1. Pendahuluan. Fanni Putri Diantina, 2 Indri Utami Sumaryanti

dokumen-dokumen yang mirip
Penyesuaian Akademis Mahasiswa Tingkat Pertama

1. Pendahuluan FAKTOR KONTROL PERILAKU MEROKOK PADA ANAK SEKOLAH DASAR

Studi Mengenai Kontribusi Determinan Intensi Terhadap Intensi Datang Latihan Pada Anggota Perkusi Komunitas United State Of Bandung Percussion

BAB I PENDAHULUAN. Merokok dapat mengganggu kesehatan bagi tubuh, karena banyak. sudah tercantum dalam bungkus rokok. Merokok juga yang menyebabkan

Studi Mengenai Intensi Perilaku Merokok Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di RS X Bandung

Prosiding SNaPP2011: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN

BAB I PENDAHULUAN. impian masa depan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun

STRATEGI PEMBELAJARAN ORANG DEWASA OLEH: TIM JURUSAN PLS

GAMBARAN INTENSI MELAKUKAN OBSESSIVE CORBUZIER S DIET (OCD) PADA MAHASISWA

PENDAMPINGAN KELOMPOK KONSELOR SEBAYA DI KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sintia Dewi,2013

1. Pendahuluan STUDI MENGENAI FAKTOR DETERMINAN TERHADAP INTENSI MEROKOK PADA SISWA SDN KOTA BANDUNG

Studi Deskriptif Mengenai Self Control pada Remaja Mengenai Kedisiplinan di Panti Asuhan X

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mendalam di seluruh dunia dikarenakan jumlah penderita autisme yang semakin

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN INTENSI BERWIRAUSAHA PADA ANGGOTA LANUD ADI SOEMARMO YANG MENJELANG PENSIUN.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

PENGARUH METODE PEMBELAJARAN TUTOR SEBAYA (PEER TEACHING) TERHADAP MINAT DAN PRESTASI BELAJAR SISWA

PENINGKATAN KEMATANGAN KARIER SISWA MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK. Lutiyem SMP Negeri 5 Adiwerna, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB 1 PENDAHULUAN. memperoleh gelar sarjana (Sugiyono, 2013). Skripsi adalah muara dari semua

PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai tobacco dependency sendiri dapat didefinisikan sebagai

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Dwi Hurriyati

IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBELAJARAN BERBASIS BIMBINGAN DI TK

Gambaran Intensi Golput pada Pemilih Pemula dalam Pemilihan Umum 2014

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research and

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tujuan akhir penelitian ini adalah mengembangkan model peer guidance

PENYULUHAN TENTANG PENGASUHAN ANAK DI DESA DAMPIT KEC. CICALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI PERILAKU MENJAGA RANAH PRIBADI PADA SISWA KELAS V (LIMA) SDN BABAKAN CIPARAY TIMUR BANDUNG FATIMA RAHMAH

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. 2003). Remaja merupakan bagian perkembangan yang penting dan unik,

Hubungan Antara Persepsi Terhadap Peran Teman Dengan Religiusitas Pada Komunitas Motor X

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Konseling Sebaya untuk Meningkatan Efikasi Diri Remaja. terhadap Perilaku Berisiko

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGHITUNG KELILING DAN LUAS SEGITIGA MELALUI PEMBELAJARAN PEER TEACHING

Kata kunci : keterampilan kepemimpinan dasar, metode outbond, kualitas hidup remaja.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang tinggi dari total jumlah perokok di dunia. Perokok di Indonesia

PERILAKU SEHAT DAN PROMOSI KESEHATAN

Deliwani Br Purba Guru SMP Negeri 1 Bangun Purba Surel :

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

Kesimpulannya, intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku (Ajzen

BAB I PENDAHULUAN. mampu dalam mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi.

INTUISI JURNAL ILMIAH PSIKOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN. Motivasi merupakan suatu dorongan yang dapat membantu seseorang. melakukan dan mencapai sesuatu aktivitas yang diinginkannya, jadi

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

STUDI MENGENAI INTENSI BERPERILAKU ASERTIF DALAM KEGIATAN PERKULIAHAN PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN

PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN PENGGUNAAN DAN PEMELIHARAAN ALAT-ALAT UKUR DI SMK NEGERI 4 PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Minggu. Biasanya kegiatan Sekolah Minggu diadakan di dalam gereja.

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pendidikan merupakan salah satu prioritas utama yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.

Studi Mengengenai Intensi dan Determinan Intensi Perilaku Berkendara Pada Anak dan Remaja di Kecamatan Coblong Bandung

MENINGKATKAN MINAT BELAJAR MELALUI LAYANAN PENGUASAAN KONTEN DENGAN TEKNIK HOME WORK ASSIGNMENT. Budi Sutrisno dan Heri Saptadi Ismanto

1. Pendahuluan PENYULUHAN TENTANG PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS KELUARGA DI DESA TANJUNGWANGI

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, mencari pekerjaan bukan lagi hal yang mudah. Persaingan yang ketat, membuat masing-masing individu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang

2015 PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENGETAHUAN SISWA DALAM MATA PELAJARAN IPS SD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA. bersifat membentuk atau merupakan suatu efek.

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Berikutnya adalah sekolah, gereja, teman sebaya, dan televisi. Suatu survei di tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kebiasaan merokok telah menjadi budaya di berbagai bangsa di

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 2.

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN PUZZLE CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA

PERAN KELUARGA INTI DALAM MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA

BAB I. pendidikan informal dalam rangka pembentukan nilai-nilai, sopan santun, (1991) bahwa keluarga, yakni orangtua merupakan sumber pengasuhan dan

Bab I PENDAHULUAN. 15 Juni 2002, dengan motto Today Woodcamp Tomorrow Leader. Woodcamp

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut pendapat dari para ahli, bahwasanya matematika merupakan ilmu yang menekankan pada pola berfikir dan nalarnya untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat berarti terhadap kesehatan masyarakat. Menurut perkiraan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus diatasi. Masalah yang banyak terjadi didalam organisasi diantaranya

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN KETERAMPILAN GERAK TARI BERDASAR POLA LANTAI DENGAN METODE DISCOVERY. Erlin Sofiyanti

PENGARUH IKLIM SEKOLAH DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKN MATERI PEMILIHAN PENGURUS ORGANISASI SEKOLAH MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN.

Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) Vol. 4 No. 1 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tahun), dan fase remaja akhir (usia 18 tahun sampai 21 tahun) (Monks,

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN: e-issn: Vol. 2, No 8 Agustus 2017

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI PERILAKU MELAWAN ARAH ARUS JALAN RAYA DI JATINANGOR PADA PENGENDARA OJEK SEPEDA MOTOR DI JATINANGOR

PENGGUNAAN ASESMEN PORTOFOLIO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR DAN SIKAP SISWA TERHADAP MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan diartikan sebagai usaha atau kegiatan untuk mengembangkan

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING PADA MATA KULIAH ALJABAR LINIER MATERI RUANG-n EUCLIDES.

Pelatihan Konselor Sebaya Berhenti Merokok pada Remaja : Sebuah Inovasi untuk Program Berhenti Merokok

BAB I PENDAHULUAN. Merokok masih menjadi kebiasaan banyak orang baik di negara. tinggi. Jumlah perokok di Indonesia sudah pada taraf yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. faktor yang mendukung perkembangan tersebut adalah pendidikan. pembelajaran, sumber-sumber belajar dan lain sebagainya.

Transkripsi:

Prosiding SNaPP2012:Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 PERANCANGAN MODUL PEER EDUCATOR UNTUK MENUMBUHKAN NILAI-NILAI MENOLONG (HELPING VALUE) BAGI FASILITATOR PADA PROGRAM PREVENSI PEER EDUCATION DALAM MENURUNKAN INTENSI MEROKOK PADA REMAJA 1 Fanni Putri Diantina, 2 Indri Utami Sumaryanti 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail: 1 fanni.putri@gmail.com, 2 indri.utami@yahoo.com Abstrak Konsumsi rokok di Indonesia, terutama untuk perokok pemula, tumbuh paling pesat di dunia, 44% perokok usia 10-19 tahun dan 37% usia 20-29 tahun. Usia mencoba merokok mencapai puncaknya pada usia 13-14 tahun (Santrock,1996). Perlu dilakukan upaya pencegahan terutama di kalangan remaja. Penelitian Lotrean (2010) menunjukkan program berbasis teman sebaya (peers programs) lebih efektif dari program berbasis orang dewasa. Pada pelaksanan program prevensi, diperlukan seorang tutor (fasilitator) yang memiliki keterampilan khusus. Diperlukan suatu guide untuk melatih keterampilan yang diperlukan tutor. Dalam pembuatan modul sebagai guide untuk peer educator, sebelum memiliki kemampuan untuk dapat merubah belief tentang merokok, peer educator harus memahami dan memiliki suatu kemampuan dasar yaitu nilai-nilai menolong (helping values) pada teman sebaya. Untuk menumbuhkan helping values mencakup keterampilan memahami diri sendiri, memahami kebutuhan orang lain serta mempelajari values yang berlaku di lingkungan sosial. Hal pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah merancang modul peer educator unit A untuk menumbuhkan helping values. Modul terdiri atas empat tahap kegiatan dan 21 aktivitas latiha. Kata Kunci: peer education, peer educator, helping values 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Merokok merupakan fenomena perilaku adiktif yang umum dijumpai di masyarakat. Konsumsi rokok di Indonesia, terutama untuk perokok pemula, tumbuh paling pesat di dunia. Adapun persentase konsumsi rokok tersebut, yakni 44% perokok usia 10-19 tahun dan 37% usia 20-29 tahun. Usia mencoba merokok mencapai puncaknya pada usia 13-14 tahun (Santrock, 1996). Berdasarkan fakta empirik tersebut, perlu dilakukan upaya pencegahan perilaku merokok terutama di kalangan remaja. Bila perkembangan perilaku merokok remaja ini dibiarkan begitu saja, akan mempengaruhi tidak hanya kesehatan bagi remaja tersebut, namun juga berdampak pada kemungkinan masalah sosial yang semakin besar. Program preventif, tidak hanya berbentuk penyuluhan kesehatan tradisional, namun mencoba mengusung bentuk intervensi diskusi dan bermain peran. Penelitian dari Lotrean, dkk (2010) di Romania menunjukkan program berbasis teman sebaya (peers programs) lebih efektif dari program berbasis orang dewasa (adults programs). Dalam penelitian eksperimental ini juga ditemukan bahwa program peer education dapat secara signifikan membentuk sikap dan belief negatif terhadap rokok. Melalui peer education, siswa merasa pengaruh sosial kuat untuk menurunkan intensi mereka untuk mencoba merokok. Hasil ini senada dengan penelitian Valente, dkk (2003) di 35

36 Fanni Putri D. et al. Amerika Serikat yang menyatakan bahwa melalui program preventif dengan pendekatan teman sebaya menggunakan peer leader terbukti efektif menurunkan intensi merokok. Program peer leader ini merupakan bagian dari peer education yang telah memberikan efek positif dalam membangun pandangan negatif terhadap rokok di kalangan remaja dan juga terbukti lebih diterima oleh remaja. Pada pelaksanan program prevensi, diperlukan seorang tutor yang bertindak sebagai fasilitator. Dalam membina kelompok pada program peer leader, diperlukan suatu pengetahuan dan keterampilan tertentu. Menurut Griffith (1996) dalam membina kelompok kecil dibutuhkan pengetahuan dan skill yang khusus. Oleh karena itu diperlukan suatu modul yang dapat menjadi guideline bagi fasilitator agar program peer leader. Guideline atau modul ini yang akan menuntun kelompok agar tujuan dari peer education dapat berjalan. Sebenarnya fungsi dari fasilitator ini bukan untuk memimpin kelompok namun untuk menyiapkan peserta agar bisa berbagi dan mempengaruhi belief yang benar terhadap perilaku merokok. Jadi perannya kurang lebih untuk merefleksikan apa yang dipikirkan oleh para peserta serta belief baru mengenai rokok dapat tertanam bagi mereka yang pernah melakukan perilaku merokok. Dalam pembuatan modul sebagai guide untuk peer educator, sebelum memiliki kemampuan untuk dapat merubah belief tentang merokok, peer educator harus memahami dan memiliki suatu kemampuan dasar yaitu nilai-nilai menolong (helping values) pada teman sebaya. Didalam menumbuhkan nilai-nilai menolong ini mencakup keterampilan dalam memahami dirinya sendiri, memahami kebutuhan orang lain serta mempelajari nilai-nilai yang berlaku di lingkungan sosial. Sehingga, tercapai tujuan untuk memiliki nilai-nilai menolong (helping values). Maka dari itu, hal pertama yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah merancang modul peer educator unit A untuk menumbuhkan nilai-nilai menolong (helping values). Menumbuhkan nilai-nilai menolong (helping values) pada remaja adalah tantangan tersendiri, karena tidak mudah bagi remaja untuk mampu berempati, mampu memahami orang lain tanpa suatu intervensi khusus. Dengan demikian, kegitan melatihkan nilai-nilai menolong (helping values) harus dilakukan dalam satu kegiatan tersendiri. Untuk mencapai tujuan menurunkan intensi merokok pada siswa SMP, maka para peer educator juga harus dibekali oleh materi mengenai perilaku merokok pada remaja. Hal ini dilakukan, untuk tujuan dapat merubah belief seseorang perokok usia remaja. Dengan demikian, untuk melatihkan keterampilan selanjutnya yang dibutuhkan oleh peer educator adalah merancang modul unit B untuk memberikan materi tentang perilaku merokok untuk sebagai bagian dari upaya untuk menurunkan intensi merokok pada siswa SMP dengan cara merubah belief mereka tentang merokok. Dengan menyusun modul utuh untuk peer educator ini, maka intervensi peer education dapat dilaksanakan oleh fasilator yang memiliki keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan, sehingga dapat mencapai tujuan akhir yaitu menurunkan intensi merokok pada remaja. 1.2 Rumusan Masalah Perilaku merokok dianggap kontroversial, karena disatu sisi rokok dianggap sesuatu yang menyenangkan dan menenangkan namun disisi lain rokok sangat merugikan. Fenomena merokok bermula pada seseorang yang mencoba rokok pertama kali. Berdasarkan hasil penelitian, umumnya usia pertama menghisap rokok adalah usia remaja (Nasution,2007). Menurut penelitian Escobedo (1993) menyatakan bahwa Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Perancangan Modul Peer Educator untuk Menumbuhkan Nilai-Nilai Menolong (Helping Value) bagi... 37 peningkatan terjadi di kelompok usia SMP, 15% siswa kelas 2 SMP menyatakan merokok selama 30 hari terakhir dan meningkat menjadi 28% pada siswa kelas 3. Berdasarkan paparan permasalahan, peneliti melihat diperlukannya suatu upaya pencegahan perilaku merokok pada remaja, khususnya siswa SMP. Prevensi dilakukan agar mencegah siswa yang mulai memiliki intensi mencoba untuk merokok serta program yang dapat menguatkan diri siswa untuk menolak rokok, yaitu berupa program preventif merokok dengan pendekatan teman sebaya (peers). Program prevensi ini memodifikasi program peer education menggunakan peer leaders dari Lotrean,dkk (2010) dan Valente, dkk (2003). Sebagai langkah awal pelaksanan program prevensi diperlukan perancangan modul sebagai guideline bagi fasilitator yang akan menuntun kelompok. Tutor bertindak sebagai fasilitator yang membutuhkan pengetahuan dan skill khusus. Oleh karena itu, dibutuhkan modul yang menerangkan secara rinci langkah-langkah serta kompetensi yang diperlukan seorang tutor dalam pelaksanaan program peer education untuk menurunkan intensi merokok pada siswa SMP. Modul dirancang terdiri atas dua unit, yaitu unit A, modul yang berisi aktivitasaktivitas yang melatihkan keterampilan untuk memahami dan memiliki nilai-nilai menolong (helping values) serta modul unit B, yaitu modul yang berisi aktivitas untuk melatih keterampilan pemahaman mengenai perilaku merokok. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah dapat menyusun modul bagi tutor (fasilitator) pada program prevensi peer education (modifikasi program peer education menggunakan peer leaders dari Lotrean dan Valente) untuk menurunkan intensi merokok pada remaja. Modul akan menjadi guideline bagi tutor, dalam menjalankankan tugas sebagai fasilitator program prevensi tersebut. Pada kenyataannya, seorang peer educator harus memahami dan memiliki nilai-nilai menolong teman sebaya dan selain itu mereka juga harus mengetahui mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perilaku merokok. Maka, dalam penyusunan modul secara utuh terdapat dua unit, yaitu unit A yang terdiri atas latihan-latihan keterampilan untuk memahami dan memiliki nilai-nilai menolong (helping values) yang diperlukan dan unit B yang terdiri ata slatihan serta materi menegnai perilaku merokok. Hal ini didasarkan pemahaman bahwa tidak mudah bagi peer educator untuk melatih seseorang di usia remaja untuk memahami dan menumbuhkan nilai menolong. 2. Metodologi Penelitian ini akan dilakukan bertahap, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Berikut uraian tahapan kegiatan yang akan di lakukan. Pada tahap pertama, penelitian dilakukan dengan metoda analitis deskriptif, yaitu suatu metoda penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya saat penelitian dilakukan (Suharsimi Arikunto, 1990). Metode analitis deskriptif digunakan untuk penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena berdasarkan data yang terkumpul (Ulber Silalahi, 1999). Analisa deskripsi dilakukan untuk menjelaskan intensi perilaku merokok pada remaja, yang semakin mempertegas kebutuhan akan program prevensi untuk menurunkan intensi tersebut. ISSN 2089-3590 Vol 3, No.1, Th, 2012

38 Fanni Putri D. et al. Tahap kedua dilakukan setelah mendapatkan hasil analisis deskriptif mengenai data fenomena di lapangan. Akan di susun suatu rancangan modul untuk fasilitator program prevensi peer education. Kegiatan perancangan modul, akan di bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah perancangan modul fasilitator program peer education dan bagian kedua merupakan uji coba. Dalam penelitian ini akan disusun modul pelatihan yang mengacu pada pendekatan experiential learning. Proses experiential learning adalah proses munculnya perilaku baru akibat pengalaman pribadi, dan kemudiann terus menerus memperbaiki perilaku tersebut untuk meningkatkan efektivitasnya (Jho nson, 1977). Pelatihan dengan pendekatan experiential learning merupakan suatu rangkaian kegiatan yang memiliki satu atau lebih tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, dimana dalam salah satu lebih rangkaian kegiatannya membutuhkan keterlibatan aktif dari partisipan (Walter & Marks, 1981). Pada tahap ini juga, akan dilakukan validasi hasil try out / uji coba modul bagi fasilitator menggunakan validasi content. BAGAN PENELITIAN Remaja merokok di Indonesia tertinggi di dunia (13,2%) Remaja merokok berkorelasi dengan konsumsi Resiko merusak kesehatan Menjadi masalah sosial baru TAHAP 1 Pengaruh besar perilaku merokok remaja berasal dari lingkungan eksternal (peer group) Dibutuhkan upaya prevensi bagi generasi remaja saat ini dan selanjutnya melalui metode prevensi peer education untuk mengurangi intensi merokok pada remaja TAHAP 2 Pelaksanaan metode prevensi harus dituntun oleh langkah-langkah yang tepat melalui perancangan modul bagi fasilitator dengan pendekatan kelompok kecil. Modul terdiri atas unit A (mengenai keterampilan dasar menolong) dan unit B (materi untuk intervensi intensi merokok pada peer educator). Penyusunan modul Unit A (keterampilan dasar menolong teman sebaya) Validasi hasil try out modul unit A bagi fasilitator, dengan menggunakan validasi content TAHUN KEDUA Membuat modul Unit B yaitu materi prevensi intensi merokok pada peer educator Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Perancangan Modul Peer Educator untuk Menumbuhkan Nilai-Nilai Menolong (Helping Value) bagi... 39 Tahap pertama penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil pengumpulan data awal peneliti mengenai perilaku merokok di Indonesia yang makin meningkat, terutama perokok di usia remaja. Perilaku kecanduan pada rokok, berkaitan erat dengan perilaku kecanduan pada alkohol. Jika hal ini dibiarkan, akan menjadi masalah sosial yang lebih meluas, baik bagi individu itu sendiri maupun lingkungan. Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan suatu tindakan intervensi untuk menurunkan intensi merokok pada remaja. Intervensi, dapat dilakukan baik dengan metode ceramah, role playing maupun dengan pendekatan teman sebaya (peer education). Perilaku merokok, banyak dipengaruhi oleh lingkungan teman sebaya. Oleh karena itu, metode intervensi berbasis teman sebaya, adalah metode yang efektif dilakukan pada perokok remaja. Tahap kedua penelitian ini adalah perancangan modul peer educator untuk fasilitator intervensi peer education. Modul disusun menjadi dua bagian, yaitu unit A dan unit B. Pada modul Unit A, berisi latihan-latihan yang diperlukan fasilitator untuk dapat memahami dan memiliki nilai-nilai menolong (helping values). Untuk melatihan nilai-nilai menolong (helping values) pada fasilitator usia remaja dengan karakteristiknya yang khas, bukan hal yang mudah sehingga harus dilakukan dalam kegiatan tersendiri. Rancangan modul ini, kemudian di uji coba dengan menggunakan validasi content. Kegiatan penelitian di tahun berikutnya adalah menyusun dan merancang modul unit B yang berisi tentang materi mengenai perilaku merokok. Modul yang utuh (unit A dan unit B) akan di ujicoba kembali dan disempurnakan sehingga siap untuk dijadikan panduan untuk melaksanakan intervensi peer education. Dengan demikian, dapat mencapai tujuan untuk menurunkan intensi merokok pada remaja. 3. Pembahasan 3.1 Pembahasan Proses Pembuatan Modul dan Try Out Pembuatan modul diawali dengan tahap 1 yaitu membuat kegiatan-kegiatan yang akan mengenalkan apa itu penolong teman sebaya (peer helper) kepada para peserta. Tahap 1 terdiri dari 6 kegiatan. Dalam proses penyusunan kegiatan di tahap ini, yang menjadi kendala adalah menyesuaikan penggunaan kalimat atau bahasa yang bisa di pahami oleh siswa SMP yang berusia 14-15 tahun. Tahapan 2 terdiri dari 8 kegiatan dan Tahapan 3 terdiri dari 6 kegiatan. Dalam proses penyusunan kegiatan di tahap 2 dan 3 ini, yang menjadi kendala adalah mencari kegiatan atau aktivitas yang tepat untuk usia remaja, karena pada referensi-referensi yang ada banyak mengacu pada kegiatan yang ditujukan untuk usia dewasa. Tahap 4 terdiri dari 2 kegiatan. Seetlah modul siap maka peneliti melakukan pelaksanaan try out yang dilaksanakan selama 2 hari (23-24 Juli 2012) pukul 08.00-15.00 yang dilaksanakan bersama 5 orang peserta yang berasal dari beberapa SMP di wilayah Bandung Wetan berusia 14-15 tahun. 3.2 Pembahasan Modul Modul ini dirancang untuk fasilitator peer education. Kompetensi yang harus dimiliki seorang fasilitator (Noe, 1998) adalah sebagai berikut: Menguasai dan mampu menerapkan peran pembelajaran, Mampu melakukan komunikasi efektif, Mempunyai keterampilan memberi feedback, Mampu melakukan coaching, Memiliki keterampilan untuk melakukan proses kelompok, Mampu menciptakan iklim yang kondusif, Membantu peserta melepaskan emosi, Membantu terjadinya proses belajar. Untuk dapat ISSN 2089-3590 Vol 3, No.1, Th, 2012

40 Fanni Putri D. et al. mencapai kompetensi yang dibutuhkan tersebut, maka dirancang kegiatan-kegiatan pelatihan yang secara bertahap melatih dan membantu subjek memiliki kompetensi sebagai seorang fasilitatpr. Modul dibagi menjadi dua unit yaitu Unit A dan Unit B. Pada penelitian ini, peneliti menyusun modul A. Berikut akan dijelaskan mengenai pembahasan masing-masing tahap dan kegiatan. 3.2.1 Tahap 1 Modul unit A yang berisi tahap mempersiapkan peer educator agar paham dan memiliki nilai-nilai menolong (helping values) sebagai penolong teman sebaya. Peer educator adalah jenis intervensi yang melibatkan teman sebaya sebagai fasilitator, yang biasa disebut sebagai peer helper. Pada latihan 1, akan di bangun pemahaman kelompok mengenai peer helping yang meliputi memahami nilai-nilai menolong atau helping values melalui interaksi dan komunikasi. Kegiatan pada latihan 1.1 ini membuat subjek menyadari akan kemampuannya untuk mendengarkan orang lain. Karena sebagai peer helper, hal penting yang akan dilakukan adalah mendengarkan dan memahami masalah atau kendala yang dialami oleh orang lain. Pada latihan 1.2 dan latihan 1.3, subjek yang merupakan calon fasilitator peer educator diajarkan untuk membuat kesepakatan secara bertahap. Hal yang selanjutnya dilakukan adalah mengenali dan mempelajari anggota kelompok. Pada suatu kegiatan intervensi, akan dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Sehingga menjadi penting untuk mengenali masing-masing anggota agar interaksi antar individu dapat terjalin. Interaksi antar anggota kelompok dalam suatu kegiatan intervensi dapat menjadi berkualitas dan efektif apabila masing-masing individu mau mengenal dan mempelajari karakteristik orang lain. Hal ini juga bisa melatih seseorang untuk bisa berempati dan melakukan komunikasi yang efektif dengan orang lain. Peer educator mempunyai banyak peran beberapa latihan dirancang untuk mengedukasi subjek sebagai calon fasilitator, mengetahui berbagai peran yang dapat dilakukan oleh peer helper. Dalam melakukan kegiatan intervensi psikologis, maka yang akan di hadapi adalah individu yang memiliki masalah tertentu. Penting bagi peer educator untuk memahami apa masalah-masalah yang biasa dialami, khususnya oleh individu remaja. Dengan mengetahui masalah tersebut, maka helper dapat menghayati bahwa ia akan mendampingi orang-orang dengan berbagai macam permasalahan yang berbeda. Dengan keterampilan komunikasi yang efektif, empati serta asertifitas maka hal tersebut akan mendukung keberhasilan tugas peer helper. 3.2.2 Tahap 2 Ketika menjadi seorang peer educator maka seseorang harus memiliki kebutuhan untuk menolong. Tidak mudah bagi remaja untuk dapat memiliki kebutuhan ini dikarenakan orientasi perilakunya masih kebutuhan dirinya sendiri. Oleh karena itu pada latihan tahap kedua, peserta remaja distimulasi untuk dapat melihat prioritas dan nilai menolong. Apakah kebutuhan pribadi masih memegang peranan ataukah sudah berorientasi pada lingkungan untuk memikirkan kebutuhan orang lain. Maka dari itu di tahap ini ditanamkan nilai menolong. Kemudian dalam upaya menolong orang lain maka peserta harus mengetahui kebutuhan orang lain. Namun individu tidak akan mampu membaca kebutuhan oranglain, sebelum tahu benar dirinya. Oleh karena itu, Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Perancangan Modul Peer Educator untuk Menumbuhkan Nilai-Nilai Menolong (Helping Value) bagi... 41 dalam tahap ini terdapat kegiatan self asesmen untuk dapat melihat tipe kepribadian masing-masing serta kelemahan dan kelebihan diri. Selain itu juga dilakukan stimulasi agar peka terhadap kebutuhan orang lain yang berbeda. Serta yang terpenting adalah menghargai perbedaan. Sehingga seorang peer helper akan peka menangkap kebutuhan teman sebaya nya. 3.2.3 Tahap 3 Dalam pertemanan teman sebaya (peer) dapat memberi pengaruh yang sehat maupun tidak sehat. Pada latihan-latihan di tahap ketiga ini, individu akan diberi kesempatan untuk mengukur bagaimana pertemanan mempengaruhi pada perilaku yang sehat maupun yang tidak sehat. Untuk menciptakan pengukuran perilaku sebagai penolong (helper), individu akan belajar mengidentifikasi perilaku menolong yang disukai atau tidak dari orang lain. Kemudian, mengidentifikasi perilaku yang mirip dengan diri individu dan menjadi mengetahui pada perilaku menolong mana yang efektif dan tidak efektif. Dalam tahap ketiga ini juga diajarkan bagaimana mengenali orang-orang yang datang kepada individu sebagai peer helper dengan permasalahan mereka dan mengidentifikasi perilaku mendengarkan dan perilaku menolong apa yang akan ditampilkan. Perilaku manusia, dapat dibentuk dan mendapat pengaruh yang signifikan dari lingkungan, salah satunya lingkungan teman sebaya. Dalam tahap ini peer helper dibekali untuk mengidentifikasi bagaimana teman sebaya bisa mempengaruhi secara baik maupun tidak baik pada perilaku mereka. Selain itu mereka juga diminta untuk mengidentifikasi perasaan mereka dan reaksi lingkungan ketika terjadi perubahan dalam perilaku mereka akibat pengaruh teman sebaya. Fasilitator peer education membutuhkan pengetahuan untuk menghayati bagaimana perilaku sehat maupun tidak sehat yang muncul. Latihan lainnya adalah membantu subjek memahami perilaku dan karkteristik yang menyenangkan dari orang yang penolong serta mengidentifikasi perilaku atau karakteristik penolong yang dimiliki diri sendiri kemudian melakukan evaluasi pada diri sendiri berdasarkan reaksi dari orang lain atas perbuatan menolong tadi melalui kegiatan umpan balik. 3.2.4 Tahap 4 Dalam latihan 1 telah dilatih berbagai metode berkomunikasi. Namun dalam komunikasi pasti terdapat tantangan-tantangan atau hambatan yang meebuat komunikasi tersebut tidak efektif. Maka pada latihan 4 peserta diharuskan untuk megidentifikasi halhal yang akan menjadi penghambat komunikasi. Sehingga pada saat melakukan suatu upaya peer helping komunikasi yang berjalan akan efektif dan terhindar dari hal-hal yang menyebabkan teman sebaya tidak merasa nyaman. Sehingga rapport terjalin dengan baik, sehingga proses pengubahan belief yang keliru dapat terjadi dengan benar. 4. Penutup 4.1. Simpulan Simpulan yang diperoleh adalah penelitian ini sudah menghasilkan bagian pertama dari modul peer educator (Unit A). Yang menyediakan tuntunan dan latihanlatihan agar menumbuhkan kepekaan terhadap diri dan lingkungan peserta peer ISSN 2089-3590 Vol 3, No.1, Th, 2012

42 Fanni Putri D. et al. educator dalam melaksanakan proses peer helping. Suplemen-suplemen kegiatan yang meliputi pengenalan diri dan lingkungan serta ketrampilan berkomunikasi efektif agar dapat mencapai tujuan yaitu merubah belief yang keliru mengenai perilaku atau intensi merokok. 4.2 Saran Saran yang dapat peneliti sampaikan adalah dalam penyusunan bagian selanjutnya dari modul peer educator, mempertimbangkan secara seksama penyusunan kalimat atau pemilihan aktivitas yang disesuaikan dengan karakteristik usia remaja Indonesia pada umumnya. 5. Daftar Pustaka Ajzen, Icek. 2005. Attitudes, Personality and Behavior. New York : Open University Press. Ajzen, Icek & Fishbein, Martin. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior. Massachussetts : Addison Wesley Publishing Company Aula, Lisa Ellizabeth. 2010. Stop Merokok! Sekarang atau Tidak Sama Sekali. Yogyakarta : Garailmu. Komalasari, Dian & Helmi, Avin Fadilla. 2000. Faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada Remaja. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada (www.ugm.ac.id) diakses pada 10 November 2011. Santrock, J.W. (2004). Life Span Development. University Of Texas. Dallas: Wm.C.Brown Publisher Singgih-Salim, E., Sukadji, S. (2006). Sukses Belajar Di Perguruan Tinggi. Tindall, Judith. 2009. Peer Power Book One. Becoming an effective peer helper and conflict mediator. New York : Taylor & Francis Group Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora