PEMANFAATAN PATI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU DEKSTRIN RIDWANSYAH

dokumen-dokumen yang mirip
DEKSTRIN, TEKNOLOGI DAN PENGGUNAANNYA

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis)

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. UBI JALAR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang memiliki sifat rentan terhadap kerusakan oleh lingkungan luar dengan

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

I. PENDAHULUAN. Produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2013 dilaporkan sebesar ton

PRODUKSI DEKSTRIN DARI UBI JALAR ASAL PONTIANAK SECARA ENZIMATIS

Pabrik Sirup Glukosa dari Ubi Jalar (Ipomoea batatas ) dengan Proses Hidrolisa Enzim

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis

TINJAUAN PUSTAKA. Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK SIFAT FISIKO-KIMIA PATI KELAPA SAWIT ABSTRACT

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. PEMILIHAN PROSES DAN URAIAN PROSES. produk fotosintesis) dalam jangka panjang (Kimball, 1983)

PEMBUATAN GULA CAIR DARI PATI SINGKONG DENGAN MENGGUNAKAN HIDROLISIS ENZIMATIS

ANALISIS KADAR GLUKOSA PADA BIOMASSA BONGGOL PISANG MELALUI PAPARAN RADIASI MATAHARI, GELOMBANG MIKRO, DAN HIDROLISIS ASAM

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

pembentukan vanilin. Sedangkan produksi glukosa tertinggi dihasilkan dengan penambahan pektinase komersial. Hal ini kemungkinan besar disebabkan

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

PERTEMUAN 2 PERCOBAAN KARBOHIDRAT TUGAS PRAKTIKUM : MENGIDENTIKASI LARUTAN SAMPEL, APAKAH TERMASUK MONO, DI ATAU POLISAKARIDA DAN APA JENISNYA.

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati

Analisa Karbohidrat. Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN KULIT UBI KAYU SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN DEKSTRIN MELALUI PROSES HIDROLISA ASAM

TINJAUAN PUSTAKA. sebanyak 200 kuintal per hektar luas pertanaman kuintal per hektar luas pertanaman.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

BAB I PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan salah satu alternatif energi pengganti minyak bumi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

PENENTUAN TEMPERATUR TERHADAP KEMURNIAN SELULOSA BATANG SAWIT MENGGUNAKAN EKSTRAK ABU TKS

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Pati ubi kayu (tapioka)

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PRODUK BIOETANOL DARI PATI MANGGA (Mangifera Indica L.) DENGAN PROSES HIDROLISA ENZIM DAN FERMENTASI

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Proses Pembuatan Madu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. A. HASIL PENGAMATAN 1. Identifikasi Pati secara Mikroskopis Waktu Tp. Beras Tp. Terigu Tp. Tapioka Tp.

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

PEMANFAATAN PATI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU DEKSTRIN RIDWANSYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

RIDWANSYAH. F325010011. Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin. Di bawah bimbingan M. Zein Nasution, Titi Candra Sunarti dan Anas M. Fauzi. ABSTRAK Batang kelapa sawit merupakan limbah dari peremajaan perkebunan kelapa sawit. Ekstraksi batang kelapa sawit menghasilkan ± 4,7% pati. Pati yang dihasilkan dikarakterisasi sifat fisik dan kimianya dibandingkan dengan pati komersil yaitu sagu dan tapioka. Pati tersebut dimodifikasi menjadi dekstrin dengan hidrolisis enzimatis dan asam dan dikarakterisasi mutu dekstrin yang dihasilkan. Pati kelapa sawit memiliki kadar lemak (0,37%), abu (0,68%), serat (1,78%) lebih tinggi dari pati sagu dan tapioka, tetapi memiliki kandungan amilosa (28,76%) yang lebih rendah. Suhu gelatinisasi pati kelapa sawit (77 0 C) sama dengan sagu tetapi lebih besar dari tapioka, sedangkan derajat putih pati (83,02%) dan kejernihan pasta (15,4%T) lebih kecil dari sagu dan tapioka. Penerimaan pati kelapa sawit terhadap α-amilase lebih rendah dibandingkan dengan sagu dan tapioka sedangkan penerimaan pati kelapa sawit terhadap asam adalah hampir sama dengan sagu dan tapioka. Mutu dekstrin pati kelapa sawit baik hidrolisis secara enzimatis dan asam lebih rendah dari tapioka tetapi hampir sama dengan sagu berdasarkan kadar abu, viskositas dan kelarutan dalam air dingin dari dekstrin yang dihasilkan. Kata kunci : pati kelapa sawit, hidrolisis enzimatis dan asam, dekstrin i

RIDWANSYAH. F325010011. Utilization of Oil Palm Starch for Dextrin Production. Supervised by M. Zein Nasution, Titi Candra Sunarti dan Anas M. Fauzi. ABSTRACT The oil palm trunks become waste from the rejuvenation of the oil palm plantation. The extraction of the oil palm trunk yielded 4,7% of starch. The starch was extracted and characterized its physical and chemical properties and compared it to the commercial starches (sago and tapioca). The extracted starch was modified to be dextrin by enzymatic and acid hydrolysis. The oil palm starch contained lipid (0,37%), ash (0,68%), fiber (1,78%) which were higher than that of sago and tapioca. However, the amylosa content (28,67%) of the oil palm starch was lower. The gelatinization temperature of oil palm starch (77 0 C) was similar with that of sago, but was higher than of tapioca. The whiteness degree of starch (83,02%) and the paste clarity (15,4%T) of the oil palm starch were lower than sago and tapioca. The α-amilase susceptibility of oil palm starch was lower than that tapioca and sago; however, the susceptibility of the oil palm starch on acid was almost similar with sago and tapioca. The dextrin quality of the oil palm starch, either from enzymatic or acid hydrolysis was lower than the tapioca; however, it was almost similar with the sago based on ash content, viscosity an solubility in cold water. Key words : oil palm starch, hydrolysis enzymatic and acid, dextrin ii

@ Hak cipta milik Fransiskus Anggawen, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pebimbing dan belum diajukan dalam bentuk apaun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2006 Ridwansyah NRP F325010011

PEMANFAATAN PATI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU DEKSTRIN RIDWANSYAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Adapun judul dari tesis ini adalah Pemanfaatan Pati Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Dekstrin. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak M. Zein Nasution, Ibu Titi Candra Sunarti dan Bapak Anas M. Fauzi sebagai pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan tesis ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada staff laboran dan rekanrekan TIP atas kerjasamanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada bapak, ibu dan adik-adik serta keluarga atas kasih sayang, doa dan segala pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Agustus 2006 Penulis iii

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, pada tanggal 13 Desember 1972 dari Bapak M. Hasan dan Ibu Hanifah. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar pada SD Negeri 060908 Medan pada tahun 1985, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 4 Medan pada tahun 1988, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 13 Medan pada tahun 1991. Pada tahun 1991 penulis diterima menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 1996. Penulis diterima menjadi staff Pengajar Fakultas Pertanian USU tahun 1999, pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan Magister (S2) di Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP) dengan biaya BPPS. iv

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN... Latar Belakang... Tujuan Penelitian... Ruang Lingkup Penelitian... TINJAUAN PUSTAKA... Potensi Batang Kelapa Sawit... Pati... Alfa Amilase... Liquifikasi Pati... Liquifikasi Pati dengan Enzim Alfa Amilase... Liquifikasi Pati dengan Asam Klorida... Dekstrin... Pengetian dan Klasifikasi Dekstrin... Proses Dekstrinisasi... Kimia Konversi... Penggunaan Dekstrin... vii ix 1 1 3 3 4 4 5 9 11 11 12 13 13 14 19 21 BAHAN DAN METODELOGI PENILITIAN... Tempat Dan Waktu Penelitian... Bahan Dan Alat... Metode Penelitian... Ekstraksi Pati Kelapa Sawit... Karakterisasi Pati... Pengaruh Waktu Proses Terhadap Laju Dekstrinisasi... Proses Pembuatan Dekstrin... Karakterisasi Dekstrin... HASIL DAN PEMBAHASAN... Ekstraksi Pati Kelapa Sawit... Karakterisasi Pati... Produksi Dekstrin... Karakterisasi Mutu Dekstrin... Potensi Pemanfaatan Limbah Batang Kelapa Sawit... KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 23 23 23 24 24 24 24 26 29 30 30 34 40 44 62 67 67 67 68 74 v

DAFTAR TABEL Halaman 1 Volume impor dekstrin Indonesia... 3 2 Potensi batang kelapa sawit dari kegiatan peremajaan... 4 3 Kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati... 7 4 Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu... 9 5 Karakteristik dan sifat pirodekstrin... 17 6 Komposisi kimia kandungan jaringan vaskular dan parenkim batang kelapa sawit... 30 7 Komposisi pati kelapa sawit, sagu dan tapioka... 34 8 Sifat-sifat fisik pati kelapa sawit, sagu dan tapioka... 35 9 Sifat amilografi kelapa sawit, sagu dan tapioka... 38 10 ph suspensi pati sebelum dan sesudah penambahan HCl... 11 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzimatis dan asam... 12 Hubungan panjang rantai degan warna dalam lugol... 13 Asumsi dasar produksi pati kelapa sawit... 14 Biaya tetap produksi pati kelapa sawit... 15 Biaya tidak tetap produksi pati kelapa sawit... 16 Biaya pengolahan kayu sawit terkompregnasi... 42 45 46 64 65 65 66 vi

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur rantai linier dari molekul amilosa... 6 2 Struktur molekul amilopektin... 6 3 Pengaruh dari aktivitas enzim amilase pada amilopektin... 10 4 Proses dekstrinisasi pati dengan enzim α-amilase... 15 5 Mekanisme reaksi transglukosidasi... 20 6 Mekanisme reaksi hidrolisis dan repolimerisasi... 21 7 Tahapan proses ekstraksi pati kelapa sawit... 25 8 Proses dekstrinisasi secara enzimatis... 27 9 Proses dekstrinisasi secara hidrolisis asam... 28 10 Proses peremajaan tanaman kelapa sawit PTPN 2 Langkat... 11 Bagian batang yang akan diekstraksi... 12 Serbuk kayu hasil penyerutan dari batang kelapa sawit... 13 Neraca masa pembuatan pati kelapa sawit... 31 31 32 33 14 Bentuk granula pati tapioka, sagu dan kelapa sawit tanpa polarisasi cahaya... 36 15 Bentuk granula pati tapioka, sagu dan kelapa sawit dengan polarisasi cahaya... 16 Pati tapioka, sagu dan kelapa sawit... 17 Pola amilografi pati tapioka, sagu dan kelapa sawit... 18 Bagian yang tidak dapat diserang α-amilase... 19 Hidrolisis enzimatis pati tapioka, sagu dan kelapa sawit... 20 Hidrolisis asam terhadap pati tapioka, sagu dan kelapa sawit... 21 Warna dekstrin yang ditetesin larutan lugol... 22 Kadar abu dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. 23 Kadar abu dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 24 Kadar serat dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis 25 Kadar serat dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 36 37 38 41 41 43 46 48 49 50 51 26 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis... 52 27 Kelarutan air dingin dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 28 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis.. 53 54 vii

29 Viskositas dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 30 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis... 31 Dekstrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis. 32 Derajat putih dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 33 Dekstrin komersial, tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 34 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis enzimatis... 35 Kejernihan pasta dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 36 Derajat asam dekstrin tapioka, sagu dan kelapa sawit hidrolisis asam... 37 Pemanfaatan limbah batang kelapa sawit... 38 Diagram alir peralatan ekstraksi pati kelapa sawit... 55 56 56 57 58 59 60 61 63 64 viii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisa sifat fisik-kimia pati... 74 2 Karakterisiasi dekstrin... 79 3 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis enzimatis pati kelapa sawit, sagu dan tapioka... 82 4 Hasil pengamatan nilai DE dan DP terhadap hidrolisis asam pati kelapa sawit, sagu dan tapioka... 83 5 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis enzimatis... 84 6 Hasil analisa mutu dekstrin hidrolisis asam... 85 7 Sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis enzimatis... 86 8 Sidik ragam mutu dekstrin hidrolisis asam... 89 ix

PENDAHULUAN Latar Belakang Pati merupakan zat yang penting dalam dunia perdagangan dan industri terutama pada negara berkembang di seluruh dunia. Pati tersebut dimanfaatkan dalam industri tekstil, pengolahan pangan, produk-produk farmasi, kertas, dan industri polimer sintetik (Lawal dan Adebowale 2005). Pati dapat diperoleh dengan cara mengekstrak dari bagian beberapa tanaman seperti akar dan umbi, batang dan biji-bijian. Indonesia merupakan daerah yang cukup potensial sebagai penghasil pati seperti ubi kayu, sagu, jagung, ubi jalar dan lain sebagainya karena tanaman tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Disamping itu ada upaya baru untuk menghasilkan pati dari batang kelapa sawit. Areal perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh dengan laju sekitar 11% per tahun, dari 1 126 juta ha pada tahun 1991 mencapai sekitar 3 584 juta ha pada tahun 2001(Susila 2003). Kelapa sawit yang pertama kali ditanam dalam skala besar di Indonesia pada tahun 1978, akan segera mengakhiri masa produktifnya (Guritno dan Darnoko 2003). Rata-rata luas areal peremajaan selama kurun waktu tahun 2001 2005 diperkirakan mencapai 32 155 ha/tahun. Limbah padat berupa batang atau kayu sawit dan pelepah kelapa sawit akan dihasilkan masing-masing sebesar 2 257 281 ton dan 514 480 ton per tahun, sedangkan pada kurun waktu tahun 2006 2010 ada kenaikan di dalam areal tanaman kelapa sawit yang diremajakan yaitu rata-rata setiap tahunnya seluas 89 965 ha. Pada kurun waktu tersebut batang dan pelepah hasil peremajaan akan mencapai berturut-turut 6 315 543 ton dan 1 439 440 ton per tahun. Sebagai limbah lignoselulosa, pemanfaatan kedua limbah padat tersebut perlu mendapatkan perhatian. Hal ini mengingat bahwa cara-cara yang telah dilakukan sekarang ini yaitu dengan cara bakar akan mencemari udara dan juga adanya pelarangan sesuai dengan aturan yang tertuang di dalam Rencana Undang-Undang Perkebunan. Membiarkan batang dan pelepah hasil peremajaan dapat menimbulkan masalah bagi tanaman kelapa sawit baru yaitu dijadikan sebagai sarang serangga dan tikus. Hasil evaluasi sifat fisik dan kimia batang dan pelepah kelapa sawit menunjukkan bahwa kedua limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri berbasis serat seperti industri

pulp dan kertas, industri pati, serta industri perkayuan. Pemanfaatan limbahlimbah padat ini tentunya akan memberikan keuntungan tambahan bagi perkebunan kelapa sawit (Guritno dan Darnoko 2003). Sampai saat ini pemanfaatan batang kelapa sawit untuk keperluan industri masih terbatas. Ginting (1995) memanfaatkan batang kelapa sawit menjadi pati dengan cara mengekstrak 2 meter dari pucuk batang kelapa sawit dengan rendemen pati dari batang kelapa sawit adalah 7,15%. Selanjutnya pati tersebut dapat dijadikan bahan pangan maupun bahan baku untuk fermentasi alkohol (Tomimura 1992). Dari hasil penelitian pendahuluan Azemi et al. (1999) menyatakan pati kelapa sawit memiliki potensi untuk menggantikan pati komersial baik dalam bidang pangan dan non pangan. Untuk beberapa keperluan industri, pati yang digunakan merupakan pati hasil modifikasi atau turunannya. Modifikasi pati bertujuan untuk memperbaiki atau menambah sifat-sifat fungsional tertentu, yang tidak terdapat pada pati asli sehingga aplikasinya dalam industri menjadi lebih luas. Sifat-sifat fungsional tersebut antara lain memperbaiki kelarutan dalam air dingin dan sifat-sifat gelatinisasi, pembentukan gel, pembentukan film dan sebagainya. Salah satu produk pati termodifikasi diantaranya adalah dekstrin. Dekstrin adalah suatu produk hidrolisat parsial dari pati, berbentuk tepung halus, bewarna putih sampai agak kekuningan. Dalam pembuatan dekstrin rantai panjang pati dipotong oleh enzim atau katalis asam menjadi molekul rantai pendek dengan jumlah unit glukosa antara 6 sampai 10 unit. Proses ini mengakibatkan terjadinya perubahan sifat-sifat diantaranya menjadi larut pada air dingin, kurang menyerap air, tekstur menjadi lembut dan daya rekat meningkat (Soekarto et al. 1991). Dekstrin sangat dibutuhkan dalam industri, baik industri pangan dan industri non pangan. Kebutuhan dekstrin dan pati termodifikasi dari tahun ke tahun terus meningkat, dan kebutuhan tersebut masih diimpor dari luar negeri. Volume impor dekstrin dan pati termodifikasi Indonesia disajikan pada Tabel 1. Bahan baku untuk pembuatan dekstrin umumnya dibuat dari pati komersial seperti tapioka, jagung, sagu dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini akan dimanfaatkan batang kelapa sawit yang merupakan limbah dari perkebunan menjadi pati dan dikonversi menjadi dekstrin. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi impor dekstrin Indonesia. Selain itu juga untuk meningkatkan nilai tambah dari industri perkebunan kelapa sawit. Sebagai 2

pembanding dalam penelitian ini juga dibuat dekstrin dari jenis pati komersial yaitu pati sagu dan tapioka. Tabel 1 Volume impor dekstrin dan pati termodifikasi Indonesia Tahun Berat bersih (kg) Nilai (US $) 2001 87 927 717 50 184 576 2002 80 319 465 41 875 152 2003 78 752 720 34 064 818 2004 77 720 843 35 328 984 2005 93 070 990 44 020 497 Sumber : BPS (2001-2005) Tujuan Penelitian 1. Mempelajari proses ekstraksi pati kelapa sawit dan mengkarakterisasi pati kelapa sawit yang dihasilkan, dibandingkan dengan sagu dan tapioka. 2. Mempelajari proses dekstrinisasi dari pati kelapa sawit, sagu dan tapioka secara enzimatis dan asam 3. Membandingkan mutu dekstrin dari pati kelapa sawit, sagu dan tapioka. Ruang Lingkup Penelitian 1. Kelapa sawit yang digunakan berasal dari limbah batang peremajaan PTPN 2, Gohor Lama, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berumur 25 tahun dan varietas Tenera. 2. Pati komersial sebagai pembanding sagu dan tapioka berasal dari industri kecil di Bogor daerah Kedung Halang dan Pabrik Budi yang selanjutnya dikeringkan dan disaring dengan saringan 80 mesh. 3. Proses dekstrinisasi secara enzimatis menggunakan α-amilase thermofil dan secara asam dengan HCl. 3

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Batang Kelapa Sawit Kegiatan replanting atau peremajaan tanaman kelapa sawit di Indonesia mulai berjalan secara besar-besaran pada awal tahun 1990-an karena pada umumnya penanaman kelapa sawit secara komersial dilakukan pada awal tahun 1960. Diperkirakan rata-rata luas areal peremajaan pada kurun waktu tahun 2001-2005 mencapai 32 155 ha/tahun. Dari luas areal tersebut akan dihasilkan batang hasil peremajaan 2 257 281 ton. Pada kurun waktu tahun 2006 2010, rata-rata luas areal yang akan diremajakan seluas 89 965 ha. Dengan perkataan lain, ada kenaikan lebih kurang sebesar 2,5 kali luas areal yang diremajakan pada kurun waktu tahun 2001 2005. Pada kurun waktu tersebut batang hasil peremajaan akan mencapai 6 315 543 ton. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Limbah kelapa sawit berupa batang hasil kegiatan peremajaan akan bertambah pada kurun waktu berikut, karena penanaman kelapa sawit meningkat pesat pada tahun 1990 (Guritno dan Darnoko 2003). Tabel 2 Potensi batang kelapa sawit dari kegiatan peremajaan Tahun Total luas areal peremajaan (ha) 1 Batang hasil peremajaan (ton) 2 2001 16 068 1 127 974 2002 33 141 2 326 498 2003 21 803 1 530 571 2004 14 018 984 064 2005 75 745 5 317 299 2006 98 549 6 918 140 2007 90 657 6 364 121 2008 11 919 836 714 2009 115 114 8 081 003 2010 133 584 9 377 597 1 Dihitung berdasarkan penambahan luas areal pada 25 tahun yang lalu 2 Dihitung berdasarkan 70,2 ton/ ha dari luas areal yang diremajakan Sumber : (Guritno dan Darnoko 2003)

Pohon kelapa sawit yang diremajakan umurnya sudah lebih dari 25 tahun, mempunyai tinggi 10-15 m dengan diameter batang berkisar antara 45 65 cm yang diukur dari ketinggian 1,5 meter dari tanah. Bagian kulitnya mempunyai ketebalan 3 3,5 cm (Susila 2003 ; Guritno dan Darnoko 2003). Pati Pati adalah cadangan karbohidrat dari tanaman, pati ini disimpan dalam butiran granula yang ukuran diameter selnya berkisar 1 100 µm (Wurzburg, 1989). Pati secara alami terdapat dalam senyawa senyawa organik yang tersebar luas seperti di dalam biji-bijian, akar, batang dari tanaman yang berdaun hijau yang disimpan sebagai energi selama dormansi dan perkecambahan (Smith 1982). Secara histologis, pati disimpan dalam bentuk plastid yang dinamakan amiloplast atau kloroplast di dalam sel, Pati terdapat dalam bentuk ikatan dengan air, lemak, silikat, serta senyawa-senyawa lainnya terutama fosfat. Dilihat dari susunan kimianya, pati adalah polimer dari glukosa atau maltosa. Unit terkecil di dalam rantai pati adalah glukosa yang merupakan hasil proses fotosintesa di dalam bagian tubuh tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil. Pembentukan polimer yang lebih panjang dilakukan dengan bantuan D-enzim untuk amilosa dan Q-enzim untuk amilopektin (Tjokroadikoesoemo 1986). Pati adalah polimer yang seluruhnya terdiri dari unit D-glukosa, dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya (Wilbraham dan Matta 1992; Winarno 1997). Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-d-glikosidik, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-d-glikosidik sebanyak 4 5% dari berat total (Winarno 1997). Amilosa merupakan homopolimer berantai lurus dengan ikatan α (1,4)- glikosidik. Panjang rantainya bervariasi tergantung dengan jenis tanaman, secara umum panjang rantai amilosa 500-2000 unit glukosa. Sedangkan amilopektin terdiri dari molekul D-glukosa yang berikatan α-(1,4) dan juga mengandung ikatan silang α-(1,6). Ikatan ini menyebabkan penampilan molekul amilopektin yang bercabang cabang seperti semak. Biasanya 24 sampai 30 glukopiranosa 5

berada di titik percabangan amilopektin. Setiap percabangan terdiri atas 25 sampai 30 unit D-glukosa. Rumus bangun dari amilosa dan amilopektin disajikan pada Gambar 2 dan 3 berikut ini (Wilbraham dan Matta 1992; Smith 1982). H CH 2 OH H O H CH 2 OH O H H H H CH 2 OH H O H HO OH H O OH H O OH H OH H OH H OH H OH n Gambar 1 Struktur rantai linier dari molekul amilosa O C H 2 O H CH 2 OH O H H H H H O H H O H O H H H C H 2 OH O H H O O H OH OH H H O O H H O CH 2 C H 2 O H O H H H H H OH H H Ikatan a - 1, 6 glikosidik O O H O H H OH H O H O Ikatan α-1,4 glikosidik Gambar 2 Struktur molekul amilopektin. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin di dalam pati sangat bervariasi, tergantung jenis tanaman asalnya. Pati yang kecil kandungan amilosanya semakin lengket pati tersebut sedangkan pati yang kandungan amilosanya tinggi berperan dalam pembentukan gel dan menghasilkan film yang 6

baik (Winarno 1997; Smith 1982). Perbandingan kandungan antara amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa sumber pati Sumber pati Amilosa (%, bb) Amilopektin (%, bb) Jagung 28 72 Kentang 21 79 Gandum 28 72 Tapioka 17 83 Jagung waxy 0 100 Sorgum 28 72 Beras 17 83 Sagu 27 73 Garut 20 80 Amilomaize 50-80 20-50 Pati batang kelapa sawit mempunyai bentuk butiran (granula) agak bulat dan bersifat memadat ( truncated ). Ukurannya hampir sama dengan pati jagung dan waxymaize, tetapi bentuknya seperti pati tapioka. Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Komposisi pati kelapa sawit, tapioka dan sagu Komponen Jumlah (%) Kelapa sawit a Tapioka b Sagu b Air 12,07 12,04 17,6 Pati 84,98 87,98 73,08 Protein 0,41 0,90 0,65 Lemak 0,003 - - Abu 0,6 0,34 0,32 Serat 0,675 1,44 1,42 Amilosa 37,28 29,82 34,13 a Ginting (1995), b Chilmijati (1999) 7

Ukuran granula pati sangat bervariasi (2 100 µm) tergantung dari sumber patinya. Sifat yang penting dari pengaruh ukuran granula pati adalah perbedaan derajat gelatinisasi. Bila pati mentah dimasukan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Peningkatan volume granula pati yang terjadi didalam air pada suhu 55-65 0 C merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan bersifat dapat kembali kebentuk pati semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa dan tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno 1997). Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi melalui tiga tahapan yaitu : (1) Penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekulmolekul granula,(2) Pengembangan granula secara lambat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefringence, dan (3) Jika suhu terus naik molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels 1985). Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadi gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antarmolekul pati di dalam granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Suhu gelatinisasi tergantung juga pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai. Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan merupakan suatu kisaran. Dengan viskosimeter suhu gelatinisasi dapat ditentukan, misalnya jagung 62 72 0 C, beras 68 78 0 C, gandum 54,5-64 0 C dan tapioka 52 64 0 C. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Sifat ini disebut birefregence. Pada waktu granula pati mulai pecah, sifat birefregence ini akan menghilang (Winarno 1997). Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Visco-amylograph, dan Diffrential Scanning Calorimetry (DSC) (BeMiller dan Whistler 1996). Selain itu, suhu gelatinisasi juga dapat ditentukan dengan pengamatan mikrokopis baik 8

dengan mikroskop elektron maupun mikroskop terpolarisasi yang didasari oleh hilangnya sifat birefregence. Alfa Amilase Amilase merupakan enzim yang mempunyai aktivitas memecah molekul pati, glikogen dan turunan polisakarida. Amilase menghidrolisis ikatan α-(1,4) dan atau α-(1,6) glikosidik. Amilase yang dapat memecah ikatan α-(1,4) dibagi dua yaitu (1) endo-enzim yang memecah ikatan α-(1,4) yang berada ditengah rantai polimer, dan (2) ekso-enzim yang memecah ikatan α-(1,4)dari ujung polimer (Judoamidjodjo 1989 ; Whitaker 1994). Alfa amilase adalah endo-enzim yang bekerja memutuskan ikatan α-(1,4) secara acak di bagian dalam molekul baik pada amilosa dan amilopektin. Karena pengaruh aktivitasnya, pati terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6 10 unit glukosa. Jika waktu reaksi diperpanjang, dekstrin tersebut dapat dipotong-potong menjadi campuran antara glukosa, maltosa, maltotriosa, dan ikatan lain yang lebih panjang. Secara umum α-amilase stabil pada ph 5,5 8,0; aktivitas optimum α- amilase secara normal berada pada ph 4,8 6,5; tetapi bentuk kurva aktivitas ph berbeda untuk enzim yang dihasilkan dari sumber berbeda. Amilase dari Bacillus subtilis mempunyai aktivitas optimum pada kisaran ph 5 7, sedangkan amilase dari Bacillus stearothermophilus pada ph 3. Aktivitas α-amilase menurun secara cepat pada suhu diatas 50 0 C, tetapi dengan adanya ion Ca 2+ penurunan aktivitas α-amilase pada suhu tersebut dapat diperlambat Baciilus licheniformis menunjukkan spektrum ph yang luas diantara ph 5 dan 9. Enzim ini dapat dikatakan tidak bergantung kepada kalsium. Stabilitasnya yang tinggi menyebabkan enzim ini dapat dimanfaatkan pada suhu sampai 105 0 C. Alfa amilase mempunyai rantai peptida tunggal pada gugusan proteinnya dan setiap molekul mengandung satu g atom Ca. Adanya kalsium yang berikatan dengan molekul protein enzim, membuat enzim α-amilase bersifat relatif tahan terhadap suhu, ph, dan senyawa seperti urea atau enzim-enzim protease. Karena peranannya didalam industri, α-amilase dari berbagai sumber telah dipelajari secara rinci. Genus Bacillus merupakan sumber yang paling penting. 9

Bacillus amyloliquefaciens dan Baciilus licheniformis dikenal menghasilkan enzim yang bersifat termostabil (Suhartono 1989). Aktivitas kerja enzim amilase terhadap ikatan yang terdapat pada amilopektin disajikan pada Gambar 3 berikut (Pomeranz 1991). α - amilase R-enzim α-1.6 glukosidase Amiloglukosidase β - amilase Glukosa Maltosa Gambar 3 Pengaruh dari aktivitas enzim amilase pada amilopektin. Hidrolisis amilopektin oleh α-amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligisakarida yang teridiri dari empat atau lebih residu glukosa yang mengandung ikatan α-1,6-glikosidik. Hidrolisis amilosa oleh α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degeredasi ini terjadi sangat cepat diikuti pula dengan penurunan viskositas dengan cepat. Tahapan kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir. 10

Likuifikasi Pati Likuifikasi adalah proses dispersi granula pati yang tidak larut di dalam air dan diikuti dengan hidrolisis parsial dengan menggunakan amilase termostabil. Selain enzim dapat juga digunakan asam sebagai katalis. Likuifikasi merupakan proses yang penting dan mendasar dalam menghidrolisis pati. Jika proses ini tidak berlangsung dengan baik maka berbagai masalah akan muncul sepeti sulitnya proses filtrasi larutan yang diproses. Proses likuifikasi yang baik penting untuk keberhasilan proses sakarifikasi dan isomerisasi (Fogarty 1983; Taji 1988; Olsen 1995). Likuifikasi Pati dengan α-amilase Likuifikasi adalah tahap awal dari proses hidrolisis pati, misalnya pada pembuatan dekstrin, glukosa dan sirup fruktosa. Dalam proses likuifikasi dengan α- amilase akan terjadi pemutusan ikatan α-1,4 glikosidik. Kesempurnaan dan lama proses likuifikasi akan menentukan komposisi akhir produk likuifikasi (Dziedzic dan Kearsley 1984). Menurut Bigelis (1993) proses likuifikasi yang diawali dengan proses gelatinisasi, dimana larutan pati yang sudah digelatinisasi mengandung 30 40 % bahan padatan ditambahkan α-amilase termostabil yang dihasilkan Bacillus licheniformis dapat bekerja pada ph 6,5 dan suhu 103 107 0 C selama 5 10 menit. Setelah itu suhu diturunkan menjadi 95 0 C selama satu sampai dua jam yang memungkinkan hidrolisis pati ini menjadi sirup dengan DE 0,5 1,5. Hidrolisis dibiarkan terus berlangsung sampai mencapai DE 10 15. Proses likuifikasi baik pada suhu lebih tinggi maupun lebih rendah tergantung pada efisensi kerja dari heat-stable bacterial α- amilase. Likuifikasi merupakan proses yang penting dan mendasar dalam proses pengolahan pati dan bilamana proses ini tidak berlangsung dengan baik, berbagai masalah seperti sulitnya filtrasi, turbilitas larutan yang diproses dan lainlain terjadi. Faktor yang paling penting untuk likuifikasi pati yang ideal yaitu larutan pati yang mengandung α-amilase dipanaskan pada suhu 105 107 0 C secepat mungkin (Taji 1988). Menurut Pomeranz (1991) pada proses likuifikasi dengan α-amilase pati harus terlebih dahulu digelatinisasi, hal ini disebabkan α- amilase mempunyai aktivitas yang rendah terhadap pati yang belum digelatinisasi. 11

Likuifikasi dengan α-amilase menyebabkan komponen amilosa terhidrolisis menjadi produk glukosa, maltosa, maltotriosa, maltopentaosa dan maltoheksosa. Pemecahan maltoheptosa menghasilkan maltoheksosa dan glukosa, sedangkan maltooktaosa menjadi maltoheksosa dan maltosa. Likuifikasi dengan α-amilase tidak dapat memutuskan ikatan α-1,4-glikosidik yang berdekatan dengan ikatan α-1,6-glikosidik pada pati dan glikogen (Yamamoto 1988). Hidrolisis amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan α- limit dekstrin. Produk α- limit dekstrin dengan minimal empat residu glukosa masih mempunyai ikatan glikosidik α-1,6 (Pomeranz 1991). Likuifikasi Pati dengan Asam Klorida Hidrolisis asam adalah suatu metode yang digunakan untuk menghasilkan thin boiling starch. Perlakuan dengan asam lemah dari granula pati cenderung memotong ikatan α-d-glikosidik dari fraksi amilosa pati jagung, menurunkan ukuran molekul dan viskositas pasta panas. Asam yang digunakan biasanya HCl dan H 2 SO 4 di dalam kondisi terkontrol. Sifat-sifat birefregence tidak terpengaruh, hal ini mengindikasikan bahwa proses hidrolisis cenderung berlangsung di dalam daerah amorf daripada daerah kristalin dari granula. Perlakuan hidrolisis asam memungkinkan pati untuk dimasak didalam sistem padatan gula yang tinggi, karena retrogradible amylose ada dalam konsentrasi yang tinggi sehingga dapat diperoleh gel yang kuat (Smith 1982). Modifikasi asam lebih lanjut akan menghasilkan dekstrin yang memiliki viskositas yang rendah (Fleche 1985). Pada likuifikasi ini, asam akan menghidrolisis ikatan glikosidik, memendekkan rantai. Ikatan α-1,4 lebih mudah terhidrolisis daripada ikatan α- 1,6. Hidrolisis asam lebih mudah menyerang daerah amorf dibandingkan dengan daerah kristalin. Pada daerah kristalin, struktur linier dengan ikatan α-1,4 lebih tahan terhadap asam. Hal ini disebabkan bahwa daerah tersebut tersusun sangat rapat sehingga sukar dimasuki air atau asam. Bagian daerah amorf walaupun tersusun dari ikatan α-1,6 tetapi merupakan daerah yang kurang padat, sehingga dapat ditembus oleh air dan selanjutnya memudahkan penetrasi asam untuk menghidrolis pati (Wurzburg 1986). Dalam proses likuifikasi asam, akan terjadi pemutusan ikatan C-O-Cdengan menghasilkan gula dan beberapa polimernya. Bila diteruskan proses tersebut akan meningkatkan gula dengan bobot molekul rendah, kemudian 12

polimer-polimer tersebut dihidrolisa menjadi glukosa. Asam memecah pati secara acak dan gula yang terbentuk sebagian besar merupakan gula pereduksi (Wurzburg 1986). Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis membutuhkan biaya yang lebih mahal dan peralatan yang tahan korosi dibanding dengan penggunaan asam encer. Di samping itu hidrolisis dengan asam pekat dapat mempercepat proses hidrolisis akan tetapi menurunkan hasil hidrolisis karena glukosa lebih mudah diuraikan oleh asam pekat. Penggunaan asam encer memperlambat proses hidrolisis karena adanya daya tahan dari kristal pati, akan tetapi mengurangi proses penguraian glukosa oleh asam encer. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa penggunaan HCl dengan konsentrasi 0,1 % dalam proses likuifikasi menunjukkan hasil yang optimal (Ega 2002). Hidrolisis asam mempunyai kelemahan antara lain yaitu diperlukan peralatan yang tahan korosi, menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena katalis asam menghidrolisis secara acak. Kelemahan lain, jika nilai dekstrosa ekuivalen ditingkatkan, disamping terjadi degradasi karbohidrat juga terjadi rekombinasi produk degradasi yang yang dapat mempengaruhi warna, rasa, bahkan menimbulkan masalah teknis (Judoamidjojo 1989). Dekstrin Pengertian dan Klasifikasi Dekstrin Dekstrin adalah suatu produk yang merupakan hasil modifikasi pati melalui proses hidrolisa asam, enzimatis dan pemanasan kering (Wurzburg 1986). Menurut Somaatmadja (1984) dekstrin adalah oligosakarida (beberapa monosakarida) yang dapat diperoleh dengan menghidrolisis pati (polisakarida). Dekstrin murni berupa serbuk (bubuk), bewarna putih atau hampir putih, tidak mempunyai rasa, tidak berbau dan dapat larut dalam air dingin. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (1992) dekstrin didefinisikan sebagai salah satu produk hidrolisis pati, berbentuk serbuk amorf, bewarna putih sampai kekuningkuningan. Pengertian dekstrin sangat luas mencakup setiap produk degradasi pati yang diperoleh secara kimia maupun enzimatis, tetapi secara praktis kata dekstrin dipakai untuk produk yang mengacu yang dihasilkan dari proses 13

pirokonversi pati. Pirokonversi adalah proses pemanasan kering pati, produknya terdiri dari tiga kelompok yaitu dekstrin putih, dekstrin kuning dan British gum (Fleche, 1985). Berdasarkan tahapan pembentukan dalam proses hidrolisis pati, dikenal tiga jenis dekstrin yaitu amilodekstrin, eritrodekstrin dan akrodekstrin. Pada tahap awal konversi akan dihasilkan amilodekstrin yang memiliki sifat larut dalam air. Amilodekstrin akan memberikan warna biru apabila direaksikan dengan larutan iodium. Konversi berikutnya dihasilkan jenis dekstrin yang kedua yaitu eritrodekstrin yang akan memberikan warna merah kecoklatan bila direaksikan dengan larutan iodium. Tahap terakhir dari konversi dihasilkan adalah eritrodekstrin yang apabila ditetesi dengan iodium tidak akan memberikan warna (Garard 1977). Proses Dekstrinisasi Proses dekstrinisasi pati dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu (a) hidrolisis dengan α-amilase, (b) hidrolisis dengan asam klorida, (c) pemanasan kering (Satterwaite dan Iwinski 1973 ; Fleche 1985 ; Wurzburg 1986). 1. Hidrolisis dengan α-amilase Secara umum produksi dekstrin dilakukan proses likuifikasi dengan α- amilase dari bakteri, kemudian inkubasi dengan suhu 95 97 0 C. Lamanya inkubasi tergantung dari jenis produk yang diinginkan, selanjutnya diikuti dengan proses penjernihan larutan pati terlikuifikasi, dan dikeringkan dengan spray drying. Proses Dekstrinisasi pati secara hidrolisis dengan α-amilase disajikan pada Gambar 5. Produksi dekstrin dengan hidrolisis α-amilase berlangsung dalam dua tahap, pemanasan bubur pati pada suhu 100 0 C atau lebih tinggi untuk mengembangkan dan menggelatinisasi pati diikuti dengan hidrolisis enzimatis pada suhu 80 95 0 C. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan dekstrin antara 2 4 jam (Pithcer 1980). Alfa amilase komersial yang berasal dari Bacillus licheniformis tahan terhadap suhu tinggi. Enzim ini aktif dan stabil pada proses likuifikasi larutan pati sampai suhu 110 0 C, dikenal dengan nama dagang Termamyl (Novo Enzyme) (Judoammidjojo 1989). Reaksi hidrolisis α-amilase termostabil tersebut disajikan sebagai berikut. 14

α-amilase Pati + n (H 2 O) G1 + G2 + G3 + G4 + G5 +.. Termostabil + Oligosakarida bercabang Tahapan hidrolisis α-amilase termostabil yang berasal dari Bacillus licheniformis terhadap pati adalah sebagai berikut ; pada tahap pertama amilosa dihidrolisis menjadi G5 G9 dalam jumlah yang lebih banyak dari pada G2 dan G3. pada tahap berikutnya terbentuk G1 dan G5 dalam jumlah yang meningkat, sementara pembentukan G6 dan G9 menurun. Cara hidrolisis α-amilase pada amilopektin hampir sama dengan amilosa (Endo 1988). α-amilase 0,5 2 kg Air 200 l Larutan pati PH 6 6,5 Pati 1000 kg Likuifikasi Pati Pemanasan 105 107 0 C, 3 5 menit Inkubasi 95 97 0 C Pemanasan Inaktivasi Enzim Penjernihan Larutan Likuifikasi Pembubukan Dekstrin Gambar 4 Proses dekstrinisasi pati dengan α-amilase (Taji, 1988). Turunan pati yang diperoleh melalui proses likuifikasi mempunyai nilai komersial sebagai bahan pangan. Produk mempunyai nilai DE sekitar 10 dan dijual sebagai maltodekstrin, yang akan membentuk karbohidrat dengan 15

komposisi 3 % maltosa, 4 % maltotriosa dan 93 % tetraosa atau polisakarida berukuran besar (Bigelis 1993). Maltodekstrin dapat dihasilkan dengan hidrolisis dispersi pati secara enzimatis maupun asam, biasanya dijelaskan dengan nila dekstrosa ekuivalen (DE). Nilai DE ini terkait dengan derajat polimerisasi (DP) dengan formula DE = 100/DP. Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk dengan nilai DE kurang dari 20, maltodekstrin dengan nilai DE terendah bersifat tidak higroskopis sedangkan dengan nilai DE tertinggi cenderung menyerap air. Maltodekstrin bersifat lunak dan tidak berasa manis dan sangat baik sumbangannya terhadap sistem pangan (BeMiller dan Whistler 1996). 2. Hidrolisis dengan Asam Klorida Pembuatan dekstrin dengan hidrolisis asam dilakukan dengan memanaskan bubur pati didalam larutan asam secara perlahan-lahan sampai pada derajat konversi yang diinginkan. Selanjutnya larutan dinetralisasi kemudian didinginkan dan selanjutnya dikeringkan pada roll panas atau spray dryer (Satterwaite dan Iwinski 1973). Somaatmadja (1984) membuat dekstrinisasi basah dengan katalis asam yaitu dengan merendam pati dalam larutan asam klorida encer (10%) selama 24 jam. Dan setelah asam dipisahkan, pati dikeringkan sampai sisa-sisa asam menguap dan selanjutnya digiling. Proses dekstrinisasi pati dengan hidrolisis katalis HCl, terlebih dahulu dilakukan proses likuifikasi. Proses likuifikasi asam dilakukan dengan sistem curah, pada ph 1,8 sampai 2,0 dengan HCl. Pati yang telah diasamkan dipanaskan pada suhu 90 0 C selama 30 menit kemudian dimasak pada pressure cooker pada suhu 120 140 0 C sampai pemecahan pati menjadi sempurna. Tingkat degradasi pati dapat diukur dari nilai DE dari Produk yang dilikuifikasi, dikontrol dengan mengatur waktu di pressure cooking. Nilai DE diatas 3 diperoleh dengan mengontrol laju alir didalam alat pengkonpersi. Tujuannya untuk mendapat produk dengan nilai DE sedang, nilai DE yang rendah akan menghasilkan produk yang akan mengalami retrogradasi. Nilai DE yang tinggi akan menurunkan produk akhir glukosa (Fullbrook 1984). Katalis asam yang sering digunakan dalam proses pembuatan dekstrin adalah asam klorida. Hal ini disebabkan karena aktivitas HCl yang tinggi, biayanya murah, bersifat volatil. Pada saat proses dekstrinisasi berlangsung asam diuapkan pada tingkat tertentu dan netralisasi produk kadang diabaikan 16

(Kennedy dan Fischer 1984). Konsentrasi HCl yang digunakan tergantung pada derajat konversi yang diinginkan, untuk praktisnya dapat digunakan 0,1 1% (Fleche 1985). 3. Pemanasan Kering Dekstrin yang dihasilkan dengan cara hidrolisis asam atau pemanasan kering (roasting) disebut pirodekstrin (Satterwaite dan Iwinski 1973). Prosesnya disebut dengan pirodekstrin, yaitu perlakuan pati yang diasamkan kering dengan menggunakan panas (Fleche 1985). Prosesnya dilakukan dengan pemanasan pati kering sambil diaduk, kemudian disemprot dengan asam klorida dan sulfat. Derajat hidrolisisnya tergantung dari waktu, suhu, dan ph dari proses konversi (Smith 1982). Secara umum berdasarkan sifat dan kondisi pembuatannya pirodekstrin dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu dekstrin putih, dekstrin kuning dan British gum. Kondisi dan sifat dekstrin disajikan pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Karakteristik dan sifat pirodekstrin Karakteristik Dekstrin Putih Dekstrin Kuning Britihs Gum Suhu Pemanasan 110 130 135 160 150 180 ( 0 C) Waktu pemanasan 3 s/d 7 8 s/d 14 10 s/d 24 (jam) Jumlah Katalis Tinggi Medium Rendah Kelarutan Rendah tinggi Tinggi Rendah-tinggi Viskositas Rendah tinggi Rendah Rendah-tinggi Warna Putih krem Kekuning-kuningangelap Terang gelap Sumber : Ruterlberg dan Solarek (1984) Jenis pirodekstrin ini berbeda dalam cara perlakuan pati sebelum dipanaskan, cara dan tingkat pemanasan, dan sifaf-sifat produk yang dihasilkan. Secara umum dekstrin putih dibuat dengan konversi pada suhu rendah dan ph yang tergantung kecepatan proses konversi tanpa pembentukan warna yang berlebihan. Dekstrin kuning merupakan produk yang terkonversi lebih tinggi yang dibuat dengan kombinasi ph rendah dan suhu yang tinggi. British gum disisi yang 17

lain dikonversi pada ph yang tinggi dan suhu yang tinggi untuk konversinya, sehingga warna British gum lebih gelap daripada dekstrin putih (Wurzburg 1986). Prinsip pembuatan dekstrin adalah menghidrolisis molekul-molekul pati yang besar menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Pemanasan dan penggunaan asam akan menggunting ikatan-ikatan α-d-glikosidic pada pati sehingga didapatkan monomer-monomer glukosa (Smith, 1982). Proses pirokonversi, pengunaan panas selain untuk pemotongan ikatan α-d-glikosidik juga untuk mengurangi kadar air pati. Pengurangan air ini akan mencegah proses konversi dekstrin lebih lanjut, dekstrin yang dihasilkan harus segera dikeringkan. Proses pembuatan dekstrin dengan pemanasan kering dilakukan empat tahap meliputi persiapan bahan, pemanasan pendahuluan, pirokonversi atau pemanasan lanjut, dan pendinginan. Persiapan bahan Pada tahap persiapan, pati diberi katalis asam. Jumlah asam yang diberikan tergantung dari sifat pirodekstrin yang diinginkan, kandungan air pati, jenis pati dan peralatan yang digunakan untuk pengeringan awal dan pemanasan. Biasanya larutan asam disemprotkan ke pati dengan pengadukan secara horizontal dan vertikal. Pengadukan ini bertujuan untuk mendistribusikan asam ke seluruh bagian pati hingga homogen (Wurzburg 1986; Somaatmadja 1970). Pemanasan pendahuluan Pemanasan pendahuluan dapat dilakukan atau tidak, tergantung dari jenis pirodekstrin yang akan dihasilkan atau peralatan yang digunakan. Tujuan dari pemanasan pendahuluan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat di dalam pati sehingga proses reaksi hidrolisis berkurang. Hal ini penting untuk pembuatan dekstrin kuning. Berbeda halnya dalam pembuatan dekstrin putih dan British gum, reaksi hidrolisis diperlukan untuk menentukan sifat-sifat produk yang diinginkan. Pemanasan pendahuluan dapat digabungkan dengan proses pirokonversi yang dilakukan dengan pemanasan pati asam dilakukan secara lambat, pengadukan yang kuat dan dialirkan udara yang maximum untuk menghilangkan air. Pemanasan pendahuluan juga dapat dilakukan terpisah dari proses pirokonversi. Pirokonversi Pirokonversi dilakukan dengan alat pemasakan yang dapat bergerak secara vertikal dan horizontal yang dilengkapi dengan mixer dan alat-alat 18

pengaduk. Panas yang digunakan berupa pemanasan langsung (direct heat) maupun dengan sistem jacket pemanas. Suhu dan waktu konversi bervariasi tergantung kepada jenis pirodekstrin yang dihasilkan dan bentuk alat yang digunakan. Suhu pemanasan bervariasi dari 100 sampai lebih dari 200 0 C, waktu pemanasan bervariasi dari beberapa menit sampai beberapa jam. Secara umum dekstrin putih cenderung dibuat pada suhu rendah dan waktu yang singkat sedangkan dekstrin kuning dan British gum memerlukan waktu reaksi yang lama dan suhu yang tinggi. Kadar air dekstrin dari proses konversi dapat dicapai 0 5 % (Wurzburg 1986). Pendinginan Dekstrin yang dihasilkan dari proses pirokonversi harus segera didinginkan dengan cara memasukkan dekstrin panas kedalam mixer pendingin atau konveyor yang dilengkapi dengan jaket pendingin. Tujuan proses pendinginan adalah untuk mencegah konversi lebih lanjut dari dekstrin. Apabila ph konversi sangat rendah maka dilakukan penetralan asam untuk mencegah konversi lebih lanjut. Netralisasi dilakukan dengan pencampuran kering yang menggunakan reagen alakali amonium karbonat dan garam fosfat. Kelembaban dekstrin pada akhir konversi berkisar 0,5 sampai 2 3 %. Dekstrin dilembabkan dengan membiarkannya di udara terbuka sampai tingkat kelembaban 5 12 % sebelum pengemasan (Fleche 1985; Wurzburg 1986). Kimia Konversi Perubahan - perubahan kimia yang terjadi pada pati selama proses dekstrinisasi adalah kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Terdapat tiga reaksi kimia yang terjadi yaitu hidrolisis, transglukosidasi dan repolimerisasi (Wurzburg 1986). Reaksi hidrolisis akan mengakibatkan pemotongan ikatan α-d-(1,4) dan α-d-(1,6) dalam pati selama tahap pemanasan pendahuluan dan tahap awal proses dekstrinisasi. Dalam reaksi ini akan terjadi penurunan berat molekul pati, viskositas dan peningkatan gugus reduksi yang disebakan oleh hidrolisis ikatan glikosidik. Mekanisme hidrolisis pati oleh enzim telah dijelaskan dalam proses likuifikasi dengan α-amilase. Mekanisme hidrolisis dengan asam disajikan pada Gambar 6. 19

Transglukosidasi adalah reaksi yang mengakibatkan hilangnya ikatan glukosida α-d- (1,4) dari proses hidrolisis yang diikuti dengan penggabungan fragmen-fragmen yang dekat dengan gugus bebas yang menghasilkan struktur bercabang (Wurzburg 1986). Transglukosidasi merupakan reaksi yang penting dalam pirodekstrinisasi. Hal ini mungkin karena reaksi tersebut merupakan reaksi perubahan intermolekul pada beberapa ikatan α-d-(1,4)-glikosidik pati asli yang diubah ke ikatan α-d- (1,6). Mekanisme reaksinya disajikan pada Gambar 6 berikut ini. CH 2 OH O CH 2 OH O CH 2 OH O CH 2 OH O O OH O OH CH 2 OH O OH OH CH 2 OH O O OH O OH CH 2 O OH HO OH CH 2 OH O O OH O OH O OH O OH OH OH OH OH Gambar 5 Mekanisme reaksi transglukosidasi (Satterwaite dan Iwinski 1973). Glukosa dapat mengalami proses polimerisasi pada suhu tinggi dengan adanya katalis asam. Pembuatan dekstrin kuning membuktikan terjadinya repolimerisasi glukosa. Hal ini diduga dari penurunan kadar gula pereduksi, kecilnya peningkatan viskositas serta penurunan jumlah dekstrin yang larut dalam campuran 90% etanol dan 10% air. Walaupun proses repolimerisasi ini belum sepenuhnya diyakini, namun proses ini terjadi dalam pembuatan dekstrin kuning (Wurzburg 1986). Dekstrin kuning dihasilkan dengan pemanasan pati kering yang diasamkan sampai mencapai suhu yang lebih tinggi dari suhu dekstrin putih. Bila kandungan air turun dibawah 3 %, proses hidrolisis tidak lagi berlangsung. sebaliknya molekul-molekul yang terfragmentasi oleh reaksi hidrolisis kembali membentuk struktur yang bercabang. Pengabungan kembali fragment tersebut bersifat acak. Mekanisme reaksi hidrolisis asam dan repolimerisasi disajikan pada Gambar 7. Beberapa bukti memperlihatkan bahwa produk dekstrin kuning memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari pati asalnya, tetapi sebagian molekulnya kecil dan kompak membuat dekstrin ini mempunyai viskositas yang sangat rendah. 20

Karena panjang cabang sangat pendek, dekstrin kuning memperlihatkan tidak adanya sifat retrogradasi dalam larutan yang konsentrasinya tinggi (Pomeranz 1991). Pada pembuatan British gum, reaksi yang terjadi adalah reaksi hidrolisis pada tahap awal dekstrinisasi. Hidrolisis disebabkan oleh adannya residu air yang terdapat didalam pati dan sejumlah asam yang terbentuk selama pemanasan, sebagian besar proses transglukosidasi (Satterwaite dan Iwinski 1973). Hidrolisis Asam Polimerisasi Panas + Air + Panas + Asam Pati Fragment terhidrolisis Dekstrin Gambar 6 Mekanisme reaksi hidrolisis asam dan repolimerisasi. (Pomeranz 1991) Penggunaan Dekstrin Dekstrin dapat digunakan dalam industri pangan dan non pangan. Dalam bidang pangan dekstrin digunakan sebagai pembentuk film dan edible adhesive untuk menggantikan gum arab pada produk-produk tertentu seperti pelapis kacang dan candy. Dekstrin juga digunakan sebagai bahan pengisi dan pembawa aroma yang disemprot kering (Smith 1982). Dekstrin dapat juga digunakan sebagai bahan enkapsulasi (BeMiller dan whistler 1996). 21

Maltodeksrin dalam industri pangan dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk pangan cair, sebagai bahan pembantu dalam proses pengeringan dengan pengeringan semprot, dan maltodekstrin DE rendah dapat digunakan sebagai bahan pengisi dan aditif dalam proses pengeringan bahan makananan yang besifat higroskopis (Bigelis 1993). Penggunaan dekstrin dalam bidang non pangan meliputi industri bahan perekat, industri kertas dan tekstil dan farmasi (Satterwaite dan Iwinski 1973; Somaatmadja 1984). Dekstrin mempunyai daya rekat yang sangat baik sehingga banyak digunakan dalam pembuatan berbagai perekat seperti glokul, glotun dan sebagainya. Perekat (lem) yang dihasilkan dari dekstrin dapat dicampurkan dengan berbagai resin sintetik pada ph netral utnuk menghasikan perekat karton yang dilapisi berbagai bahan seperti alumminium foil. Dekstrin ini juga dapat digunakan untuk perekat rokok (BAT) dan Faroka (Somaatmadja 1984). Selain itu dekstrin kuning dapat dijadikan sebagai perekat yang lembab pada prangko, label dan amplop (Pomeranz 1991). Dalam industri kertas desktrin digunakan sebagai bahan pelapis dan membentuk permukaan yang halus. Dalam industri farmasi, dekstrin digunakan sebagai carrier atau pembawa. Hal ini disebabkan karena dekstrin mudah larut dalam air dingin, sehingga tablet yang menggunakan dekstrin mudah larut dalam air ludah bila tablet tersebut dimakan (Somaatmadja 1984). Dalam industri tekstil, dekstrin digunakan dalam finishing kain mori (kain putih) dimana apabila hendak dicetak harus dihilangkan kanjinya terlebih dahulu. Penghilangan dekstrin dalam kain putih lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penggunaan pati (polisakarida). Dekstrin dapat dihilangkan dengan air dingin, sedangkan pati dihilangkan dengan air panas dan sedikit asam klorida (Somaatmadja 1984). 22