BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan asas Ubi Societa, Ibi Ius yang artinya dimana ada. tingkah laku atau perbuatan dalam kehidupan masyarakat.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB III METODE PENELITIAN. norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi

DASAR HUKUM PERTIMBANGAN JAKSA DALAM MELAKUKAN PRAPENUNTUTAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. persidangan atas diri mereka yang digelar Pengadilan Negeri Tangerang.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia tahun, korban berusia 6 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 %)

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya untuk menjunjung hukum itu agar dapat berperilaku, bertindak dan

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat); tidak. berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat).

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hukum merupakan suatu kumpulan kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana telah di diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero sebagai ahli hukum dan ahli politik dari Roma yang mengungkapkan asas Ubi Societa, Ibi Ius yang artinya dimana ada masyarakat, di situ ada hukum. 1 Keberadaan hukum sengaja dibuat oleh masyarakat dan juga diakui oleh masyarakat sebagai suatu pedoman tingkah laku atau perbuatan dalam kehidupan masyarakat. Hukum sebagai instrumen dasar yang penting untuk berdirinya suatu negara dan juga berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat. Hukum merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta suatu suasana yang aman, tenteram dan damai dalam suatu negara. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan pada hukum, berarti harus mampu menjunjung tinggi hukum itu sendiri sebagai kekuasaan tertinggi di negeri ini. Dalam menjalankan fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial terdapat beberapa lembaga penegak hukum diantaranya adalah lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga kehakiman serta lembaga lainnya yang masing-masing lembaga mempunyai peran penting bagi kesejahteraan masyarakat terutama dalam hal penegakan hukum. Diantara ketiga lembaga tersebut memiliki ruanglingkup masing-masing, 1 http://www.academia.edu/2479524/ubi_societas_ibi_ius, Eka Sjarief, Ubi Societa Ibi Ius, hlm.1, 5 september 2014

2 ketiga lembaga tersebut akan bekerja sama dalam menyelesaikan perkara pidana yang telah terjadi. Lembaga Kepolisian dan Lembaga Kejaksaaan akan saling bekerja sama dalam menuntaskan perkara pidana. Kerjasama antara kejaksaan dan kepolisian dalam hal prapenuntutan, kepolisian sebagai penyidik sering terjadi permasalahan yaitu kurang lengkapnya berkas perkara suatu perkara pidana yang diajukan oleh penyidik kepada kejaksaan sebagai penuntut umum. Ketidak lengkapan tersebut sering menjadi penyebab tertundanya penanganan perkara pidana. Kerja sama antara kepolisian dan kejaksaan haruslah sinkron agar penyempurnaan berkas perkara tidak memakan waktu yang cukup lama. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 139 menyebutkan bahwa kejaksaan selaku penuntut umum memiliki wewenang untuk menentukan apakah berkas yang diajukan penyidik layak atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan, jika berkas tersebut tidak ada masalah dan dianggap telah lengkap dan sempurna maka dapat langsung dilimpahkan ke pengadilan, namun apabila belum lengkap atau belum sempurna, penuntut umum seperti yang disebutkan dalam Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-Undang Acara Pidana dapat mengembalikan berkas tersebut ke penyidik berserta petunjuk untuk dilengkapi. Proses prapenuntutan seperti yang telah diutarakan diatas sering menimbulkan permasalahan penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan demi penyempurnaan berkas perkara oleh penyidik. Dengan

3 tidak ditentukannya berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya, maka kemungkinan selalu bisa terjadi berkas perkara bolak-balik dari penyidik ke penuntut umum dan sebaliknya. Atas dasar pendapat penuntut umum hasil penyidikan tambahan penyidik dinyatakan belum lengkap, berkas perkara bisa berlarut-larut, mondar-mandir dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya. 2 Selain itu juga kasus yang telah ditangani terus menggantung tanpa kepastian yang jelas tentang status tersangka yang masih ditahan oleh pihak kepolisian, sehingga melanggar Hak Asasi Manusia dari tersangka. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 16 ayat (2) butir e yaitu menyatakan penghormatan hak asasi manusia dan juga kasus yang ditangani tidak kunjung selesai serta menjadi daluarsa atau verjar. Ketidak jelasan hingga berapa kali berkas perkara dapat diajukan dan dikembalikan juga memungkinkan munculnya asumsi publik bahwa tidak sinkronisasinya antara lembaga penegak hukum tersebut. Dengan pengembalian berkas perkara kepada penyidik dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas penyidik harus sudah melengkapi hasil penyidikannya sesuai petunjuk yang telah di sampaikan oleh Penuntut Umum. 3 Apabila dalam waktu 14 hari pihak 2 Dr. Leden Marpaung, S.H, 2011, Proses Penanganan Perkara Pidana(Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Ekseskusi), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2. 3 Ibid.hlm. 4.

4 penyidik atau polisi masih belum bisa melengkapi berkas tersebut tetap belum sempurna maka kejaksaan berhak untuk menentukan apakah berkas perkara di kembalikan kembali serta di beritahukan petunjuk atau juga kejaksaan berhak untuk menolak dan menghentikan penuntutan yang telah di ajukan oleh pihak penyidik. Pihak penyidik haruslah memperhatikan dengan jelas letak kekurangan berkas perkara tersebut, sebagaimana telah di beritahukan oleh Jaksa. Penanganan kasus tersebut akan menjadi lebih efektif dan efisien dalam hal beralihnya perkara pidana kepada Kejaksaan sebagai Penuntut Umum untuk di lanjutkan dalam persidangan. Diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Dalam Pasal 110 ayat (4) menyatakan bahwa penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Dengan memperhatikan Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 8 ayat (3) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, jika kejaksaan dalam tenggang waktu 14 hari tidak mengembalikan berkas perkara, maka penyidik menyerahkan barang bukti dan terdakwa kepada kejaksaaan, dengan/ tanpa diminta. Hal ini penting karena sudah di tentukan oleh

5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) huruf e, kemungkinan kejaksaan dapat juga melakukan sendiri pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik, guna mempercepat proses penyelesaian penanganan berkas perkara tersebut. 4 Setelah hal tersebut terpenuhi secara keseluruhan maka akan beralih wewenang dari kepolisian kepada kejaksaan sebagai Penuntut umum. Penuntut umum akan membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian dibuat surat pelimpahan perkara yang di tujukan ke Pengadilan Negeri. 5 B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Koordinasi Kepolisian dan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pada Tahap Prapenuntutan di Wilayah Hukum Pengadilan Sleman. C. Tujuan penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian hukum ini yaitu untuk memperoleh data, mengetahui, mengkaji dan menganalisis Bagaimana Koordinasi Kepolisian dan Kejaksaan Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pada Tahap Prapenuntutan di Wilayah Hukum Pengadilan Sleman 4 Ibid.hlm. 9. 5 Dr. Leden Marpaung, S.H, 2011, Poses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 15.

6 D. Manfaat penelitian Dalam hal ini manfaat penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis : a) Menambah pemahaman hukum, khususnya sistem peradilan pidana yang berkaitan dengan bagaimana koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman. b) Mengetahui bentuk kerjasama serta bagaimana koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman. 2. Manfaat praktis : a) Diharapkan bermanfaat bagi lembaga penegak hukum, terutama Kepolisian dan Kejaksaan dalam koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman dapat berjalan secara efisien. b) Bagi penulis diharapkan bermanfaat untuk terus menyumbangkan pemikiran-pemikiran mengenai bidang hukum pidana, terutama menyangkut bagaimana koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman, sebagai bentuk kontrol masyarakat dalam mengawasi penegak hukum.

7 E. Keaslian penelitian Tahap awal penelitian ini telah di temukan berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan masalah prapenuntutuan dalam hukum acara pidana. Penelitian yang secara khusus tentang bagaimana koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman hingga saat ini belum ada. Apabila dikemudian hari diketahui ada jenis penelitian yang sama tentang topik yang telah di bahas dalam penelitian ini, maka diharapkan keduanya dapat saling melengkapi demi kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang sistem peradilan pidana. Penelitian ini berbeda dengan tiga jenis penelitian lainya yang menyangkut bagaimana koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman seperti diuraikan dibawah ini: 1. Pertama a. Judul sekripsi : Kendala Yang Dihadapi Jaksa Penuntut Umum UntukMelakukan Pra Penuntutan Dalam Rangka Proses Penuntutan Tindak Pidana Umum b. Identitas Penulis : Ericha Cahyo Maryono, NPM : 105010101111051, program studi Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya Malang, Program kekhususan : Peradilan & Penyelesaian Sengkete Hukum c. Rumusan Masalah :

8 1) Apa kriteria yang dipakai oleh Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan? 2) Apa kendala yang dihadapi dan upaya mengatasi kendala yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan? d. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari diadakannya penelitian dan penulisan ini adalah: 1. Tujuan Penelitian a) Untuk memperoleh data yang akurat yang akan penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum di Universitas Brawijaya Malang b) Untuk menambah pengetahuan dalam bidang hukum pidana dengan harapan bermanfaat dikemudian hari. e. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara terdapat berbagai kendala yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan prapenuntutan, kendala yang dimaksud yaitu : 1) Terjadi Proses Bolak-Baliknya Berkas Perkara Dari Penyidik Kepada Jaksa Penuntut Umum Yang Tidak Kunjung Selesai

9 2) Koordinasi Yang Kurang Harmonis Antara Jaksa Penuntut Umum Dengan Penyidik 3) Penyidik Telah Melampaui Batas Waktu Dalam Menyelesaikan BAP Yang Kurang Lengkap 4) BAP Yang Telah Diberi Petunjuk Oleh Jaksa Penuntut Umum Tidak Dilaksanakan Dengan Baik Oleh Penyidik 5) Locus Delictie Tindak Pidana Yang Lebih Dari Satu Tempat 6) BAP Yang Dikembalikan Untuk Dilengkapi Oleh Penyidik Tidak Dikembalikan Lagi Kepada Jaksa Penuntut Umum 2. Kedua a. Judul sekripsi : Penyelesaian Perkara Pidana Pada Tahap Pra Penuntutan(Studi Pada Kejaksaan Negeri Kisaran) b. Identitas Penulis: Yulya Arisma; NIM : 080200038; Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan; Program Kekhususan: Peradilan Pidana. c. Rumusan Masalah : 1) Bagaimanakah penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di Kejaksaan Negeri Kisaran? 2) Hambatan-hambatan apa sajakah dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan dan bagaimana solusinya yang ada di Kejaksaan Negeri Kisaran? d. Tujuan Penelitian :

10 Adapun tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah : 1. Untuk lebih mengetahui mekanisme penyelesaian kasus tentang hukum di Negara Indonesia dalam hal tingkat keadilan 2. Untuk mengetahui peran antara aparat hukum dengan penegak hukum dalam hal penyelesaian suatu perkara 3. Untuk mengetahui kewajiban dan tanggung jawab sebagai penegak hukum dan masyarakat yang mencari keadilan Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Diharapkan penulisan skripsi ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan dan perkembangan ilmu hukum khususnya mengenai hukum acara pidana tentang prapenuntutan 2. Manfaat Praktis a. Menambah wawasan dan cakrawala bagi pihak-pihak yang terkait dalam melakukan suatu tindak pidana yang melanggar Hukum b. Sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan skripsi ini

11 e. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara terdapat berbagai persolan yang menyangkut kinerja kejaksaan negeri kisaran dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan, yaitu : 1) Bona Fernandes, M.T Simbolon, Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Kisaran menyatakan bahwa Aparat Penegak hukum yang ada di Kejaksaan Negeri Kisaran memiliki pertimbangan dalam hal penyelesaian perkara pidana untuk melakukan penelitian berkas perkara secara cermat, yaitu dengan memperhatikan kelengkapan berkas baik dari segi formil maupun materil. Selanjutnya apabila berkas sudah memiliki persyaratan tersebut, maka perkara dianggap layak untuk dibawa ke Persidangan. Pertimbangan dalam penyelesaian perkara pidana guna untuk memberikan kejelasan atau membuat titik terang suatu tindak pidana agar mempermudah aparat penegak hukum dalam memproses hukum yang sedang berlangsung agar dapat mencari kebenaran yang hakiki.kebijakan Aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus yang masuk pada Kejaksaan Negeri Kisaran dengan melakukan koordinasi kepada penyidik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan. Kekurangan-kekurangan tersebut tidak begitu prinsip terutama kelengkapan formil saja,

12 dan biasanya Penegak Hukum dalam hal ini Jaksa berkoordinasi dengan penyidik untuk melengkapi berkas sebagai syarat formil yang ada dalam berkas perkara tersebut agar proses penyelesaian perkara pidana dapat segera disidangkan. 2) Menurut Hendri Dwi Zulianto Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kisaran mengatakan bahwa, hubungan antara pihak Kejaksaan dan Kepolisian dalam hal penyelesaian perkara pidana khususnya pada tahap prapenuntutan secara formalitas adalah terkait dengan berkas perkara sajasesuai dengan ketentuan dalam Pasal 110 KUHAP dan Pasal 138 KUHAP. Secara materil juga dilakukan pertemuan konteks koordinasi yaitu, pertemuan antara koordinator bidang-bidangyang terkait dalam suatu perkara yang bertujuan demi kelancaran dan kesuksesan suatu perkara terutama dalam pembuktian. Hubungan itu harus terpelihara dengan baik, apabila relasi sudah tidak baik lagi maka akan menghambat proses kelancaran penyelesaian perkara. 3. Ketiga a. Judul sekripsi : Kedudukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Terkait Dengan Prisnsip Akusator Dan Inquisitor

13 b. Identitas Penulis : Qorry Nisabella, NPM : 0706278506, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Kekhusuan Ilmu Praktisi Hukum. c. Rumusan Masalah : 1) Apakah dengan di tentukannya berita acara pemeriksaan saksi (BAP saksi) sebagai alat bukti keterangan saksi dan/atau surat telah melanggar prinsip akusator sebagaimana dianut oleh KUHAP? d. Tujuan Penelitian 1) Tujuan Umum Untuk mengkaji aspek hukum mengenai ketentuan berita acara pemeriksaan saksi sebagai alat bukti keterangan saksi dan/atau surat yang sah dalam system peradilan pidana Indonesia. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi literature akademis dan pengembangan ilmu hukum di Indonesia di masa yang akan datang. 2) Tujuan Khusus Tujuan khusus merupakan tujuan yang ingin di capai dalam penelitian, melalui pemecahan masalah yang telah diuraikan didalam pokok permasalah, ialah sebagai berikut : a) Untuk mendapatkan pengetahuan tentang ada/tidaknya pelanggaran prinsip akusator myang di anut KUHAP, dengan di tentukannya berita acara sebagai alat bukti

14 keterangan saksi dan/atau suart yang sah menurut pasal 162 KUHAP dan pasal 187 huruf a KUHAP jo. Pasal 75 ayat (1) huruf h KUHAP b) Untuk mendapatkan gambaran umum memgenai penerapan ketentuan Pasal 162 KUHAP dan Padal 187 huruf a KUHAP jo. Pasal 75 ayat (1) huruf h KUHAP dalam praktik peradilan di Indonesia, khususnya dalam pengadilan negeri sebagai pengadilan pada tingkat pertama (judex factia). e. Hasil Penelitian Dimana bahwa prinsip akusator memiliki beberapa cirri khas antara lain, kedudukan penuntut umum dan terdakwa/panasihathukum setara, hakim bersifat pasif dalam mengumpulkan alat bukti, dan yang terpenting ialah tidak adanaya sebuah dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidik. Sebaliknya, prinsip inquisitor ini memiliki ciri khas yang bertentangan dengan prinsip akusator, seperti kedudukan terdakwa/ penasihat hukum yang tidak setara dengan penuntut umum, hakim berisifat aktif dalam mengumpulkan alat bukti dan yang terpenting ialah dikenalnya sebuah dokumen yang di sebut sebagai berita acara penyidik yang di buat oleh phak penyidik dan diteruskan pada penuntut umum dalam pemeriksaan perkara dan sebagai dasar daalm memutus suatu perkara.

15 F. Batasan konsep Agar mempermudah pemahaman dalam penulisan hukum ini, maka berikut ini disampaikan batasan-batasan konsep atau pengertianpengertian istilah yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Berikut batasan-batasan konsep dalam penelitian ini: 1. Pengertian Kepolisian Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahwa pengertian Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 butir (1)). 2. Pengertian Kejaksaan Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Menyatakan bahwa pengertian Kejaksaan Republik Indonesia Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (Pasal 1 butir (1)). 3. Perkara Pidana Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Perkara pidana adalah suatu persoalan maupun permasalahan pidana yang

16 berupa kejahatan dimana telah dilakukan oleh sesorang dan menimbulkan akibat hukum. 4. Pengertian Prapenuntutan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, telah memuat Prapenuntutuan di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (4) menyatakan prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk gunadilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut lengkap atau tidak. G. Metode penelitian 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada norma dan penelitian ini memerlukan data sekunder (bahan hukum) yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, 6 sebagai data umum serta mengumpulkan data dari pihak-pihak yang mengetahui masalah 6 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Cetakan 1, Pusataka Pelajar, Yogyakrta, hlm. 154.

17 yang sedang di teliti dengan mengadakan wawancara terhadap narasumber. 2. Sumber data Penelitian hukum normatif, data sekunder yang berupa bahan hukum sebagai data primer sebagai pendukung, diantaranya: a. Bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundangundangan, yurisprudensi atau keputusan pengadilan dan perjanjian internasional atau traktat. 7 Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan bagaimana koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman, yaitu: a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia d) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana e) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 7 Ibid, hlm. 157.

18 f) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang dapat berupa: 1) Buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (Koran), pamphlet, lefleat, brosur, dan berita internet, 8 2) Wawancara dengan narasumber yaitu: a) Bapak Abdul Nurkamit, menjabat sebagai Kaur Mintu Sat Reskrim b) Bapak Meyer V. Simanjuntak, SH., MH, yang menjabat sebagai Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Sleman c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari : 1) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2) Kamus Istilah Hukum 3) Ensiklopedi 3. Metode pengumpulan data a. Untuk mengumpulkan data primer dipergunakan : 8 Ibid. hlm. 158.

19 1) Studi Kepustakaan, yaitu penelitian untuk mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini dengan mempelajari literatur. 2) Wawancara, yaitu cara pengumpulan data dengan mengajukan secara langsung beberapa pertanyaan kepada narasumber, yaitu Kepolisian Reskrim Bapak Abdul Nurkamit dan Bapak Meyer V. Simanjuntak, SH., MH, di Kejaksaan Negeri Sleman. b. Untuk mengumpulkan data sekunder dalam penelitian ini digunakan studi kepustakaan dengan menelusuri berbagai literatur seperti dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian terdahulu serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bagaimana koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan di wilayah hukum Pengadilan Sleman. 4. Metode analisis data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan wawancara dengan narasumber, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode diskripsi kualitatif, yaitu data yang diperoleh di perpustakaan, disusun secara sistematis, setelah diseleksi berdasarkan permasalahan yang dilihat dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya disimpulkan sehingga diperoleh jawaban permasalahan. Untuk menarik kesimpulan dipergunakan metode berpikir secara dedukti yaitu cara berpikir yang dimulai dari suatu pengetahuan yang

20 bersifat umum kemudian diarahkan kepada suatu pengetahuan yang bersifat khusus. H. Sistematika isi skripsi Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis dan di susun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, Metode penelitian, dan sistematika skripsi. BAB II: RUANGLINGKUP KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN DALAM PRAPENUNTUTAN Dalam BAB II berisi pembahasan tentang ruanglingkup Kepolisian dan Kejaksaan dalam prapenuntutan. Dalam BAB II ini penulis akan menguraikan lagi sub-sub bab pembahasan yang terdiri dari sub bab pertama yang menjelaskan pengertian prapenuntutan, fungsi prapenuntutan, lembaga dalam prapenuntutan dan proses-proses prapenuntutan. Sub bab kedua memberikan penjelasan tentang pengertian lembaga kejaksaan dan kepolisian, serta tugas dan wewenang di dalam prapenuntutan. Sub bab ketiga berisi penjelasan tentang koordinasi kepolisian dan kejaksaan dalam penyelesaian perkara pidan pada tahap prapenuntutan di wilayah Hukum Pengadilan Sleman.

21 BAB III: PENUTUP Dalam BAB III penulis akan menulis mengenai Kesimpulan dan Saran yang menyangkut pembahasan dan penelitian yang telah dilakukan penulis.