II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PROSES ESTERIFIKASI TRANSESTERIFIKASI IN SITU MINYAK SAWIT DALAM TANAH PEMUCAT BEKAS UNTUK PROSES PRODUKSI BIODIESEL SKRIPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisa awal yang dilakukan pada minyak goreng bekas yang digunakan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Pembahasan Degumming

II. TINJAUAN PUSTAKA A. BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

BAB I PENDAHULUAN. ketercukupannya, dan sangat nyata mempengaruhi kelangsungan hidup suatu

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

Biodiesel Dari Minyak Nabati

PEMBUATAN BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI LANGSUNG

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

II. TINJAUAN PUSTAKA

Prarancangan Pabrik Biodiesel dari Biji Tembakau dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN PROSES PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGGUNAKAN KATALIS ABU TANDAN KOSONG SAWIT

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak. bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA MELALUI PROSES TRANS-ESTERIFIKASI. Pardi Satriananda ABSTRACT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. BBM petrodiesel seperti Automatic Diesel Oil (ADO) atau solar merupakan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. oksigen. Senyawa ini terkandung dalam berbagai senyawa dan campuran, mulai

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Staf Pengajar Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang, Semarang 2

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

Sunardi 1, Kholifatu Rosyidah 1 dan Toto Betty Octaviana 1

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAH PEMUCAT (BLEACHING EARTH) Tanah pemucat (bleaching earth) merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO 2, Al 2 O 3, air terikat serta ion Ca 2+, magnesium oksida dan besi oksida. Daya pemucat bleaching earth disebabkan oleh ion Al 3+ pada permukaan partikel penjerap sehingga dapat mengadsorbsi zat warna dan tergantung perbandingan Al 2 O 3 dan SiO 3 dalam bleaching earth (Ketaren, 1986). Mineral ini memiliki rumus umum Al 2 O 3.4SiO 2.xH 2 O dan sifat yang mudah menyerap air, mengembang, tidak tahan terhadap pengocokan dan tekanan yang kuat. Selain itu, tanah pemucat memiliki warna yang bervariasi mulai dari putih krem, abu-abu, kuning sampai coklat kehitaman. Adapun komposisi kimia bahan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia tanah pemucat Komponen Komposisi (%) SiO 2 65.24 Al 2 O 3 15.12 Fe 2 O 3 5.27 MgO 2.04 CaO 1.67 Na 2 O 2.71 K 2 O 2.07 TiO 2 0.68 MnO 2 0.21 P 2 O 5 0.06 Lainnya 4.92 Sumber: Zhansheng et al. 2006 Tanah pemucat merupakan salah satu jenis tanah lempung yang mengandung mineral montmorillonit sekitar 85% dan fragmen sisanya terdiri dari campuran mineral kuarsa, gipsum, kolinit, plagiklas dan lain-lain (Supeno, 2008). Mineral-mineral montmorillonit umumnya berupa butiran sangat halus dengan lapisan-lapisan penyusun yang tidak terikat kuat. Montmorillonit yang terdapat dalam bentonit merupakan mineral liat yang dapat mengembang dan mengerut yang tergolong ke dalam kelompok smektit serta mempunyai komposisi kimia yang beragam. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menjerap ion-ion logam dan kation-kation organik. Montmorillonit mempunyai Mg dan ion Fe 2+ dalam posisi oktahedral (Tan, 1993). Struktur montmorillonit disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur Montmorillonit (Grim, 1968) 3

Terdapat dua jenis bentonit yang banyak dijumpai, yaitu Na-bentonit dan Ca-bentonit. Na-bentonit termasuk dalam jenis Swelling Bentonite (bentonit yang dapat mengembang) yaitu jenis mineral montmorillonit yang mempunyai partikel lapisan air tunggal yang mengandung kation Na + yang dapat dipertukarkan. Bentonit jenis ini mempunyai kemampuan mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air. Sedangkan Ca-bentonit termasuk dalam Non Swelling Bentonite (bentonit yang kurang dapat mengembang), yaitu jenis mineral montmorilonit yang kurang dapat mengembang apabila dicelupkan di dalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam akan memiliki sifat menyerap sedikit air dan akan cepat mengendap tanpa membentuk suspensi (Supeno, 2007). Tanah pemucat (bleaching earth) terdiri dari tanah pemucat alami dan yang telah diaktivasi. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil perlakuan tanah pemucat alami dengan asam mineral, umumnya asam sulfat. Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsorbsi tanah tersebut sedemikian sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah yang sama, tanah pemucat aktif dibutuhkan hanya setengah dari tanah pemucat netral. Untuk beberapa jenis minyak tertentu seperti minyak kelapa sawit, warna hanya dapat dihilangkan secara efektif dengan tanah pemucat aktif (Devine dan Williams, 1961). Tanah pemucat yang telah digunakan pada proses bleaching pada minyak kelapa sawit disebut tanah pemucat bekas. Dalam tanah pemucat bekas ini terkandung zat warna betakaroten dan sejumlah minyak yang terserap. Menurut Kheang (2006) kandungan minyak dalam tanah pemucat bekas sebesar 20-30%. Pada umumnya, industri minyak goreng tidak memanfaatkan kembali limbah tersebut. B. BIODIESEL Biodiesel adalah bahan bakar diesel alternatif yang terbuat dari sumber daya hayati terbarukan seperti minyak nabati atau lemak hewani (Ma dan Hanna, 1999). Menurut Vicente et al.(2006 dalam Murniasih 2009) biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Secara kimiawi, biodiesel merupakan turunan lipid dari golongan monoalkil ester asam lemak dengan panjang rantai karbon 12-20 (Darnoko et al., 2000). Biodiesel dapat berupa minyak kasar atau monoalkil ester asam lemaknya, umumnya merupakan metil ester. Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil, cair pada suhu ruang (titik leleh antara 4-18 o C), non korosif dan titik didihnya rendah (Allen et al., 1999). Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel adalah trigliserida-trigliserida (komponen utama minyak dan lemak) dan asam-asam lemak produk samping dari industri pemurnian minyak dan lemak (Knothe,2004). Metil ester lebih stabil secara pirolitik dalam proses distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga lebih disukai daripada etil ester (Sonntag, 1982 dalam Murniasih 2009). Biodiesel dapat dibuat menggunakan minyak hewani maupun minyak nabati. Namun, minyak nabati lebih banyak digunakan karena lebih ekonomis dibandingkan dengan minyak hewani. Di sisi lain penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel memiliki kerugian yaitu viskositasnya yang tinggi sehingga dapat meyebabkan penyumbatan pada pompa penginjeksi bahan bakar mesin diesel sehingga mesin diesel tidak mampu menghasilkan pengkabutan yang baik pada ruang pembakaran. Selain itu, biodiesel berbahan baku minyak nabati memiliki bilangan setana yang lebih rendah dibandingkan dengan petrodiesel sehingga tenaga yang dapat dihasilkan lebih rendah juga. Meskipun memiliki beberapa kekurangan akan tetapi minyak nabati masih sangat potensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku biodiesel karena perbedaan karakteristik tersebut dapat diatasi dengan proses esterifikasi maupun transesterifikasi. Keuntungan penggunaan biodiesel, antara lain sifat bahan bakunya yang dapat diperbaharui (renewable), pengguanaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan kebanyakan peralatan diesel dengan tidak ada modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/pancaran gas yang 4

menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun, bersifat biodegradable, cocok untuk lingkungan sensitif dan mudah digunakan (Tyson, 2004). Sifat fisiko kimia biodiesel memiliki kemiripan dengan bahan bakar solar (petrodiesel), tetapi pada beberapa hal biodiesel lebih unggul. Biodiesel memiliki sifat ramah lingkungan dibandingkan dengan petrodiesel karena biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa benzena. Kandungan energi, viskositas dan perubahan fase pada biodiesel relatif sama dengan petrodiesel. Penggunaan biodiesel pada mesin dapat digunakan secara murni atau dicampur dengan petrodiesel dalam rasio tertentu, seperti B10, B20 atau B30 yang artinya kadar pencampuran antara metil ester dengan petrodiesel yakni dengan kadar 10%, 20% dan 30%. Tabel 2. berikut menunjukkan perbandingan karakteristik biodiesel dan petrodiesel. Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Biodiesel dan Solar (Petrodiesel) Fisika Kimia Biodiesel Solar (Petrodiesel) Kelembaban (%) 0,1 0,3 Engine power Energi yang dihasilkan 128.000 BTU Energi yang dihasilkan 130.000 BTU Viskositas 4,8 cst 4,6 cst Densitas 0,8624 g/ml 0,8750 g/ml Bilangan setana 62,4 53 Engine torque Sama Sama Modifikasi engine Tidak diperlukan - Konsumsi bahan bakar Sama Sama Lubrikasi Lebih tinggi Lebih rendah Emisi CO rendah, total hidrokarbon, sulfur dioksida dan nitroksida CO rendah, total hidrokarbon, sulfur dioksida dan nitroksida Penanganan Flamable lebih rendah Flamable lebih tinggi Lingkungan Toksisitas rendah Toksisitas 10 kali lebih tinggi Keberadaan Terbarukan (renewable) Tak terbarukan Sumber : Pakpahan, 2001 dalam Sahirman 2009 C. PROSES PRODUKSI BIODIESEL Pada proses produksi biodiesel dilakukan rekayasa proses untuk mengubah karakteristik minyak nabati sehingga memiliki viskositas yang lebih rendah dan memiliki kemiripan dengan karakteristik petrodiesel dan biodiesel. Teknologi proses produksi biodiesel secara konvensional umumnya dilakukan dengan melakukan reaksi transesterifikasi dibantu dengan katalis basa. Akan tetapi proses satu tahap ini tidak cocok dilakukan pada minyak dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi karena akan menyebabkan timbulnya sabun sehingga sulit dipisahkan dengan biodiesel yang dihasilkan. Proses transesterifikasi hanya akan berjalan baik pada minyak dengan kadar lemak bebas kurang dari 2% (Sharma et al. 2008). Proses pembuatan biodiesel dengan minyak yang mengandung kadar asam lemak bebas tinggi sebaiknya menggunakan proses dua tahap yaitu proses esterifikasi yang dilanjutkan dengan proses transesterifikasi. Proses esterifikasi menggunakan katalis asam bertujuan untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi biodiesel dan dilanjutkan dengan proses transesterifikasi yang menggunakan katalis basa untuk mengkonversi trigliserida menjadi biodiesel (Wang et al. 2007). 5

1. ESTERIFIKASI Esterifikasi adalah reaksi antara metanol dengan asam lemak bebas membentuk metil ester menggunakan katalis asam. Katalis asam yang sering digunakan pada proses esterifikasi, antara lain asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H 2 SO 4 ). Reaksi esterifikasi tidak hanya mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester tetapi juga mengubahnya menjadi trigliserida meskipun dengan kecepatan reaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Freedman et al., 1984). Untuk mendorong reaksi dapat mengkonversi sempurna pada suhu rendah (65 o C) reaktan metanol Reaksi esterifikasi pada asam lemak bebas dapat dilihat pada Gambar 2. H 2 SO 4 RCOOH + CH OH 3 RCOOCH 3 + H 2 O Gambar 2. Reaksi Esterifikasi Reaksi esterifikasi biasanya dilakukan pada tahap pembuatan biodiesel dengan menggunakan minyak yang memiliki kadar asam lemak bebas lebih dari 2%. Reaksi ini bertujuan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dari minyak nabati tersebut sehingga memiliki kadar asam lemak bebas 2%. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah jumlah pelarut, waktu reaksi, suhu, konsentrasi katalis dan kandungan air pada minyak. (Ozgul dan Turkay, 2002). Reaktan metanol perlu ditambahkan berlebih (biasanya lebih dari 10 kali rasio stoikhiometri) supaya proses konversi dapat berjalan sempurna. Selain itu, sisa katalis dan air pada produk hasil esterifikasi harus dihilangkan sebelum dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi supaya reaksi dapat berjalan sempurna.. Berchmans. et.al. (2008) telah melakukan proses esterifikasi minyak jarak menggunakan rasio metanol dan minyak 6:1 (b/b) dan menggunakan katalis asam sulfat dapat menurunkan kadar asam lemak bebas minyak hingga kurang dari 1% dan menghasilkan yield biodiesel sebesar 90%. Reaksi ini berlangsung selama 1 jam pada suhu 50 o C.. Proses esterifikasi palm fatty acid distilate (PFAD) menggunakan rasio mol metanol:pfad 8:1 dan katalis asam sulfat 1.834 (%-b) terhadap PFAD mampu menurunkan kadar asam lemak bebas dari 93% menjadi kurang dari 2% yang diproses selama 1 jam pada suhu 70 0 C (Chongkong et al. 2007). 2. TRANSESTERIFIKASI Transesterifikasi adalah tahap konversi trigliserida menjadi alkil ester melalui reaksi dengan alkohol dan menghasilkan produk samping gliserol. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa seperti NaOH, KOH, NaOCH 3 dan KOCH 3 (Canakci & Sanli 2008). Pada prinsipnya transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (metanol) menjadi metil ester. Reaksi transeseterifikasi merupakan reaksi yang bersifat reversible dengan kalor reaksi kecil. Pergeserannya reaksi ke arah produk biasanya dilakukan dengan menggunakan alkohol berlebih. Metanol, etanol, propanol dan butanol banyak digunakan dalam reaksi ini (Freedman et al. 1984). Pelarut metanol lebih sering digunakan karena harganya lebih murah dibandingkan dengan alkohol jenis lainnya dan dapat bereaksi cepat dengan trigliserida serta dapat melarutkan katalis asam dan basa. Selain itu, secara fisiko-kimia metanol bersifat polar dan memiliki rantai paling pendek. Rendemen transesterifikasi juga dapat diperbaiki dengan penggunaan katalis basa yang berlebih untuk minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi, karena asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi dapat dikonversi menjadi garam alkalinya/sabun (Haas et al.,2003). Tetapi terbentuknya sabun menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan hilangnya produk yang berguna. Alternatifnya, proses dilakukan dengan dua tahapan proses yang menggunakan katalis asam dan katalis basa (Canakci dan Gerpen, 2001). Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa 6

harus dilakukan pada minyak yang bersih, bebas air dan tidak mengandung katalis. Menurut Freedman et al. (1984), kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi. Berdasarkan penelitian Lee et al. (2002) rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan memurnikan minyak jelantah yaitu menurunkan kadar asam lemak bebas dari 10% menjadi 0,23% dan kadar air dari 0,2% menjadi 0,02%. Mekanisme reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 3. CH 2 -OOC-R 1 R 1 -COO- CH 3 CH 2 -OH NaOH CH-OOC-R 2 + 3 CH 3 OH R 2 -COO- CH 3 + CH - OH CH 2 -OOC-R 3 R 3 -COO- CH 3 ' CH 2 -OH Trigliserida Metanol Alkil ester Gliserol Gambar 3. Reaksi transesterifikasi Proses transesterifikasi yang umumnya dilakukan pada minyak hasil ekstraksi bahan alami dilakukan pada rasio mol metanol:minyak 6:1 dengan 1% katalis basa (NaOH atau KOH) pada 60 0 C selama 1 jam (Canakci & Van Gerpen 2003; Wang et al. 2007). Transesterifikasi merupakan reaksi yang berlangsung dalam 3 tahap. Pertama, trigliserida (TG) dihidrolisis menjadi digliserida (DG), selanjutnya digliserida dihidrolisis menjadi monogliserida (MG) yang akhirnya membentuk alkil ester dan gliserol (Darnoko & Cheryan 2000). Trigliserida + R'OH Digliserida + R'OH Monogliserida + R'OH Digliserida + R 1 COOR' Monogliserida + R 2 COOR' Gliserol + R 3 COOR' Gambar 4. Mekanisme reaksi transesterifikasi Proses konversi pada reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari minyak, seperti kadar air dan asam lemak bebas. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang berasal dari luar bahan, seperti suhu reaksi, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, rasio metanol dan jenis katalis yang digunakan. 3. METODE IN SITU Pada proses pembuatan biodiesel secara konvensional, proses transesterifikasi dilakukan setelah proses ekstraksi dan pemurnian minyak. Tahapan-tahapan proses yang harus dilalui dalam pembuatan biodiesel ini menyebabkan rendahnya efisiensi dan tingginya konsumsi energi, yang mengakibatkan tingginya biaya produksi biodiesel. Oleh karena itu perlu dikembangkan proses pembuatan biodiesel yang bersifat sederhana, efisien, hemat energi dan dapat menghasilkan biodiesel yang berkualitas tinggi melalui proses transesterifikasi in situ. Metode in situ merupakan salah satu metode yang diterapkan dalam proses pembuatan biodiesel dengan melakukan ekstraksi langsung pada sumber bahan baku yang mengandung minyak atau lemak. Pada proses in situ bahan baku yang digunakan adalah bahan padatan yang mengandung minyak atau lemak. Proses ini dikenal dengan nama esterifikasi atau transesterifikasi in situ. Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan dalam satu reaktor (Shiu et al. 2010). 7

Mekanisme proses in situ dimulai dengan terjadinya kontak antara alkohol dan katalis asam atau basa. Selanjutnya alkohol masuk ke dalam sel dan menghancurkan bagian-bagian sel kemudian melarutkan minyak yang terkandung dalam bahan baku. Minyak yang telah terekstrak bereaksi dengan alkohol menghasilkan alkil ester dengan bantuan katalis asam atau basa (Haas et al. 2004). Haas et al. (2004) melakukan proses transesterifikasi in situ terhadap kacang kedelai menunjukkan 84% terkonversi menjadi metil ester pada 60 0 C dengan perbandingan mol metanol:minyak:naoh 226:1:1,6 selama 8 jam. Metil ester yang dihasilkan memiliki kadar asam lemak bebas 0,72%. Qian et al. (2008) mempelajari pengaruh variabel proses transestrifikasi in situ biji kapas terhadap yield metil ester yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan 99% minyak larut dalam metanol dan 98% terkonversi menjadi metil ester dengan kondisi operasi sebagai berikut: kadar air bahan baku kurang dari 2%, ukuran partikel 0.3-0.335 mm, konsentrasi katalis 0.1 mol/l NaOH dalam metanol, rasio mol methanol:minyak 135:1 pada 40 0 C dan diproses selama 3 jam. Seperti halnya reaksi transesterifikasi atau esterifikasi yang dilakukan secara konvensional, proses berlangsungnya reaksi esterifikasi atau transesterifikasi in situ juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar air dan asam lemak bebas bahan baku, jenis pelarut, rasio pelarut terhadap bahan baku, jenis katalis, konsentrasi katalis, waktu reaksi, suhu reaksi, ukuran bahan dan kecepatan pengadukan. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam reaksi esterifikasi atau transesterifikasi in situ, sebagai berikut : 1. Kadar air dan asam lemak bahan Kandungan air dan asam lemak bebas dalam bahan sangat berpengaruh terhadap yield biodiesel yang dihasilkan. Kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Menurut Goff et al (2004) minyak dengan kadar air kurang dari 0,1% dapat menghasilkan metil ester lebih dari 90%. Penurunan kadar air dalam bahan baku dari 8.7% menjadi 1.9% dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam metanol dari 92.2% menjadi 99.7% dan meningkatkan konversi transesterifikasi dari 80% menjadi 98% pada proses transesterifikasi in situ biji kapas dengan metanol dan katalis NaOH. Pengurangan kadar air dibawah 1.9% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan minyak dan konversi transesterifikasi (Qian et al. 2008). Proses transesterifikasi hanya akan berjalan baik pada minyak dengan kadar asam lemak bebas kurang dari 2% (Sharma et al. 2008). Berdasarkan penelitian Choo (2004) dinyatakan bahwa penurunan kadar asam lemak bebas dari 6,75% menjadi 3,9% dapat meningkatkan yield biodiesel yang dihasilkan pada proses transesterifikasi dari 67% menjadi 92%. Peningkatan yield metil ester dari < 20% menjadi 98% pada reaksi transesterikasi merupakan akibat dari penurunan kadar asam lemak bebas dari 5,5% menjadi < 1%. (Sharma,2008). 2. Ukuran bahan Ukuran bahan yang akan diekstrak sangat berpengaruh terhadap laju reaksi yang terjadi. Ukuran pori-pori bahan sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi yang berlangsung pada metode in situ. Semakin kecil ukuran partikel bahan yang akan diekstrak maka akan semakin tinggi rendemen minyak yang dihasilkan. Hali ini dikarenakan luas area kontak semakin luas sehingga memudahkan pelarut untuk mengekstrak minyak yang terkandung dalam bahan. 3. Jenis dan rasio pelarut terhadap bahan baku Beberapa jenis alkohol berantai pendek yang digunakan untuk proses esterifikasi dan transesterifikasi in situ adalah metanol, etanol, propanol, iso-propanol dan butanol. Metanol bukan pelarut yang baik untuk minyak, namun kebanyakan peneliti menggunakan metanol sebagai media 8

pengekstrak. Pemilihan ini lebih didasarkan pada harganya yang lebih murah, rantai paling pendek sehingga paling reaktif untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi (Qian et al. 2008). Pada reaksi transesterifikasi memerlukan 3 mol alkohol dan 1 mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol metil ester dan 1 mol gliserol. Peningkatan rasio molar akan menghasilkan konversi ester yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat (Ma et al., 2001). Giorgianni et al. (2008) menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 10:1 pada kasus transesterifikasi in situ biji bunga matahari, sedangkan Shiu et al. (2010) menggunakan perbandingan rasio metanol terhadap bahan sebesar 15:1 (v/b). Choo (2004) menggunakan perbandingan volume alkohol terhadap massa bahan baku yang lebih rendah yaitu 4:1 dan 3:1 pada transestrifikasi minyak sawit. 4. Jenis katalis Katalis juga dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Berdasarkan fasanya, katalis digolongkan menjadi katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang mempunyai fasa sama dengan fasa campuran reaksinya, sedangkan katalis heterogen adalah katalis yang berada pada fasa yang berbeda dengan fasa campuran reaksinya. Katalis yang digunakan pada proses in situ adalah katalis basa, katalis asam dan katalis enzim. Katalis asam digunakan pada proses esterifikasi dimana umpan yang digunakan adalah asam lemak bebas. Sedangkan katalis basa sering digunakan pada reaksi transesterifikasi dengan menggunakan umpan berupa trigliserida dengan kandungan asam lemak bebas <2%. Katalis basa akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH 3 ), dan kalium metoksida (KOCH ). Katalis NaOH lebih reaktif dan lebih murah dibanding KOH, katalis NaOCH 3 lebih 3 baik namun harganya sangat mahal. Sedangkan katalis asam yang biasa digunakan adalah asam sulfat dan asam klorida (Choo 2004) Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Ion metoksida bertindak sebagai nukleofil dalam transesterifikasi. Laju reaksi sebanding dengan konsentrasi metoksida. Namun, dalam kasus penggunaan hidroksida, ion metoksida diperoleh dari kesetimbangan hidroksida dalam metanol. Dengan kata lain, konsentrasi ion metoksida sebanding dengan konsentrasi hidroksida dalam metanol. Meskipun demikian, penggunaan metoksida lebih baik dibandingkan dengan hidroksida, karena kesetimbangan hidroksida dalam metanol menghasilkan air yang menghambat reaksi transesterifikasi. 5. Konsentrasi katalis yang digunakan Dengan metode konvensional, reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0.5-1.5% terhadap minyak nabati. Produksi biodiesel dengan metode in situ membutuhkan jumlah katalis yang lebih besar untuk mencapai konversi maksimum. Hal ini disebabkan oleh besarnya volume campuran reaksi metode in situ dibandingkan metode konvensional (Shiu et al. 2010). 6. Waktu reaksi Lamanya reaksi sangat berpengaruh terhadap yield produk yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi semakin banyak produk yang dihasilkan karena keadaan ini akan memberikan kesempatan terhadap molekul-molekul reaktan untuk saling bertumbukan. Setelah kesetimbangan tercapai peningkatan waktu reaksi tidak memberikan pengaruh terhadap konversi reaksi. Pada proses in situ dibutuhkan waktu konversi yang lebih lama dibandingkan dengan proses konvensional. Hal ini disebabkan pada proses in situ dibutuhkan waktu untuk melakukan ekstraksi selain terjadi konversi reaksi. 9

7. Suhu reaksi Suhu reaksi berkaitan dengan panas yang dibutuhkan untuk mencapai energi aktivasi. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang digunakan reaktan untuk saling bertumbukan dalam mencapai energi aktivasi. Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 25-65 0 C (titik didih metanol sekitar 65 0 C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Banyak peneliti merekomendasikan suhu optimum untuk reaksi transesterifikasi adalah 60 0 C (Sahirman 2009). Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 30-65 C (titik didih metanol sekitar 65 C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Untuk waktu 6 menit, pada suhu 60 o C konversi telah mencapai 94% sedangkan pada 45 o C yaitu 87% dan pada 32 o C yaitu 64%. Suhu yang rendah akan menghasilkan konversi yang lebih tinggi namun dengan waktu reaksi yang lebih lama. 8. Kecepatan pengadukan Kecepatan pengadukan pada proses reaksi berkaitan dengan kehomogenan campuran reaksi agar reaksi berlangsung sempurna. Semakin tinggi kecepatan pengadukan maka semakin cepat terjadinya reaksi. Kecepatan pengadukan optimum untuk proses transesterifikasi CPO adalah 150 rpm (Choo 2004), berbeda dengan Sahirman (2009) menyatakan bahwa kecepatan pengadukan optimum dari proses transesterifikasi adalah 300 rpm. Pada proses konvensional kecepatan pengadukan di atas 400 rpm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil transesterifikasi. Berdasarkan hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap yield yang dihasilkan pada kecepatan pengadukan 150-300 rpm akan tetapi antara 300 dan 600 rpm perbedaannya hanya sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan akan berpengaruh pada hasil proses transestrifikasi, akan tetapi setelah terjadi kesetimbangan tidak akan berpengaruh nyata. Pada proses in situ diperlukan kecepatan pengadukan yang lebih tinggi untuk menghasilkan kontak yang sempurna antara padatan dan cairan. Kecepatan pengadukan yang sering digunakan pada proses in situ yaitu 600 rpm (Deli, 2011) D. KARAKTERISTIK MUTU BIODIESEL Monoalkil ester asam lemak yang diproduksi sebagai pengganti petrodiesel harus memenuhi standar kualitas biodiesel. Legowo et al (2001) menjelaskan karakteristik biodiesel secara umum meliputi densitas, viskositas kinematik, bilangan setana, kalor pembakaran, titik tuang, titik pijar dan titik awan. Adapun karakteristik-karakteristik biodiesel lainnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 3. Standarisasi Biodiesel Nasional (SNI 04-7182:2006) No. Parameter Unit Value Metode 1. Densitas (40 o C) mg/ml 0,850 0,890 ASTM D 1298 2. Viskositas kinematik (40 o C) mm 2 /s (cst) 2,3 6,0 ASTM D 445 3. Angka setana min. 48 ASTM D 613 4. Titik kilat (mangkok tertutup) o C min. 100 ASTM D 93 5. Titik awan/mendung o C max. 18 ASTM D 2500 6. Korosi strip tembaga max. no 3 ASTM D 130 7. Residu karbon % - mass max. 0,05 ASTM D 4530 - dalam contoh asli - dalam 10% ampas asli (max. 0,3) 8. Air dan sedimen % - vol max. 0,05 ASTM D 2709 9. Suhu destilasi 90% o C max. 360 ASTM D 1160 10. Abu tersulfatkan % - mass max. 0,02 ASTM D 974 11. Sulfur ppm (mg/kg) max. 80 ASTM D 5453 12. Fosfor ppm (mg/kg) max. 10 AOCS Ca 12-55 10

13. Angka asam mg-koh/gr max. 0,8 ASTM D 974 14. Gliserol bebas % - mass max. 0,02 AOCS Ca 14-56 15. Gliserol total % - mass max. 0,24 AOCS Ca 14-56 16. Kadar ester alkil % - mass min. 96,5-17. Angka iodine % - mass max. 115 PrEN 14111 (g-i 2 /100 gr) 18. Uji Halphen negatif AOCS Cb 1-25 (Sumber : BSN,2006) 1. Densitas Densitas menunjukkan perbandingan berat per satuan volume, karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan bakar. Densitas salah satu karakteristik penting dalam biodiesel karena injektor mesin diesel bekerja berdasarkan ukuran volume. Dengan demikian, saat massa jenis makin besar maka massa bahan bakar yang diinjeksikan ke ruang pembakaran juga semakin besar sehingga energi yang dihasilkan pembakaran semakin besar (energi biasanya dihitung berdasarkan basis massa). Massa jenis merupakan massa per unit volume fluida. Solar memiliki massa jenis sekitar 850 kg/m 3, sedangkan biodiesel memiliki massa jenis berkisar antara 870 kg/m 3 sampai 890 kg/m 3. (Nurinawati,2007) 2. Viskositas Kinematik Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler. Terhadap gaya gravitasi, biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan semakin tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel. Atomisasi bahan bakar sangat bergantung pada viskositas,tekanan injeksi serta ukuran lubang injektor (Shreve, 1956). Viskositas dan tegangan permukaan merupakan faktor yang penting dalam mekanisme atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari noozzle menuju ruang pembakaran (Soerawidjaja et al., 2005). Pada beberapa mesin dibutuhkan viskositas yang rendah karena berkaitan dengan kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor. Viskositas yang rendah sangat menguntungkan karena akan meningkatkan daya lumas bahan bakar terhadap mesin kendaraan diesel meskipun bahan bakar dengan viskositas tinggi tidak diharapkan karena akan menghambat proses pembakaran (Tyson, 2004). Pada umumnya, bahan bakar harus mempunyai viskositas yang relatif rendah agar dapat mudah mengalir dan teratomisasi Hal ini dikarenakan putaran mesin yang cepat membutuhkan injeksi bahan bakar yang cepat pula. Namun tetap ada batas minimal karena diperlukan sifat pelumasan yang cukup baik untuk mencegah terjadinya keausan akibat gerakan piston yang cepat (Shreve, 1956). Perbedaan viskositas antara minyak nabati dengan biodiesel digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam proses produksi biodiesel (Knothe & Steidley 2005). Nilai viskositas dipengaruhi oleh komposisi dan derajat kejenuhan asam lemak serta tingkat kemurnian biodiesel. Viskositas meningkat dengan meningkatnya panajang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusun biodiesel (Knothe & Steidley 2005). 3. Bilangan Setana Bilangan setana menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan setelah bercampur dengan udara. Semakin tinggi bilangan setana bahan bakar maka semakin cepat suatu bahan bakar mesin diesel terbakar setelah diinjeksikan ke dalam ruang bakar (Knothe 2010). Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat,miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain) yang tinggi mempunyai bilangan setana yang tinggi sedangkan yang mengandung asam lemak ikatan rangkap 1 (palmitoleat, oleat dan erukat) yang tinggi mempunyai 11

bilangan setana sedang serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 2 atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi mempunyai bilangan setana yang rendah (Tyson, 2004). Angka setana yang tinggi menunjukkan bahwa bahan bakar dapat menyala pada suhu yang relatif rendah, dan sebaliknya angka setana rendah menunjukkan bahan bakar baru dapat menyala pada suhu yang relatif tinggi. Penggunaan bahan bakar mesin diesel yang mempunyai angka setana yang tinggi dapat mencegah terjadinya knocking karena begitu bahan bakar diinjeksikan ke dalam silinder pembakaran maka bahan bakar akan langsung terbakar dan tidak terakumulasi (Shreve, 1956). 4. Titik Nyala Titik nyala adalah titik suhu terendah terbentuknya nyala api pada saat tes pengapian (flame test) (Kinast dan Tyson, 2003). Karakteristik ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan bahan bakar. Residu metanol dalam biodiesel yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap titik nyala. Residu metanol dalam jumlah kecil akan mengurangi flash point sehingga berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals dan elastomers dan dapat menimbulkan kekurangan dalam proses pembakaran (Tyson, 2004). 5. Titik Kabut Titik awan adalah suhu pada saat bahan bakar mulai tampak berawan (cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal dalam bahan bakar. Bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, namun keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar dalam filter, pompa, dan injektor. Titik awan sangat penting untuk memastikan kinerja bahan bakar pada suhu rendah. Titik kabut biodiesel tergantung pada asam lemak penyusunnya. Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat,miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain) yang tinggi mempunyai titik kabut yang tinggi sedangkan yang mengandung asam lemak ikatan rangkap 1 (palmitoleat, oleat dan erukat) yang tinggi titik kabutnya sedang serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 2 atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi titik kabutnya rendah (Tyson, 2004). Umumnya titik awan biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Hal ini menimbulkan permasalahan pada negara-negara subtropis pada saat musim dingin. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada suhu rendah. Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan titik awan dan titik tuang bahan bakar adalah dengan melakukan winterisasi (Knothe 2005). Pada metode ini dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini terjadi karena asam lemak tidak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh. 6. Kadar Air dan Sedimen Menurut Tyson (2004) teknik pengeringan yang kurang baik selama proses atau adanya kontak bahan bakar dengan air selama transportasi dan penyimpanan dapat menyebabkan korosi dan mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk media hidup mikroorganisme. Pada negara yang mempunyai musim dingin kandungan air yang terkandung dalam bahan bakar dapat membentuk kristal yang dapat menyumbat aliran bahan bakar. Selain itu, keberadaan air dapat menyebabkan korosi dan pertumbuhan mikroorganisme yang juga dapat menyumbat aliran bahan bakar. Sedimen dapat menyebabkan penyumbatan juga dan kerusakan mesin (Shreve, 1956). 12

7. Kadar Abu Tersulfatkan Kandungan abu tersulfatkan yang tinggi menunjukkan adanya residu alkali dalam biodiesel seperti sisa penggunaan katalis NaOH. Proses pencucian biodiesel yang kurang sempurna dapat mengakibatkan tingginya kadar abu tersulfatakan pada biodiesel yang dihasilkan. Kandungan abu sulfat dalam biodiesel dapat mengakibatkan penyumbatan pada sistem bahan bakar (Tyson, 2004) 8. Sulfur Kandungan sulfur pada biodiesel dapat mengakibatkan emisi polutan asam sulfat dan SO 2 pada gas buang (Tyson, 2004). Sulfur juga dapat menimbulkan korosi yang disebabkan oksida belerang sehingga menyebabkan keausan mesin. Proses kondensasi oksida belerang juga akan membentuk air yang dapat merusak dinding logam silinder dan sistem gas buang mesin. 9. Bilangan Asam Bilangan asam biodiesel menunjukkan kandungan asam lemak bebas yang berasal dari degradasi ester. Bilangan asam yang tinggi mengindikasikan adanya degradasi dari ester selama penyimpanan biodiesel yang kurang baik. Bilangan asam yang tinggi lebih dari 0,8 diasosiasikan terjadi deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson, 2004). 10. Kandungan Gliserol Total dan Bebas Kandungan gliserol total dihitung dari penjumlahan gliserol total dan gliserol bebas yang terkandung dalam bahan bakar. Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi dapat membahayakan mesin terutama karena keberadaan gugus OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom dan juga menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al.,2005). Tingginya kandungan gliserol disebabkan oleh konversi yang tidak sempurna dari minyak atau lemak menjadi biodiesel dan pencucian terhadap crude biodiesel yang tidak sempurna. Gliserin total yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan (fouling) tangki penyimpanan sistem bahan bakar dan engine (Tyson, 2004). 11. Fosfor Fosfor yang terkandung dalam biodiesel dibatasi karena kandungan fosfor yang tinggi dapat merusak catalytic converters. Kandungan fosfor yang tinggi selain dipengaruhi oleh bahan baku juga dipengaruhi oleh proses pencucian setelah degumming dan proses esterifikasi apabila kedua proses tersebut menggunakan katalis asam fosfat. Fosfor biasanya muncul dalam bentuk zat yang bersifat seperti perekat yang dapat merusak katalis yang terdapat pada mesin diesel sehingga dapat meningkatkan jumlah emisi partikulat ke udara (Soerawidjaja et al.,2005) 12. Kadar Residu Karbon Kadar residu karbon menunjukkan kadar fraksi hidrokarbon yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari bahan bakar. Adanya fraksi hidrokarbon ini menyebabkan menumpuknya residu karbon dalam ruang pembakaran yang dapat mengurangi kinerja mesin. Pada suhu tinggi deposit karbon ini dapat membara, sehingga menaikkan suhu silinder pembakaran (Shreve, 1956). Residu karbon terjadi berkaitan denga sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, metil ester dari asam lemak dengan abnyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt, 2004). 13