dan latihan dapat terhindar sejauh-jauhnya dari polusi udara, suara, air, tanah, dan sebagainya. Lingkungan sehat yang diciptakan masyarakat akan memberikan dukungan yang berarti bagi keberlangsungan proses pendidikan. Ketiga, partisipasi akademik yang ditunjukkan dengan kepedulian masyarakat yang dikaitkan dengan dukungan terhadap penyelenggaraan kegiatan akademik yang lebih berkualitas. Dukungan dapat diwujudkan dengan dukungan orangtua dan masyarakat untuk mengawasi dan membimbing belajar anak yang berlangsung di luar sekolah. Demikian pula dapat dimungkinkan beberapa orangtua yang memiliki keahlian tertentu dapat menjadi orang sumber (resource persons) yang mampu memperbaiki kualitas pendidikan. Selain daripada itu tempat-tempat industri dan bisnis dapat memberikan sharing pengalaman dan kompetensinya melalui pemberian kesempatan untuk magang, praktek lapangan. Masyarakat juga terbuka untuk melakukan kontrol terhadap proses pendidikan yang berlangsung, dikaitkan dengan tanggung jawab profesional tenaga kependidikan. Bila dijumpai guru dan ahli kependidikan lainnya kurang committed dengan tanggung jawabnya, maka masyarakat memiliki hak untuk mengajukan sejumlah rekomendasi kepada DPR dan pemerintah daerah (dinas), guna meminta pertanggungjawaban mereka. Keempat, partisipasi kultural yang diwujudkan dengan perhatian masyarakat terhadap terpeliharanya nilai kultural dan moral yang mampu menjaga martabat masyarakat setempat, sehingga masyarakat perlu ikut serta menjadi filter terhadap masuknya peradaban yang tidak sejalan dengan kultur dan nilai yang diyakini oleh masyarakat. Praktek perilaku yang dikehendaki Rochmat Wahab UNY, Indonesia 6

tumbuh subur di sekolah, harus didukung dengan perilaku dan tradisi yag baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kelima, partisipasi evaluatif, yang diwujudkan dengan keterlibatan masyarakat dalam melakukan pengendalian dan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan, sehingga masyarakat dapat memberikan umpan balik (feedback) dan penilaian terhadap kinerja lembaga pendidikan. Keenam, partisipasi mediatif, yang diwujudkan dengan membangun network dengan intsitusi birokrasi dan institusi pendidikan, sehingga dapat memudahkan peserta pendidikan mengakses informasi yang ada di masyarakat tanpa melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit. E. Hambatan dalam partisipasi masyarakat Wolf, Kane, dan Strickland (1997) menyatakan bahwa pada dasarnya ada beberapa potensi masalah yag dijumpai dalam partisipasi masyarakat : Pertama, Orang - baik pembuat keputusan maupun masyarakat lokal - perlu untuk dididik kembali, sehingga dapat bekerja dalam model partisipatori. Struktur mungkin harus dirubah menjadi lebih fleksibel, di samping situasi proses kegiatan yang baru sangatlah dikehendaki. Kedua, partisipasi dapat melibatkan lebih banyak waktu, usaha, dan biaya daripada pendekatan konvensional (top-down). Misalnya ketika kita ingin menyelesiakan suatu masalah, maka harus melibatkan banyak orang dan butuh waktu yang lebih banyak juga, guna menjamin keterlibatan semua pihak yang terkait, untuk tetap dijamin partisipasi. Ketiga, upaya lokal yang berserakan dan tidak terfokus hanya dapat memecahkan masalah jangka pendek, dan yang dapat dilihat selintas. Keempat, keterbatasan informasi pada masyarakat kurang mendukung dalam berpartisipasi yang lebih aktif dalam proses kegiatan. Rochmat Wahab UNY, Indonesia 7

F. Strategi pengembangan partisipasi masyarakat Untuk dapat mengefektifkan partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan, maka dapat dilakukan berbagai upaya. Pertama, partisipasi masyarakat perlu didorong sampai pada partisipasi dalam pembuatan keputusan, baik yang berkenaan dengan pembuatan kebijakan dan program pendidikan di daerah dan sekolah, menyeleksi bahan dan materi pendidikan, substansi yang harus diajarkan, perencaan anggaran dan monitoring belanja untuk kegiatan pendidikan, dan menseleksi personil di lingkungan isntitusi dan birokrasi pendidikan. Kedua, masyarakat sharing tanggung jawabnya dalam menciptakan iklim masyarakat dan sekolah yang lebih kondusif bagi terselenggaranya proses pendidikan, misalnya perwakilan masyarakat dapat menjadi tenaga voluntir dalam memenuhi kebutuhan kegiatan pendidikan, organisasi masyarakat menerima dengan terbuka seluruh staf pendidikan siswa yang mengunjungi fasilitas yang dimiliki masyarakat, dan sebagainya. Ketiga, masyarakat perlu terus melakukan pemantauan dan evaluasi kritis terhadap penyelenggaraan pendidikan, dengan tetap memberikan dukungan yang berarti melalui umpan balik yang konstruktif bagi perbaikan layanan pendidikan di wilayahnya. Keempat, masyarakat perlu terus mengupayakan dalam mengurangi alineasi sekolah dari masyarakat, karena pada dasarnya sekolah merupakan bagian daripada masyarakat. Kondisi yang demikian diyakini akan meningkatkan prestasi pendidikan peserta didik (Mohrman, Wohlstetter and Associates, 1994). Kelima, perlu adanya fleksibilitas yang berkenaan dengan struktur birokrasi, budgeting, lintas sektor, disain, perencanaan dan implementasi. Rochmat Wahab UNY, Indonesia 8

Keenam, memberikan kepercayaan dan investasi bagi masyarakat loka dengan memperkuat institusi loka, membangun di atas fundasi lokal, dan sharing informasi. G.Kesimpulan Akhirnya dapatlah disadari bahwa partisipasi masyarakat bagi kebersilan otonomi pendidikan menduduki posisi yang strategis, karena masyarakat pada dasarnya merupakan stakeholders pendidikan yang paling utama. Dengan demikian sangatlah tepat, jika masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan untuk berbagai persoalan yang penting dalam proses pendidikan. Atas dasar pengertian ini, maka otonomi pendidikan pada dasarnya memungkinkan terciptanya keyakinan bahwa pendidikan itu dari, oleh, dan untuk masyarakat. Mudah-mudahan bahan ini dapat memberikan urunan yang berarti baik dalam menghidupkan diskusi maupun untuk kepentingan pengembangan otonomi pendidikan yang sebentar lagi kita hadapi. Daftar Pustaka Hannaway, Jane and Carnoy, Martin Ed. (1993), Decentralization and School Improvement : Can We Fulfill the Promise? San Fransisco, Jossey-Bass Publishers. Mohrman, Ausan Albers. Wohlstetter, Priscilla dkk (1994), School-Based Management : Organizing for high Performance, San Fransisco, Jossey- Bass Publishers. Schlechty, Phillip C., (1997), Inventing Better Schools : An Action Plan for Educational Reform, San Fransisco, Jossey-Bass Publishers. Nurhadi, Muljani A. (2000), Pokok-pokok Pikiran mengenai Pengelolaan Pendidikan dalam rangka Pelaksanaan Undang-undang RI No. 22 dan 25 Tahun 1999, Jakarta : Biro Perencanaan Depdiknas Thoha, Miftah (2000), Desentralisasi Pendidikan, Jakarta : Biro Perencanaan Depdiknas. White, John and Barber, Michael, Ed. (1997), Perpspektives on School Effectiveness and School Improvement, London : Institute of Education. Rochmat Wahab UNY, Indonesia 9

Rochmat Wahab UNY, Indonesia 10