BAB I PENDAHULUAN. Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata bagi wisatawan mancanegara dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu

HUKUM AGRARIA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang

BAB I PENDAHULUAN. tempat untuk hidup dan sumber kehidupan. Tanah sebagai tempat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kesimpulan dari pemasalahan yang ada, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Al-Maliki Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (ttp. : tp.), 1963

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB V. PENUTUP. (dua) permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. prasarana penunjang kehidupan manusia yang semakin meningkat. Tolak ukur kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. tunggal (satu), artinya hanya ada satu negara, dan tidak ada negara dalam Negara. Demikian di

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara

BAB I PENDAHULUAN. NRI 1945) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. penghidupan masyarakat, bukan hanya aspek hubungan sosial-ekonomis, tetapi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BANK TANAH: ANTARA CITA-CITA DAN UTOPIA CUT LINA MUTIA

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hukum Tanah dan Hak Penguasaan

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya pembangunan dapat diketahui suatu daerah mengalami kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

Abstrak tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP -PPK)

MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan,

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. sangat indah membuat investor asing berbondong-bondong ingin berinvestasi di

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR TENTANG PENGUASAAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA BAGI WARGA NEGARA ASING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MAKALAH DEMOKRASI PANCASILA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara berdasarkan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG BAIK (KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) ABSTRAK PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan. Keadaan seperti itu yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Analisis hukum kegiatan..., Sarah Salamah, FH UI, Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 40.

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

LAND REFORM INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian bangsa dan pengakaran nilai-nilai budaya sebagai salah satu upaya

BAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah.

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

Sumarma, SH R

RINGKASAN. vii. Ringkasan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas Desentralisasi dalam penyelengaraan pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. ini terlihat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Kedudukan Hak Menguasai Negara Atas Tanah

Materi Kuliah RULE OF LAW

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

MATERI UUD NRI TAHUN 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang

BAB I PENDAHULUAN. fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan

ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PENGELOLAAN ASET TANAH INSTANSI PEMERINTAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

Pertemuan ke 4 HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief SH.MKn.MBA

BAB I P E N D A H U L U AN

Selasa, 17 November 2009 HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

TINJAUAN TENTANG HAMBATAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KOTA PADANGSIDIMPUAN. Oleh: Anwar Sulaiman Nasution 1.

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

HAK-HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT ADAT ATAS SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH LAUT DAN PESISIR. Oleh : Jantje Tjiptabudy. Abstract

BAB II LANDASAN PEMBANGUNAN HUKUM TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara hukum yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN

BAB I PENDAHULUAN. penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah. 1 Tanah dalam

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata bagi wisatawan mancanegara dan lokal. Disamping memiliki daya tarik budaya, Bali juga memiliki daya tarik keindahan alam. Salah satu objek wisata yang terkenal di Bali adalah pantai Kuta, keindahan yang dimiliki pantai Kuta membuat kegiatan perekonomian di wilayah pantai Kuta berkembang pesat. Wilayah pesisir merupakan sumber daya potensial di Indonesia, dan merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km 1. Garis pantai ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya : perikanan, hutan mangrove dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati mencakup sarana penunjang seperti restoran, kafe-kafe dan pendukung pariwisata lainnya. Wilayah pantai merupakan wilayah yang memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi, sehingga menarik selera para penanam modal untuk berinvestasi. Hingga saat ini para investor saling berlomba untuk berinvestasi di wilayah pesisir mengingat daya tarik yang dimilikinya. Sumber daya wilayah pesisir hingga saat ini merupakan daya tarik atau primadona investor untuk menanamkan modalnya. Daya tarik wilayah pesisir oleh Pemerintah Kota maupun Kabupaten diyakini merupakan salah satu jalan 1 Dahuri, R. et al. 1998, Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB, Laporan Akhir, hal. 1 1

2 keluar dari keterpurukan ekonomi seiring dengan menipisnya sumber daya alam. Provinsi Bali merupakan provinsi yang terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil yang terdiri dari pulau Nusa Penida, Lembongan, Ceningan dan Pulau Menjangan, Pulau Bali sendiri sebagai pulau terbesar dan pusat kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Di kawasan pesisir, Bali yang memiliki panjang garis pantai sekitar 430 km (empat ratus tiga puluh) mengalami kerusakan sekitar 181 km (seratus delapan puluh satu) 2. Selain itu penanganan abrasi pantai di Bali yang semakin parah seringkali berlandaskan politik ekonomi pariwisata. Pantai-pantai yang menjadi pusat kegiatan pariwisata akan mendapat prioritas pembenahan dari pemerintah. Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, adalah merupakan desa dengan garis pantai sepanjang lebih dari 1 (satu) km memiliki potensi yang cukup baik sebagai kawasan wisata bahari. Kegiatan nelayan tradisional yang masih kental dengan budaya pesisirnya, menjadikan pantai ini mempunyai peluang sebagai kawasan wisata bahari berskala international di masa mendatang. Secara tradisional wilayah pesisir Kedonganan dan wilayah pesisir Kuta telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan, diantaranya upacara keagamaan, tempat penambatan jukung para nelayan, kegiatan sosial dan olah raga, tempat berekreasi masyarakat lokal. Selain itu, juga dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk mendirikan rumah makan atau kafe-kafe yang berfungsi ganda bagi wisatawan, khususnya wisatawan asing. 2 Agung Wardana, Bali sebagai Provinsi Hijau, Layakkah Bali Post, Senin, 04 Oktober 2012, hal. 6

3 Sebagaimana diketahui dari berbagai kepustakaan terdapat beberapa sistem penguasaan tanah, salah satunya adalah sistem penguasaan tanah menurut hukum adat, yang dalam hal ini tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang sangat erat 3. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah menciptakan hubungan hukum yang konkret. Hubungan hukum tersebut oleh Van Volenhoven disebut dengan istilah beschikkingrecht atau juga dikenal sebagai hak ulayat. Ada beberapa peristilahan yang dipakai untuk mengalihbahasakan beschikkingrecht sebagai hak mempergunakan, dan sebagai hak wilayah 4. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA) melalui hak menguasai negara sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pemerintah wajib berusaha agar bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan Wiradi menyatakan 5 ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA menekankan desentralisasi dalam hukum agraria, dengan demikian politik hukum agraria Indonesia selayaknya bercorak neo-populis yang menempatkan satuan usaha pada masyarakat dengan pertanggungjawaban diatur oleh negara. Kenyataannya, banyak sengketa agraria yang terjadi dimulai dengan 3 Budi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, hal. 89. 4 Abdurrahman, 1978, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia Alumni, Bandung, hal. 34. 5 Gunawan Wiradi, dikutip dari Noer Fauzi, 1997, Penghancuran Populisme Dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraris Indonesia Pasca Kolonial, Hasil Konsorsium Pembaharuan Agraria, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 68.

4 pemberian hak-hak keagrariaan oleh pemerintah kepada perusahaan modal besar atau bagi proyek pemerintah. Kondisi ini telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah berskala besar bagi proyek pembangunan pemerintah maupun perusahaan bermodal besar. Sengketa ini bersifat struktural, dalam arti bahwa sengketa atas sebidang tanah beserta segala sesuatu yang tumbuh di atasnya dan terkandung di dalamnya dimulai dengan pemberian hak atas tanah termaksud untuk proyek pembangunan dan telah terjadi ikatan kuat antara penduduk dengan tanah tersebut. 6 UUPA sebagai peraturan dasar dan pokok dalam bidang keagrariaan, seharusnya dapat menjawab permasalahan yang timbul. Namun dalam kenyatannya masih terjadi sengketa berkepanjangan. Bagi masyarakat adat di Bali, berbicara tentang tanah berarti langsung berbicara tentang eksistensi dirinya. Ada gagasan-gagasan yang bersifat simbolik-kultural, atau lebih tepat disebut sosio-religius. Tanah bagi masyarakat Bali, merupakan simbol ibu (pertiwi) yang dipandang tidak semata-mata sebagai pemberi berkah kemakmuran melainkan juga sebagai tempat untuk perlindungan dan kekuatan 7. Di samping itu, tanah juga merupakan salah satu mata rantai penting sebagai hubungan kekerabatan dalam struktur kemasyarakatan Bali, yang menjadikan sebagai semacam alat bukti identitas diri, khususnya terhadap penentuan hak dan kewajiban dalam kerangka struktur kemasyarakatan. Pemutusan ikatan masyarakat adat Bali dengan tanah 6 Zakaria Yando, dkk., Tanpa tahun terbit, Mensiasati Otonomi Daerah, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Jakarta, hal. 8 7 Dewa Gde Palguna, 1999, Bali dan Masa Depannya Epilog tentang Bali, Penerbit Bali Post hal. 80.

5 berarti tindakan mencabut identitas (kedudukan dan fungsi) masyarakat adat Bali dan ikatan kekerabatan. Persoalan akan timbul ketika nilai-nilai yang bersifat sosio-religius dihadapkan dengan kedudukan tanah yang semata-mata diposisikan sebagai benda ekonomis. Apabila diperhatikan bahwa permasalahan utama pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut disebabkan oleh adanya pemanfaatan berlebihan terhadap sumber daya tersebut dimana hal tersebut terkadang dipengaruhi oleh masalah sosial, politik, dan ekonomi. Untuk itu, perhatian utama terhadap pengelolaan sumber daya laut hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan konservasi sumber daya pesisir dan laut guna kelangsungan generasi yang akan datang. 8 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu konsep penataan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang dapat menjaga sumberdayanya secara umum, khususnya di sepanjang kawasan pesisir Kedonganan dan Kuta dengan segala potensinya tersebut. Hal ini penting, sebab keunikan wilayah pesisir yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir, sehingga memerlukan pengaturan penguasaan dan pemanfaatan secara baik berdasarkan mekanisme hukum, agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik, agar dapat tercipta harmonisasi penguasaan dan pemanfaatan di wilayah pesisir tersebut. 8 Sudirman Saad, 2003, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Penerbit Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat, Cetakan Pertama, hal. 22

6 Penataan, penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir pantai telah memperoleh landasan hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (selanjutnya disebut Undang-Undang Pesisir). Ketika Undang-Undang Pesisir tersebut dibuat telah memuat ketentuan tentang pemanfaatan wilayah pesisir dengan suatu instrumen hak yang disebut dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Artinya, pada kawasan perairan pesisir tersebut dapat diberikan HP-3, sehingga pengaturan pemanfaatannya menjadi jelas dengan instrument hak tersebut. Sementara pada bagian lain yang terkait dengan tanah di wilayah pesisir dimungkinkan untuk diberikan hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional walaupun dengan hak atas tanah yang bersifat terbatas, seperti Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Negara. Namun perlu diperhatikan bahwa di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta telah dipraktekkan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir secara turun temurun baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama dalam pelaksanan ritual keagamaan atau budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir sering kali tidak memperhatikan kepentingan masyarakat di wilayah pesisir, bahkan mata pencaharian yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan mereka terabaikan dan tidak tergantikan oleh pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang dibangun, masyarakat lebih sering tergusur daripada diikutsertakan dalam proses pembangunan. Bahkan masyarakat terutama masyarakat adat yang masih memegang teguh nilai-nilai dasar budaya lokal dalam pengelolaan sumber

7 daya pesisir dan laut sering kali tidak terwakili aspirasinya dalam proses pembangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu, padahal mereka memiliki hak untuk melindungi diri dan budayanya serta menolak perubahan yang berdampak negatif bagi diri dan lingkungannya. Dengan demikian, dalam pengelolaan kawasan pesisir, seluruh aspek sumber daya yang ada di dalamnya harus secara sinergis dan optimal dimanfaatkan untuk berbagai tujuan pemanfaatan yang multiguna. Dalam dekade terakhir pengelolaan kawasan pesisir menjadi perhatian penting sebagai salah satu sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan ekosistem budaya dan ekonomis agar kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan pesisir dapat dilaksanakan secara lestari dan berkelanjutan antar generasi. Berdasarkan fenomena diatas, maka perlu untuk dilakukan penelitian tentang Implikasi Pengaturan Usaha Pariwisata Wilayah Pesisir Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat Di Desa Adat Kedonganan Dan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tentang Implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di desa adat Kedonganan dan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali aktual dan menarik untuk diteliti. Penelitian ini juga belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya sebagaimana dapat disimak dari penelusuran penelitian terkait sebagai berikut: a. Ni Wayan Trinadi, Tesis Universitas Udayana Denpasar Magister Kenotariatan 2008 dengan judul Eksistensi Hak Atas Tanah Ulayat

8 Masyarakat Adat Era Pasar Bebas (Studi Di Desa Adat Kuta), Hasil penelitian banyaknya tanah-tanah adat yang sudah beralih fungsi karena perkembangan pariwisata. b. I Wayan Tagel Sidartha, Tesis Universitas Diponogoro Semarang 2002 dengan judul Dampak Perkembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Dan Budaya Masyarakat (Studi kasus di Desa Adat Sanur) hasil penelitian menyatakan dengan adanya pariwisata dari segi sosial dan budaya serta ekonomi terjadi perubahan yang sangat signifikan di desa adat sanur. c. I Wayan Mertha, Laporan penelitian Universitas Warmadewa Denpasar Fakultas Ekonomi 2006 dengan judul Penataan Pantai Kedonganan, Bali Dalam Upaya Pengembangan Wisata Bahari Berkelanjutan dari hasil penelitian dapat dijelaskan perlunya penataan terhadap tanah-tanah pesisir di desa adat kedonganan. Hasil penelusuran penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait seperti di atas menunjukkan dari judul dan permasalahannya yang dibahas tidak ada kesamaan dengan judul dan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini. Penulis pada intinya membahas tentang Pasal 61 dan Pasal 62 Undang-Undang Pesisir yang secara garis besar menyatakan bahwa Pemerintah mengakui, menghormati serta melindungi hak-hak masyarakat hukum adat wilayah pesisir dan juga kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat pesisir tersebut yang dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan.

9 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang sebagaimana yang telah disampaikan diatas, maka dalam penulisan ini akan dibatasi pada permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali? 2. Bagaimana implikasi penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat untuk kepentingan kegiatan usaha pariwisata? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum di bidang keagrarian yang kaitannya dengan pengaturan usaha pariwisata serta implikasinya terhadap penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. 1.3.2. Tujuan Khusus Disamping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu : a. Untuk mengkaji dan menganalisa implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali b. Untuk mengkaji dan menganalisa lebih dalam mengenai implikasi penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat untuk kepentingan kegiatan usaha pariwisata

10 1.4. Manfaat Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum mengenai implikasi pengaturan usaha pariwisata terhadap penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. 1.4.1 Manfaat Teoritis Untuk dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan hukum khususnya hukum agraria serta hukum pertanahan yang berkaitan dengan tanahtanah di wilayah pesisir. Untuk dapat memberikan sumbangan di bidang hukum kepariwisataan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pengelolaan tanah-tanah yang ada di wilayah pesisir untuk kepentingan kegiatan pariwisata. 1.4.2 Manfaat Praktis Di samping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat praktis, yaitu: 1. Memberikan gambaran yang jelas tentang Pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah pesisir di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta. 2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah untuk mencari solusi yang dapat mewujudkan tujuan pemilikan, dan Pemanfaatan.

11 1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.5.1. Landasan Teoritis Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-konsep, maupun pandangan- pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. Pandangan-pandangan teoritis dimaksud dijastifikasi dengan peraturan perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum pertanahan 1.5.1.1 Konsep Negara Hukum Untuk memahami masalah penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam sistem hukum tanah nasional, maka diperlukan pemahaman tentang konsep negara hukum, karena konsep negara hukum menjungjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum. Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M Friedman a legal system in actual is a complex in wich structure, substance and culture interact 9, terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum ( legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Konsep negara hukum juga menjunjung tinggi perlindungan hak-hak rakyat, termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria, dengan tujuan terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara Hukum adalah sebagai berikut: 9 Lawrence M Friedman, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation, New York, hal. 4.

12 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara. 10 Sementara itu, A.V. Dicey mengemukakan mengenai unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut: 11 1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah; 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsipprinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-pejabatnya. 10 Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI Jakarta, hal. 24. 11 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, hal. 75.

13 Dalam perumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Negara Kesatuan Indonesia adalah sebuah negara yang dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ini berarti bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan yang oleh K.C. Wheare dinyatakan, first of all it is used to describe the whole system of government of a country, the collection of rule are partly legal, in the sense that courts of law ill recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called 12 yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugastugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain. Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu: 13 12 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press, hal. 1. 13 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal. 157.

14 a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system. b. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system. Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan konsep the rule of law, hal ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodisasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law. 14 Indonesia tidak seyogyanya tidak begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep Negara Hukum Pancasila. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila. 15 Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut: 14 Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hal. 66-67 15 I Dewa Gede Atmadja, Op. Cit., hal. 162

15 a. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional; b. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; c. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d. keseimbangan antara hak dan kewajiban. Muhammad Tahir Azhari mengemukakan bahwa ciri-ciri Konsep Negara Hukum Pancasila adalah merupakan hubungan yang sangat erat antara agama dan negara bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa kebebasan beragama ateisme tidak dibenarkan dan komonisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan diutamakan. 16 Unsur-unsur utama Negara Hukum Pancasila, meliputi: Pancasila, sistem konstitusi, persamaan, dan peradilan bebas. 17 Pernyataan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, ini berarti membawa konsekwensi apapun yang dilakukan oleh pemerintah (Negara) harus berdasarkan hukum, yang dalam hal ini adalah aturan-aturan yang dibentuk dan diberlakukan. Sejalan dengan pendapat Hugo Grotius dari cabang filsafat hukum alam, bahwa jika negara akan membentuk hukum maka isi hukum itu haruslah ditujukan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan negara. 18 16 I Dewa Gede Atmaja, op.cit, hal. 163. 17 Muhammad Tahir Azhari, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, hal. 102. 18 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 11.

16 Dalam konteks negara Indonesia, maka tujuan hukum harus berorientasi pada tujuan negara. Mengenai landasan filosofi dari negara Hukum Indonesia adalah Pancasila. 19 Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di wilayah Negara Republik Indonesia. Negara Hukum menentukan alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan-peraturan itu. 20 1.5.1.2. Konsep Hukum Tanah Nasional. Pemanfaatan dan penguasaan Tanah di wilayah pesisir yang diatur dalam Undang-Undang Pesisir yang bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera di wilayah pesisir agar dapat merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan hak atas wilayah pesisir yaitu pembagian yang merata atas sumber penghidupan. Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pikiran hukum adat, sehingga sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, yang antara lain merumuskan bahwa falsafah/konsepsi hukum tanah nasional adalah komunalistik-religius, yang memungkinkan 19 Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta, hal. 2. 20 Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum, Seruling Masa PT, Jakarta, hal. 159.

17 penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. 21 Sifat komunalistik sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 UUPA merumuskan bahwa semua tanah dalam Wilayah Negara Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya mengenai watak religius tampak pada Pasal 1 angka 2 UUPA, yang menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Negara Republik Indonesia adalah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat (dengan dasar individualisme dan liberalisme) dan Konsepsi Tanah Feodal, maka konsepsi Hukum Tanah Nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia, karna berdasarkan alam pikiran masyarakat adat bangsa Indonesia. Dari rumusan falsafah/konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut diatas, maka dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut: 22 a. Falsafah/konsepsi hukum tanah nasional merupakan suatu pikiran yang mendasar dan terdalam yang mengkristal sebagai nilai-nilai hukum yang akan melandasi pembentukan asas, lembaga, dan sistem pengaturan hukum tanah nasional; b. Tanah yang menjadi wilayah negara Republik Indonesia merupakan tanah bersama dan menjadi kekayaan bersama Bangsa Indonesia, sehingga 21 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta, hal. 229. 22 Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hal. 65.

18 kewenangan terhadap wilayah bangsa itu disebut sebagai Hak Bangsa Indonesia; c. Tanah bersama itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia dengan Wilayah Indonesia bersifat abadi; d. Hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi air, dan ruang angkasa, sebagai wilayah Indonesia semacam hubungan hak ulayat, sehingga di dalamnya dikenal adanya hak penguasaan individual dalam bentuk hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi; e. Oleh karena hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi itu berasal dari hak bangsa sebagai hak bersama, maka di dalam setiap hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi terkandung unsur-unsur kebersamaan, sehingga setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 1.5.1.3. Teori Kewenangan Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan menganalisis tentang kewenangan pemerintah Daerah dalam memberikan pengelolaan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir pada masyarakat adat dalam menetapkan Zona penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir, dalam hal ini untuk menganalisis apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan zona pengelolaan wilayah pesisir. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda bevoegdheid ( yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara

19 dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum. 23 Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan. 24 Lebih lanjut Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu pengertian tentang pemberian wewenang (delegation of authority). Delegation of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk 23 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154. 24 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1170.

20 melakukan tugas tertentu. 25 Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menentukan tugas bawahan tersebut 2. Penyerahan wewenang itu sendiri 3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan. I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai berikut : Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit. 26 Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh : 1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik 2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi 3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal 25 Ibid, hal. 172. 26 Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996, hal. 2.

21 Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat. 27 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. 28 Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain. 29 Kewenangan pemerintah yang dilakukan dalam hal menetapkan wilayah penguasaan dan pemanfaatan tanah pantai merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 27 27 Ibid. 28 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta hal. 29. 29 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90.

22 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. 30 Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini, standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di bidang pertanahan di wilayah pesisir pantai. Menurut Ronald Z. Titahelu dalam Abrar Saleng 31, secara teoretik kekuasaan negara atas sumberdaya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa. Negara di sini dipandang sebagai territoriale publieke rechtsgemenschap van overheid en onderdaden, yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayahnya secara intern. Dalam kaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan perairan di sekitarnya, maka kawasan tersebut sebagai bagian dari sumber daya 30 Philipus M. Hadjon, 1997/1998, Penataan Hukum Administrasi, Tentang Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hal. 2. 31 Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, Penerbit UII Press, Yogyakarta, hal. 7-8.

23 alam yang merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat menjadi objek kekuasaan atau kewenangan Negara untuk mengatur, mengurus dan memelihara serta mengawasi pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada dalam wilayah Negara secara intern, bahwa penegasan hubungan antara Negara dengan sumber daya agraria (termasuk yang ada di wilayah pesisir ) itu ditentukan dalam Pasal 2 UUPA. 32 Kewenangan yang diperoleh oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA menurut Maria S.W. Sumardjono 33 ialah karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat dilakukan atau diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Sebagai penerima kuasa, maka segala tindakan negara yang berkaitan dengan pembuatan kebijaksanaan dan pengawasan atas terlaksananya peraturan dan kebijaksanaan itu, harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Hak menguasai negara atas tanah juga tidak berisikan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti halnya hak atas tanah, karena sifatnya memang mengatur atau semata-mata dalam aspek hukum publik. Kalau negara memerlukan tanah untuk kelangsungan jalannya pemerintahan, maka instansi Pemerintah yang bersangkutan dapat diberikan suatu hak atas tanah. Konsepsi hubungan bangsa Indonesia dengan tanah dalam tatanan konsep hak menguasai negara menurut UUPA, adalah semacam hubungan dalam hak ulayat yang 32 Farida Patittingi, 2009, Pengaturan Penguasaan Tanah Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Lanorka, Yogyakarta, hal. 106-107. 33 Maria S.W. Sumardjono 1982, 1982, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.hal. 6

24 diangkat pada tingkatan yang paling tinggi, yaitu meliputi seluruh wilayah negara Indonesia. 34 1.5.1.4. Teori Keadilan Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan hak pengelolaan terhadap pemanfaatan dan penguasaan terhadap wilayah pesisir. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945. Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia. 35 Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Aristoteles, menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak 34 Farida Patittingi, Op.Cit. hal. 107. 35 Soerjono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, CV. Rajawali, hal. 169.

25 adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan tidak adil, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai adil. 36 Keadilan adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distributiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutativ). Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan. 37 Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan 36 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 156. 37 Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 43.

26 tersebut, maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Sementara itu, filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu: 38 1. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal. 2. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu: a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsiobal. b. Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya. Dari teori keadilan yang dikemukakan oleh beberapa filsuf tersebut, teori keadilan dapat dilihat juga dalam sistem hukum nasional, dimana pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar Negara. Pancasila sebagai dasar Negara atau falsafah Negara (filosofische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih dianggap penting bagi Negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, 38 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. Cit., hal. 167.

27 mengakui, serta menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau pelanggaran itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia. Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar Negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila. Menurut Kahar Masyhur yang mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terapat tiga hal tentang pengertian adil: 1. Adil ialah : meletakkan sesuatu pada tempatnya; 2. Adil ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang; 3. Adil ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran. Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan pelakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban,

28 dengan sendirinya apabila kita mengakui hak hidup, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan hubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. 39 1.5.1.5. Asas Hukum Tanah Nasional Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan atau urutan), yakni ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah, Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan dan konflik di dalamnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, merumuskan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: kejelasan tujuan, 39 http://ugun-guntari.blogspot.com/2011/12/teori - keadilan - dalam perspektif - hukum.html

29 kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Dalam UUPA dimuat 7 asas bidang hukum pertanahan di Indonesia (asasasas Hukum Tanah Nasional). Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan sendirinya harus menjiwai pelaksaanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut: a. Asas nasionalitas subyek hak atas tanah; asas yang berasal dari asas hukum adat mengenai tanah yang selalu mendahulukan kebutuhan dan kepentingan anggota masyarakat hukum adat. Hanya anggota masyarakat hukum adat yang dapat mengambil manfaat secara penuh atas wilayahnya, sedangkan orang asing hanya dapat mempunyai hak yang bersifat sementara. Tanah Bangsa Indonesia sebagai keseluruhan adalah kekayaan nasional dan menjadi hak Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya. b. Asas fungsi sosial hak atas tanah; asas ini ditemukan pada Pasal 6 UUPA yang menyatakan semua hak atas tanah berfungsi sosial, sehingga menurut pandangan secara rasionalitas adalah semua hak-hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa sebagai kepunyaan bersama dari Bangsa Indonesia. c. Asas pemerataan dan keadilan; asas ini ditemukan dalam pasal-pasal tentang Landreform, seperti Pasal 7, 10, 11, dan 17 UUPA. Sama dengan orientasi hidup masyarakat adat yang mengedepankan kesejahteraan dalam

30 kebersamaan, dan demikian sebaliknya mengedepankan kebersamaan dalam kesejahteraan. d. Asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup; asas ini terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UUPA, yang pada intinya menginginkan agar tercipta penggunaan tanah yang bijaksana dan berkesinambungan. e. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah; asas ini di konkritkan pada Pasal 12 dan 13 UUPA, yang pada intinya mencegah usaha-usaha penggunaan dan pemanfaatan tanah secara monopoli. f. Asas pemisahan horisontal dalam hubungannya dengan bangunan dan tanah di atasnya; asas ini diadopsi dari hukum adat, yaitu bahwa penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan benda-benda yang terdaapat di atasnya. g. Asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah, pada intinya jika pemerintah ingin secara langsung menggunakan tanah itu maka dapat diberikan hak pakai atau hak pengelolaan. 1.5.2. Kerangka Berpikir Untuk dapat menjawab rumusan masalah dalam tesis ini, maka diperlukan suatu kerangka berpikir yang dimulai dari pertanyaan rumusan masalah pertama yaitu Bagaimanakah implikasi pengaturan usaha pariwisata wilayah pesisir terhadap hak-hak masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, untuk dapat menjawab rumusan masalah pertama tersebut akan digunakan beberapa teori yang terkait yaitu Konsep Negara Hukum, Teori Kewenangan, Konsep Hukum Tanah Nasional, Azas Hukum Tanah

31 Nasional sedangkan untuk dapat menjawab rumusan masalah yang kedua yaitu bagaimana implikasi penguasaan dan pemanfaatan wilayah pesisir terhadap hakhak masyarakat adat untuk kepentingan kegiatan usaha pariwisata akan digunakan teori yang terkait yaitu Teori Keadilan. Rincian kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagaimana bagan di bawah ini : Bagan Kerangka Berpikir Pengaturan Penguasaan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Usaha Pariwsata Implikasi Konsep Negara Hukum Teori Keadilan Teori Kewenangan Konsep Hukum Tanah Nasional Azas Hukum Tanah Nasional

32 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, artinya permasalahan yang diteliti dengan melihat aspek hukumnya dalam artian melakukan penelitian tidak bisa lepas dari peraturan atau ketentuan yang berlaku dan ditaati masyarakat dan dimaksudkan bahwa penulisan ini dikaitkan dengan fakta-fakta atau kejadiankejadian konkret dalam masyarakat atau dengan melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat. 1.6.2. Jenis Pendekatan Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis sosiologis artinya melakukan pengkajian terhadap aturanaturan, norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan penelitian diarahkan pada fungsi hukum dalam masyarakat dikaitkan dengan hukum nasional positif yang berlaku di Indonesia seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) UU Nomor 5 tahun 1960, UU Nomor 27 tahun 2007 tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum serta Peraturan pelaksananya seperti PP dan Perda provinsi dan Kabupaten Badung, dan juga pendekatan fakta-fakta adanya peristiwaperistiwa hukum dimana dalam penelitian ini dilakukan di Desat Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta yang banyak tanah pesisir pantainya dimanfaatkan dalam kegiatan usaha pariwisata.

33 1.6.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Adat Kedonganan dan Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Provinsi Bali, Indonesia. Ada beberapa pertimbangan terhadap pemilihan lokasi penelitian ini, yaitu: Kenyataan menunjukkan, perkembangan industri Pariwisata di Desa Adat Kedonganan dan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, sangat pesat sehingga menimbulkan banyak permasalahan-permasalahan khususnya dalam penyediaan tanah untuk kepentingan penunjang industri pariwisata. Dengan adanya semangat otonomi daerah, pemerintah daerah cenderung memacu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui sektor pariwisata, sehingga akan memungkinkan terjadi adanya pengembangan industri pariwisata yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat adat di Desa Adat Kedonganan dan Kuta, terutama yang berhubungan dengan keberadaan tanah tanah pesisir pantai. 1.6.4. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan (field research) yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Sedangkan data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan (library research) yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data yang sudah didokumenkan dalam bentuk bahan